Pengutipan = (Idik Saeful Bahri, 2021, Konsep Dasar Ilmu Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia, Kuningan: Bundaran Hukum, hlm. 41-44)
Teori Etis (Keadilan Hukum)
Menurut teori ini, hukum hanya diciptakan semata-mata untuk meraih keadilan. Teori etis ini pertama kali dicetuskan oleh Aristoteles dalam karyanya “Ethica Nicomachea” yang menjelaskan bahwa hukum memiliki tugas suci yaitu memberi keadilan kepada setiap orang yang berhak menerimanya.
Keadilan adalah perekat tatanan kehidupan bermasyarakat yang beradab. Hukum diciptakan agar setiap individu anggota masyarakat dan penyelenggara negara melakukan sesuatu tidakan yang diperlukan untuk menjaga ikatan sosial dan mencapai tujuan kehidupan bersama atau sebaliknya agar tidak melakukan suatu tindakan yang dapat merusak tatanan keadilan. Jika tindakan yang diperintahkan tidak dilakukan atau suatu larangan dilanggar, tatanan sosial akan terganggu karena terciderainya keadilan. Untuk mengembalikan tertib kehidupan bermasyarakat, keadilan harus ditegakkan. Setiap pelanggaran akan mendapatkan sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran itu sendiri.[1]
Menurut John Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Hal ini terjadi jika dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang. Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak. Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu: pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.[2]
Keadilan berbasis persamaan, didasarkan atas prinsip bahwa hukum mengikat semua orang, sehingga keadilan yang hendak dicapai oleh hukum dipahami dalam konteks kesamaan. Kesamaan yang dimaksudkan disini terdiri dari atas kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik berprinsip kesamaan derajat atas setiap orang di hadapan hukum, sedangkan kesamaan proporsional adalah memberi kepada setiap orang apa yang sudah menjadi haknya. Keadilan distributif, hal ini identik dengan keadilan proporsional, dimana keadilan distributif berpangkal pada pemberian hak sesuai dengan besar kecilnya jasa, sehingga dalam hal ini keadilan bukan hanya didasarkan pada persamaan, melainkan sesuai dengan porsinya masing-masing (proporsional). Keadilan korektif, pada dasarnya merupakan keadilan yang bertumpu pada pembetulan atas suatu kesalahan, misalnya apabila ada kesalahan orang yang menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka orang yang mengakibatkan munculnya kerugian, harus memberikan ganti rugi (kompensasi) kepada pihak yang menerima kerugian untuk memulihkan keadaannya sebagai akibat dari kesalahan yang dilakukan.
Hukum sebagai pengemban nilai keadilan menurut Radbruch menjadi ukuran bagi adil tidak adilnya tata hukum. Tidak hanya itu, nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai suatu hukum. Dengan demikian, keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum. Keadilan menjadi dasar bagi tiap hukum positif yang bermartabat.[3]
Keadilan menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolok ukur sistem hukum positif. Kepada keadilanlah hukum positif berpangkal. Sedangkan konstitutif, karena keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum sebagai hukum. Tanpa keadilan, sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum. Apabila, dalam penegakan hukum cenderung pada nilai kepastian hukum atau dari sudut peraturannya, maka sebagai nilai ia telah menggeser nilai keadilan dan kegunaan/kemanfaatan. Hal ini dikarenakan, di dalam kepastian hukum yang terpenting adalah peraturan itu sendiri sesuai dengan apa yang dirumuskan. Begitu juga ketika nilai kegunaan lebih diutamakan, maka nilai kegunaan akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan karena yang penting bagi nilai kegunaan adalah kenyataan apakah hukum tersebut berguna bagi masyarakat. Demikian juga, ketika yang diperhatikan hanya nilai keadilan, maka akan menggeser nilai kepastian hukum dan kegunaan. Sehingga, dalam penegakan hukum harus ada keseimbangan antara ketiga nilai tersebut.
Gustav Radbruch menuturkan bahwa hukum adalah pengemban nilai keadilan, keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum. Bersifat normatif karena kepada keadilanlah, hukum positif berpangkal. Bersifat konstitutif karena keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum, tanpa keadilan, sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum.[4]
Hal ini memperhatikan pula asas prioritas yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch bahwa untuk menerapkan hukum secara tepat dan adil untuk memenuhi tujuan hukum maka yang diutamakan adalah keadilan, kemudian kemanfaatan setelah itu kepastian hukum.[5]
Konsep keadilan sebagaimana yang dikemukakan oleh Teguh Prastyo tentang keadilan bermartabat adalah: “keadilan bermartabat memandang pembangunan sistem hukum yang khas Indonesia. Bagaimana sistem hukum positif memberi identitas dirinya, ditengah-tengah pengaruh yang sangat kuat dari system-sitem hukum dunia yang ada saat ini dan dengan sangat keras seolah-olah melakukan kedalam cara berhukum bangsa Indonesia.[6]
Teori keadilan bermartabat mencatat suatu sikap dalam pembangunan sistem hukum berdasarkan Pancasila. Dikemukakan, bahwa sistem hukum Indonesia tidak menganut sistem hukum secara mutlak statute law atau civil law, dan juga tidak mutlak menganut sistem common law, sekalipun banyak yang mendukung pendapat bahwa sistem judge made law itu menjunjung tinggi harkat dan martabat hakim sebagai lembaga atau institusi pencipta hukum.
Namun suatu ciri yang menonjol dari teori keadilan bermartabat adalah bahwa dalam melakukan penyelidikan untuk menemukan kaidah dan asas-asas hukum dalam melalui lapisan-lapisan ilmu hukum sebagaimana telah dinyatakan di atas, teori keadilan bermartabat menjaga keseimbangan pandangan yang berbeda pada lapisan-lapisan ilmu hukum itu sebagai suatu konflik. Teori keadilan bermartabat menjauhkan sedini mungkin konflik dalam (conflict within the law).[7]
~~~~~~~~~~~~~~~
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri
(idikms@gmail.com)
~~~~~~~~~~~~~~~
___________
[1] Moh. Mahfud MD, Penegakan Hukum dan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik, Bahan pada Acara Seminar Nasional “Saatnya Hati Nurani Bicara” yang diselenggarakan oleh DPP Partai HANURA. Mahkamah Konstitusi Jakarta, 8 Januari 2009.
[2] John Rawls, 1973, A Theory of Justice, London: Oxford University Press, 1973, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, 2006, Teori Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[3] Yovita A. Mangesti & Bernard L. Tanya, 2014, Moralitas Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing, hlm. 74.
[4] Bernard L Tanya, dkk, 2013, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publising, Yogyakarta, hlm 117.
[5] Satjipto Rahardjo, 2012, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 20.
[6] Teguh Prasetyo, 2015, Keadilan Bermartabat, Bandung: Nusa Media, hlm. 17.
[7] Ibid., hlm. 18.