Tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, sangat menyayat hati. Dilaporkan, 127 orang meninggal dunia. Beberapa diantaranya adalah perempuan dan anak-anak. Bahkan, angka ini diyakini masih bisa bertambah, karena hampir 180 orang masih menjalani perawatan di rumah sakit.

Kejadian ini bermula saat Arema FC menjamu rivalnya, Persebaya Surabaya. Hingga akhir pertandingan, Arema FC ini harus takluk di tangan Persebaya dengan skor akhir 2-3.

Marah karena timnya kalah, ratusan suporter Arema turun ke tengah lapangan. Mereka merusak beberapa fasilitas. Aksi ini mendapatkan perlawanan dari pihak kepolisian. Entah komando dari siapa, pihak keamanan menembakkan gas air mata. Sialnya, gas air mata ini ditembakkan ke arah bawah tribun. Berkali-kali.

Pihak keamanan mungkin tidak sadar, bahwa di atas tribun sana, ada banyak ibu-ibu dan anak-anak yang masih terjebak tidak bisa keluar stadion. Pintu stadion yang kecil tentu tidak bisa mengeluarkan ribuan penonton dalam waktu singkat. Mereka-mereka ini jelas terkepung. Turun ke bawah jelas tidak bisa dan pasti dipukuli aparat, keluar stadion juga tidak bisa karena masih berdesak-desakan. Tapi disaat yang bersamaan mereka menghirup gas air mata yang jelas tidak sehat.

Tentu ini adalah tragedi terbesar dalam sejarah olahraga Indonesia. Dengan banyaknya korban meninggal, tentu harus ada yang bertanggung jawab. Entah itu dari federasi, dari penyelenggara liga, dari klub sendiri, dari pentolan suporter, dan tentu dari pihak keamanan.

Namun dalam tulisan ini, saya akan memfokuskan diri dengan memberikan beberapa saran untuk pelaksanaan sepakbola Indonesia kedepannya. Sebetulnya, saran-saran ini telah disuarakan oleh beberapa pihak, namun sepertinya PSSI masih bebal. Dengan adanya tragedi besar ini, saya tidak tau apakah PSSI masih tetap bersikap pura-pura bolot dengan tidak melakukan pembenahan secara menyeluruh.

 

  1. Membuat Regulasi Suporter

Saran dan masukan ini sudah lama digaungkan. Kejadian suporter meninggal bukan kali ini terjadi. Tapi entah mengapa, federasi tidak mau menindaklanjuti saran ini. Akhirnya yang terjadi, nyawa selalu jatuh hampir setiap tahun. Dan puncaknya kasus Kanjuruhan ini.

Regulasi suporter ini mutlak dibutuhkan. Dengan kondisi suporter Indonesia yang terkesan bukan hanya fanatik, tapi juga bar-bar, perlu diatur dengan regulasi yang tegas.

Tapi kan sudah ada denda? Ya ampun. Klub besar seperti Persib, Persija, Persebaya, dan Arema, bukanlah klub-klub yang kekurangat duit. Denda ratusan juta setiap ada chaos dalam pertandingan, nyatanya tidak memberikan efek jera, baik pada klub, maupun pada kelompok suporter.

Harus dibuat regulasi yang lebih tegas, misalnya: Jika suporter bernyanyi rasis selama pertandingan, maka pertandingan itu wajib dihentikan. Klub tuan rumah akan diberikan sanksi berupa pengurangan poin. Jika suporter melakukan kericuhan, baik selama pertandingan atau setelah pertandingan, maka klub akan diberikan sanksi pengurangan poin yang lebih banyak, misalnya 9 poin atau 12 poin. Jika terdapat korban jiwa, maka klub akan langsung didegradasi.

Mengutip obrolan Eko Maung pendukung Persib di channel youtube nya, sanksi berupa pengurangan poin atau sesuatu hal yang bisa merugikan posisi tim dalam klasemen, akan memberikan efek jera bagi suporter dan klub. Bahkan, yang akan marah pada tindakan kampungan suporter itu adalah para pengurus dan rekan-rekan suporter lainnya.

