Petunjuk = hafalkan dan pahami setiap pendapat  dari para ahli hukum disetiap aliran dan mazhab hukum. Cari kata kunci nya dan hafalkan. Penulis uraikan dulu setiap mazhab dan aliran, silahkan dibaca dan dipahami, nanti dibagian setelahnya ada rangkuman singkatnya.

***

MAZHAB HUKUM ALAM

Madzhab hukum alam = menitikberatkan pada rasio, bahwa keadilan adalah hal yang mutlak. Menitikberatkan pada mana yang benar mana yang salah. Hukum itu berasal dari rasio membedakan mana yang benar dan salah, sehingga hukum itu berlaku abadi, tidak bisa berubah seiring perkembangan zaman.

Penganut = Plato, aristoteles

Mazhab Hukum Alam menurut W Friedmann memiliki beberapa peran penting, yaitu:

  1. Sebagai instrumen utama dalam mengubah hukum sipil kuno pada zaman Romawi ke suatu sistem yang luas dan kosmopolitan.
  2. Digunakan sebagai sasaran untuk menyelesaikan pertikaian antara pihak gereja dan para kaisar di Jerman pada Abad Pertengahan.
  3. Sebagai latar belakang pemikiran untuk mendukung berlakunya hukum internasional dan menuntut kebebasan individu terhadap absolutisme.
  4. Prinsip-prinsip hukum alam juga digunakan oleh para hakim Amerika Serikat untuk menahan usaha-usaha legislatif untuk mengubah dan memperketat kebebasan individu dengan cara menafsirkan konstitusi.

HUKUM ALAM IRASIONAL

Pendapat Thomas Aquinas berkaitan erat dengan teologia. Aquinas berpendapat bahwa ada dua pengetahuan yang berjalan bersama-sama, yaitu pengetahuan alamiah yang berpangkal pada akal dan pengetahuan iman yang berpangkal pada wahyu Ilahi. Menurut Aquinas ada empat macam hukum, yaitu:

  1. Lex eterna yaitu hukum rasio Tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia.
  2. Lex divina, adalah hukum rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh pancaindera manusia.
  3. Lex naturalis atau hukum alam, merupakan penjelmaan lex eterna ke dalam rasio manusia.
  4. Lex positivis, adalah penerapan lex naturalis dalam kehidupan manusia di dunia.

John Salisbury merupakan seorang rohaniawan pada Abad Pertengahan. Pendapat Salisbury dilatarbelakangi kesewenang-wenangan penguasa pada waktu itu. Menurutnya gereja dan negara perlu bekerja sama layaknya hubungan organis antara jiwa dan raga.

Penguasa dalam menjalankan pemerintahannya wajib memperhatikan hukum tertulis dan tidak tertulis (hukum alam) yang mencerminkan hukum-hukum Allah. Tugas rohaniawan adalah untuk membimbing penguasa agar tidak merugikan rakyat, bahkan penguasa juga seharusnya menjadi abdi gereja.

Pendapat Dante Alighieri juga dilatarbelakangi oleh perselisihan antara penguasa di Jerman dan Prancis dengan kekuasaan Paus di Roma. Berbeda dengan Salisbury, dalam memberikan pendapatnya Dante lebih memihak kepada penguasa. Ia amat menentang penyerahan kekuasaan duniawi kepada gereja. Dante berpendapat bahwa keadilan baru dapat ditegakkan apabila pelaksanaan hukum diserahkan kepada satu tangan saja, yaitu berupa pemerintahan yang absolut.

Piere Dubois merupakan filsuf terkemuka sekaligus pengacara raja Perancis, sehingga dapat dikatakan bahwa pandangan-pandangannya pro penguasa. Dobuis mendambakan suatu Kerajaan Perancis yang mahaluas, dimana Kerajaan Perancis tersebut mampu menjadi pemerintah tunggal dunia. Hal ini kemudian melatarbelakangi keyakinan Dubois mengenai adanya hukum yang berlaku universal.

Dubois mengatakan bahwa raja atau penguasa dapat langsung menerima kekuasaan dari Tuhan tanpa perlu melalui pemimpin gereja. Bahkan Dubois ingin agar kekuasaan duniawi gereja dicabut dan diserahkan sepenuhnya kepada raja. Ia juga berpendapat bahwa raja memiliki kekuasaan untuk membentuk undang-undang, tetapi raja tidak terikat untuk mematuhi undang-undang tersebut.
Marsilius Padua dan William Occam merupakan tokoh penting Abad 14. Keduanya sering dibahas bersamaan karena memiliki banyak kesamaan dalam pemikiran mereka. Menurut Padua negara berada di atas kekuasaan Paus dan kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Pendapatnya tersebut banyak dipengaruhi oleh pendapat Aristoteles. Padua berpendapat bahwa hukum harus mengabdi atau memihak kepada rakyat karena tujuan negara adalah untuk memajukan kemakmuran dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada warga negara agar dapat mengembangkan dirinya secara bebas.

