TUGAS 1
Dalam proses pembelajaran hukum acara, mahasiswa dituntut untuk familier dengan putusan-putusan hakim. Mendukung hal tersebut, tugas pengganti pertemuan ke 12 adalah mencari putusan hakim yang didalamnya Majelis Hakim menerima eksepsi tergugat dalam kasus wanprestasi.
Berikut alur yang bisa saudara lakukan dalam memenuhi tugas tersebut, yaitu:
- buka portal direktori putusan Mahkamah Agung, melalui link: https://putusan3.mahkamahagung.go.id/ ;
- dalam kolom “Direktori” sebelah kiri atas (mohon gunakan Personal Computer agar bisa diikuti secara seksama), pilih “Perdata”;
- pada bagian kolom “Klasifikasi” bagian kiri agak bawah, klik “Wanprestasi”;
- saudara bebas menentukan putusan hakim dari pengadilan manapun, bahkan saudara bebas memilih baik putusan di tingkat Judex Facti maupun Judex Juris;
- pilih 5 putusan hakim yang didalamnya memuat majelis hakim menerima eksepsi tergugat.
TUGAS 2
Buatlah jawaban tergugat dari soal Tugas 2 dan 3. Pada intinya, saudara diminta oleh bapak Rahmatsyah untuk menjadi kuasa hukumnya. Beliau datang menghadap saudara di law firm yang beralamat di Jalan Gajah Mungkur No.78, Kabupaten Sorong. Saudara akan mendampingi bapak Rahmatsyah selama proses litigasi di pengadilan.
Untuk hal-hal yang tidak diatur didalam soal, saudara diperbolehkan untuk membayangkan alur cerita yang sesuai, sehingga jawaban tergugat menjadi logis dan argumentatif.
ADA 2 TUGAS :
- buat surat kuasa dari bapak Rahmatsyah (diketik);
- buat jawabat tergugat, dengan ketentuan sebagai berikut:
- diketik menggunakan jenis font Times New Roman ukuran 12, dengan 1 spasi;
- minimal memuat 6 halaman;
- sebagaimana tugas sebelumnya, dosen menghimbau mahasiswa untuk tidak melakukan upaya copy-paste, namun tetap diketik ulang agar mahasiswa bisa mengikuti tugas ini dengan baik, himbauan ini berlaku pula dalam pembuatan surat kuasa.
TUGAS 3
Buatlah replik dari jawaban tergugat dan sekaligus membuat duplik dari replik penggugat berdasarkan soal sebelumnya. Sesuaikan alur cerita yang sesuai, sehingga replik dan duplik yang saudara buat memiliki alur peristiwa yang terkait antara satu dengan yang lainnya.
ADA 2 TUGAS :
- buat replik penggugat, dengan ketentuan sebagai berikut: diketik menggunakan jenis font Times New Roman ukuran 12, dengan 1 spasi; minimal memuat 4 halaman; sebagaimana tugas sebelumnya, dosen menghimbau mahasiswa untuk tidak melakukan upaya copy-paste, namun tetap diketik ulang agar mahasiswa bisa mengikuti tugas ini dengan baik, himbauan ini berlaku pula dalam pembuatan surat kuasa; simpan file dengan format .pdf ; bisa menambahkan footnote dan bodynote jika dibutuhkan. Dalam pembuatannya, diharapkan konsisten. Jika menggunakan satu model footnote, maka semua footnote itu memiliki model penulisan yang sama.
- buat duplik teergugat, dengan ketentuan sebagai berikut: diketik menggunakan jenis font Times New Roman ukuran 12, dengan 1 spasi; minimal memuat 4 halaman; sebagaimana tugas sebelumnya, dosen menghimbau mahasiswa untuk tidak melakukan upaya copy-paste, namun tetap diketik ulang agar mahasiswa bisa mengikuti tugas ini dengan baik, himbauan ini berlaku pula dalam pembuatan surat kuasa; simpan file dengan format .pdf ; bisa menambahkan footnote dan bodynote jika dibutuhkan. Dalam pembuatannya, diharapkan konsisten. Jika menggunakan satu model footnote, maka semua footnote itu memiliki model penulisan yang sama.
