Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK dibentuk karena saat itu lembaga penegakan hukum yang ada, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan, dianggap belum cukup mampu melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dari persoalan itulah, KPK dibentuk dengan tujuan menjadi lembaga independen yang bebas dari tangan-tangan kekuasaan eksekutif, sehingga KPK tidak bisa didikte dalam hal penegakan tindak pidana korupsi.

Namun seiring berjalannya waktu, taring-taring KPK pada akhirnya berguguran juga. KPK sudah seperti macan ompong yang tak terlihat garang lagi. Hal ini dimulai karena kedudukan KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi tidaklah tunggal, melainkan bersinergi dengan lembaga penegakan hukum yang sudah ada, seperti Kepolisian dan Kejaksaaan dalam ranah sipil, serta Polisi Militer, Ankum, dan Oditur dalam ranah militer.

Memang agak sulit menjadikan KPK sebagai lembaga tunggal pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan anggaran. Butuh berapa triliun untuk membangun KPK di daerah, baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Selain itu, butuh juga rekrutmen besar-besaran untuk mengisi jabatan-jabatan didaerah, yang tentu saja mereka harus digaji dari keuangan negara. Berangkat dari persoalan anggaran inilah, masuk akal jika memang KPK hanya terpusat pada kasus-kasus korupsi besar, karena jangkauan KPK yang sangat terbatas. Sementara kasus-kasus kecil dibawah 1 Miliar sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 11 Perubahan Kedua UU KPK, diserahkan secara supervisi kepada Kepolisian dan Kejaksaan.

Supervisi disini pada landasan teorinya, memunculkan KPK sebagai pengawas pelaksanaan penyelidikan/penyidikan oleh Kepolisian dan pengawas penuntutan oleh Kejaksaan. Artinya, dari pihak Kepolisian dan Kejaksaan seharusnya memberikan laporan resmi di setiap langkah hukum yang dilakukan mereka kepada KPK. Namun bagaimana kenyataannya?

Realitanya tidak demikian. Lembaga penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan tidak melakukan koordinasi dengan KPK dalam kasus-kasus korupsi yang mereka tangani. Alhasil, kita melihat banyak kasus-kasus besar korupsi diatas 1 Miliar, tapi ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Hal yang tentu melanggar ketentuan dalam UU KPK.

Ini adalah salah satu persoalan bagaimana sengkarutnya kewenangan KPK dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Belum lagi, gesekan-gesekan antara KPK dengan lembaga penegak hukum lain dalam hal ini Kepolisian. Pernah terjadi sebuah peristiwa besar di era pemerintahan SBY yang kemudian kita kenal sebagai kasus Cicak vs Buaya, dimana saat itu KPK menetapkan tersangka para pimpinan POLRI, hingga terjadi reaksi mengejutkan dari POLRI, dimana mereka menetapkan tersangka beberapa penyidik KPK dengan dasar-dasar tindak pidana di masa lalu, seperti kekerasan, dan yang lainnya.

Kejadian Cicak vs Buaya ini tentu juga tidak sejalan dengan rumusan Pasal 6 UU KPK, dimana seharusnya KPK memiliki kewenangan untuk melakukan koordinasi dan supervisi dalam hal penegakan tindak pidana korupsi. Lembaga penegakan hukum yang lain seharusnya ikut serta dalam koordinasi KPK dalam hal tindak pidana korupsi tanpa ada aksi balasan. Atau jangan-jangan malah KPK yang tidak memiliki i’tikad untuk melakukan koordinasi dan supervisi? Entahlah.

Itu baru dua persoalan penting dimana posisi KPK sebetulnya masih perlu untuk diperkuat. Di UU KPK yang lama, KPK dimasukkan sebagai sebuah lembaga independen diluar dari kekuasaan eksekutif. Artinya, KPK tidak berada dibawah Presiden dalam struktur lembaganya. Namun sejak revisi UU KPK pada tahun 2019, KPK ditarik kebawah kekuasaan Presiden. Dalam sudut pandang administrasi, hal ini mungkin baik untuk menata penggajian pegawai yang ada di lingkungan KPK. Namun jika dilihat dari kacamata pemberantasan korupsi, ini dianggap sebagai bentuk dari kemunduran, karena itu artinya KPK bisa disetir dan dikendalikan oleh penguasa. Sementara kita ketahui sendiri, kasus korupsi merupakan kasus yang sering menyeret orang-orang di lingkungan politik kekuasaan.

Sederetan problem KPK ini ternyata tidak selesai sampai disitu. Persoalan militer tiba-tiba muncul akhir-akhir ini. Beberapa orang militer yang menduduki jabatan sipil ditetapkan tersangka oleh KPK. Namun beberapa saat kemudian, jajaran Polisi Militer dari tubuh TNI menggruduk kantor KPK dan menyatakan berkeberatan dengan penetapan tersangka yang dilayangkan oleh KPK.

Alasan dari Polisi Militer ini masuk akal. Berdasarkan ketentuan di UU Peradilan Militer, yang melaksanakan penyelidikan/penyidikan terhadap anggota militer adalah Polisi Militer dan/atau Ankum, kemudian dalam hal penuntutan dilakukan oleh Oditur, serta perkaranya dilimpahkan ke Peradilan Militer, bukan Peradilan Umum.

Namun perlu juga dicermati, berdasarkan Pasal 42 UU KPK, bahwa KPK memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan mengendalikan proses penyelidikan/penyidikan hingga penuntutan terhadap orang yang tunduk pada Peradilan Militer dan Peradilan Umum. Memang Pasal ini tidak menjelaskan bahwa KPK memiliki kewenangan penyelidikan/penyidikan serta penuntutan, tapi hanya sebatas koordinasi dan kendali atas proses penegakan hukum. Dalam kenyataannya, prajurit TNI yang terlibat kasus korupsi, tidak ditetapkan tersangka oleh KPK, namun oleh Polisi Militer. Kembali ke alur diatas, seharusnya penegak hukum lain ikut dalam koordinasi dan supervisi KPK, dan mereka memiliki kewajiban untuk melaporkan proses penegakan tindak pidana korupsi yang mereka tangani ke KPK.

Tapi sepertinya koordinasi dan supervisi yang dimaksud UU KPK ini tidak pernah berjalan mulus. Karena begitu banyaknya tumpang tindih kewenangan dalam hal penegakan tindak pidana korupsi oleh KPK, maka perlu untuk menstabilkan kondisi yang terjadi sekarang ini. Pilihannya menurut saya hanya ada 2: MEMBUBARKAN KPK atau REVISI SELURUH KETENTUAN PENEGAKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA, baik dalam UU Tipikor, KUHP, UU KPK, KUHAP, dan UU Peradilan Militer. Perlu satu payung hukum materiil dan formil dalam hal tindak pidana korupsi, sehingga kedudukan KPK tidak bisa diganggu gugat. Sekian.

 

~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~