Occam atau sering juga ditulis Ockham memiliki pemikiran yang disebut Nominalisme. Pendapat Occam bertentangan dengan pendapat Thomas Aquinas, dimana Aquinas meyakini kemampuan rasio manusia untuk mengungkapkan kebenaran, sedangkan Occam berpendapat bahwa rasio manusia tidak dapat memastikan suatu kebenaran. Menurutnya pengetahuan atau ide yang ditangkap oleh rasio manusia hanyalah nama-nama (nome atau nominal) yang digunakan manusia dalam hidupnya.

John Wycliffe menyoroti masalah kekuasaan gereja. Ia menolak hak-hak paus untuk menerima upeti dari raja Inggris. Hubungan antara kekuasaan ketuhanan dan kekuasaan duniawi oleh Wycliffe diibaratkan sebagai hubungan antara pemilik dan penggarap tanah. Masing-masing memiliki bagiannya sendiri dan tidak boleh saling mencampuri. Kekuasaan pemerintahan tidak perlu melalui perantara, yaitu rohaniawan gereja, serta kedudukan para rohaniawan dan orang awam adalah sama derajatnya di mata Tuhan.

Johannes Huss melengkapi pendapat Wycliffe dengan menyatakan bahwa gereja tidak perlu mempunyai hak milik, bahkan penguasa boleh merampas miik itu apabila gereja salah dalam menggunakan haknya. Huss juga berpendapat bahwa paus dan hierarki gereja tidak diadakan menurut perintah Tuhan, melainkan dibentuk oleh semua orang yang beriman.

HUKUM ALAM RASIONAL

Aliran Hukum Alam Rasional muncul setelah zaman Renaisans, yaitu era ketika rasio manusia dipandang terlepas dari tertib ketuhanan. Aliran ini berpandangan bahwa hukum alam muncul dari pikiran manusia sendiri tentang apa yang baik dan buruk, yang penilaiannya diserahkan kepada kesusilaan (moral) alam. Beberapa tokoh Aliran Hukum Alam Rasional antara lain Hugo de Groot (Grotius), Christian Thomasius, Immanuel Kant dan Samuel von Pufendorf.

Hugo de Groot atau Grotius dikenal sebagai Bapak Hukum Internasional yang mempopulerkan konsep-konsep hukum dalam hubungan antarnegara, seperti hukum perang dan damai, serta hukum laut. Grotius berpandangan bahwa sumber hukum adalah rasio manusia. Karena karakteristik yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah kemampuan akalnya, sehingga seluruh kehidupan manusia harus berdasarkan pada kemampuan akal atau rasio.

Samuel von Pufendorf merupakan penganjur pertama Hukum Alam di Jerman. Menurut Pufendor Hukum Alam adalah aturan yang berasal dari akal pikiran yang murni, dimana unsur naluriah manusia lebih berperan. Ketika manusia hidup dalam masyarakat dan terjadi pertentangan antara kepentingan orang yang satu dengan yang lainnya, maka dibuatlah perjanjian secara sukarela di antara rakyat untuk menghentikan pertentangan tersebut. Kemudian diadakan perjanjian berikutnya yang berupa perjanjian penaklukan oleh raja. Adanya perjanjian tersebut menunjukkan bahwa tidak ada kekuasaan yang absolut. Semua kekuasaan dibatasi oleh Tuhan, hukum alam, kebiasaan dan tujuan dari negara yang didirikan.

Hasil pemikiran Pufendorf kemudian dilanjutkan oleh Christian Thomasius. Thomasius berpendapat bahwa manusia hidup dengan berbagai macam naluri yang saling bertentangan antara naluri yang satu dengan naluri yang lainnya, sehingga diperlukan aturan-aturan yang mengikat agar ia mendapat kepastian dalam tindakan-tindakannya, baik ke dalam maupun ke luar dirinya. Berkaitan dengan ajaran Hukum Alam, Thomasius sampai kepada pengertian tentang ukuran. Dalam hal ukuran tersebut berkaitan dengan batin manusia, maka itu adalah aturan kesusilaan, sedangkan apabila berkaitan dengan tindakan-tindakan lahiriah, maka itu merupakan aturan hukum. Apabila ingin diberlakukan, aturan hukum tersebut harus disertai dengan paksaan dari pihak penguasa.

