Saat terjadinya demonstrasi besar di penghujung tahun 2019 yang dilakukan oleh segenap elemen masyarakat dan mahasiswa tentang penolakannya terhadap RKUHP, saya pribadi sebetulnya mendukung pengesahan RKUHP. Mendukung pengesahan RKUHP ini tidak berarti setuju dengan beberapa pasal yang dianggap kontroversial itu.
Bagi saya, KUHP yang sekarang ini, Wetboek van Strafrecht, sudah jauh tertinggal zaman. Bahkan menurut Prof. Barda Nawawi—Guru Besar Hukum Pidana UNDIP, saat beliau berbincang dengan pemuka hukum di Belanda, KUHP disana itu sudah direvisi berkali-kali, puluhan atau bahkan yang saya dengar saat mengikuti seminarnya, lebih dari 100 kali direvisi. Sementara di negeri jajahannya, sekalipun belum pernah.
Kita perlu untuk menyamakan persepsi terlebih dahulu. Beberapa poin yang harus kita sepakati, antara lain:
- Kita harus mengakui bahwa KUHP sekarang ini yang merupakan warisan produk hukum kolonial, sudah tidak relevan dengan zaman dan kondisi sosial masyarakat di Indonesia. Dan memang sejatinya tidak cocok. Produk hukum Belanda ini dalam pelaksanaan awal di tanah Nusantara juga mengalami penolakan di internal masyarakat pribumi. Apalagi dengan kondisi sekarang, tentu saja KUHP ini wajib untuk disingkirkan.
- Oleh karena alasan nomor satu itulah, kita wajib menggantinya. Setuju bukan?
Minimal itu saja dulu. Kita harus bersepakat bahwa bangsa ini sudah seharusnya memiliki KUHP sendiri. Sudah lebih dari 70 tahun bangsa ini merdeka, sudah selayaknya lah kita memiliki kemerdekaan di bidang hukum. Masih banyaknya produk hukum warisan Belanda yang masih eksis di Indonesia, misalnya KUHP, KUH Perdata, HIR, RBg, AB, dan beberapa produk hukum lainnya, menjadi PR bagi bangsa ini untuk sedikit demi sedikit diganti dengan produk hukum yang tercipta dari para pemikir hukum di Indonesia. PR besar ini bisa dimulai dari penggantian KUHP.
Kebutuhan akan KUHP sendiri ini juga sejatinya telah lama digaungkan. Sejak tahun 1963, guru besar hukum di UNDIP dan UGM sudah mulai merumuskan KUHP baru. Berbagai macam draft RUU disusun setiap waktu, namun tak kunjung disahkan. Dari mulai ketentuan denda dengan tolak ukur emas hingga kategori pernah dibahas dalam draft RUU. Mulai dari pasal perdukunan hingga penghinaan presiden tak luput dari perdebatan panjang.
Saya pribadi tidak terlalu tertarik membahas tentang delik-delik pidana yang kontroversial, seperti delik gelandangan, perdukunan, zina, penghinaan presiden, bahkan terkait hewan ternak. Itu sudah banyak pembahasannya. Yang kontra ya banyak, yang pro ya setidaknya penjabaran dari Prof. Muladi, Prof. Barda Nawawi, dan Prof. Andi Hamzah sudah cukup memberi data pembanding atas munculnya pasal-pasal kontroversial itu.
