Fenomena asal klaim dari beberapa penceramah Islam terhadap sesuatu atau terhadap seseorang, sudah berlangsung cukup lama sejak eksistensi Islam sebagai cahaya di panggung dunia redup dan runtuh. Perlahan, umat Islam mengalami kemunduran. Sekali lagi saya tegaskan, umat Islam yang mengalami kemunduran, bukan Islam itu sendiri.

Kasus yang terbaru, seorang penceramah dengan begitu yakin menyebut bahwa Kapitan Pattimura sebagai seorang muslim, bahkan sebagai seorang ulama besar yang hafal al-Qur’an. Ustadz yang lain bahkan menambahkan, Sisingamangaraja juga termasuk seorang muslim.

Sebetulnya, melempar isu semacam ini tidaklah salah. Kita tidak bisa melarang orang untuk menyampaikan pendapatnya. Namun dalam forum kajian, hendaknya itu disampaikan dengan bukti atau catatan sejarah. Jika ustadz-ustadz tadi memberikan penjelasan lebih bahwa apa yang mereka sampaikan itu memang memiliki bukti penguat, itu jauh lebih baik. Biarkan nanti sejarawan yang akan mengkonfirmasi, apakah bukti atau catatan sejarah yang disampaikan itu valid atau tidak.

Jika hanya melempar isu saja, justru menjadi bumerang bagi umat Islam. Ini menunjukkan bahwa umat Islam tidak pede sebagai komunitas yang besar. Ini hanya memperlihatkan bahwa umat Islam utamanya golongan kiai dan ulama, tidak memiliki peran yang besar dalam kemerdekaan, karena dianggap umat Islam ini mengislam-islamkan segala sesuatu yang mungkin memang bukan Islam.

Sangat disayangkan, jika obrolan-obrolan di masjid dan di ruang mengaji yang menggaungkan bahwa para ulama lah yang zaman dulu melawan kolonialisme, harus dengan pembuktian mengislam-islamkan tokoh orang lain tanpa bukti. Dengan sikap seperti itu, secara tidak langsung mengeliminasi pernyataan dan obrolan di masjid-masjid dan di ruang mengaji tadi. “Apa jangan-jangan obrolan selama ini kita salah ya, sampe-sampe harus klaim sana sini…”

Biarlah sejarah dan latar belakang Pattimura dan Sisingamangaraja itu dikaji oleh ahlinya, para sejarawan. Sebetulnya yang ingin saya sampaikan, stok nama-nama ulama yang dulu memang melawan kolonialisme itu banyak sekali. Tanpa harus mengklaim Pattimura dan Sisingamangaraja pun, kita patut berbangga bahwa tokoh Islam dulu, dari kalangan kiai dan ulama, memang sudah  melakukan perlawanan terhadap bentuk kolonialisme. Sebut saja salah satunya adalah kiai yang berasal dari Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Namanya Eyang Hasan Maolani.

Beliau ini adalah pejuang kemerdekaan. Pada awal abad ke-19, sekitaran awal tahun 1800an, Hasan Maolani ini sering berkonflik dengan pemerintah Hindia Belanda. Sebagai seorang ulama, gagasan untuk merdeka mulai digaungkan oleh Hasan Maolani kepada para santrinya juga kepada masyarakat.

Seiring berjalannya waktu, doktrin jihad yang ditanamkan Hasan Maolani dalam memerangi Belanda memberikan implikasi terhadap ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah kolonial. Upaya pergerakan dibawah tanah oleh Hasan Maolani juga dilakukan untuk menyerang Belanda. Hingga akhirnya pihak kolonial Belanda menangkap Hasan Maolani dengan tuduhan menyebarkan ajaran sesat dan melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial, sampai membuangnya ke wilayah yang sekarang masuk wilayah administratif kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.

Sejak tempat buangan Belanda di Sri Lanka diambil alih oleh  Inggris, tempat buangan Belanda bagi para pejuang kemerdekaan dipindahkan ke kawasan kerasidenan Manado. Termasuk diantaranya yang dibuang kesana adalah Kiai Modjo beserta 62 prajuritnya, Kiai Ahmad Rifai, dan Tuanku Imam Bondjol.

Hasan Maolani adalah salah satu contoh saja kiai atau ulama di era kolonialisme yang melakukan perlawanan dan dianggap sebagai ancaman bagi pihak Belanda. Jika merunut pada sejarah yang sudah banyak ditulis, termasuk oleh saya dalam buku yang berjudul “Gegap Gempita Perjalanan Sejarah dan Upaya Status Kepahlawanan Eyang Hasan Maolani Lengkong”, Hasan Maolani ini layak dianugerahi gelar pahlawan nasional.

Namun, upaya penganugerahan gelar ini sifatnya administratif. Dan dalam peraturan perundang-undangan, berkas-berkas dan aktivitas-aktivitas persyaratan untuk mengajukan seseorang sebagai pahlawan nasional sangat banyak sekali. Hasan Maolani ini sejatinya pernah diajukan sebagai pahlawan nasional pada tahun 2009, namun belum membuahkan hasil karena kurangnya persyaratan. Tapi tetap mendapatkan pengakuan dari pemerintah daerah Kabupaten Kuningan dengan mengabadikan nama Eyang Hasan Maolani sebagai nama jalan.

Syarat administratif seperti pelampiran foto atau sketsa, bukti penelitian dalam buku dan jurnal ilmiah, serta penyampaian beberapa kali seminar nasional di universitas, menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi. Dan itu membutuhkan waktu dan kekompakan. Butuh adanya suatu tim khusus yang menjadi relawan pengajuan gelar pahlawan nasional. Pantas saja UGM membutuhkan waktu hampir 9 tahun dalam memperjuangkan dr. Sardjito sebagai pahlawan nasional. Bahkan waktu 23 tahun masih belum cukup bagi pengajuan Pakualam VIII. Sampai saat ini, para keturunannya masih berjuang dalam pengajuan Pakualam VIII sebagai pahlawan nasional.

Sekali lagi, ini tentang administrasi. Sejatinya, negara ini wajib menghargai dan menghormati jasa-jasa orang masa lalu yang berjuang demi terbebasnya bangsa ini dari cengkraman kolonialisme. Namun sekali lagi, negara juga membutuhkan tahap administrasi agar pemberian gelar pahlawan nasional ini bisa dilakukan tepat sasaran dan tidak diberikan secara serampangan.

Pengajuan seseorang sebagai pahlawan nasional ini mutlak dibutuhkan sebuah tim khusus. Dan untuk pengajuan Eyang Hasan Maolani, tim itu belum ada, karena belum adanya kesadaran kolektif dari para anak keturunannya. Sebagian anak keturunan Eyang Hasan Maolani kadang berkomentar sinis, “’tanpa gelar pahlawan nasional pun, Eyang itu sudah menjadi pahlawan di hati kami kok, dan sudah dihargai dikalangan masyarakat Lengkong dan Kuningan…” Dari tidak satu suaranya para anak keturunan Eyang Hasan Maolani, pengajuannya sebagai pahlawan nasional harus tersendat-sendat, karena mereka tidak memiliki kesamaan visi.

Menurut saya, ketimbang sibuk mengklaim sana sini, mengklaim orang lain sebagai tokoh Islam, apa salahnya jika membantu kami dalam mengawal pengajuan Eyang Hasan Maolani sebagai pahlawan nasional?

 

~~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~~