Kehidupan Immanuel Kant sebagai seorang filsuf dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu zaman prakritis dan zaman kritis. Pada periode prakritis Kant menganut pendirian rasionalistis yang dipopulerkan oleh Wolff dan kawan-kawannya. Pada periode yang kedua pemikiran Kant dipengaruhi oleh Hume dan mulai mengubah pandangannya menjadi pandangan yang bersifat kritis. Hume merupakan filsuf yang menganut paham empirisme, yaitu suatu aliran yang berpendapat bahwa sumber pengetahuan manusia bukanlah rasio, melainkan empiri atau pengalaman, dalam hal ini adalah pengalaman yang berasal dari pengenalan indrawi.

 

MAZHAB SEJARAH

Madzhab sejarah = bahwa hukum itu harus dipandang sebagai suatu penjelmaan dari jiwa atau rohani sesuatu bangsa; selalu ada suatu hubungan yang erat antara hukum dengan kepribadian suatu bangsa.

Hukum itu menurut von savigny, bukanlah disusun atau diciptakan oleh orang, tetapi hukum itu tumbuh sendiri di tengah-tengah rakyat; saat juga akan mati apabila suatu bangsa kehilangan kepribadiannya.

Menurut pendapat tersebut, jelaslah bahwa hukum itu merupakan suatu rangkaian kesatuan dan tak terpisahkan dari sejarah suatu bangsa, dan karena itu hukum itu senantiasa berubah-ubah menurut tempat dan waktu. Jelaslah pula, bahwa pendapat Von Savigny ini bertentangan dengan ajaran mazhab Hukum Alam, yang berpendapat bahwa Hukum Alam itu berlaku abadi di mana-mana bagi seluruh manusia.

Mazhab Sejarah (Historische Rechtsschule) atau ada juga yang menyebutnya Mazhab Sejarah dan Kebudayaan (Ciltuur Historich School) merupakan salah satu aliran hukum yang timbul sebagai reaksi terhadap tiga hal:

Rasionalisme abad ke-18 yang hanya mengandalkan jalan pikiran deduktif. Jalan pemikiran pada masa itu didasarkan pada hukum alam, kekuatan akal dan prinsip-prinsip dasar serta tidak memperhatikan fakta sejarah, kekhususan dan kondisi nasional.

Semangat Revolusi Prancis yang menentang wewenang tradisi dengan misi kosmopolitannya.

Pendapat yang berkembang pada masa itu dimana hakim dilarang untuk menafsirkan hukum karena undang-undang dianggap dapat memecahkan semua masalah hukum.

Mazhab Sejarah dipelopori oleh seorang ahli hukum bangsa Jerman Friedrich Karl von Savigny. Menurut Savigny di dunia ini terdapat beragam bangsa dimana tiap bangsa memiliki volksgeist atau jiwa bangsanya masing-masing. Aneka ragam jiwa bangsa tersebut dapat dilihat melalui berbagai ragam bahasa, adat istiadat dan organisasi sosial masyarakat yang dimiliki oleh tiap bangsa. Perbedaan jiwa bangsa tersebut juga menimbulkan perbedaan pandangan tentang keadilan.

Savigny memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan Aliran Hukum Alam yang memandang bahwa hukum bersifat universal dan abadi. Ia berpendapat bahwa hukum mengalami perubahan sesuai dengan keadaan masyarakat dari masa ke masa, sehingga tidak mungkin ada hukum yang bisa berlaku untuk semua bangsa. Pendapat Savigny juga bertolak belakang dengan Positivisme Hukum. Menurutnya hukum timbul bukan karena perintah penguasa atau karena kebiasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa. Hukum tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat.

Pemikiran Savigny kemudian dikembangkan oleh muridnya Puchta. Menurut Puchta hukum dapat terbentuk:

  1. Secara langsung berupa adat istiadat.
  2. Melalui undang-undang.
  3. Melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para ahli hukum.

Puchta membagi pengertian bangsa menjadi dua jenis, yaitu bangsa dalam pengertian etnis yang disebut bangsa alam dan bangsa dalam arti nasional yang merupakan kesatuan organis yang membentuk sebuah negara. Hukum yang sah dimiliki oleh bangsa dalam pengertian nasional (negara), sedangkan bangsa alam hanya memiliki hukum sebagai keyakinan. Keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan melalui kehendak umum masyarakat. Pengesahan hukum tersebut dilakukan dengan cara membentuk undang-undang.

