BAB 1. PENDAHULUAN
Kabupaten Sorong adalah sebuah wilayah administratif yang masuk dalam lingkup Provinsi Papua Barat, yang menjadi pintu gerbang bagi kawasan tanah Papua dari arah Barat Indonesia. Berdasarkan letak geografi Kabupaten Sorong yang berada pada posisi strategis di Kawasan Timur Indonesia. Kabupaten Sorong memiliki letak yang sangat mendukung perkembangan perekonomian dan jasa yang potensial untuk akses dengan kawasan Indonesia lainnya (conecting area) baik dari dalam Papua maupun keluar wilayah Nusantara.[1] Dengan visi Kabupaten Sorong Tahun 2018-2022 sebagai Kabupaten termaju se-tanah Cendrawasih, menjadikan Kabupaten ini mulai ramai dan padat dengan berbagai macam aktivitas.
Semakin hari, perkembangan penduduk di Kabupaten Sorong terus meningkat, baik dari segi kelahiran anak maupun dari banyaknya pendatang dari luar daerah. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Sorong, pertahun 2019 jumlah populasi di Kabupaten Sorong menyentuh angka 254.294 jiwa, belum termasuk para perantauan yang masih bukan ber-Kartu Tanda Penduduk Kabupaten Sorong.[2] Jumlah tersebut merupakan jumlah yang besar jika dibandingkan dengan Kabupaten Manokwari—yang merupakan ibuKabupaten Provinsi Papua Barat—yang populasinya hanya 107.325 jiwa.
Terus berkembangnya populasi di Kabupaten Sorong, tentu akan memberikan banyak dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif. Beberapa dampak positif dari semakin banyaknya populasi di Kabupaten Sorong adalah semakin berputarnya roda perekonomian yang tentu berimplikasi terhadap kesejahteraan masyarakat. Hal ini juga dikuatkan dengan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Jacobus Perviddya Solossa dalam bukunya berjudul “Otonomi Khusus Papua: Mengangkat Martabat Rakyat Papua di dalam NKRI”, bahwa hasil survei yang dilakukan kepada banyak responden, menunjukkan bahwa banyaknya populasi—termasuk pendatang—membawa angin segar bagi kemajuan perekonomian di Papua.[3]
Selain dari dampak positif, pertumbuhan penduduk di suatu daerah juga akan melahirkan banyak dampak negatif. Salah satu masalah yang akan muncul adalah suatu masalah sosial yang menjadi konsentrasi pengusul dalam proposal ini, yakni terjadinya disintegrasi dalam ketaatan masyarakat terhadap aturan hukum. Hukum yang dimaknai sebagai suatu alat perubahan sosial, belum mampu memberikan efek yang positif di Kabupaten Sorong. Banyak aspek dalam implementasi dan penegakan hukum di Kabupaten Sorong, terlihat sangat jauh dari yang diharapkan.
Pengusul dalam hal ini menyoroti pelaksanaan hukum yang paling sederhana, yang justru sangat terlihat bagi kalangan luar, yakni kepatuhan masyarakat terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lalu lintas. Bukan suatu rahasia lagi, bahwa para pengendara—utamanya pengendara roda 2—di Kabupaten Sorong tidak mematuhi ketentuan UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, misalnya tidak pernah menggunakan helm, tidak membawa surat kelengkapan jalan seperti SIM dan STNK, dan bahkan banyak kendaraan yang tidak dilengkapi dengan plat nomor.
Kurangnya kesadaran masyarakat di Kabupaten Sorong ini, dininabobokan dengan tidak adanya penegakan hukum dari aparat. Pelanggaran lampu lalu lintas yang lokasinya dekat dengan Markas Kepolisian Resor (Mapolres) Kabupaten Sorong, juga dibiarkan dan menjadi kebiasaan di kalangan masyarakat Kabupaten Sorong. Para aparat kepolisian belum berani memberikan efek jera bagi para pelanggar aturan lalu lintas, kecuali hanya saat-saat tertentu ketika dilakukan operasi gabungan, itupun dilakukan sangat jarang sekali terjadi.
Dari tiga tujuan hukum yang paling terkenal dalam literatur ilmu hukum yaitu teori etis (keadilan hukum), teori utilities (kegunaan/kemanfaatan hukum), dan teori positivis (kepastian hukum),[4] belum terbentuk satupun dalam implementasi aturan lalu lintas di Kabupaten Sorong. Hal ini tentu sangat mendasar, karena aturan lalu lintas sangat mudah terlihat dan sangat transparan. Ketidakpatuhan masyarakat Kabupaten Sorong akan penggunaan helm misalnya, ketidakpatuhan terhadap aturan lampu lalu lintas misalnya, sangat terlihat dan sulit untuk dielakkan.