SOAL UTS
Isilah soal-soal UTS dibawah ini dengan mengikuti pedoman berikut:
- lengkapi identitas diri, mulai dari Nama, NIM, Semester, Kelas, dan Nama Mata Kuliah;
- jawaban ditulis tangan;
- tulisan diharapkan jelas dan mudah dibaca;
- isi jawaban dengan menggunakan logika hukum, kaidah-kaidah hukum, asas-asas hukum, teori-teori hukum (sebagaimana telah dipelajari dalam mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Hukum Indonesia), serta doktrin atau pendapat sarjanawan hukum yang relevan;
- dalam pengutipan pendapat sarjanawan hukum, mahasiswa bisa menggunakan skema bodynote, dengan format tanda kurung, nama terkenal dari sarjanawan hukum, tahun terbit buku atau jurnal, serta halaman. Contoh bodynote: (Mahfud MD, 2013: 14-15);
- hasil jawaban harap di scan hitam putih menggunakan aplikasi Scanner (misalnya: CamScanner), kemudian simpan dalam format .pdf ;
- setiap UTS akan diberikan soal sebanyak 5 butir, dengan masing-masing butir memiliki bobot nilai 20;
- jawaban mahasiswa yang tidak menjawab substansi dan tidak memiliki bobot jawaban yang logis dan argumentatif, serta adanya indikasi pengutipan yang tidak disertai sumber rujukan, maka dosen memiliki hak untuk tidak memberikan nilai pada jawaban tersebut.
Isilah soal-soal berikut disertai jawaban yang selaras dengan soal, logis dan argumentatif.
- Menurut saudara, apa perbedaan antara Hukum Materiil dan Hukum Formil?
- Bagaimana mekanisme proses beracara perdata di Pengadilan Negeri mulai dari pendaftaran gugatan sampai putusan hakim? Jelaskan pula setiap tahapan proses yang dilalui.
- Mengapa dalam perkara-perkara bisnis, para pihak jarang menggunakan media penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi di pengadilan? Asas apa yang dihindari para pelaku bisnis di Indonesia?
- Apa perbedaan “gugatan tidak diterima” dengan “gugatan ditolak”?
- Apa saja legal standing dalam hukum acara perdata di Indonesia? Mohon jelaskan apa perbedaan antara HIR dan RBg (dengan disertai kepanjangan dari peraturan tersebut), serta sebutkan jumlah pasal dalam HIR dan RBg.
SOAL UAS
Isilah soal-soal UAS dibawah ini dengan mengikuti pedoman berikut:
- lengkapi identitas diri, mulai dari Nama, NIM, Semester, Kelas, dan Nama Mata Kuliah;
- jawaban diketik menggunakan jenis font Times New Roman ukuran 12;
- isilah jawaban dengan menggunakan logika hukum, kaidah-kaidah hukum, asas-asas hukum, teori-teori hukum (sebagaimana telah dipelajari dalam mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Hukum Indonesia), serta doktrin atau pendapat sarjanawan hukum yang relevan;
- dalam pengutipan pendapat sarjanawan hukum, mahasiswa bisa menggunakan skema footnote, dengan format Nama Pengarang, Tahun Terbit, Judul Buku dicetak miring, Kota Terbit, titik dua, Nama Penerbit, Halaman. Contoh footnote: (Ari Hernawan, 2019, Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial, Yogyakarta: UII Press, hlm. 14-15);
- hasil jawaban disimpan dalam format .pdf ;
- setiap UAS akan diberikan soal sebanyak 5 butir, dengan masing-masing butir memiliki bobot nilai 20;
- jawaban mahasiswa yang tidak menjawab substansi dan tidak memiliki bobot jawaban yang logis dan argumentatif, serta adanya indikasi pengutipan yang tidak disertai sumber rujukan, maka dosen memiliki hak untuk tidak memberikan nilai pada jawaban tersebut;
- jawaban mahasiswa yang diduga berasal dari hasil perbuatan curang berupa menyontek, maka dosen berhak memberikan nilai 0 kepada mahasiswa yang menyontek maupun yang dicontek.
Isilah soal-soal berikut disertai jawaban yang selaras dengan soal, logis dan argumentatif.
