Kata nasab disebutkan di dalam al-Quran pada 3 (tiga) ayat, yaitu pada surah al-Mu’minûn ayat 101, surah al-Furqân ayat 54, dan al-Shâffât ayat 158.
Surah al-Mu’minûn ayat 101:
“Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.”
Surah al-Furqân ayat 54:
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushâharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.”
Surah al-Shâffât ayat 158:
“Dan mereka adakan (hubungan) nasab antara Allah dan antara jin. dan Sesungguhnya jin mengetahui bahwa mereka benar-benar akan diseret (ke neraka).”
Ketiga ayat di atas memperlihatkan dengan jelas bahwa nasab mempunyai makna yang sangat penting, utamanya dalam kehidupan di dunia. Namun dalam beberapa hal di akhirat, hubungan nasab ini bisa jadi tidak berarti apa-apa. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui atas segala sesuatu di kehidupan akhirat kelak.
Nasab secara etimologi (bahasa) adalah keturunan atau kerabat. Mahmud Yunus dalam buku kamusnya mengartikan kata nasab sebagai derivasi dari kata nasaba (Bahasa Arab) diartikan hubungan pertalian keluarga.[1] Kebanyakan ahli bahasa menyebutkan bahwa nasab hanya untuk mengkaji keturunan kepada jalur ayah. Namun demikian, beberapa pendapat menyebutkan bahwa nasab juga diambil dari keturunan ayah dan ibu. Kata nasab ini ternyata tidak banyak didefinisikan oleh fuqaha.[2] Kebanyakan fuqaha hanya mencukupkan definisi nasab ini hanya pada definisi secara bahasa. Namun beberapa orang seperti Andi Syamsu Alam mendefinsikan secara terminologis (istilah), nasab diartikan sebagai keturunan atau ikatan keluarga sebagai hubungan darah, baik karena hubungan darah ke atas (bapak, kakek, ibu, nenek, dan seterusnya) maupun ke samping (saudara, paman, dan lain-lain).[3]
Walaupun kebanyakan fuqaha tidak mendefinisikan istilah nasab, namun ada beberapa ulama memberikan definisi terhadap istilah nasab tersebut, diantaranya adalah Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan nasab sebagai suatu sandaran yang kokoh untuk meletakkan suatu hubungan kekeluargaan berdasarkan kesatuan darah atau pertimbangan bahwa yang satu adalah bagian dari yang lain. Misalnya seorang anak adalah bagian dari ayahnya, dan seorang ayah adalah bagian dari kakeknya. Dengan demikian orang-orang yang serumpun nasab adalah orang-orang yang satu pertalian darah.[4]
Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa nasab merupakan hubungan darah yang terjadi antara satu orang dengan yang lain baik jauh maupun dekat. Namun, jika membaca literatur hukum Islam, maka kata nasab itu akan merujuk pada hubungan keluarga yang sangat dekat, yaitu hubungan anak dengan orang tua terutama orang tua laki-laki.[5]
Di dalam kajian nasab ada klasifikasi atau pengelompokkan status nasab seseorang, yaitu:[6]
- Shahihun Nasab, adalah status nasab seseorang yang sudah dilakukan kajian dan penelitian secara mendalam, sehingga nama orang yang bersangkutan berhak untuk dimasukkan kedalam nasab suatu keluarga. Shohihun Nasab ini diperkuat dengan adanya buku rujukan tentang nasab. Contohnya A diakui sebagai keturunan B, dan ternyata nama A dan B ini sudah tercatat dalam buku-buku nasab.
- Masyhurun Nasab, adalah status nasab seseorang yang diakui kebenarannya namun tidak terdapat dalam buku-buku nasab. Contoh dalam kasus ini misalnya A diakui merupakan keturunan dari B, namun nama A dan B ini tidak tercantum dalam buku-buku nasab. Biasanya Masyhurun Nasab ini di akui melalui sebuah kabar yang tidak bisa disanggah, yang kita kenal dengan istilah Khabar Mutawatir.[7] A diakui sebagai keturunan dari B merupakan kabar yang disampaikan oleh tetangga-tetangganya, walaupun nama A dan B ini tidak tercantum dalam buku-buku nasab.
