Pengutipan = (Idik Saeful Bahri, 2021, Konsep Dasar Ilmu Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia, Kuningan: Bundaran Hukum, hlm. 103-106)
Aliran Hukum
Ada banyak aliran hukum di dunia ini, dan bahkan antara satu zaman dengan zaman lainnya terus berkembang berbagai macam aliran hukum. Namun yang paling terkenal dan sering dikutip dalam referensi-referensi ilmu hukum, adalah sebagai berikut:
- Aliran Hukum Alam
Perkembangan aliran hukum alam telah dimulai sejak 2.500 tahun yang lalu, yang berangkat pada pencarian cita-cita pada tingkatan yang lebih tinggi.[1] Dalam konteks lintas sejarah, Friedmann[2] menyatakan bahwa aliran ini timbul karena kegagalan umat manusia dalam mencari keadilan yang absolut. Hukum alam di sini dipandang sebagai hukum yang berlaku universal dan abadi. Disadari bahwa aliran hukum alam merupakan media untuk mentransformasikan hukum sipil kuno pada zaman Romawi menuju pada zaman yang dianggap sebagai perkembangan dari zaman kuno tersebut. Dalam hal ini, gagasan mengenai hukum alam didasarkan kepada asumsi bahwa melalui penalaran hakikat makhluk hidup akan dapat diketahui, dan pengetahuan tersebut menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia.[3]
Aliran hukum alam pada dasarnya dibedakan menjadi dua macam: (1) aliran hukum alam irasional; dan (2) aliran hukum alam rasional. Aliran hukum alam yang irasional berpandangan bahwa segala bentuk hukum yang bersifat universal dan abadi bersumber dari Tuhan secara langsung. Sebaliknya, aliran hukum alam yang rasional berpendapat sumber dari hukum yang universal dan abadi itu adalah rasio manusia. Gagasan yang termaktub dalam kedua pandangan hukum alam menggambarkan bagaimana hukum alam diwujudkan sebagai bagian organik dan esensial dalam hierarki nilai-nilai hukum.[4]
- Positivisme Hukum
Positivisme sebagai sistem filsafat muncul pada kisaran abad ke XIX. Sistem ini didasarkan pada beberapa prinsip bahwa sesuatu dipandang benar apabila ia tampil dalam bentuk pengalaman, atau apabila ia sungguh-sungguh dapat dipastikan sebagai kenyataan, atau apabila ia ditentukan melalui ilmu-ilmu pengetahuan apakah sesuatu yang dialami merupakan sungguh-sungguh suatu kenyataan. Dalam kaitannya dengan positivesme hukum, maka dipandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral. Dalam kacamata positivis, tiada hukum lain kecuali perintah penguasa. Bahkan, bagian aliran hukum positif yang dikenal dengan nama Legisme, berpendapat lebih tegas, bahwa hukum itu identik dengan undang-undang.[5]
- Utilitarianisme
Utilitarianisme lahir sebagai reaksi terhadap ciri-ciri metafisis dan abstrak dari filsafat hukum dan politik pada abad ke XVIII. Aliran ini adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan (happines). Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum, bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai, diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat tersebut.[6]
- Madzhab Sejarah
Abad ke XVIII adalah abad rasionalisme. Pemikiran rasionalisme mengajarkan universalisme dalam cara berpikir. Cara pandang inilah yang menjadi salah satu penyebab munculnya madzhab sejarah, yang menentang universalisme. Madzhab sejarah juga timbul sejalan dengan gerakan nasionalisme di Eropa. Jika sebelumnya para ahli hukum memfokuskan perhatiannya pada individu, penganut madzhab sejarah sudah mengarah pada bangsa, tepatnya jiwa dan bangsa (Volksgeist).[7]
- Sociological Jurisprudence
Menurut aliran sociological jurisprudence, hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat. Aliran ini timbul dari proses dialektika antara positivisme hukum (tesis) dan madzhab sejarah (anti-tesis). Sebagaimana diketahui, positivisme hukum memandang bahwa tidak ada hukum kecuali perintah yang diberikan oleh penguasa, sebaliknya madzhab sejarah menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama dengan masyarakat. Aliran pertama mementingakan akal, sementara aliran yang kedua lebih mementingkan pengalaman, dan sosiological jurisprudence menganggap keduanya sama penting.[8]
- Realisme Hukum
Realisme hukum berkembang dalam waktu yang bersamaan dengan sosiological jurisprudence. Dalam pandangan penganut realism, hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Karena itu, program ilmu hukum realis hampir tidak terbatas, kepribadian manusia, lingkungan sosial, keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang berlaku, emosi-emosi yang umum, semua ini adalah pembentuk hukum dan hasil hukum dalam kehidupan. Dengan demikian, realisme berpendapat bahwa tidak ada hukum yang mengatur suatu perkara sampai ada putusan hakim terhadap perkara itu. Apa yang dianggap sebagai hukum dalam buku, baru merupakan taksiran tentang bagaimana hakim akan memutuskan.[9]
- Freirechtslehre
Freirechtslehre (Ajaran Hukum Bebas) merupakan penentang paling keras dari positivisme hukum. Aliran ini muncul pertama di Jerman dan merupakan sintesis dari proses dialektika antara ilmu hukum analitis dan ilmu hukum sosiologis. Aliran ini berpendapat bahwa hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukuman yang bebas bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkret, sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim.[10]
~~~~~~~~~~~~~~~
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri
(idikms@gmail.com)
~~~~~~~~~~~~~~~
____________
[1] Sukarno Aburaera, dkk, 2013, Filsafat Hukum: Teori dan Praktik, Jakarta: Kencana, hlm. 93.
[2] Friedmann, 1990, Teori dan Filsafat Hukum, Jakarta: Rajawali, hlm. 47.
[3] Soekanto, 1985, Perspektif Teoritis Studi Hukum, Jakarta: Rajawali, hlm. 5.
[4] Sukarno Aburaera, dkk, op.cit., hlm. 94.
[5] Ibid., hlm. 106.
[6] Ibid., hlm. 111.
[7] Ibid., hlm. 119.
[8] Ibid., hlm. 124.
[9] Ibid., hlm. 131.
[10] Ibid., hlm. 147.