Tanya kepada mahasiswa-mahasiswa saya, saat mengajar, saya selalu mengutip pernyataan dosen-dosen saya selama kuliah, baik dosen-dosen di UIN Yogyakarta maupun dosen-dosen di UGM Yogyakarta. Hanya karena kebanggaan almamater belaka? Tentu saja tidak.

Saya mengutip pendapat-pendapat dosen saya itu dilatar-belakangi beberapa hal:

  1. Saya percaya kredibilitas dan kemampuan dosen-dosen saya saat mengajar, sehingga jika ada materi yang menjadi perdebatan ilmiah, saya tentu akan memilih pendapat dari dosen-dosen saya;
  2. Tentu saja yang saya kutip adalah pernyataan-pernyataan yang sudah teruji secara ilmiah. Sering juga pada kenyataannya saya justru mengkritik dan menyatakan tidak setuju dengan pendapat dosen saya saat saya ajarkan di dalam kelas;
  3. Bagi saya, penghargaan tertinggi seorang mahasiswa kepada dosennya adalah dengan mengutip pendapat-pendapatnya.

Selain mengajar, dalam setiap karya-karya tulis saya, selalu saya sisipkan kutipan dari buku-buku mereka. Pemikiran semacam ini tentu tidak hadir sejak zaman kuliah di S1. Saya baru mulai mengutip pendapat-pendapat dan buku-buku dosen saya sejak saya menginjakkan kaki di program pascasarjana.

Disana, hampir sebagian besar mahasiswa mengutip pendapat dan tulisan dosennya. Disana, saya melihat langsung seorang dosen mengutip dosen lainnya yang lebih senior, yang itu menunjukkan pada 1 hal, bahwa si dosen yang mengutip itu ternyata dulunya adalah mahasiswa dari dosen senior yang sudah sepuh.

Inilah pentingnya kutipan. Pola dan analisis kita bisa terkonsentrasi pada satu kelompok komunitas. Teringat dalam kajian agama Islam, “al-Isnad minad diin”, yang artinya sanad adalah bagian dari agama.

Apa itu sanad? Saya sering menyebutnya keberantaian ilmu.

Anda sebagai seorang muslim, tidak sah menyatakan bahwa “saya tau ajaran ini dari Nabi”. Dalam kajian Islam, itu adalah pengajaran yang keliru.

Saat saya mengaji dulu, saya selalu diajari untuk mengatakan “saya mengetahui ajaran ini dari kiai A, kiai A ini dulunya mengaji kepada kiai B, kiai B nya dari kiai C, kiai C nya dari Syekh D, dan seterusnya hingga muaranya kepada Nabi”. Begitu kami diajari dalam memahami agama Islam, utamanya madzhab dan aliran Ahlussunnah wal Jamaah.

Dalam dunia akademik umum, hal semacam ini juga sebetulnya berlaku. Dalam hukum misalnya, kita akan condong mendukung teori A karena yang mengajari dan menginspirasi kita adalah dosen B yang dulu ternyata sangat getol belajar teori A dari dosen-dosennya. Hal-hal semacam ini adalah keniscayaan.

Oleh karenanya, anda dapat dengan mudah menilai seseorang itu almamaternya dari kampus UI, atau Unpad, atau UB, atau Undip, atau UGM, atau Unair, hanya karena kecondongan teori. Sering saya sebutkan di dalam kelas, setiap fakultas hukum utamanya di kampus-kampus besar di Indonesia, mereka memiliki corak pemikirannya sendiri-sendiri, yang menjadikannya berbeda antar fakultas hukum.

Jika anda pernah mengikuti berita, anda mungkin melihat seorang Mahfud MD yang pada tahun 2019-an menjabat sebagai Menkopolhukam, dikritik habis oleh dosennya, Maria SW Sumardjono. Namun alih-alih Mahfud MD menyanggah kritik dari dosennya tersebut yang sudah sepuh, Mahfud MD justru merasa bangga. Mengapa? Karena ternyata Prof. Maria SW Sumardjono mengkritik UU Cipta Kerja waktu itu dengan mengutip isi dari disertasi Mahfud saat menempuh program doktoral di UGM. Dan Prof. Maria ini tidak lain dan tidak bukan adalah promotor disertasinya. Hebat bukan? Bukan hanya mahasiswa yang mengutip dosen, tapi dosen bisa mengutip pada tulisan mahasiswa.

Kembali ke pengutipan, saya sebagai seorang dosen, merasakan pula hal yang sama. Ketika saya berpisah dengan kelompok kelas mahasiswa karena saya tidak mengajar mereka lagi, beberapa diantara mereka ada yang memberikan kenang-kenangan.

Oke tentu itu bukan hal yang buruk. Tapi maksud saya, mahasiswa tidak memberikan kenang-kenangan berarti pun, itu bukanlah masalah besar.

Cukup mahasiswa mengutip tulisan-tulisan saya, baik dalam tulisan skripsi, jurnal, ataupun artikel, itu sudah sangat jauh lebih berharga bagi dosen.

Saya sering bilang, setiap kutipan itu akan secara otomatis terdeteksi melalui email dosen. Karya mahasiswa berupa skripsi dan jurnal yang itu diterbitkan di tempat yang bereputasi dan terindeks Sinta, lebih-lebih Scopus, saat mengutip tulisan saya, akan otomatis muncul pemberitahuan.

Jadi sebetulnya saya tau, mahasiswa-mahasiswa mana saja yang mengutip tulisan saya. Bahkan jangankan mahasiswa, teman seangkatan dulu yang mengutip tulisan saya dalam jurnalnya yang terindeks Scopus, membuat saya girang berhari-hari. Bukan karena sitasi saya bertambah 1, namun itu berarti tulisan saya bermanfaat.

Hingga detik ini, saya masih menunggu kutipan dari anda-anda semua, wahai mahasiswa. Dan saya ucapkan terima kasih yang tak terhingga bagi beberapa mahasiswa yang telah mengutip tulisan-tulisan saya di skripsinya, atau bahkan yang terbaru di bukunya.

Percayalah, itu adalah kado terindah dari mahasiswa untuk dosennya. Terima kasih dan sukses selalu.

 

~~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~~