Bagi anda yang sudah bertahun-tahun hidup di gunung, memiliki banyak relasi dengan para pendaki gunung dan penempuh rimba, atau memang anda seorang anggota ekskul PA atau UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) MAPALA, saya yakin anda merasa heran dan bingung mengapa saya masukkan bab khusus yang membahas tentang semangat kebangsaan.

Tidak banyak organisasi-organisasi Pencinta Alam menanamkan semangat kebangsaan terhadap anggotanya. Hal yang seharusnya di dahulukan ini malah menjadi materi yang terabaikan. Sebagian pihak mungkin menjawabnya dengan santai, “Bung Idik, semangat kebangsaan sudah barang tentu diajari di sekolah dengan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, atau di kampus dengan mata kuliah Kewarganegaraan.” Memang benar, tapi saya tekankan disini bahwa pelajaran kebangsaan di kelas akan terasa berbeda dengan jika kita melakukannya di alam bebas. Sungguh sangat berbeda.

Kembali ke sebuah cerita saya di masa lalu, cerita yang benar-benar merubah arah pikiran saya secara umum. Bagaimana saya seharusnya menghargai alam, menghargai waktu, bisa bertahan dalam keterpurukan dan kondisi lingkungan yang tidak mendukung, dan masih banyak pelajaran yang bisa saya ambil hikmahnya dari acara yang akan saya ceritakan di sini.

Sudah saya singgung sebelumnya, bahwa saya pernah mengikuti kegiatan ekskul Klub Pendaki Gurung dan Penempuh Rimba. Walau memang tidak sampai tuntas, tapi setidaknya ada sisi-sisi memori yang menjadi bagian dari perjalanan hidup saya selama ini. Ada tombak perubahan dalam diri saya hanya karena saya mengikuti kegiatannya.

Di akhir bulan Desember, tepatnya setelah natal, karena saya masih ingat, calon anggota kami berjumlah 17 orang, dan beberapa diantaranya beragama Katolik. Tentu, acara apapun itu  di sekolah, saya yakin tidak akan dilaksanakan bertepatan dengan perayaan natal. Entah tanggalnya saya lupa, entah tanggal 26 atau 27, kami sebagai calon anggota, wajib mengikuti kegiatan Pendidikan Dasar yang dilaksanakan di kaki gunung Ciremai selama beberapa hari, kurang lebih satu minggu.

Selama jangka waktu itu, kami diajari bagaimana caranya survive atau bertahan hidup tanpa makanan yang kami bawa dari rumah. Kami hanya diizinkan untuk memakan tumbuh-tumbuhan yang berada di alam.  Kami juga diajarkan bagaimana caranya membuat bipak, atau bahasa kerennya ialah tenda alam, maksudnya membuat tenda dengan menggunakan ranting pohon sebagai tiangnya dan daun-daunan sebagai atapnya. Semakin banyak daun yang menutupi bipak tersebut, semakin nyaman kita tidur di malam hari. Kami juga di ajari navdar atau navigasi darat, dan banyak lagi pelajaran yang saya dan teman-teman saya dapat dari kegiatan tersebut.

Satu hari sebelum pulang, kami yang berjumlah 17 orang, di buat satu baris dengan menghadap ke arah alam Kuningan yang ASRI tiada tanding. Seluruh Kuningan serasa dapat kami lihat. Entah saya tidak tahu berada di ketinggian berapa, tapi seluruh daerah di Kuningan dapat terlihat dengan jelas. Bangunan-bangunan yang seharusnya besar, terlihat sangat kecil dari kejauhan. Masjid Agung Syiarul Islam yang menjadi ikon kota Kuningan, hanya terlihat seperti seekor semut. Kecil sekali. Di saat itu, kami di suruh oleh senior kami untuk menyanyikan lagu Syukur, salah satu lagu wajib nasional. Kami meresapi setiap bait lagu itu. Dan tidak terasa, air mata ini mengucur deras di pipi kami. Semuanya menangis, semuanya terharu, melihat pesona alam Indonesia yang begitu indah, dan membayangkan betapa kecilnya kami di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Selama saya masuk di ekskul ini, tidak pernah sekali pun saya mendapatkan pelajaran kebangsaan. Materi-materi yang disampaikan oleh senior hanya mengenai masalah gunung dan hutan. Bagaimana cara hidup di gunung dan membuat peralatan-peralatan sederhana unutk hidup di hutan. Tapi saya baru menyadari, bahwa senior-senior saya telah jauh lebih maju pemikirannya dari saya. Saya baru menyadari bahwa saya pernah di berikan pembelajaran kebangsaan, pembelajaran secara tidak langsung. Pembelajaran bathin yang saya dapatkan itu ialah ketika saya menyanyikan lagu syukut di atas gunung. Bagaimana tidak, pesan-pesan kebangsaan yang biasa disampaikan oleh guru PKn saya di kelas, begitu tampak dan nyata di depan mata. Sangat nyata. Hal ini tentu tidak akan pernah di alami oleh mereka yang hanya belajar PKn di dalam kelas. Saya yakin mereka tidak akan merasakan apa yang kami rasakan saat itu.

Oleh karenanya, sangat penting sekali kita kaji mengenai pemahaman kebangsaan yang benar. Terlalu jauh jika kita membicarakan tentang Pancasila dan UUD 1945 yang memiliki tafsiran maha kompleks, tapi kita mulai dari hal-hal sederhana yang bisa membuat semangat kebangsaan kita memuncak. Jangan hanya raga yang mendaki gunung, tapi juga semangat kebangsaan harus di pupuk sejak dini. Jangan hanya badan yang menyelam ke dasar lautan, tapi juga kita harus menyelami arti indah ciptaan Tuhan dan menghormati perjuangan para pendiri bangsa yang sudah mempertaruhkan nyawa membebaskan kita dari belenggu penjajahan.

Dari itulah, maka saya sangat menganggap penting materi yang berkaitan dengan kebangsaan. Hanya dua hal yang akan saya jelaskan di buku ini. Saya tidak akan fokus terhadap penanaman nilai Pancasila yang begitu luas. Tidak, tidak sampai kesana. Hanya mengenai sikap Nasionalisme dan Patriotisme, saya anggap itu sudah sangat cukup. Yang terpenting adalah bagaimana ketika kita naik gunung, ketika kita menjelajah hutan dan menyelam di lautan, semangat kebangsaan kita semakin hari semakin menggelora. Di sinilah tips-tips itu akan saya bagikan. Jangan sampai, kita naik gunung hanya untuk membuang-buang uang dengan membeli peralatan dan perbekalan makanan, tapi setelah turun dari gunung, tidak terjadi intospeksi apapun di dalam diri kita. Saya bisa mengatakan, bahwa orang-orang seperti ini tidak benar-benar mendaki gunung. Karena sejatinya, mendaki gunung seharusnya bisa menjadikan bahan renungan atau muhasabah diri. Dengan naik gunung, diharapkan sikap introspeksi kita muncul. Apalagi kita ketahui, selain Mekkah yang membuka tabir kejelekan seorang manusia, tempat lainnya adalah gunung. Gunung dapat membuka aib-aib buruk kita. Orang yang pemalu, orang yang pendiam, orang yang pemarah, semuanya tampak sangat jelas ketika kita mendaki gunung. Maka dari itu, harus ada hadiah indah minimal untuk diri kita sendiri setelah kita selesai menjelajah, baik itu gunung, hutan maupun lautan.

 

~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~