Bagi orang yang lahir dan menetap di Desa Lengkong, Kabupaten Kuningan, nama Eyang Hasan Maolani sudah sangat melekat di dalam sanubari mereka. Masyarakat Lengkong biasanya menggunakan istilah ‘eyang’ untuk menyebut nama Hasan Maolani. Dalam tata bahasa Sunda, istilah ‘eyang’ merujuk kepada orang yang dituakan dan menjadi sesepuh di sebuah lingkungan tertentu. Istilah eyang ini juga tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah eyang diartikan sebagai kakek atau nenek.[1] Penyebutan eyang yang dilakukan masyarakat Lengkong mempunyai makna penting bahwa seseorang bernama Hasan Maolani ini sangat dihormati dan dijadikan ikon kebanggaan masyarakat Lengkong.

Selain nama Eyang Hasan Maolani, masayarakat Lengkong biasa menyebutnya dengan nama Eyang Menado.[2] Sejarah penyebutan Eyang Menado ini tidak lain karena Eyang Hasan Maolani diasingkan oleh Kolonial Belanda ke wilayah jauh di pulau Sulawesi, sekitaran Manado. Saat ini wilayah Tondano yang dulu menjadi tempat pengasingan Eyang Hasan Maolani masuk wilayah administratif dari Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Namun dalam sudut pandang sejarah, penyebutan Eyang Menado oleh masyarakat Lengkong tentulah tidak salah, karena dahulu Tondano masuk dalam kerasidenan Manado.

Khusus untuk penyebutan makam Eyang Hasan Maolani, masyarakat Lengkong biasa menyebutnya ‘Makam Rambut’. Mengapa dinamakan makam rambut? Karena sejatinya makam asli Eyang Hasan Maolani berada di tempat pengasingannya di pulau Sulawesi. Namun sebelum wafat, Eyang Hasan Maolani mengirimkan beberapa lembar rambutnya untuk dikubur di Desa Lengkong Kuningan, agar para generasi selanjutnya di Lengkong tidak memiliki beban berziarah jauh ketempat pekuburannya di Sulawesi.

Eyang Hasan Maolani yang kini sudah menjadi nama jalan lintas penghubung antara Desa Lengkong di Kecamatan Garawangi dengan Desa Ancaran di Kecamatan Kuningan ini, lahir di Desa Lengkong pada hari Senin Legi, tanggal 22 Mei 1782 Masehi, atau bertepatan dengan tanggal 8 Jumadil Akhir tahun 1196 Hijriyah. Dalam makalah umum yang biasa dibagikan panitia haul Eyang Hasan Maolani, disebutkan secara rinci bahwa Eyang Hasan Maolani lahir di sore hari setelah waktu ashar, sekitaran jam 5 sore. Beliau merupakan putra dari Kiai Bagus Lukman bin Kiai Syatar.

Lahirnya Eyang Hasan Maolani berada di tahun yang sama dengan wafatnya Syekh Panembahan Daqo, salah seorang ulama sepuh di Desa Lengkong. Kejadian ini mengingatkan penulis akan kelahiran Imam as-Syafii, dimana beliau lahir di hari yang sama dengan meninggalnya ulama besar dunia, Imam Hanafi. Peristiwa berbeda ini memberikan makna yang serupa. Kelahiran Imam as-Syafii dimaknai oleh ayahnya sebagai bagian dari kemaha-kuasaan Allah dengan menafsirkan bahwa kelahiran Syafii kecil merupakan bentuk pengganti kedudukan Imam Hanafi. Imam as-Syafii sudah diyakini akan muncul sebagai ulama besar yang meneduhkan kerongkongan umat Islam. Makna yang diberikan ayahnya ini terbukti dalam lembaran sejarah, bahwa nama Imam as-Syafii memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam perkembangan keilmuan Islam, sejajar atau bahkan lebih besar dari Imam Hanafi.

Kejadian berbeda yang dialami Eyang Hasan Maolani dengan Imam as-Syafii penulis maknai dengan hal yang sama, bahwa kelahiran Eyang Hasan Maolani ini memiliki makna bahwa Allah sedang memberikan pengganti perjuangan bagi masyarakat Lengkong. Allah sedang mengganti generasi perjuangan dari yang sebelumnya diemban Syekh Panembahan Daqo, digantikan oleh Eyang Hasan Maolani yang kelak namanya lebih meluas dari Syekh Panembahan Daqo.

Tak jauh berbeda dengan kehidupan anak-anak lain di Desa Lengkong, Eyang Hasan Maolani kecil tumbuh normal ditengah-tengah masyarakat. Hanya saja, Eyang Hasan Maolani kecil sudah dikenal oleh masyarakat sebagai anak yang gemar menuntut ilmu. Lingkungan Desa Lengkong yang pada masa itu terkenal sangat Islami, memberikan jalan mulus bagi Eyang Hasan Maolani mempelajari ilmu-ilmu dasar keagamaan. Tidak banyak dijelaskan guru-guru Eyang Hasan Maolani ketika masih kecil. Sanad keilmuan Eyang Hasan Maolani mulai tertulis di era remaja ketika beliau menuntut ilmu keluar desa.