- Analisislah, apakah putusan gugur secara otomatis dianggap sebagai putusan yang inkracht van gewijsde sejak dibacakannya putusan tersebut oleh majelis hakim? Atau ada jeda waktu tertentu sebagaimana putusan verstek? Perkuat jawaban saudara dengan dasar hukum dan argumentasi hukum yang kuat. Kemudian, apakah putusan gugur bisa dilaksanakan sita eksekusi? Perkuat jawaban saudara dengan logika
- Mengapa permohonan upaya hukum banding tetap harus diajukan ke Pengadilan di Tingkat Pertama (baca: Pengadilan Negeri)? Padahal proses pembuktian dan proses beracara dalam upaya hukum banding dilaksanakan di Pengadilan Tingkat Banding (baca: Pengadilan Tinggi). Memori banding dan kontra memori banding juga diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama, baru kemudian ditembuskan dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Tinggi. Mengapa permohonan banding tidak langsung diajukan ke Pengadilan Tinggi? Perkuat jawaban saudara dengan logika
- Kalimat “Demi Keadilan Berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa” atau yang biasa disebut dengan irah-irah selalu menjadi bagian penting dalam setiap putusan hakim. Saking pentingnya irah-irah, suatu putusan hakim yang tidak mencantumkan kalimat tersebut, maka implikasi hukumnya cukup serius yaitu putusannya dinyatakan batal demi hukum. Jika seandainya majelis hakim teledor dan lupa tidak mencantumkan irah-irah dalam putusannya, menurut saudara apakah itu berarti proses litigasi yang dijalani para pihak dari awal hingga akhir tidak bermakna apa-apa dan harus dilakukan gugatan baru serta menjalani proses litigasi ulangan? Atau justru bisa diajukan upaya hukum lanjutan?
- Terjadi sengketa perdata di Pengadilan Negeri Sorong antara Ramli sebagai penggugat dan Kodir sebagai tergugat. Objek sengketanya adalah benda bergerak berupa mobil Avanza yang dikuasai oleh Kodir. Dalam proses litigasi di persidangan, Ramli lupa memohonkan penyitaan terhadap mobil Avanza yang disengketakan
Tibalah waktunya hingga majelis hakim menjatuhkan putusannya. Dalam amar putusan, majelis hakim berpendapat—dengan berbagai macam pertimbangan—bahwa mobil Avanza tersebut secara sah merupakan milik Ramli (penggugat) dan meminta Kodir untuk menyerahkan mobil Avanza tersebut kepada Ramli.
Namun ternyata ketika hendak dilaksanakan sita eksekusi, mobil Avanza tersebut telah dialihkan oleh Kodir kepada Bakar dengan proses jual beli yang sah. Jual beli dilakukan ketika proses persidangan berlangsung, sehingga ketika majelis hakim menjatuhkan putusan, mobil tersebut telah berpindah tangan dan dikuasai Bakar.
Dengan kondisi yang terlanjur seperti itu, apa upaya yang bisa dilakukan oleh Ramli agar haknya untuk menguasai mobil Avanza tadi bisa terwujud? Atau carilah kemungkinan lain dimana Ramli bisa mendapatkan hak ganti rugi seharga mobil Avanza, sehingga Ramli tidak dirugikan dalam kasus tersebut.
- Gijzeling yang diatur dalam HIR dan RBg kemudian dihapuskan oleh SEMA 2/1964 dan SEMA 4/1975 yang kemudian diberlakukan kembali menggunakan PERMA 1/2000 secara umum mengganti penerjemahan Gijzeling dari “penyanderaan” menjadi “Paksa
Badan”, dengan alasan bahwa debitur tidak memenuhi kewajibannya dikarenakan “tidak mau memenuhi kewajiban”, bukan “tidak mampu”. Artinya, bisa jadi debitur tersebut mampu secara ekonomi untuk melaksanakan isi putusan, namun ia tidak mau melaksanakan isi putusan. Konsep ini mirip seperti kondisi debitur yang bisa dipailitkan. Dalam pertimbangan PERMA 1/2000, debitur yang tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar hutang-hutangnya, padahal ia mampu untuk melaksanakannya merupakan pelanggaran HAM yang nilainya lebih besar daripada pelanggaran Hak Asasi atas pelaksanaan Paksa Badan atau Gijzeling. Setujukah saudara dengan argumentasi PERMA tersebut, bahwa debitur yang tidak membayar hutang padahal ia mampu, maka dianggap sebagai pelanggaran HAM yang nilainya lebih besar dari Gijzeling itu sendiri? Seberapa urgensinya PERMA tentang Gijzeling ini dalam pelaksanaan putusan di Indonesia?