Dalam keyakinan Ahlussunnah wal Jama’ah, salah satu kewajiban umat Islam adalah mencintai keluarga dan para sahabat Nabi saw, secara seimbang (tawazun), tengah-tengah (tawassuth) dan tegak lurus (i’tidal), serta tidak berlebih-lebihan (tatharruf) dalam mencintai keluarga dan sahabat Nabi.
Menanamkan fanatisme buta kepada keluarga Nabi, dapat menimbulkan citra negatif tentang pribadi mereka. Begitu juga mengangkat derajat Ahlul Bait Nabi Muhammad setinggi-tingginya, sehingga menggambarkan sosok mereka tidak sesuai kenyataan sesungguhnya, misalkan dengan menyamakan kedudukan mereka dengan Nabi. Maka pada tingkat tertentu dengan tanpa disadari justru menistakan keluarga Nabi sebagai orang-orang yang seakan-akan ambsius, suka berpura-pura, dan penakut (taqiyyah).
Dalam kenyataan ada kelompok yang berlebihan kepada sayyidina Ali ra. Dalam keyakinan mereka ketika sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. tidak diangkat menjadi khalifah pertama oleh mayoritas Sahabat. Beliau marah dan menyuruh para pengikutnya untuk memberontak dan menyebarkan caci maki, dan kelak di akhirat orang-orang yang dianggap merampas jabatannya akan dipukuli, disiksa dan dikeroyok oleh sayyidina Ali beserta para putra dan pengikutnya (Imam Dua Belas) untuk melampiaskan dendam kusumatnya yang berkobar sejak lama sebagaimana dalam i’tiqad (keyakinan)raj’ah dalam doktrin Syi’ah Itsna ‘Asyariyah itu.
Kepercayaan ini memang berawal dari kecintaan yang berlebihan kepada Sayyidina Ali, namun dampak yang diakibatkan cukup merisaukan, karena menggambarkan potret buram keluarga Nabi yang suci dengan gambaran orang-orang yang selalu menyimpan dendam kesumat, seakan gila jabatan dan tidak berperikemanusiaan terhadap sesama sahabat, padahal tidak demikian kenyataan hidupnya.
Dalam keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah, hal itu tidak mungkin terjadi pada keluarga Nabi yang disucikan Allah dari perbuatan yang buruk dan tidak disukai Allah dan Rasul-Nya itu, memang sejarah telah mencatat ada perselisihan antara sebagian keluarga dan sebagian sahabatnya. Sebagai manusia biasa, hal ini wajar, tetapi hal tersebut tidak sampai menebarkan dendam kesumat sepanjang zaman, sebab Ahlul Bait adalah orang-orang yang dilindungi oleh Allah dari perilaku yang kotor.
Kedekatan Ahlul Bait dan para Sahabat Nabi
Di antara Ahlul Bait dan para sahabat Nabi SAW ada kemesraan yang terjalin, saling mencintai karena Allah, tidak ada permusushan dan dendam kesumat, kebersamaan dalam ikatan persaudaraan (satu sama lain saling mengikat dalam kekeluargaan antara lain melalui perkawinan). Ada banyak bukti dalam i‘tiqad (prinsip keyakinan) Ahlussunnah Wal Jama’ah, bahwa hubungan keluarga Nabi Muhammad dan para sahabatnya adalah sangat baik. Di antaranya ialah pernyataan sayyidina Abu Bakar, sesungguhnya Abu Bakar as-Shiddiq, berkata “Sungguh kerabat-kerabat Rasulullah lebih aku cintai dari keluargaku sendiri.” (Shahih al-Bukhari, 3730).
Sayyidina Umar bin al-Khattab juga merupakan salah seorang sahabat yang selalu memperhatikan keluarga Nabi, mengenai hal ini Ibn Abbas menyatakan:
Dari Ibn Abbas, ia bercerita “Sayyidina Umar pernah berkhutbah kepada kami di atas mimbar Rasulullah, ia berkata, Sayyidina Ali adalah seorang yang paling ahli dibidang hukum dan Ubay adalah seorang yang paling fasih bacaannya.” (Shahih al-Bukhari, 4121).
