Jika orang tanya, “apa status pekerjaanmu sekarang, dik?”, maka jawabannya bisa melebar kemana-mana. Kenapa tidak, proses seleksi yang saya ikuti tahun 2021 ada embel-embel Calon Hakim, namun menggunakan istilah lain yaitu Analis Perkara Peradilan.
Hakim-hakim angkatan 2017, 2009-2010, maupun 2002, semuanya sama. Saat proses awal rekrutmen, lowongan yang dibuka memang Cakim (Calon Hakim). Sehingga ketika diterima dan lolos, walaupun statusnya masih CPNS, tapi hati mereka sudah tenang. Status Cakim bagi mereka sudah pasti.
Nah, proses semacam itu tidak terjadi dalam seleksi tahun 2021. Lowongan yang disediakan oleh Mahkamah Agung diberi istilah “Analis Perkara Peradilan”. Namun Analis Perkara Peradilan (APP) tahun 2021 ini berbeda dengan seleksi APP tahun 2019. Teman-teman saya yang lolos seleksi APP 2019 target dan jenjang kariernya diarahkan untuk masuk ke kepaniteraan, entah itu staff, kemudian bisa menjadi juru sita, atau seiring waktu bisa menjadi panitera pengganti, panitera muda, maupun panitera sebagai puncak kariernya.
Namun seleksi APP tahun 2021 yang saya ikuti kemarin, arah kariernya bukan ke kepaniteraan, namun menjadi calon hakim. Hal ini dituangkan dalam pengumuman pembukaan seleksi APP 2021, dimana dibagian footnotenya diberi keterangan, “APP tahun 2021 akan diprioritaskan untuk menjadi calon hakim, dan apabila tidak lolos pendidikan Cakim, akan tetap menjadi APP”.
Hal ini juga diatur secara tegas dalam Perma Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengadaan Hakim. Disana disebutkan bahwa penerimaan calon hakim diambil dari peserta yang lulus seleksi APP tahun 2021.
Aturan semacam ini menurut saya ada plus minusnya. Plusnya, saat sudah lolos seleksi CPNS dan menjadi bagian dari APP, ketika nanti mengikuti Cakim dan ternyata tidak lolos pendidikan, maka status PNS nya tidak hilang. Jenjang kariernya masih bisa diubah ke kepaniteraan sama seperti APP tahun 2019. Hal ini berbeda dengan mekanisme Cakim 2017 misalnya. Saat ada orang yang tidak lolos pendidikan, maka secara otomatis status PNS nya pun hilang.
Namun tentu ada minusnya. Bagi banyak kawan APP tahun 2021, aturan semacam ini membuat bingung dan tidak memberikan kejelasan status. Proses untuk masuk Cakim juga masih mengambang tidak tentu arah. Penempatan APP yang sekarang dilakukan secara acak oleh Mahkamah Agung, tidak didasarkan pada minat peserta untuk target pendidikan hakim kedepannya. Misalnya ada teman yang berniat untuk menjadi hakim di Pengadilan Negeri, tapi penempatan APP nya malah di Pengadilan Agama. Ada pula yang berminat untuk ke PTUN, tapi penempatannya malah di PN, dan yang lainnya.
Oleh karena itu, setiap orang di angkatan APP 2021 ini harus berbagi konsentrasi pikirannya. Saat dia hendak ingin menjadi hakim di PN namun penempatan di PA, maka selain dia harus mengikuti setiap seluk-beluk di PA, dia juga harus mempersiapkan diri dengan materi-materi di PN, manakala dalam beberapa bulan kedepan ada proses pembukaan Cakim.
Belum lagi dengan bayang-bayang disahkannya RUU Jabatan Hakim. Jika seandainya RUU Jabatan Hakim disahkan ketika posisi APP 2021 belum direkrut menjadi Cakim, apakah status proses Cakim dalam Perma Nomor 1 Tahun 2021 masih akan berlaku atau disimpangi dengan asas hukum lex posteriori? Ini tentu akan memberikan rasa kecewa yang berat dikalangan rekan-rekan APP 2021, mungkin upaya perlawanan dari beberapa rekan akan dilakukan jika hal tersebut memang terjadi.
Namun lepas dari rumitnya proses seleksi hakim di tahun 2021-2022 ini, pertanyaan mendasar yang mungkin pembaca harapkan—utamanya yang memang tidak berada dalam lingkungan peradilan, adalah “mengapa rekrutmen hakim dalam setiap periode itu selalu ada drama?” Karena permasalahan rekrutmen hakim ini ternyata bukan hanya dialami oleh angkatan 2021-2022 saja, namun juga dialami oleh rekan-rekan angkatan 2017.
