Pengutipan = (Idik Saeful Bahri, 2021, Konsep Dasar Ilmu Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia, Kuningan: Bundaran Hukum, hlm. 166-167)
Sistem Hukum Indonesia
Sistem hukum Eropa Anglo-Saxon atau sistem common law dibawa oleh Inggris ke daerah-daerah jajahannya, seperti Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura. Sementara Indonesia diwarisi sistem civil law dari negara yang menganut paham Eropa Kontinental yaitu Belanda. Karena Indonesia bersama negara-negaara tetangga bekas jajahan Inggris menjadi anggota ASEAN dan berbaur antara satu dengan yang lainnya, maka untuk kegiatan ekonomi-perdagangan serta untuk memenuhi keperluan hukum Indonesia, sejak masa Orde Baru hukum Anglo-Saxon sudah berlaku juga (mengatur beberapa hal) di Indonesia.
Dengan demikian, jika merujuk pada pembahasan di bab sebelumnya mengenai enam pembagian sistem hukum di dunia versi penulis, empat diantara lima sistem hukum besar di dunia (hukum adat, hukum Islam, hukum Eropa Kontinental, hukum Eropa Anglo-Saxon, kecuali sistem hukum Marxis-Komunis), kini berlaku di Indonesia.[1]
Secara umum memang Indonesia memiliki kecondongan menganut sistem civil law (Eropa Kontinental), namun kembali penulis sampaikan disini bahwa klaim negara terhadap sistem civil law tidak lain merupakan kecenderungan dominan hukum-hukum yang berlaku di negeri ini. Artinya, dalam implementasi hukum di lapangan, tidak sedikit produk-produk hukum yang justru mengambil dari sistem selain civil law.
Dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Ini berarti bahwa Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.[2]
Sebagaimana telah dijelaskan di bab sebelumnya tentang Sistem Hukum, bahwasanya Indonesia secara lebih khusus disepakati oleh para akademisi hukum tata negara menganut sistem hukum campuran atau hibrida, yang dalam pandangan politik hukum nasionalnya menyebut sistem hukum tersebut sebagai sistem hukum Pancasila. Secara lebih mudah dapat penulis katakan, bahwa sistem hukum Pancasila adalah suatu jalan tengah untuk mengakomodir pluralisme hukum di Indonesia. Setidaknya empat jenis sistem hukum di dunia—yakni civil law, common law, adat, dan agama, menyatu beriringan membentuk suatu sistem campuran yang kita sebut sebagai sistem hukum Pancasila.
Walau begitu, masih banyak para praktisi hukum di Indonesia, termasuk juga beberapa akademisi hukumnya, yang masih menganggap bahwa Indonesia masih menganut civil law system. Tentu dalam kesempatan ini, penulis ingin memberikan pandangan kepada para pembaca, bahwa doktrin tersebut sudah ketinggalan zaman dan layak untuk ditinggalkan. Indonesia dianggap memiliki kecondongan menganut civil law system, jawabannya betul. Namun jika Indonesia disebut sebagai negara yang masih menganut sistem civil law, maka pernyataan itu sudah tidak relevan lagi.
~~~~~~~~~~~~~~~
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri
(idikms@gmail.com)
~~~~~~~~~~~~~~~
_________
[1] Sulaikin Lubis, dkk, op.cit., hlm. 12.
[2] Evi Hartanti, 2007, Tindak Pidana Korupsi Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 1.