Dari Uqbah bin Harits, ia berkata “Suatu ketika Abu Bakar, melaksanakan shalat ashar. Setelah itu berjalan pulang dan melihat Hasan bin Ali sedang bermain dengan anak-anak sebaya, Abu Bakar kemudian menggendongnya seraya berkata, sungguh, anak ini sangat mirip dengan Nabi, tidak mirip Ali, mendengar pernyataan ini Ali, tertawa.” (Shahih al-Bukhari, 3278).
Rasa hormat dan kecintaan Ahlul Bait kepada para Sahabat Nabi itu bagaikan kata berjawab gayung bersambut, sebagai mana tergambarkan dalam ungkapan sayyidina Ali sendiri:
Dari Muhammad bin Hanafiyyah, berkata, “Saya bertanya kepada ayahku (Ali bin Abi Thalib): Siapakah manusia paling mulia setelah Rasulullah? Sayyidina Ali menjawab, Sayyidina Abu Bakar, setelah itu aku bertanya lagi, kemudian siapalagi? Sayyidina Ali menjawab Sayiidina Umar bin Khattab. Dengan sedikit ragu-ragu aku bertanya lagi, kemudian siapa lagi? Sayiidina Ali menjawab. Sayyidina Utsman bin Affan, lalu aku berkata, kemudian engkau wahai ayahku? sayyidina Ali, menjawab (seraya merendah diri), tidak aku hanya seorang laki-laki biasa seperti muslim lainnya.” (Sunan Abi Daud, 4013).
Dari Ibnu Umar, berkata “Ketika jenazah sayyidina Umar diletakkan di antara mimar dan makam Rasulullah, sayyidina Ali datang dan berdiri di depan barisan, seraya mengatakan, inilah orangnya, inilah orangnya, mudah-mudahan Allah memberikan Rahmat-Nya kepadamu, tidak seorangpun hamba Allah yang paling aku cintai untuk bertemu Allah (dengan membawa buku catatan yang baik) setelah buku catatan Nabi, selain yang terbentang di tengah-tengah kalian ini (yakni jenazah sayyidina Umar).” (Musnad Ahmad, 823).
Ada beberapa hal yang dapat difahami dari ungkapan sayyidina Ali ini, pertama: penghormatan Sayyidina Ali kepada para Sahabat, khususnya tiga khalifah sebelum beliau, tidak ada rasa dendam atau merasa tersaingi dan didzalimi. Kedua: kerendahan hati sayyidina Ali dalam kapasitas beliau sebagai anggota keluarga (Ahlul Bait), tidak ada perasaan lebih mulya dari yang lain, seraya mengatakan aku hanya seorang laki-laki biasa seperti muslim lainnya. Ketiga: tidak mungkin beliau melakukan taqiyyah (menyembunyikan kebenaran dalam perkataannya itu, sebab penghormatan Sayyidina Ali diungkapkan pada saat orang yang dipuji itu telah meninggal dunia).
Data seperti tersebut di atas tidak hanya dicatat dalam kitab-kitab Ahlissunnah tetapi bisa didapatkan juga dalam kitab-kitab Syi’ah, misalnya dalam kitab Talkhis asy-Syafi Juz II hal. 48, asy-Syafi hal. 428, dan lain-lain.
Tidak hanya sampai di sini, kecintaan dan persaudaraan itu berlangsung terus hingga anak keturunan mereka. Bahkan kecintaan yang mendalam di antara para sahabat dengan keluarga Nabi Muhammad, tidak cukup dengan pernyataan semata, tetapi sampai pada pembuktian yang nyata seperti memberikan nama putra mereka dengan nama para sahabat besar itu. Misalnya Sayyidina Ali, di antara 33 putra putri beliau ada yang diberi nama dengan nama Abu Bakar, Umar dan Utsman. (Imam Ali bin Abi Thalib, hal. 9).
Sayyidina Hasan memberi nama Abu Bakar dan Umar di antara 14 putra-putrinya, sayyidina Husain juga memberi nama Abu Bakar dan Umar di antara 9 putra-putrinya (Muqaddimah Allimu Auladakum Mahabbata Ali Baitin Nabi). Imam Ali Zainal Abidin menunjukkan kecintaanya kepada para sahabat Nabi juga dengan memberi nama salah seorang putranya dengan nama Umar. Imam Musa al-Kadzim, memberi nama salah satu putranya dengan nama Abu Bakar (Kasyful Ghummah, Juz. 2, hal. 217), Imam Ali al-Ridha, memberi nama salah seorang putrinya dengan nama ‘Aisyah (Kasyful Ghummah, Juz. 2, hal. 237), dan Imam Ali al-Hadi juga memberi nama salah seorang putrinya dengan nama ‘Aisyah.