Jawabannya karena status hakim sebagai “pejabat negara” dalam UU Kekuasaan Kehakiman yang belum memiliki tolak ukur yang utuh untuk diimplementasikan. Ketika hakim disebut sebagai “pejabat negara” dan ketika Mahkamah Agung membutuhkan tenaga hakim serta dibutuhkan adanya seleksi, maka BKN-Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara tidak menyanggupi, karena mereka hanya menyediakan seleksi ASN, bukan seleksi pejabat negara.
Lagi pula, sejauh ini, belum ada sejarahnya pejabat negara harus melalui serangkaian tes sebagaimana CPNS. Pejabat negara ya pejabat negara, biasanya lahir dari proses politik. Mereka tidak tunduk pada aturan kepegawaian.
Namun disisi yang lain, Mahkamah Agung—sebagaimana berita yang berkembang sekarang ini, sangat membutuhkan banyak tenaga hakim. Disaat menunggu RUU Jabatan Hakim yang tak kunjung disahkan dan BKN-Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara tidak mau melayani proses seleksi pejabat negara, maka mau tidak mau Mahkamah Agung harus membuka opsi lain untuk mengakali kebuntuan ini.
Yang saya lihat, proses seleksi APP 2021 adalah upaya dari Mahkamah Agung untuk mengakali kerumitan aturan seleksi hakim yang memang belum memiliki payung hukum yang pasti. Ketika yang dibuka APP 2021 dengan status CPNS, maka BKN-Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara mau melaksanakan alokasi yang dibutuhkan Mahkamah Agung untuk dilakukan seleksi CPNS pada umumnya. Namun ketika sudah jadi ASN, Mahkamah Agung akan mengambil alih seleksi Cakimnya. Kira-kira begitu maksud dan tujuan dari Mahkamah Agung yang sejauh ini saya tangkap.
Dari persoalan seleksi hakim ini, titik pangkal persoalan intinya berada pada status hakim. Silang pendapat tentang status hakim inilah yang mengakibatkan pembahasan RUU Jabatan Hakim mandeg di DPR, karena banyak aspirasi baik dari hakim sendiri melalui IKAHI maupun akademisi yang memiliki pandangannya masing-masing, misalnya: jika tetap teguh hakim distatuskan sebagai pejabat negara, maka harus diberikan fasilitas penuh sebagaimana pejabat negara pada umumnya. Selain itu, proses seleksinya pun tidak boleh sama dengan proses seleksi ASN, termasuk masa kerja pejabat negara yang tidak mengenal istilah pensiun, namun sesuai periode waktu tertentu. Kepangkatan juga tidak dikenal dalam status pejabat negara.
Ada beberapa masukan tentang status hakim ini, diantaranya:
- Hakim bisa disebut sebagai pejabat negara, namun harus ditambahkan sebagai pejabat negara khusus atau pejabat negara tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk membedakan hakim dengan pejabat negara lainnya seperti presiden, menteri, maupun anggota parlemen. Adapun khusus untuk hakim agung dan hakim konstitusi bisa disebut sebagai pejabat negara.
- Hakim bisa distatuskan dengan nama pejabat yudisial atau pejabat peradilan. Istilah ini merupakan istilah baru sehingga tidak menabrak istilah lain yang sudah eksis. Aturan main dari pejabat yudisial atau pejabat peradilan ditentukan oleh pembuat UU.
- Hakim bisa distatuskan sebagai “hakim”, sebagaimana TNI-Polri yang nomenklaturnya mandiri tidak ikut dalam nomenklatur ASN. Jika demikian, maka akan ada kalimat “ASN, TNI-Polri, dan Hakim”.
Sebagai seorang bawahan, saya pribadi tidak terlalu mempersoalkan dinamika politik hukum yang sedang terjadi dalam kaitannya dengan status hakim ini. Apapun yang dihasilkan, ya mau tidak mau harus sami’na wa atho’na. Namun yang menjadi perhatian saya hanya 1, arahan atau seminar khusus dari Mahkamah Agung kepada APP 2021 ini mutlak dilakukan, sehingga setiap orang memiliki persepsi yang sama tentang proses Cakim 2021 ini. Sekian.
~~~~~~~~~~~~~~~
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri
(idikms@gmail.com)
~~~~~~~~~~~~~~~