Sebagai seorang dosen, saya sering menyindir orang-orang yang kuliah di kelas karyawan, alias kuliah hanya di hari sabtu dan minggu. Hal ini juga pernah dilontarkan oleh Prof. Moh. Mahfud MD, sebagai guru besar Fakultas Hukum UII. Bagi beliau, tidak fair menyamakan gelar seseorang yang kuliah full beberapa hari setiap minggu dengan orang-orang yang mendapatkan gelar hanya dengan kuliah sabtu-minggu.

Keresahan Prof. Mahfud ini memang menjadi kenyataan. Orang-orang yang mengambil kuliah weekend atau sabtu-minggu ini kenyataannya hanya digunakan untuk mengejar ambisi jabatan. Biasanya, untuk naik pangkat dan golongan, seseorang akan berkuliah lagi.

Sial beribu sial, kebanyakan dari mereka ambisinya memang meraih gelar untuk syarat naik pangkat dan golongan. Proses pembelajaran di dalam kelas dianggap tidak terlalu penting. Ini menjadi kenyataan yang saya alami.

Saya pernah mengajar mahasiswa-mahasiswa dari background pekerja/pegawai. Satu kelas khusus mahasiswa dari tentara, beberapa dari ASN, juga ada dari anggota DPRD. Dengan alasan kesibukan kerja, banyak dari mereka yang membolos kuliah. Sudah mah kuliahnya hanya sabtu dan minggu, masih bolos pula.

Selain itu, mereka juga jarang mengerjakan tugas. Kalaupun dikerjakan, biasa, pasti copy paste. Sialnya lagi, mereka copy paste tugas tanpa mengeditnya sedikitpun, termasuk jenis font dan ukuran hurufnya. Memang bodoh. Dikira dosennya dosen jadul kali yang gaptek akan teknologi.

Karena alasan inilah, hampir semua mahasiswa weekend, saya kasih nilai merah, alias D dan E, kebanyakan malah E. Artinya, mereka semua tidak lolos di setiap mata kuliah yang saya ampu.

Ini yang menjadi salah satu dasar konflik saya dengan pihak universitas. Beberapa kali saya dihubungi oleh dekan, sekali lagi dekan bukan kaprodi, untuk memberikan keringanan pada mahasiswa-mahasiswa tersebut. Tapi saya tak bergeming. Bagi saya, mereka-mereka semua itu memang tidak layak lolos.

Konflik ini semakin menjadi saat satu kelas tentara itu menyatakan out atau pindah kampus ke kampus terbuka. Itu artinya, universitas mengalami—dalam tanda petik—kerugian, karena kehilangan—lagi-lagi dalam tanda petik—omset semesteran dari sekitar 20-an mahasiswa.

Saya tetap dalam pendirian saya. Orang-orang yang kuliah hanya untuk mengejar gelar tanpa memiliki usaha sedikitpun untuk mengikuti proses perkuliahan, memang layak untuk diberi nilai merah. Sementara bagi universitas-universitas kecil, hal ini biasanya menjadi ladang dagang. Mereka merekrut sebanyak-banyaknya mahasiswa agar pendapatannya banyak, sementara pelanggaran terhadap integritas dosen dan substansi perkuliahan, benar-benar dikesampingkan.

Biasanya, mahasiswa-mahasiswa model begini, berani membayar dosen, kaprodi, dekan, hingga rektor agar nilainya tetap keluar dan tetap lulus kuliah, walaupun proses perkuliahannya tidak diikuti. Saya pun beberapa kali ditawari untuk meloloskan beberapa mahasiswa. Namun tentu saja saya tolak, karena itu melanggar fondasi integritas saya sebagai seorang dosen.

Nah karena praktek bayar-membayar atau sogok-menyogok inilah, si kampus akan membuat data-data bodong untuk melancarkan mahasiswa yang bersangkutan. Misalnya dengan membuat data presensi kehadiran, tugas-tugas kuliah, hasil UTS dan UAS, dan lain sebagainya. Orangnya nggak pernah kuliah, tapi tugas-tugasnya tersusun rapi di berkas kampus. Memang ajaib bukan?

Itulah yang saya lawan selama ini. Kuliah sabtu-minggu jelas tidak keliru, tapi jika prosesnya tidak diikuti betul, tugas tidak dikerjakan, kuliah asal-asalan, nyogok sana-sini, dan bahkan pihak universitas ikut serta memfasilitasi, ini ranahnya sudah sindikat jual beli ijazah.

Dari kejadian ini, saya sepemikiran dengan Prof. Mahfud MD. Orang-orang yang kuliah hanya di weekend saja tidak boleh disejajarkan dengan kami-kami yang kuliah serius di weekdays. Selain karena kami harus mengikuti setiap proses perkuliahan yang rumit, diskusi akademik di dalam kelas, saling debat antar mahasiswa, presentasi, membuat tugas sendiri, mengerjakan UTS, dan UAS, membuat laporan ilmiah, mengajukan skripsi atau tesis, kami juga dihadapkan pada kenyataan bahwa kami berjuang sendiri tanpa sogok-menyogok.

Semua proses dilalui. Jika memang tidak bisa dan belum pantas, hasilnya tentu tidak lolos. Saya bahkan pernah mengulang 3 semester untuk 1 mata kuliah yang sama. Itupun nilai terbaik yang saya peroleh tidak sampai nilai A. Sementara di kampus-kampus semi bodong seperti ini, seorang mahasiswa weekend yang tidak pernah kuliah dan tidak pernah mengerjakan tugas, tiba-tiba mendapat nilai A. Sinting sekali.

Lantas jika seseorang kuliah sabtu-minggu, mendapatkan gelar secara cuma-cuma, nyogok sana nyogok sini, tanpa mengerjakan tugas kuliah dan lainnya, apa mereka pantas mempersamakan dan mensejajarkan dirinya dengan mereka yang kuliah betul-betul?

 

 

~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~