- Majhulun Nasab, yaitu status nasab seseorang yang sudah dilakukan penelitian namun ternyata tidak memiliki jalur nasab. Artinya nasab seseorang ini terputus dari informasi nasab yang ada. Hal ini bisa terjadi karena kurangnya informasi, karena ketidak tahuan orang akan nasabnya, dan lain-lain. Contohnya adalah orang-orang yang tidak mengenal nasab dirinya, misalkan A hanya mengetahui bahwa dirinya merupakan anak dari B (misalkan B sudah meninggal). Dan ternyata A ini tidak mengetahui ayah dari B, sehingga nasabnya terputus hanya pada B.
- Maskukun Nasab, adalah status nasab seseorang yang diragukan kebenarannya karena didalamnya terjadi kesalahan penyusunan nasab. Misalkan A merupakan anak dari B, dan B ini merupakan anak dari C. Namun ternyata di buku nasab urutannya teracak, B menjadi anak dari A, A menjadi anak dari C. Maka status nasab yang demikian diragukan kebenarannya dan harus dilakukan revisi untuk memperbaiki status nasab yang sebenarnya.
- Mardudun Nasab, adalah status nasab seseorang hasil dari pemalsuan nasab. Artinya dalam penyusunan nasab ini telah terjadi pemalsuan sehingga nasabnya menjadi batal. Salah satu alasan pemalsuan nasab biasanya untuk menghubungkan dirinya kepada orang-orang salih yang dia kehendaki. Misalkan A menulis dalam nasabnya bahwa dia memiliki garis keturunan dengan Rasulullah, padahal kenyataannya A sama sekali tidak memiliki garis keturunan dengan Rasulullah. Hal ini merupakan pemalsuan nasab yang dilakukan oleh A.
- Tahtal Bahas, artinya status nasab seseorang masih dalam proses pembahasan atau penelitian, sehingga konsep nasabnya belum final atau selesai. Posisi nasab dari Tahtal Bahas ini bisa menjadi Shahihun Nasab atau Masyhurun Nasab sesuai dengan metode penelitian yang dilakukan oleh seseorang terhadap nasabnya.
- Math’unun Nasab, adalah status nasab seseorang yang tertolak nasabnya karena yang bersangkutan lahir dari hasil perkawinan yang tidak sah menurut agama Islam. Contohnya A (laki-laki) dan B (perempuan) melakukan hubungan suami istri di luar nikah (zina) hingga melahirkan C. Maka C ini tidak bisa disambungkan nasabnya kepada A.
~~~~~~~~~~~~~~~
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri
(idikms@gmail.com)
~~~~~~~~~~~~~~~
_____________
[1] Mahmud Yunus, 2001, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsiran Al-Qur‟an, hlm. 64.
[2] Fuqaha adalah sebutan untuk orang yang ahli dalam ilmu fiqh, yakni ilmu yang berhubungan dengan masalah ibadah di dalam Islam. Kata Fuqaha ini merupakan jamak dari kata Faqih.
[3] Andi Syamsu Alam dan Fauzan, 2008, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Jakarta: Kencana, hlm. 175.
[4] Lihat Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adilatuhu, Juz. 10.
[5] Muhammad Jawad Mughniyah, 200, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera Hati, hlm. 385.
[6] Diambil dari http://www.asyraaf.net, pada tanggal 9 Juni 2016, pukul 10:50.
[7] Khabar Mutawatir adalah kabar yang disampaikan oleh banyak orang sehingga tidak ada celah bagi orang-orang tersebut untuk melakukan dusta terhadap kabar yang diberitakan.