Dalam makalah yang disebarkan panitia haul[3] Eyang Hasan Maolani pada tahun 2009, dijelaskan beberapa kiai yang pernah menjadi guru keilmuan Eyang Hasan Maolani, antara lain:

  1. Kiai Alimudin, dari Pangkalan.
  2. Kiai Sholehudin, dari Kadugede.
  3. Kiai Kosasih, dari Kadugede.
  4. Kiai Bagus Arjaen, dari Rajagaluh.

 

Adapun dalam Primbon Eyang Abshori sebagaimana dikutip oleh Abu Abdullah Hadziq dalam bukunya disebutkan bahwa masa pengembaraan ilmu seorang Eyang Hasan Maolani setidaknya hampir 7 tahun 6 bulan. Dengan persebaran waktunya adalah: 1 tahun 5 bulan di pesantren Pangkalan, 2 tahun 8 bulan di pesantren Kadugede, 1 tahun 1 bulan di pesantren Pasawahan Cirebon, dan di pesantren Kadugede lagi selama 1 tahun 3 bulan.[4]

Hasil belajar dari kiai-kiai tersebut, Eyang Hasan Maolani mewarisi tradisi keilmuan Ahlussunnah wal Jamaah. Beliau mengikuti Imam al-Asy’ari dalam madzhab aqidah, mengikuti Imam asy-Syafii dalam fiqh, serta beliau mengikuti dan pro-aktif mengikuti tarekat Syattariyyah.

Selesai belajar ilmu agama di banyak pesantren, Eyang Hasan Maolani kemudian menikah dengan seorang gadis bernama Murtasim binti Kiai Arifah yang berasal dari Desa Garawangi. Mustasim ini jika dirunut nasabnya, masih merupakan keturunan dari Lengkong, karena Kiai Arifah ini merupakan putra dari Kiai Khatib Syaribah yang merupakan menantu dari Kiai Bagus Arsyam/Nyai Buyut Jembar Lengkong. Hasil pernikahannya dengan Murtasim, Eyang Hasan Maolani dikaruniai 11 orang anak, yaitu:

  1. Hasan Imrani (dimakamkan di Cikaso);
  2. Mu’minah (dimakamkan di Karangmangu);
  3. Ruqoyah (dimakamkan di Lengkong);
  4. Imamudin (dimakamkan di Tanjungsari);
  5. Ajam (meninggal saat masih kecil, dimakamkan di Lengkong);
  6. Muhammad Hakim (meninggal saat masih kecil, dimakamkan di Lengkong);
  7. Nashibah (meninggal saat masih kecil, dimakamkan di Lengkong);
  8. Marhamah (tidak memiliki keturunan, meninggal saat berumur 25 tahun, dimakamkan di Lengkong);
  9. Muqimah (meninggal saat masih kecil, dimakamkan di Lengkong);
  10. Muhammad Abshori (dimakamkan di Lengkong);
  11. Muhammad Akhyar (dimakamkan di Lengkong).

 

Setelah Eyang Hasan Maolani merasa cukup akan penguasaan ilmu agama dan bermukim di Desa Lengkong, banyak santri yang mulai berdatangan untuk menimba ilmu kepada beliau. Dalam setiap tahun, jumlah santri Eyang Hasan Maolani terus bertambah.

Dengan bertambahnya jumlah santri inilah, pengaruh Eyang Hasan Maolani semakin meluas. Di sela-sela pengajiannya, Eyang Hasan Maolani selalu mengingatkan para santrinya bahwa upaya perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan—termasuk pendudukan yang dilakukan Kolonial Belanda—merupakan upaya jihad yang diridhai Allah.

Semakin kuatnya pengaruh Eyang Hasan Maolani, semakin berkembang pula ide-ide jihad yang tertanam di benak santrinya. Hal ini yang membuat pihak Belanda merasa terancam akan kehadiran Eyang Hasan Maolani, sehingga untuk mencegah perluasan pengaruh yang semakin besar, pihak Kolonial Belanda resmi menahan Eyang Hasan Maolani pada tanggal 9 April 1841 (17 Shafar 1257).

Dalam sudut pandang Belanda, pengaruh Eyang Hasan Maolani ini dianggap cukup luas dan bisa membahayakan eksistensi pemerintahan kolonial. Atas berbagai macam pertimbangan, Eyang Hasan Maolani kemudian diasingkan ke daerah sekitaran Manado, Sulawesi Utara, bersama dengan para tahanan lain yang merupakan gerilyawan perang Diponegoro yang dikomandoi Kiai Mojo.

