Tidak banyak hal yang ingin disampaikan. Sejak menjadi seorang dosen dari sekitar satu tahun lalu—hingga tulisan ini dibuat, aku merasa kurang puas dengan profesi yang digeluti ini. Padahal “dosen” adalah tujuan utamaku, dulu. Ya  dulu. Alasan kenapa aku melanjutkan kuliah hingga punya gelar yang ada huruf M nya, ya karena tujuanku jadi dosen. Mau jadi lawyer? S1 saja cukup kok. Jadi jaksa? Nggak usah kuliah tinggi-tinggi. Jadi hakim? Sama juga, gelar es nggak pake cendol saja cukup. Jadi anggota DPR? Apalagi, itu kan jabatan politik, nggak ada sangkut-pautnya sama latar belakang pendidikan. Lu sanggup kampanye dan lu menang, jadi sudah anggota DPR. So jelas bukan, salah satu tujuan dan target orang yang mengambil gelar M, selain karena ngambur-ngamburin duit, ya karena punya tujuan ingin jadi dosen. Kenapa si penulis ini ngebet banget jadi dosen?

Alasannya sederhana. Karena aku sendiri kagum dengan dosen-dosenku. Aku bangga punya pembimbing-pembimbing yang hebat. Aku juga takjub saat mengikuti perkuliahan di kelas-kelas yang dibanjiri mahasiswa. Rebutan loh! Untuk menghadiri beberapa kelas dari dosen-dosen ternama yang mungkin sering aku sebut di dalam kelas, kami rela hadir beberapa puluh menit sebelum perkuliahan dimulai. Bahkan—aku pribadi—sengaja mengulang mata kuliah hanya untuk bertemu dengan beberapa dosen yang aku kagumi itu. Walau hingga sekarang, tidak ada dokumentasinya berupa foto untuk di upload ke instagram. Yahhh, sampai kami terlalu sungkan untuk meminta foto.

Apalagi jika kau tau dan berada diposisiku ini, melihat seorang tua renta bergelar PhD dideretan nama panjangnya yang disingkat-singkat itu, keluar dari mobil pribadinya, dibukakan oleh orang-orang dari Fakultas, kemudian mengawal tua renta bergelar PhD itu ke ruangan miliknya di lantai entah keberapa. Berasa ada nilainya gelar deret-deret itu saat kupandangi sejenak dari balik kantin. Setiap hari, keinginan untuk jadi dosen selalu meluap-luap.

Tapi……………

Kau tau akhirnya…………….

Pengalaman awal menjadi dosen, baru mengetahui bahwa semuanya itu fana. Tulisan di paragraf 2 dan 3 diatas itu, yang sudah kau baca itu, hanyalah bayangan semu. Saat itu, aku tidak tau apa-apa dengan ketentuan administrasi dosen, aku hanya mengiyakan saja. Ku kira mirip-mirip kerja di korporasi. Sekali nggak cocok, cabut aja udah. Ternyata, dunia kerja yang membutuhkan huruf M itu memang busuk. Eheemmm, maksudku kerja di planet M-ars ya…

Awal tahun 2020 memang menjadi petaka kesialan bagi seluruh ras manusia. Hanya karena suatu penyakit yang mengharuskan orang pake topeng untuk menutup mulut dan hidungnya, semuanya berubah kelam. Dunia yang indah itu berubah menjadi kegelapan. Tawa dan canda, berubah menjadi duka. Planet ini sudah tak seperti yang kukenal. Seolah kita terhanyut dalam dunia lintas dimensi. Semuanya menjadi sulit untuk dihadapi.

Dalam keadaan yang serba bingung, serba bimbang, dan serba menghadapi keputus-asaan itulah, semua hal yang bisa diambil, maka diambillah. Entah itu akan berdampak baik atau tidak. Entah itu memang yang dibutuhkan atau tidak. Yang penting ambil.

Itulah sedikit alur abstrak yang bisa  kubagikan. Masih banyak hal yang tentu tak akan terungkap, biarlah itu hanya menjadi rahasiaku dengan sang Tuhan.

Banyak peluang-peluang lain yang tak pernah kucoba, banyak rasa dan gegap bibir yang menggigil setiap malam. Kau tak pernah mengunjungiku, kawan, jadi kau tak pernah tau apa yang sedang aku tangisi setiap menjelang subuh.

Tapi biarlah. Yang sudah biarlah menjadi debu. Diperpanjang dan diungkit-ungkit pun tak ada guna. Mungkin di tulisan ini, aku mengungkit untuk yang terakhir kalinya. Karena aku tak mau tenggelam dalam kesedihan dan lamunan yang tiada henti. Aku harus bangkit. Aku harus mulai menata kembali. Entahlah apa skenarionya, tapi tugas pertamaku harus dimulai dari membangkitkan rasa semangat di dalam diri. Bantu aku untuk bangkit ya, kawan…!

Jangan menganggap aku sebagai orang yang keras. Kumohon hentikan itu..! Kau hanya belum mengenal diriku. Sesekali bolehlah kita memesan minuman bersama di pojok tembok berlin itu, menghadap cakrawala ke sebelah barat. Fokus kearah barat. Tempat aku dibesarkan, kawan. Bercerita bagaimana ruwetnya hidup di pulau kunci yang setiap hari bikin polusi itu. Pulau yang sebetulnya ingin sekali kutinggalkan dulu, tapi entah kenapa, sekarang aku berani membayar uang berapapun hanya untuk berlayar menyapanya. Benar kata orang, rasa rindu hanya akan menghujam saat kita meninggalkannya.

Kawan, bagaimanapun kalimatku diatas mungkin berisi tangisan dan kesedihan, tapi sekali-kali aku tidak pernah menyesal mengenal beberapa diantara kamu yang sering menyapaku. Entah di ruangan yang banyak kursinya itu, atau di jalan, atau mungkin menyapa di depan layar, aku ucapkan terima kasih. Karena kamu-kamu lah pikiran yang berisi kesedihan itu bisa ku alihkan. Senang rasanya, jika aku selalu menerima pertanyaan-pertanyaan dan sanggahan darimu. Menantangku untuk memutar kembali memori di masa lalu, saat aku duduk sepertimu, sebagai seorang mahasiswa.

Tapi, setiap ada pertemuan, pasti ada pula perpisahan. Aku hanya menunggu waktu yang tepat saja untuk pamit dan melambaikan tangan. Kau, fokuslah untuk tetap membaca buku-buku yang tebal itu. Aku hanya minta 1 darimu: jangan sampai kau menguatkan realita bahwa aku adalah pengajar yang gagal. Kumohon itu, kawan. Aku ingin dikenang dilubuk hatimu sebagai pengajar yang berhasil….

 

 

~~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~~