Satu penyebab yang pasti dari ketidakpatuhan masyarakat Kabupaten Sorong terhadap budaya tertib lalu lintas dilatarbelakangi dari kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat Kabupaten Sorong akan aturan lalu lintas tersebut. Hal ini tentu bisa diberdayakan dengan banyaknya sosialisasi dan program yang mengakar hingga ke banyak sektor dan kawasan untuk mengenalkan budaya tertib lalu lintas. Dengan perbaikan budaya tertib lalu lintas di Kabupaten Sorong, bisa memberikan implikasi luas terhadap meleknya kesadaran masyarakat akan budaya tertib terhadap hukum secara luas.
Demi mewujudkan hal tersebut, pengusul membuat suatu skema sosialisasi yang melibatkan siswa-siswi di Kabupaten Sorong yang tidak lain merupakan salah satu bagian dari para pengendara di jalanan Kabupaten Sorong. Perubahan perilaku hukum dikalangan anak muda—utamanya anak sekolah—diharapkan bisa memberikan implikasi terhadap kesadaran tertib lalu lintas di Kabupaten Sorong. Perilaku tertib lalu lintas—sebagaimana telah pengusul sampaikan diatas—merupakan suatu hal mendasar untuk mengukur dan menguji ketaatan masyarakat terhadap norma hukum.
Oleh karenanya, pengusul menggandeng beberapa sekolah di Kabupaten Sorong untuk melakukan suatu rekayasa sosial membentuk karakter masyarakat yang lebih taat akan hukum. Setidaknya pengusul bekerja sama dengan ……………………., ……………………………, dan ……………………………., dalam mewujudkan pengabdian ini. Dengan menggunakan judul “Papua Peduli dan Sadar Hukum (Papeda) dalam Menciptakan Budaya Tertib Lalu Lintas di Kalangan Anak Sekolah di Kabupaten Sorong, Papua Barat”, memiliki tujuan untuk melakukan suatu perubahan perilaku dikalangan para pengendara—utamanya pengendara roda dua—dengan mengambil sampel anak-anak sekolah menengah atas, yang nantinya bisa ditarik dengan pendekatan yang lebih luas, yakni perubahan perilaku menjadi masyarakat yang taat akan hukum secara umum.
BAB 2. GAMBARAN UMUM MASYARAKAT MITRA
Pengusul bekerja sama dengan tiga sekolah di Kabupaten Sorong, yakni ……………………., …………………………., dan ……………………… Alasan pengambilan sampel tiga sekolah menengah atas tersebut dilatarbelakangi dengan eksistensi dan sepak terjang ketiga sekolah ini di Kabupaten Sorong. Jumlah siswa di tiga sekolah menengah atas tersebut yang menggunakan kendaraan bermotor juga cukup banyak, sehingga sangat relevan dengan tema pengabdian ini.
……………………… merupakan sekolah menengah atas yang beralamat di ……………………………………………………. Sementara ……………………….. beralamat di ……………………………………………. Adapun ……………………….. beralamat di …………………………………….. Ketiga sekolah tersebut sama-sama memiliki lebih dari 500 siswa.
Dari segi lokasi, ………………………….., ………………………., dan …………………….. berada tidak jauh dari pusat Kabupaten Sorong, sehingga keberadaan siswa dan siswi ketiga sekolah menengah atas tersebut dalam lalu lintas kabupaten sangat besar sekali. Kedudukan ketiga sekolah tersebut sebagai bagian dari sekolah-sekolah favorit di Kabupaten Sorong juga menjadi dasar pengusul menjadikan ketiganya sebagai bagian dari mitra.
Perubahan perilaku dari yang sebelumnya tidak taat lalu lintas menjadi masyarakat yang tertib lalu lintas bisa dimulai dengan pendekatan anak-anak remaja yang populasinya cukup besar. Dengan berkembangnya kesadaran tertib hukum dikalangan anak-anak sekolah, bisa memberikan perubahan bagi sektor masyarakat lainnya. Dalam tinjauan yang jauh kedepan, dengan bertambahnya kesadaran masyarakat akan budaya tertib lalu lintas, maka aparat penegak hukum—yakni kepolisian—bisa mulai melakukan penegakan sebagaimana mestinya.
