Saya pernah bilang kepada bapak saya dulu, saat beliau masih ada, “jangan kaget, pak, nanti jalan Siliwangi itu akan berganti nama menjadi jalan Eyang Hasan Maolani.” Bapak saya ini hanya mengaminkan, “semoga, dik…”

Jalan Siliwangi yang saya maksud ini tentu bukan jalan Siliwangi di setiap kabupaten dan kota, namun hanya merujuk pada jalan Siliwangi di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Bagi yang belum tau, bahwa jalan Siliwangi ini merupakan pusat kota di Kabupaten Kuningan. Jalan utama yang dianggap sentral di Kabupaten Kuningan, ya jalan Siliwangi ini.

Perubahan nama jalan Siliwangi menjadi jalan Eyan Hasan Maolani ini tentu tidak bermaksud mengesampingkan Prabu Siliwangi. Bukan itu tujuannya.

Sudah sering saya jelaskan, bahwa Jawa Barat hanya memiliki 10 orang pahlawan nasional. Itu masih sepertiga dari jumlah pahlawan nasional yang dimiliki provinsi Jawa Tengah yang dianggap terbanyak memiliki pahlawan nasional, yaitu sebanyak 30 orang.

Sedikitnya jumlah pahlawan nasional di Jawa Barat ini tidak mengindikasikan bahwa di Jawa Barat kurang memiliki sejarah perjuangan melawan kolonialisme. Bukan itu masalahnya.

Pengajuan seseorang sebagai pahlawan nasional pada kenyataannya harus melalui serangkaian prosedur administratif. Bagi para pejuang lama sebelum era 1900an, prosedur administratif ini memiliki banyak kendala.

Sebut saja Eyang Hasan Maolani ini. Saya sering berpendapat, bahwa dengan diasingkannya Eyang Hasan Maolani ke wilayah Manado yang saat itu merupakan tempat pengasingan pejuang dari tanah Jawa, sudah menjadi sinyal kuat bahwa Eyang Hasan Maolani ini dianggap sebagai orang yang berbahaya bagi pihak kolonial Belanda.

Namun saat diajukan sebagai pahlawan nasional pada tahun 2009, belum membuahkan hasil, karena banyak syarat administratif yang belum terpenuhi, misalnya jumlah penelitian ilmiah terhadap tokoh, baik itu skripsi, tesis, disertasi, maupun jurnal, belum juga dilakukan seminar yang disaksikan oleh kementerian di universitas, belum pula memiliki sketsa wajah, dan persyaratan administratif yang lain.

Oleh karena ini merupakan syarat administratif, tentu tidak menghilangkan esensi dan substansi bahwa tokoh yang dimaksud ini memang layak dianugerahi gelar pahlawan nasional.

Begitu yakinnya saya bahwa kelak suatu saat nanti, Presiden pada tanggal 10 November akan mengumumkan bahwa Eyang Hasan Maolani ini dianugerahi gelar pahlawan nasional, sehingga itu berarti jalan utama kota akan berganti nama dari jalan Siliwangi menjadi jalan Eyang Hasan Maolani. Saya sangat yakin. Adapun mimpi ini tentu bisa berlangsung dalam jangka waktu yang pendek maupun panjang, tergantung dari kesiapan para anak keturunan Eyang Hasan Maolani dalam mewujudkannya sebagai pahlawan nasional. Seluruh keturunannya harus kompak, itu intinya.

Pengajuan ini adalah perjuangan bersama. Dengan masih belum sadarnya para anak keturunan Eyang Hasan Maolani tentang pentingnya pengajuan pahlawan nasional, tentu akan menghadapi waktu yang cukup panjang. Tapi bagi saya waktu bukanlah masalah. Banyak tokoh-tokoh lain yang sekarang juga masih dalam proses perjuangan untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional oleh para anak keturunannya. Misalnya Pakualam VIII, proses pengajuan pahlawan nasionalnya sudah berlangsung 23 tahun hingga sekarang.

Waktu yang panjang bukanlah halangan utama. Penghalang utama yang bagi saya perlu untuk dibongkar dari sekarang adalah ketidaksamaan persepsi di kalangan anak keturunan Eyang Hasan Maolani. Masih banyaknya para anak keturunan Eyang Hasan Maolani yang menganggap bahwa gelar pahlawan nasional adalah perkara yang tidak penting, mengakibatkan rencana pengajuan ini tersendat-sendat.

Saya jawab, bahwa saya setuju gelar pahlawan nasional terlalu remeh bagi para pahlawan. Saya meyakini mereka tidak membutuhkan gelar-gelar semacam ini, begitupun Eyang Hasan Maolani. Saya yakin itu. Namun saya melihat dari sudut pandang yang lain, bahwa pengajuan Eyang Hasan Maolani sebagai pahlawan nasional ini adalah upaya dakwah dan sosial.

Ada beberapa hal yang ingin disampaikan dalam buku sejarah jika Eyang Hasan Maolani berhasil mendapatkan gelar pahlawan nasional, yaitu:

  1. Bahwa para ulama/kiai memiliki peran yang sangat besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, bahkan jauh sebelum era-nya Soekarno dan Budi Utomo.
  2. Bahwa Jawa Barat sebagai basis masyarakat terbesar di Indonesia juga memiliki andil yang besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
  3. Bahwa Wilayah III Cirebon utamanya Kabupaten Kuningan juga memiliki andil dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Dianugerahinya gelar pahlawan nasional bagi Eyang Hasan Maolani tentu hanya menambah satu orang saja dalam deretan pahlawan nasional yang berasal dari golongan kiai/ulama dan dari wilayah Jawa Barat. Namun dengan dianugerahinya gelar pahlawan nasional bagi tokoh tahun 1800an awal ini akan memberikan semangat bagi tokoh-tokoh Islam lain untuk mengajukannya sebagai pahlawan nasional.

Saya meyakini betul, masih banyak tokoh-tokoh pergerakan utamanya di era 1700an dan 1800an yang sangat layak dianugerahi gelar pahlawan nasional, namun para anak keturunannya masih bingung harus memulai dari mana. Oleh karena itu, mari kita mulai dari Eyang Hasan Maolani. Mari kita bersatu menyamakan persepsi, bahwa pengajuan gelar pahlawan nasional ini penting untuk memupuk semangat kecintaan masyarakat utamanya masyarakat Kuningan terhadap bangsa dan negara.

 

~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~