Eyang Hasan Maolani wafat di tempat pengasingannya di kampung Jawa Tondano, pada tanggal 29 April 1874, dalam usia 94 tahun. Hal ini merujuk pada kutipan surat pemberitahuan kematian yang dikirimkan oleh pemerintah setempat di kampung Jawa Tondano kepada keluarga Eyang Hasan Maolani di Lengkong. Berikut adalah isi teks dari surat tersebut sebagaimana telah disunting oleh Muhammad Nida’ Fadlan, sebagai berikut:[5]

Kepada saudara yang ada amat baik,

Dengan surat ini kita khabarkan pada saudara bahwa Rama Kiai Hasan Maolani sudah meninggalkan dunia yang fana dan sudah pulang ke rahmatullah dan menghadap pada zaman baka. Yang telah jadi pada dua belas Maulud malam Rabu lepas jam empat hampir siang wafatnya.
Demikian jadilah menurut kahormatan daripada bangsa orang Islam, rahaga Rama sudahlah dibersihkan pada siang malam itu juga. Oleh penghantaran Tuan Pangeran dan putranya semua. Terlebih kepala kampung dan saya dan orang-orang semua sehingga dihantarkan kepada tempat pekuburan dan dipikul orang-orang terlebih tuan pangeran dan tuan Kepala Kampung dan saya.
Sedang saudara sendiri sudah tahu dari itu tempat yang Rama sudah pesan pada jadi tempatnya jadilah dengan selamat. Bahwa orang sudah kerja dengan hormat dalam satu-satu tempat itu sehingga datanglah orang-orang pikul dengan bangsa perempuan adalah hantar dari mayit itu sampai di tempat yang tersebut.

Dengan lagi dibersihkan Rama sedang pada penghabisan maka selimutnya telah dirampas kebanyakan orang-orang mahu pandang zimat. Terlebih Rama sudahlah angkat pada kasih tidur dalam tempat demikian (…) dirampas dari kabanyakan orang-orang mahu bikin zimat.
Inilah kita khabarkan dari kita sudah (…) dengan sungguh terima dan pelihara itu Rama menurut dari (…) permintaan dan ketahuan kepala kampung dari waktu ada sudah pulang sehingga pada waktunya wafatnya tiada barang salah hingga dengan kaselamatan.
Dengan lagi kita khabarkan dari Rama ampunya rambut ada tertinggal jadilah kita (…) jika ada kasih baik kita pakai zimat. Boleh kasih khabar itu rido atau jika tidak ada boleh kasih dengan (…) itulah.
Hormat dari kita yang bertanda:
1. Wangsa Taruna.
2. Pangeran Tua: Suryaningrat.
3. Kepala Kampung: Hasan Ghazali.

 

Surat tersebut kemudian dilanjutkan dengan catatan yang diduga ditulis oleh ahli waris Eyang Hasan Maolani. Berikut bunyi surat tersebut:[6]

Waktu kelahiran orang tua kita, guru kita, panutan kita, kakek kita, yaitu Syekh
Hasan Maolani pada hari Senin Manis, waktu Asar, pukul 5, bulan Jumadil Akhir, tanggal delapan tahun Ehe yang bertepatan dengan 1196 Hijriyah.
Waktu kematian guru kita, Syekh Hasan Maolani, adalah pada malam Rabu Wage, waktu Subuh, pukul lima, bulan Rabiul Awal, tanggal dua belas tahun Alip, dan berusia sembilan puluh empat lebih sembilan bulan empat hari pada tahun 1291 Hijriyah.

Wafat di negara Manado, distrik Tondano, Kampung Jawa di (…) berkumpul pekuburannya. Hanya Allah yang Maha Mengetahui Kebenaran dan Kesalahan.

 

Selain memastikan bahwa Eyang Hasan Maolani wafat pada 12 Rabiul Awal 1291 Hijriyah (bertepatan dengan Rabu 29 April 1874) dalam usia 94 tahun, berdasarkan dua catatan tersebut dapat diketahui bahwa Eyang Hasan Maolani adalah sosok yang kharismatik. Hal ini ditunjukkan dari pengakuan pemerintah setempat yang mengatakan bahwa Eyang Hasan Maolani tidak memiliki kesalahan hingga akhir hayatnya. Jasadnya dimakamkan di komplek pemakaman kampung Jawa Tondano bersama dengan Kiai Mojo dan pasukannya dengan diantarkan oleh para pengikut setianya di kampung Jawa Tondano.[7]

 

~~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~~

 

_____________

[1] “Eyang”, https://kbbi.web.id, diakses pada tanggal 21 Februari 2020, pukul 9:44.

[2] Dalam pelafalan orang Lengkong dan masyarakat Sunda pada umumnya, penyebutan Kota Manado sering berubah menjadi Menado.

[3] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, haul adalah peringatan hari wafat seseorang yang diadakan setahun sekali (biasanya disertai selamatan arwah).

[4] Abu Abdullah Hadziq, 2017, Sang Kyai Sedjati: Eyang Maolani, Kuningan: Panitia Haul Eyang Hasan Maolani, hlm. 12.

[5] Muhammad Nida’ Fadlan, 2015, “Surat-Surat Eyang Hasan Maolani, Lengkong: Suntingan Teks dan Analisis Isi”, Tesis, Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, hlm. 32.

[6] Ibid., hlm. 33.

[7] Ibid.