Pemikiran Puchta memiliki kesamaan dengan Teori Absolutisme Negara dan Positivisme Yuridis. Puchta berpandangan bahwa pembentukan hukum dalam suatu negara tidak membuka peluang bagi sumber hukum selain kekuasaan negara, seperti hukum adat dan pemikiran ahli hukum. Praktik hukum dalam adat istiadat bangsa hanya berlaku sebagai hukum sesudah disahkan oleh negara, demikian pula dengan buah pemikiran para ahli hukum memerlukan pengesahan oleh negara agar dapat berlaku sebagai hukum. Di sisi yang lain, pihak yang berkuasa dalam negara tidak membutuhkan dukungan apapun. Ia berhak untuk membentuk undang-undang tanpa memerlukan bantuan para ahli hukum dan tidak perlu menghiraukan apa yang dipraktikkan sebagai adat istiadat.

Henry Summer Maine merupakan pelopor Mazhab Sejarah di Inggris. Maine mengembangkan pemikiran Savigny melalui studi perbandingan perkembangan lembaga-lembaga hukum yang ada pada masyarakat sederhana dan masyarakat yang telah maju. Penelitiannya membuktikan adanya pola evolusi pada berbagai masyarakat dalam situasi sejarah yang sama.

 

POSITIVISME HUKUM

Aliran Hukum Positif atau Positivisme Hukum merupakan salah satu aliran dalam filsafat hukum. Aliran ini memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das sein dan das sollen). Positivisme Hukum sangat mengagungkan hukum yang tertulis dan menganggap bahwa tidak ada norma hukum di luar hukum positif. Bagi aliran ini, semua persoalan dalam masyarakat harus diatur dalam hukum tertulis. Sikap penganut aliran ini dilatarbelakangi oleh penghargaan yang berlebihan terhadap kekuasaan yang menciptakan hukum tertulis, mereka menganggap kekuasaan itu adalah sumber hukum dan kekuasaan adalah hukum.

Ada dua corak dalam Positivisme Hukum, yaitu Aliran Hukum Positif Analitis (Analytical Jurisprudence) yang dipelopori oleh John Austin dan Aliran Hukum Murni (Reine Rechtslehre) yang dipelopori oleh Hans Kelsen.

ALIRAN HUKUM POSITIF ANALITIS

John Austin adalah pelopor dari Aliran Hukum Positif Analitis yang menyatakan bahwa hukum adalah perintah dari penguasa negara. Hakikat hukum terletak pada unsur perintah itu. Austin memandang hukum sebagai suatu sistem yang tetap, logis dan tertutup. Hukum adalah perintah yang mewajibkan seseorang atau beberapa orang. Ia menyatakan bahwa hukum dan perintah lainnya berjalan dari atasan (superior) dan mengikat atau mewajibkan bawahan (inferior). Pihak superior yang menentukan apa yang diperbolehkan dan kekuasaan superior memaksa orang lain untuk mentaatinya. Superior mampu memberlakukan hukum dengan cara menakut-nakuti dan mengarahkan tingkah laku orang lain ke arah yang diiinginkannya. Austin berpandangan bahwa hukum adalah perintah yang memaksa, yang dapat saja bijaksana dan adil atau sebaliknya.

Austin membedakan hukum menjadi dua jenis, yaitu hukum dari Tuhan untuk manusia dan hukum yang dibuat oleh manusia. Hukum yang dibuat oleh manusia kemudian dibedakan lagi menjadi:

  1. Hukum yang sebenarnya (hukum positif), yaitu hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang disusun oleh manusia secara individu untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Hukum yang sebenarnya memiliki empat unsur, yaitu perintah (command), sanksi (sanction), kewajiban (duty) dan kedaulatan (sovereignty).
  2. Hukum yang tidak sebenarnya, adalah hukum yang tidak dibuat oleh penguasa, sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, contohnya peraturan dari suatu organisasi olahraga.

ALIRAN HUKUM MURNI

Penggagas Aliran Hukum Murni adalah Hans Kelsen yang berpendapat bahwa hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang nonyuridis seperti sosiologis, politis, historis dan etis. Hukum adalah suatu sollenkategorie atau kategori keharusan/ideal, bukan seinskategorie atau kategori faktual. Lebih lanjut Kelsen menguraikan bahwa hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional, dalam hal ini yang dipermasalahkan bukanlah bagaimana hukum itu seharusnya, melainkan apa hukumnya. Meskipun hukum itu sollenkategori, namun yang digunakan adalah hukum positif (ius constitutum), bukan hukum yang dicita-citakan (ius constituentum).