BAB 3. METODE PELAKSANAAN
Metode yang ditawarkan dalam kegiatan atau pengabdian ini adalah rekayasa sosial. Less dan Presley tokoh sosiolog mengartikan rekayasa sosial (social engineering) adalah upaya yang mengandung unsur perencanaan, yang diimplementasikan hingga diaktualisasikan di dalam kehidupan nyata.[5] Rekayasa sosial terjadi manakala adanya kesenjangan atau suatu perbedaan yang signifikan antara das sollen (konsep ideal atau dalam hal ini peraturan perundang-undangan tentang lalu lintas) dengan das sein (realita yang ada). Perbedaan antara das sollen dan das sein ini walau memang sering terjadi, namun dalam perkembangan jangka panjang harus mulai disikapi dengan suatu rekayasa.
Proses rekayasa sosial tidak sepenuhnya harus melibatkan seluruh elemen dalam populasi. Rekayasa sosial juga bisa dilakukan dengan menggunakan beberapa sampel untuk menguji apakah upaya rekayasa sosial tersebut bisa memberikan implikasi atau tidak, sehingga keakuratan dari suatu rekayasa sosial bisa diukur secara tepat. Oleh karenanya, dari populasi masyarakat Kabupaten Sorong yang begitu luas, pengusul mengambil beberapa sampel yang strategis untuk melakukan rekayasa sosial, yakni mengambil tiga sekolah paling dekat dan paling berpengaruh di Kabupaten Sorong, yaitu …………………………….., ………………………., dan ……………………………
Adapun dalam proses rekayasa sosial yang dirancang oleh pengusul, bisa diuraikan sebagai berikut:
- melakukan sosialisasi awal mengenai aturan lalu lintas. Sosialisasi ini dilakukan beberapa kali—sebagaimana dijelaskan dibagian jadwal kegiatan—untuk memperkuat pemahaman siswa dan siswi akan pentingnya aturan-aturan lalu lintas;
- melakukan pengecekan secara berkala terhadap berkas-berkas penting yang seharusnya dimiliki setiap pengendara, seperti SIM dan STNK;
- menghadirkan sosiolog untuk melakukan upaya penyuluhan yang lebih intens;
- membuat Komite Papeda (Komite Papua Peduli dan Sadar Hukum) disetiap sekolah yang fungsinya melakukan penggalangan dana untuk merealisasikan ide dan gagasan dalam kegiatan ini, misalnya dana yang terkumpul bisa untuk biaya pembelian helm yang selanjutnya disosialisasikan oleh para siswa dan siswi di setiap persimpangan di Kabupaten Sorong. Dalam jangka panjang, Komite Papeda di setiap sekolah tersebut bisa menjadi Polisi Siswa yang bertugas melakukan upaya penyuluhan mengenai pentingnya hidup taat hukum;
- Komite Papeda yang terbentuk tersebut akan dikerjasamakan dengan pihak kepolisian dalam mewujudkan upaya rekayasa sosial masyarakat tertib lalu lintas dalam jangka pendek, dan mewujudkan masyarakat yang taat hukum dalam jangka panjang.
Metode dan proses rekayasa sosial sebagaimana dijelaskan tersebut diatas tentu dengan mengikuti protokol kesehatan standar di masa Pandemi Covid-19. Seluruh kegiatan, mulai dari sosialisasi, penyuluhan, bentuk-bentuk kerjasama, hingga upaya pembentukan Komite Papeda, seluruhnya mengikuti aturan terbaru dari pemerintah mengenai pencegahan penularan Covid-19.
~~~~~~~~~~~~~
Dirancang oleh : Idik Saeful Bahri
(idikms@gmail.com)
~~~~~~~~~~~~~
____________
[1] Profil Kabupaten Sorong. URL: https://sorongkabupaten.go.id. Diakses tanggal 20 Februari 2021.
[2] Kabupaten Sorong dalam Angka 2020. URL: https://sorongkabupaten.bps.go.id/publication/2020/04/27/e6ad086323736e5060df1a6c/Kabupaten-sorong-dalam-angka-2020.html. Diakses tanggal 20 Februari 2021.
[3] Jacobus Perviddya Solossa, 2006, Otonomi Khusus Papua: Mengangkat Martabat Rakyat Papua di dalam NKRI, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, hlm. 110.
[4] Sudikno Mertokusumo, 2002, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, hlm. 81.
[5] Jalaludin Rahmat, 1999, Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar?, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, hlm. vi.