- Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja
Secara umum hubungan kerja adalah suatu bentuk hubungan hukum yang lahir didasarkan pada perjanjian pekerjaan antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Zainal Asikin mendefinisikan hubungan kerja sebagai hubungan antara buruh dan majikan setelah adanya perjanjian kerja, yaitu suatu perjanjian dimana pihak kesatu (pekerja/buruh) mengikatkan dirinya kepada pihak lain (pengusaha/majikan) untuk bekerja dengan mendapatkan upah, dan majikan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan si buruh dengan membayar upah.[1] Definisi tersebut dipersingkat oleh Lalu Husni, bahwa hubungan kerja lahir setelah adanya perjanjian kerja antar pekerja dan pengusaha.[2] Hubungan kerja dilihat dari sejarah istilahnya merupakan pengganti untuk istilah hubungan perburuhan. Hubungan perburuhan yang merupakan terjemahan dari istilah labour relation pada permulaan perkembangannya hanya membahas masalah-masalah hubungan antara pekerja dan pengusaha.[3]
Adapun menurut Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Definisi ini diperkuat dengan Pasal 50 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Dapat dipahami disini bahwa momentum lahirnya hubungan kerja didasarkan pada perjanjian kerja. Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Ketenagakerjaan menjelaskan definisi tentang perjanjian kerja, yaitu perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Perjanjian kerja ini dapat dibuat secara tertulis maupun lisan, walaupun dalam praktiknya, perjanjian kerja seringkali dibuat secara tertulis sebagai bukti yang bisa dipertanggungjawabkan.
Menurut Asri Wijayanti, perjanjian kerja merupakan dasar dari terbentuknya hubungan kerja. Perjanjian kerja dikatakan sah apabila memenuhi syarat sahnya perjanjian dan asas-asas hukum perikatan.[4] Pendapat Asri Wijayanti ini terlihat belum kekinian karena masih didasarkan pada syarat sah perjanjian di Pasal 1320 KUH Perdata. Syarat sah perjanjian kerja saat ini telah merujuk pada ketentuan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pendapat Asri Wijayanti tersebut tidak sepenuhnya keliru, karena jika melihat substansi Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan memiliki makna yang sama dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata. Adapun menurut Subekti, perjanjian kerja adalah perjanjian antara seorang buruh dengan majikan, perjanjian dengan ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperatas (dierstverhanding) yaitu suatu hubungan berdasarkan pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati pihak yang lain (buruh).[5] Hubungan subordinasi ini juga diperkuat dengan argumen Ari Hernawan yang berpendapat bahwa hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan yang berpola kekuasaan, karena ada yang menguasai dan dikuasai. Setidaknya ada perbedaan akses ke berbagai sumber daya dari kedua belah pihak, karena memang posisi tawarnya tidak sama. Perbedaan posisi tawar ini akan sangat berpengaruh dalam membangun relasi diantara keduanya.[6]
- Unsur-Unsur Perjanjian Kerja
Berdasarkan definisi mengenai perjanjian kerja di atas, dapat diuraikan bahwa perjanjian kerja setidaknya harus memiliki 4 (empat) unsur, yaitu:
- Adanya unsurwork atau jenis pekerjaan yang ditawarkan. Sebelum adanya UU Ketenagakerjaan, unsur ini terlihat jelas dalam Pasal 1603a KUH Perdata. Setelah berlakunya UU Ketenagakerjaan, unsur ini merupakan pengejawantahan dari definisi Perjanjian Kerja di Pasal 1 angka 14 yang menjelaskan bahwa perjanjian kerja harus memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban. Isi dari syarat-syarat kerja harus tercantum adanya unsur work atau pekerjaan yang dijanjikan.
- Adanya unsurperintah. Lalu Husni berpendapat manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang dijanjikan.[7] Unsur perintah ini merupakan bentuk dari adanya hubungan subordinasi yang telah disinggung dalam konsep Subekti dan Ari Hernawan di atas. Pengusaha memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pekerja/buruh, sehingga pengusaha dapat memberikan perintah untuk melakukan sesuatu kepada pekerja/buruh.
- Adanya waktu kerja. Kedua belah pihak—yaitu pihak pengusahadan pekerja/buruh—harus menyepakati jangka waktu pekerjaannya. Waktu disini bermakna waktu kerja perhari dan jangka waktu perjanjian kerja yang disepakati pengusaha dan pekerja/buruh. Pada prinsipnya perjanjian itu harus didasari pada kesepakatan para pihak—termasuk didalamnya mengatur mengenai waktu kerja, namun dalam perjanjian kerja biasanya menggunakan perjanjian baku atau perjanjian standar, dimana klausul perjanjiannya telah dibuat oleh pihak pengusaha dan pekerja/buruh hanya diberi pilihan ‘ya’ atau ‘tidak’ terhadap perjanjian tersebut.
- Adanya upah. Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja, bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama seorang pekerjamelakukan pekerjaan pada seorang pengusaha adalah untuk memperoleh upah. Sederhananya, tidak adanya unsur upah pada suatu hubungan hukum, maka hubungan hukum tersebut bukan merupakan hubungan kerja.[8]
~~~~~~~~~~~~~~~
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri
(idikms@gmail.com)
~~~~~~~~~~~~~~~
______________________
[1] Zainal Asikin, 1993, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, PT. Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 65.
[2] Lalu Husni, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta, PT. Grafindo Persada, hlm. 39.
[3] Ari Hernawan, 2019, Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial, UII Press, Yogyakarta, hlm.1.
[4] Asri Wijayanti, 2009, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 41.
[5] Subekti, 1977, Aneka Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung, hlm. 63.
[6] Ari Hernawan, 2019, Op.Cit., hlm. 17.
[7] Lalu Husni, Op.Cit., hlm. 37-38.
[8] Ibid.