Pengutipan = (Idik Saeful Bahri, 2021, Konsep Dasar Ilmu Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia, Kuningan: Bundaran Hukum, hlm. 37-39)

 

Karakteristik Norma Hukum

Beberapa ahli hukum menganggap kata “norma” sinonim dengan kata “kaidah”, namun jika ditinjau dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka kedua kata tersebut memiliki arti yang berlainan. Walau berlainan, kedua istilah tersebut tetap merujuk pada satu pokok bahasan yakni aturan. Kata “norma” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai aturan atau ketentuan yang mengikat semua atau sebagian warga masyarakat; aturan yang baku; ukuran untuk menentukan sesuatu.[1] Sedangkan kata “kaidah” dalam kamus berarti perumusan asas-asas yang menjadi hukum; aturan tertentu; patokan; dalil.

Norma pada umumnya dibagi menjadi dua yaitu norma etika dan norma hukum. Norma etika meliputi norma kesusilaan, norma agama, dan norma kesopanan. Ketiga norma tersebut jika dibandingkan satu sama lain, dapat digambarkan bahwa norma agama dalam arti vertikal dan sempit bertujuan untuk kesucian hidup pribadi, norma kesusilaan bertujuan agar terbentuk kebaikan akhlak pribadi, sedangkan norma kesopanan bertujuan untuk mencapai kesedapan hidup bersama antar pribadi.[2]

Dilihat dari segi tujuannya, norma hukum bertujuan membangun cita kedamaian hidup antar pribadi, keadaan damai terkait dimensi lahiriah dan batiniah yang menghasilkan keseimbangan antara ketertiban dan ketentraman. Tujuan kedamaian hidup bersama dimaksud dikaitkan pula dalam perwujudan kepastian, keadilan dan kebergunaan/kemanfaatan.[3]

Dari segi isi, norma hukum dapat dibagi menjadi tiga: pertama, norma hukum yang berisi perintah yang mau tidak mau harus dijalankan atau ditaati. Kedua, norma hukum yang berisi larangan, dan ketiga, norma hukum berisi perkenaan yang hanya mengikat sepanjang para pihak yang bersangkutan tidak menentukan lain dalam perjanjian.[4]

Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, norma hukum memiliki sifat antara lain:[5]

  1. imperatif, yaitu perintah yang secara apriori harus ditaati baik berupa suruhan maupun larangan;
  2. fakultatif, yaitu tidak secara apriori mengikat atau wajib dipatuhi.

Sifat imperatif dalam norma hukum biasa disebut dengan memaksa (dwingenrecht), sedangkan yang bersifat fakultatif dibedakan antara norma hukum mengatur (regelendrecht) dan norma hukum yang menambah (aanvullendrecht). Terkadang terdapat pula norma hukum yang bersifat campuran atau yang sekaligus memaksa dan mengatur.[6]

Norma hukum dapat pula dibedakan antara yang bersifat umum dan abstrak, serta yang bersifat konkret dan individual. Norma hukum bersifat abstrak karena ditujukan kepada semua subjek yang terkait tanpa menunjuk atau mengaitkan dengan subjek konkret, pihak dan individu tertentu. Sedangkan norma hukum yang konkret dan individual ditujukan kepada orang tertenu, pihak atau subjek-subjek hukum tertentu atau peristiwa dan keadaan-keadaan tertentu.[7]

Maria Farida mengemukakan ada beberapa kategori norma hukum dengan melihat bentuk dan sifatnya, yaitu:[8]

  1. Norma hukum umum dan norma hukum individual. Norma hukum umum adalah suatu norma hukum yang ditujukan untuk orang banyak (addressatnya) umum dan tidak tertentu. Sedangkan norma hukum individual adalah norma hukum yang ditujukan pada seseorang, beberapa orang atau banyak orang yang telah tertentu.
  2. Norma hukum abstrak dan norma hukum konkret. Norma hukum abstrak adalah suatu norma hukum yang melihat pada perbuatan seseorang yang tidak ada batasnya dalam arti tidak konkret. Sedangkan norma hukum konkret adalah suatu norma hukum yang melihat perbuatan seseorang itu secara lebih nyata (konkret).
  3. Norma hukum yang terus-menerus dan norma hukum yang sekali selesai. Norma hukum yang berlaku terus menerus (dauerhaftig) adalah norma hukum yang berlakunya tidak dibatasi oleh waktu, jadi dapat berlaku kapan saja secara terus menerus, sampai peraturan itu dicabut atau diganti dengan peraturan yang baru. Sedangkan norma hukum yang berlaku sekali selesai (einmalig) adalah norma hukum yang berlakunya hanya satu kali saja dan setelah itu selesai, jadi sifatnya hanya menetapkan saja sehingga dengan adanya penetapan itu norma hukum tersebut selesai.
  4. Norma hukum tunggal dan norma hukum berpasangan. Norma hukum tunggal adalah norma hukum yang berdiri sendiri dan tidak diikuti oleh suatu norma hukum lainnya, jadi isinya hanya merupakan suatu suruhan tentang bagaimana seseorang hendaknya bertindak atau bertingkah laku. Sedangkan norma hukum berpasangan terbagi menjadi dua, yaitu: norma hukum primer yang berisi aturan/patokan bagaimana cara seseorang harus berperilaku di dalam masyarakat; dan norma hukum sekunder yang berisi tata cara penanggulangannya apabila norma hukum primer tidak dipenuhi atau tidak dipatuhi.

 

~~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~~

__________

[1] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Jakarta: Kamus Bahasa Indonesia, hlm 1007.

[2] Jimmly Asshiddiqie, 2011, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Rajawali Pers, hlm3.

[3] Ibid.

[4] Ni’matul Huda dan Riri Nazriyah, 2015, Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Bandung: Nusa Media, hlm. 16.

[5] Purnadi Purbacaraka dan Soejono Soekanto, 1982, Perihal Kaidah Hukum, Bandung: Alumni, hlm. 49.

[6] Jimmly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 4.

[7] Ibid.

[8] Maria Farida Indrati S., 2012, Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Cet. 13, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 26-31.