Obrolan kuliah di dunia kerja itu adalah obrolan yang sia-sia. Seolah-olah, semua proses perkuliahan itu muaranya pada 1 hal, yaitu kerja atau nyari duit.

“Ngapain kuliah tinggi-tinggi mas, toh golongan III/a juga…”

“Ya elah, kampus ini kampus itu sama aja, ujung-ujungnya jadi pegawai juga…”

“Si A itu dulu kuliahnya di kampus tenar yang itu loh mas, tapi toh cuma jadi teller bank…”

“Haha, yang S2 sama S1 aja golongan dan pangkatnya sama aja…”

Begitulah obrolan-obrolan sampah yang muncul ke permukaan, saat kita membicarakan jenjang kuliah di dunia kerja. Nggak ada gunanya. Nggak berbobot, karena tolak ukurnya terlalu remeh.

Semua orang melihat perkuliahan hanya sebatas mencari duit. That’s it. Nggak lebih.

Rekan kerja malah nyautnya enteng, “percuma mas kuliah di kampus gede, ujung-ujungnya sama juga kan jadi pegawai…”

Hei, saat dulu pembukaan SNMPTN dan SBMPTN, mereka yang berhasil mengambil jatah kursi di PTN terbaik, setidaknya pernah membuat orangtua mereka tersenyum.

Satu hal yang tak akan pernah dibantah, mereka pernah berhasil kuliah di kampus-kampus ternama, sementara teman gw ini belum pernah. Sesimpel itu.

Adapun urusan kerjaan, itu lain cerita. Dia mau jadi pegawai negeri ya monggo, jadi karyawan swasta ya monggo, itu kan nasib hidupnya. Hanya karena dia sekarang jualan bakso, lantas proses kuliahnya dulu di kampus tenar itu luntur dan sia-sia. Nggak gitu lah konsepnya. Bisa kuliah di kampus terbaik adalah salah satu prestasi hidup. Bukankah begitu?

Oleh karenanya, gw paling muak dan sering menghindar jika ada obrolan kuliah di meja kerja. “Udahlah, nggak guna juga, nggak bakal nyambung juga ngobrolnya…”, begitu gw bilang dalam hati.

Ada juga yang nyaut, “kata si bapak itu yang ketua badan itu, nggak usah lanjut S2 dulu, toh nggak ngejamin naik pangkat…” sambil nyindir-nyindir gw.

Eh dodol, gw udah S2 sebelum gw jadi babu. Artinya apa?

Artinya gw kuliah nggak ada hubungannya sama karier kerja, pangkat, sama golongan.

Persetan lah golongan mau III/a, mau III/b, mau III/c, nggak kepikiran gw. Lagian naik gaji juga paling cuma berapa ratus ribu aja.

Heran juga gw orang setiap hari ngomongin golongan sama pangkat, nyusun-nyusun strategi berhari-hari, padahal income yang didapat nggak seberapa. Ya elah, sempit banget daya tampung otaknya.

Intinya gw cuma mau bilang, mau bahas karier, pangkat, jabatan, golongan, itu sah-sah aja. Monggo. Tapi jangan bawa-bawa strata pendidikan. Jalan masing-masing aja tuh obrolan, kan bisa…

Nah karena ngobrolin kuliah ini nggak bakal nyambung sama obrolannya pegawai, jadi ya mau nggak mau ngobrol dengan sesama teman yang target hidupnya adalah menuntaskan jenjang kuliah.

Suka iri juga lihat teman yang sekarang sudah lulus doktor dan menjadi dosen di PTN, iri juga lihat teman yang sekarang kuliah di LN, ada yang di NUS lah, ada yg di UM lah. Macem-macem. Ada juga yang di kampus-kampus dalam negeri, ada di ITB, ada di UI. Hebat-hebat lah pokoknya.

Niat dan cita-cita gw juga sama kayak mereka. Tinggal selangkah lagi loh. Cuma ada 3 S dan gw baru ngumpulin 2 S, kan tinggal setahap lagi kan?

“Dik, ngapain si ngebet banget ngejar gelar doktor?”

Gw punya beberapa jawaban:

  1. Cita-cita gw adalah pengen jadi dosen dan guru besar. Ya udah jelas kan. Mau nggak mau ya gw harus nuntasin kuliah sampe 3 S.
  2. Gw udah ngumpulin 2 S, kan tinggal 1 S lagi, kayak belum afdhol gitu, tinggal selangkah lagi.
  3. Gw ingin jadi orang pertama di keluarga gw (keluarga inti ya bukan keluarga besar) yang berhasil meraih gelar doktor.
  4. Ini adalah cita-cita gw zaman kuliah.

Jelas ya. Gw kuliah nggak ada hubungannya sama kerjaan, murni mengejar cita-cita dulu zaman kuliah. Bahkan sejak SMA, orientasi gw itu ya fokus mengejar kuliah.

Masih inget gw dulu pas kelas 3, gw duduk-duduk berdua sama temen gw namanya Naufal Daud. Kami ini satu organisasi ekstra, gw ketuanya, dia wakilnya. Waktu itu duduk di pojok belakang masjid Baiturrahim SMAN 3 Kuningan.

Dia nanya, “bentar lagi kan lulus, lu pengen kuliah dimana, dik?”

Dengan mantapnya gw jawab, “ada 2 kampus yang gw pengen banget ukir sebagai sejarah hidup.”

“Apa aja, dik?”

“1. Universitas al-Azhar, Mesir, 2. Universitas Oxford, Inggris.”

Gila kan mimpi gw dulu. Alasan gw milih 2 kampus itu ya karena keduanya merupakan salah satu kampus tertua di dunia dan juga yang terbaik.

Walau akhirnya itu hanya sebatas mimpi. S1 dan S2 sebetulnya pernah beberapa kali mengejar paket beasiswa untuk 2 kampus itu, tapi memang bukan rezekinya.

Dan untuk program doktoral pun, sepertinya agak-agak sulit mengejar mimpi itu sekarang. Jadi babu bukanlah perkara mudah untuk lanjut S3 di luar negeri. Jangankan di LN, dalam negeri pun harus izin sana-sini.

Tapi it’s ok. Setidaknya gw pernah punya mimpi. Terkabul atau tidak, itu lain soal.

Yang jelas, mimpi gw sekarang yang wajib gw tuntasin adalah mengejar program doktoral. Nggak di sembarang kampus lah, ngejar di big ten sepertinya masih masuk akal.

Tunggu satu sampai tiga tahun lagi, gw on the way jadi mahasiswa baru…. Semoga ada umur….

 

~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~