Bayangkan, jika ada kelompok Bobotoh yang dengan bodohnya melakukan kericuhan karena tim Persib Bandung kalah di kandang, kemudian dengan regulasi yang ada Persib justru dikurangi sebanyak 9 poin, maka saya dan rekan-rekan Bobotoh yang lain tentu akan sangat marah pada perilaku kelompok Bobotoh tersebut.

 

  1. Memperbaiki Sistem Keamanan

Sistem keamanan yang ada sekarang ternyata merujuk pada protokol yang diatur di kepolisian. Tentu ini keliru. Seharusnya, skema pengamanannya menggunakan regulasi FIFA sebagai induk sepakbola dunia.

Tapi jika dijawab bahwa regulasi FIFA itu bukan peraturan perundang-undangan yang mengikat di Indonesia dan tidak wajib diikuti oleh pihak kepolisian, maka sudah saatnya PSSI dan klub harus memiliki tim keamanan sendiri. Tim ini bisa ditambah dengan personel kepolisian sebagai pihak yang membantu pengamanan, dengan seragam khusus tentunya.

Sistem keamanan yang digunakan tentu tidak menggunakan aturan-aturan di kepolisian, namun mengikuti regulasi FIFA. Contoh yang bisa diambil adalah SAG di Inggris. Disana, ada tim keamanan khusus yang dibentuk oleh federasi yang didalamnya adalah gabungan dari pihak keamanan klub, dari pentolan suporter sendiri, dari kepolisian, dari pemadam, dari pihak kesehatan, dan lain-lain. Sehingga, kepolisian tidak bisa serta merta menggunakan gas air mata dengan dalih mengikuti protokol keamanan yang diatur di kepolisian. Mengatur suporter memiliki regulasinya sendiri.

 

  1. Pembinaan Suporter

Kalimat “pembinaan suporter” ini mungkin bagi sebagian orang terkesan kurang baik. Namun sebetulnya ini hal yang penting. Klub memiliki tanggung jawab untuk mengontrol suporter tetap dalam jiwa fanatisme yang tidak kebablasan.

Sebagian suporter muda, biasanya masih bebal, mereka tidak mau tau, bahwa yang datang ke stadion, banyak dari kalangan perempuan, dari kalangan ibu-ibu, dari kalangan anak-anak. Tindakan mereka merusuh di stadion sangat egois, tidak memikirkan keamanan orang-orang disekitarnya.

Nyanyian rasis di tribun juga masih sering terjadi. Akui saja, Bobotoh masih ada yang nyanyi rasis, Jakmania juga masih ada, Aremania juga masih ada, Bonek juga masih suka nyanyi-nyanyi rasis.

Tindakan mereka membahayakan banyak orang. Kepikir tidak, Bobotoh yang berrnyanyi rasis kepada fans Persija misalnya di stadion dengan disiarkan di televisi itu, membuat rekan-rekan Bobotoh lain di Jakarta dan sekitarnya pasti mendapatkan serangan, baik serangan verbal maupun fisik.

Jiwa-jiwa permusuhan yang sudah tidak sehat ini wajib dihentikan. Pengurus-pengurus dari setiap suporter di Indonesia harus dipegang oleh orang-orang yang tidak memiliki jiwa permusuhan hingga bunuh-bunuhan. Stop menjadikan preman memimpin kepengurusan suporter. Ada banyak nyawa terancam karena perilaku bar-bar yang dipertontonkan oleh beberapa pihak suporter ini.

Selain itu, harus juga dibentuk kepengurusan suporter tingkat nasional, sehingga suporter di Indonesia memiliki payung organisasi yang jelas. Ketika ada insiden dan tragedi semacam ini, ada satu kesatuan suporter untuk melakukan pembenahan bersama. Bobotoh berbenah namun Jakmania tidak melakukan pembenahan tentu percuma, begitupun sebaliknya. Aremania melakukan pembenahan tapi Bonek Mania tidak kunjung berbenah juga tidak ada artinya. Pembenahan suporter harus dilakukan bersama-sama.

 

~~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~~