Bagi saya yang terpenting, pengesahan RKUHP menjadi mutlak dilakukan. Hal ini terkait dengan proses pengenalan hukum di Buku Kesatu RKUHP yang cukup progresif dan jauh lebih hebat dari KUHP sekarang. Kontroversi-kontroversi yang ada sekarang kan biasanya terkait dengan delik pidana yang itu diatur dalam Buku Kedua, hampir jarang menyentuh Buku Kesatu. Padahal fondasi pemikiran para perumus RKUHP sejatinya ada dalam Buku Kesatu. Isi dari Buku Kedua sebagiannya hanyalah copy paste dari KUHP lama dan masukan dari elemen-elemen masyarakat. Misalnya tentang delik zina, itu ya masukan dari ormas-ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah (begitu Prof. Muladi sampaikan dalam seminarnya di UNDIP). Begitu pula delik hewan ternak, itu masukan dari para petani yang lahannya sering dirusak oleh hewan ternak milik tetangganya, yang jika menggugat malah segan karena dianggap akan menimbulkan permusuhan antar warga. Begitu pula perdukunan, itu masukan dari masyarakat dan penegak hukum agar para pelaku perdukunan bisa diproses hukum tanpa harus melalui kejadian tragis rumahnya dibakar dan orangnya diusir oleh masyarakat. Termasuk pasal penghinaan presiden, itu tidak lain ya hanya copy paste saja dari KUHP sebelumnya. Walau sudah dibatalkan MK, tetep saja masuk lagi. Hal-hal semacam ini bukan lagi produk akademik dari para perumus RKUHP, namun lebih pada realita sosial yang dihadapi masyarakat. Adapun cara penyampaian diksi kalimat dalam RKUHP yang berimplikasi terhadap tidak jelasnya unsur-unsur pasal, memang nyata terjadi.
Namun sekali lagi, gagasan para akademisi hukum pidana di Indonesia yang menjadi perumus RKUHP, harus dilihat di Buku Kesatu. Teori pemidanaan yang berubah drastis dari KUHP sekarang, termasuk prioritas keadilan hukum ketimbang kepastian hukum, dan juga akomodir hukum pidana adat, menjadi terobosan baru yang patut disyukuri. Memang, untuk ketentuan hukum pidana adat ini pasti akan mengalami pro-kontra, karena hukum adat dianggap tidak memiliki kepastian hukum. Namun kita tidak bisa menutup mata, dibanyak daerah di Indonesia utamanya di luar Jawa, hukum adat itu masih banyak yang eksis. Bahkan menurut Prof. Ratno, sejatinya Indonesia itu cocok dengan sistem common law yang didasarkan pada unwritten law, karena hukum ini telah berkembang dan eksis bahkan sebelum Belanda menginjakkan kakinya di bumi Nusantara.
Lagi pula, saya meyakini saat nantinya RKUHP disahkan, dalam beberapa tahun kedepan akan menghadapi revisi-revisi lanjutan. Hal ini bisa kita tarik pelajaran dari amandemen UUD, dimana sejak kita merdeka hingga tahun 1998, menyitir perkataan Prof. Mahfud, bangsa ini takut melakukan amandemen UUD. Hal yang dilakukan hanyalah penggantian konstitusi misalnya diganti ke UUD RIS dan UUDS. Adapun upaya amandemen baru berani dilakukan bangsa ini pada tahun 1999. Dan pembaca tau apa langkah selanjutnya? Bangsa ini ketagihan melakukan amandemen. UUD secara berurutan diamandemen sebanyak 4 kali pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Hal yang sama bagi saya, akan menimpa RKUHP. Saat disahkan, bangsa ini—melalui parlemen—akan ketagihan untuk melakukan revisi. Tentu saja revisi ini didasarkan pada hasil implementasi yang mungkin butuh perbaikan dan penghapusan pasal.
Selain itu, pasal-pasal di Buku Kedua yang tidak cocok juga bisa dibatalkan oleh MK. Jika dalam impelementasinya dirasa menjadi pasal-pasal karet dan bernuansa otoritarianisme, maka MK bisa mengambil peran disitu.
Bagi saya, faktor terpenting dalam RKUHP tetap berada di Buku Kesatu. Ini yang akan menjadi modal kita mereformasi sistem hukum Indonesia. Cara pandang bangsa ini harus diubah sedikit demi sedikit dengan pola pikir hukum yang bersistemkan Pancasila. Misalnya dalam tolak ukur sistem hukum adat, sebagian besar praktisi hukum di Indonesia, masih menganggap bahwa asas legalitas itu didasarkan pada hukum tertulis (written law), sehingga bagi mereka, hukum adat tidak sah menjadi hukum nasional. Hal ini dibantah langsung oleh Prof. Barda, bahwa sejatinya mereka hanya berpandangan asas legalitas dalam sudut pandang legalitas formil saja, tidak masuk dalam legalitas materiil yang itu menjadi hal yang dimungkinkan.
