Putusan NO itu sudah ada dalam kurikulum hukum acara. Tapi semakin kesini, putusan NO dianggap sebagai bentuk ketidakseriusan Pengadilan dalam memeriksa perkara. Mengapa? Karena sidang sudah dilakukan berbulan-bulan, tapi ujung-ujungnya malah NO. Hal ini dinilai, Pengadilan dianggap tidak bisa mendeteksi apakah perkara yang masuk adalah kewenangannya atau bukan. Siapa yang selalu menjadi target kesalahan? Ya betul, Kepaniteraan Perdata.
Kepaniteraan Perdata dianggap tidak bisa memilah perkara mana yang merupakan kewenangan Pengadilan, dan mana yang bukan. Saya katakan disini, itu keliru. Cara pandang semacam ini tidak berdasar asas sama sekali. Dari sejak kuliah kita diajarkan bahwa Pengadilan—sebetulnya ditujukan untuk hakim, namun dalam hal ini lebih tepat ditujukan untuk Kepaniteraan Perdata—tidak boleh menolak perkara. Jadi seharusnya kesalahan tidak terpaku pada satu titik. Ada suatu kesalahan sistem yang seharusnya diperbaiki. Mari saya jelaskan.
Orang-orang di Kepaniteraan Perdata bukanlah hakim, artinya, mereka tidak bisa melahirkan produk hukum, baik berbentuk penetapan ataupun putusan. Bagaimana mungkin kita menolak perkara yang masuk tanpa produk yang bisa diajukan upaya hukum? Bukankah kita melanggar asas keadilan? Tentu ini tidak bisa dan tidak boleh dilakukan. Makanya mengapa, menu di ecourt, dulu sebelum pembaruan ecourt tahun 2023, menunya adalah menu “perkara ditolak”, sekarang setelah pembaruan ecourt menjadi “perkara tidak dapat dilanjutkan”. Itupun penolakan yang ada harus disampaikan kepada pihaknya secara persuasif. Menu “ditolak” identik dengan isi amar putusan. Tidak boleh digunakan untuk Kepaniteraan.
Andaikan pihaknya tetap keukeuh untuk mengajukan perkara tersebut, apakah tetap kita tolak? Nggak boleh, harus kita terima. Sampai tulisan ini dibuat, saya masih berpendapat bahwa Kepaniteraan Perdata tidak boleh menolak perkara.
Jika ada seorang ibu-ibu berjilbab datang ke Pengadilan Negeri dan menyampaikan dia hendak mengajukan perceraian, kemudian kita jelaskan bahwa karena pernikahannya secara Islam maka gugatnya ke Pengadilan Agama, namun si ibu itu tidak mau sidang di Pengadilan Agama (misalnya karena pernah kalah bersidang waris di PA), maka harus tetap kita terima perkaranya. “Pokoknya saya tetap ingin sidang cerainya di PN…!”, begitu kata si ibu.
Apa yang akan saudara lakukan jika saudara adalah Ketua Pengadilan? Saya akan meregisternya. Biarkan yang menjatuhkan putusan NO adalah hakim, bukan orang-orang di Kepaniteraan. Jika sudah ada putusan NO, ibu itu masih tetap tidak terima, dia bisa ajukan upaya hukum. Tapi bagaimana jika yang menolak perkara itu dari Kepaniteraan Perdata tanpa produk hukum sama sekali? Aneh betul secara teori.
“Lantas bagaimana jika seandainya perkara cerai tersebut malah dikabulkan oleh hakimnya?” Jawabannya sederhana, itu salah hakimnya, bukan salah Kepaniteraan. Hakim dianggap tau akan hukum, tapi tidak dengan orang-orang di Kepaniteraan. Sesimpel itu.
Maka bagaimana solusinya?
Dalam sudut pandang hukum, kita memiliki contoh konkret suatu peradilan lain yang sudah melakukan proses dismissal, yaitu PTUN. Di Pengadilan TUN, perkara yang masuk, seaneh apapun, jika pihaknya memang punya maksud mengajukan perkara tersebut ke PTUN, maka Kepaniteraan akan meregisternya. Ketika Pengadilan meregister, berarti asas pengadilan tidak boleh menolak perkara, sudah terpenuhi. Baru setelah itu, Ketua Pengadilan akan melakukan proses dismissal. Jika itu kewenangan PTUN, maka perkara dilanjutkan. Jika bukan, perkara tidak dilanjutkan. Atas penetapan Ketua Pengadilan tentang ditolaknya perkara melalui proses dismissal ini bisa diajukan upaya hukum berupa perlawanan.
Mekanisme semacam ini belum lahir secara utuh di peradilan umum, walaupun narasinya sudah muncul, bahkan sudah dicoba di jenis perkara gugatan sederhana. Saya berharap kedepan proses dismissal ini bisa diwujudkan, sehingga kesalahan yang ada tidak selalu ditarik-tarik hanya pada Kepaniteraan. Sekian.
~~~~~~~~~~~~~~
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri
(idikms@gmail.com)
~~~~~~~~~~~~~~