Siapapun tahu bahwa orang yang memberikan nama pada putra-putrinya, tentu memilih nama yang paling disukai, sembari tersirat sebuah harapan semoga yang dimaksud dapat meneladani dan memiliki kualitas individu sebagaimana orang yang ditiru namanya. Sudah pasti hal itu tidak bakal terjadi bilamana dalam hati mereka ada permusuhan dan dendam kesumat. Ini sebagai bukti bahwa Allah melindungi Ahlul Bait Nabi Muhammad dari berbagai penyakit hati.
Bahkan lebih jauh kecintaan antara para sahabat dan keluarga Nabi, tidak hanya terbatas pada pemberian nama putra-putrinya saja, tetapi berlanjut pada tingkatan perbesanan. Misalnya Sayyidina Umar menikah dengan Ummi Kultsum, putri sayyidina Ali. Zaid bin Amr bin Utsman bin Affan menikah dengan Sukainah binti al-Husain bin Ali bin Abi Thalib (Nasabu Qurays li al-Zubairi, Juz. IV, Hal.114 dan 120).
Perlu diketahui pula bahwa sayyidina Utsman, adalah keponakan sepupu dari sayyidina Ali, dari jalur ibunya yang bernama Arwa binti Baidla’ binti Abdul Muthallib. Dengan demikian di dalam badan sayyidina Utsman, ternyata mengalir juga darah Bani Hasyim. Imam Muhammad al-Baqir, ayahanda dari imam Ja’far al-Shadiq, menikah dengan cucu sayyidina Abu Bakar yakni Ummu Farwah putri al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, yang saudara sekandung dengan ‘Aisyah (al-Kafi, juz. 1, hal. 472). Dan dalam konteks inilah Imam Ja’far al-Shadiq, menyatakan:
“Abu Bakar telah melahirkan aku dua kali (yakni dari jalur kakek dan nenek dari ibunya).” (Umdhatutthalib, hal. 195).
Jadi sangat tidak masuk akal apabila Imam Ja’far al-Shadiq yang mulia mengajarkan caci maki kepada kakeknya sendiri yang jauh dari ahlaqul Karimah.
Last but not least, sayyidina Ali menikah dengan Asma’ binta Umais (janda Sayyidina Abu Bakar) yang dalam catatan buku-buku Syi’ah, Asma’ binta Umais tersebut adalah perawat yang setia menemani sayyidah Fatimah selama sakit di akhir hayatnya (al-Amali, Juz. 1, hal.107). Al-Irbili mengatakan bahwa Asma’ binti Umais adalah seorang yang turut memandikan jenazah Sayyidah Fatimah,(Kasyful Ghummah, Juz. 1, hal. 237). Al-Majlisi mengokohkan bahwa Sayyidah Fathimah berwasiat agar Asma’ binta Uwais turut mengkafani dan mengantarkan jenazah Sayyidah Fathimah, kemudian Asma’ melaksanakan wasiat tersebut (Jilal Uyun, hal. 235, 242 ).
Fakta-fakta sejarah tersebut di atas menambah keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah bahwa sayyidina Ali tidak ada masalah dengan sayyidina Abu Bakar, bahkan sayyidina Ali, sejak awal turut membaiat sayyidina Abu Bakar sebagai khalifah pertama sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (Irsyadu al-Sari, Juz. IV, hal. 377), dan Ibn al-Atsir (al-Kamil, hal. 220). dengan demikian antara sayyidina Ali dan sayyidina Abu Bakar, pada hakikatnya di antara keduanya terjalin tautan kasih dan tambatan sayang yang kokoh bak karang di tengah lautan yang tak pernah goyah oleh deburan ombak yang dahsyat sekalipun. Ini adalah bukti kesuksesan Nabi Muhammad dalam membimbing para sahabatnya.
Jika benar-benar mencintai Ahlul Bait Muhammad, tentu kita wajib mencontoh sikap santun dan kerendahan hati mereka. Sebab sebagai keluarga suci, hati dan lidah mereka jauh dari hal-hal yang mengotori semisal umpatan dan caci maki, apalagi hasut dan dengki, tentu jauh dari mereka sejauh panggang dari api.