Oleh karena itu, pengesahan RKUHP ini mutlak dilakukan. Sosialisasi atas gagasan yang tertuang dalam Buku Kesatu RKUHP tidak akan cukup dilakukan dalam waktu yang singkat. Butuh waktu bertahun-tahun agar bangsa ini paham perubahan drastis terhadap teori dan konsep hukum pidana Indonesia yang baru. Begitu juga, mahasiswa hukum harus sudah siap mengikuti cara pandang baru yang tertuang dalam Buku Kesatu RKUHP, sehingga cara pandangnya tidak lagi terjajah dengan dogma civil law dan positivistik.
Lalu bagaimana dengan pasal-pasal yang kontroversial itu? Mari kita membuka mata. Pada tahun 2019 saat DPR hendak mengesahkan RKUHP, berapa pasal yang dianggap kontroversial oleh mahasiswa? Setiap media memberitakan beragam, namun yang saya amati dari berbagai sumber, jumlah pasal yang dianggap kontroversial dari ratusan pasal di RKUHP tidak lebih dari 15 pasal. Sebagian besar media hanya menyorot 12 pasal saja yang dianggap kontroversial. Dan tahukah pembaca, ke-12 pasal yang dianggap kontroversial itu, hampir semuanya berada di Buku Kedua, bukan di Buku Kesatu yang menjadi paradigma hukumnya.
Hal ini sebetulnya bisa disiasati dengan mudah, andaikan setiap pihak mau untuk berpikir jernih. Ada beberapa masukan yang bisa saya sampikan terkait dengan pasal-pasal kontroversial ini, yaitu:
- Belasan pasal kontroversial tersebut hampir pasti akan menjadi kontroversi yang tidak akan ada ujungnya. Misalnya, bagi ormas Islam, delik zina adalah harga mati. Namun bagi mahasiswa, itu dianggap sebagai pelanggaran privasi. Walaupun dalam RKUHP dijelaskan bahwa delik zina ini tidak berlaku nasional dan harus diperkuat oleh Perda, namun delik ini akan tetap kontroversi, karena cara pandangnya berbeda. Yang satu berpegang pada firman Tuhan, satu lagi berpegang pada kebebasan individu.
- Nah, pasal-pasal kontroversial yang ada tersebut, WAJIB dikeluarkan dari RKUHP. Mengapa? Karena itu menghambat proses pengesahan RKUHP. Mau sampai kapan bangsa ini sepakat terhadap delik zina misalnya? Tidak akan ada ujungnya. Yang satu tetap pro, yang satu akan tetap kontra. Nyaris hampir tidak ada jalan tengah. Oleh karena bagi saya yang terpenting adalah berlakunya Buku Kesatu RKUHP, maka pasal-pasal kontroversial yang berada di Buku Kedua itu lebih baik dikeluarkan. Delik gelandangan, penghinaan presiden, perdukunan, dan lain-lainnya itu, lebih baik dicabut secara penuh dari RKUHP.
- Nah, jika sudah dicabut dan RKUHP tidak memiliki kendala berarti dan hampir disepakati oleh banyak pihak, maka RKUHP sudah bisa disahkan.
- Lantas untuk pasal-pasal kontroversial yang tadi dibagaimanakan? Dalam pandangan saya, belasan pasal yang kontroversial itu bisa diajukan RUU baru sebagai hukum pidana khusus. Misalnya nanti bisa diajukan RUU tentang Perzinaan, RUU tentang Penghinaan Presiden, dan lain-lain. Biarkan masyarakat kembali pro-kontra terkait setiap isu yang ada. Yang terpenting, bangsa ini sudah tercerabut dari akar penjajahan hukum Belanda, dan mulai menatap dan menyongsong jalan hukumnya sendiri. Sekian.
~~~~~~~~~~~~~~~
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri
(idikms@gmail.com)
~~~~~~~~~~~~~~~