Ibu kota Nusantara sudah pasti akan diwujudkan dengan disahkannya UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (selanjutnya disebut UU IKN). Polemik-polemik sebelumnya yang menuai pro-kontra terhadap kehadiran ibu kota negara baru ini, akhirnya harus selesai dengan kesepakatan politik di tingkat nasional. Dengan disahkannya UU IKN, setiap orang mau tidak mau harus menerima kenyataan bahwa ibu kota akan pindah.

Namun tentu sebagai negara hukum, Indonesia menyediakan mekanisme hukum bagi mereka yang tidak sependapat dengan suatu peraturan perundang-undangan. Beberapa pihak saat ini sedang mengajukan judicial review UU IKN ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan banyak pertimbangan seperti masalah keuangan negara yang terlibat dalam pembangunan IKN, para pemohon tersebut mengharap MK membatalkan UU IKN.

Dalam kaca mata saya, judicial review UU IKN ke Mahkamah Konstitusi ini tidak akan berjalan mulus. Pembangunan ibu kota negara baru ini secara hukum tidak bertentangan dengan konstitusi, karena itu merupakan suatu program politik yang digagas oleh pemerintah. Hal paling logis yang bisa dijadikan dasar permohonan ya UU yang terkait dengan keuangan negara, misalnya UU APBN. Itupun bagi saya, MK tetap akan menolak judicial review yang dimohonkan.

Kemungkinan jalur hukum di Mahkamah Konstitusi ini menjadi babak pertama kita melihat skenario kelangsungan ibu kota negara baru. Dalam pandangan saya, MK akan menolak permohonan judicial review UU IKN ini, dengan dasar pertimbangan kebijakan pemindahan ibu kota negara tidak melanggar satupun pasal di UUD NRI 1945, dan jikapun tolak ukurnya menggunakan UU lain seperti UU APBN, akan tetap mental karena UU APBN sendiri merupakan rangkaian program pembangunan dan politik yang sama-sama digagas oleh pemerintah.

Karena babak pertama skenario yang kita bahas ini mudah ditebak, maka kita mulai babak kedua ke ranah politik. Bagi saya, kelangsungan ibu kota negara baru ini sangat tergantung pada kontestasi politik pada tahun 2024 mendatang. Itu mungkin alasan kenapa beberapa waktu yang lalu muncul adanya isu perpanjangan jabatan presiden menjadi 3 periode. Ini salah satunya bisa jadi untuk menyelamatkan program pemindahan ibu kota negara.

Mengapa tahun 2024 ini menjadi dasar kelangsungan pemindahan ibu kota negara? Karena ini berkaitan dengan pemindahan kekuasaan yang berimplikasi terhadap perubahan arah kebijakan dan program pemerintah. Jika seandainhya yang terpilih pada tahun 2024 nanti adalah orang yang secara politik berseberangan dengan kubu Jokowi, maka bukan mustahil pemerintahan selanjutnya akan membatalkan pemindahan ibu kota negara. Ini tidak lain untuk mempermalukan pemerintahan sebelumnya.

Bukan rahasia lagi, setiap pemerintahan baru akan menjatuhkan pamor pemerintahan yang lama untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan. Saat pak Jokowi berkuasa, untuk mendapatkan simpati publik, entah kenapa, hampir semua kasus-kasus di era SBY banyak yang terbongkar. Begitupun saat SBY mulai berkuasa, setiap program kerja Megawati menjadi isu yang menjadi incaran kritik. Begitu era reformasi lahir, maka narasi-narasi anti-orde baru juga menguat. Saat orde baru berkuasa, orde lama menjadi kambing hitam. Memang begitulah politik, setiap  pihak yang berkuasa akan melakukan setiap upaya untuk mendapatkan kepercayaan publik, dengan salah satunya menyasar kelemahan pemerintahan sebelumnya.

Untuk hal ini, saya pribadi malah berpikir positif terhadap fenomena semacam ini. Bagi saya, pemerintahan itu seharusnya bergantian, tidak boleh satu kubu menguasai berpuluh-puluh tahun. Mengapa? Menurut saya, setiap rezim itu tidak mungkin ada yang bersih. Pasti ada noda-noda besar yang tercipta dari tangan-tangan kekuasaan. Jika satu kubu menguasai berpuluh-puluh tahun, maka noda-noda itu sulit untuk terungkap. Namun jika terjadi roling kekuasaan, maka akan dengan mudah terbongkar. Bagi saya, penegakan hukum terbaik di negara yang korup adalah perpindahan kekuasaan dari oposisi menjadi penguasa. Dengan oposisi naik takhta menjadi penguasa, setiap kebobrokan di era sebelumnya akan terungkap.

Nah mari kita kembali fokus ke persoalan pemindahan ibu kota. Ada beberapa skenario yang ada dalam pikiran saya tentang kelangsungan pemindahan ibu kota baru ini, diantaranya:

  1. Tolak ukur jadi atau tidaknya pemindahan ibu kota bergantung pada proses pembangunannya hingga 2024. Jika sampai 2024 pembangunan ibu kota di Kalimantan Timur itu sudah terlaksana lebih dari sekitar 40% atau 50%, maka sudah dapat dipastikan ibu kota akan pindah. Siapapun yang berkuasa nantinya, harus mau tidak mau melanjutkan pembangunannya, karena pembangunan yang sudah 50% dengan anggaran yang sudah terlanjur keluar sedemikian banyaknya hampir sulit digagalkan.
  2. Dari skenario nomor 1 tersebut, masih ada kemungkinan ibu kota tidak jadi pindah, jika seandainya muncul isu besar bahwa pembangunan yang telah dilakukan diwarnai dengan kasus korupsi. Itu bisa lain lagi ceritanya.
  3. Jika pembangunan ibu kota negara yang baru belum terlaksana hingga 40% atau 50%, maka kelangsungan ibu kota negara ditentukan oleh hal berikut:
  • Jika yang berkuasa nantinya adalah orang-orang yang satu kubu dengan Jokowi, maka pembangunan ibu kota negara baru akan tetap dilanjutkan.
  • Namun jika yang terpilih sebagai presiden nantinya lahir dari orang-orang yang anti terhadap Jokowi, maka siap-siap kita akan menghadapi lahirnya Perpu pertama dalam pemerintahan yang baru.

Dari uraian skenario diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa jadi atau tidaknya pemindahan ibu kota lebih banyak didominasi oleh faktor-faktor politik. Siapa yang berkuasa nantinya akan mempengaruhi arah kebijakan selanjutnya. Walau memang sudah lahir UU IKN, perpindahan ibu kota negara ini nyatanya masih bisa terlaksana atau bahkan gagal secara tragis. Sekian.

 

~~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~~