Kelsen berpendapat bahwa hukum berurusan dengan bentuk (forma), bukan isi (materia), sehingga keadilan sebagai isi hukum berada di luar hukum. Hukum bisa saja tidak adil, namun hukum tetaplah hukum karena dikeluarkan oleh penguasa. Ia juga berpendapat bahwa hukum positif pada kenyataannya dapat saja menjadi tidak efektif lagi. Hal ini bisa disebabkan karena kepentingan masyarakat yang diatur sudah tidak ada, sehingga penguasa tidak akan memaksakan penerapannya.

Selain mencetuskan Teori Hukum Murni, Kelsen juga berperan dalam mengembangkan Teori Jenjang (Stufentheorie) yang dipelopori oleh Adolf Merkl. Teori Jenjang memandang hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan semakin abstrak sifatnya, demikian pula sebaliknya, semakin rendah kedudukan suatu norma, akan semakin konkret norma tersebut. Norma yang paling tinggi dan berada di puncak piramida disebut norma dasar (grundnorm atau ursprungnorm).

Teori Jenjang tersebut kemudian dikembangkan lagi oleh Hans Nawiasky yang mengkhususkan pembahasannya pada norma hukum saja. Nawiasky mengartikan hukum identik dengan peraturan yang dikeluarkan oleh penguasa (perundang-undangan). Teori ini disebut die Lehre von dem Stufenaufbau der Rechtsordnung. Sistem hukum di Indonesia pada dasarnya menganut teori yang dikembangkan oleh Hans Kelsen dan Hans Nawiasky tersebut.

 

ALIRAN UTILITARIANISME

Utilitarianisme juga sering disebut Utilisme. Utilitarianisme adalah aliran hukum yang menempatkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan yang dimaksud dalam aliran ini adalah kebahagiaan (happiness). Utilitarianisme memandang baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum bergantung pada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Kebahagiaan tersebut diupayakan agar dapat dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (the greatest happiness for the greatest number of people).

Aliran Utilitarianisme sebenarnya dapat dikategorikan sebagai Positivisme Hukum karena paham ini akan berujung pada kesimpulan bahwa tujuan hukum adalah untuk menciptakan ketertiban di dalam masyarakat. Hukum adalah cerminan dari perintah penguasa, bukan dari rasio semata. Beberapa tokoh pendukung aliran ini adalah Jeremy Bentham, John Stuart Mill dan Rudolf von Jhering.

Ajaran Jeremy Bentham didasarkan pada aliran hedonistic utilitarianism. Bentham berpendapat bahwa hukum bertugas untuk memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan. Pemidanaan harus bersifat spesifik untuk setiap kejahatan. Seberapa kerasnya suatu pidana tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan tertentu. Pemidanaan menurut Bentham hanya bisa diterima apabila pemidanaan tersebut mampu mencegah terjadinya kejahatan yang lebih besar.

Bentham menginginkan agar hukum dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu, bukan langsung kepada masyarakat secara keseluruhan. Meskipun demikian Bentham tetap mengakui bahwa kepentingan masyarakat juga harus diperhatikan sehingga tidak terjadi bentrokan antara kepentingan individu yang satu dengan kepentingan individu yang lain. Oleh karena itu kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan yang sebesar-besarnya perlu dibatasi agar tidak terjadi apa yang disebut homo homini lupus atau manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain.

Pemikiran John Stuart Mill sangat dipengaruhi oleh pemikiran Positivisme dari Auguste Comte, namun Mill tidak setuju dengan Comte yang berpendapat bahwa psikologi bukanlah ilmu. Pemikiran Mill banyak dipengaruhi oleh pertimbangan psikologis. Ia menyatakan bahwa tujuan manusia adalah kebahagiaan, dimana kebahagiaan tersebut diperoleh melalui hal-hal yang membangkitkan nafsu manusia. Sehingga apa yang ingin dicapai oleh manusia bukanlah benda atau sesuatu hal tertentu, tetapi kebahagiaan yang dapat ditimbulkannya.

Mill memandang psikologi sebagai ilmu yang paling fundamental. Melalui psikologi kita dapat mempelajari penginderaan-pengindraan (sensations) dan cara susunannya. Susunan penginderaan tersebut terjadi menurut asosiasi, dalam hal inilah psikologi berperan untuk memperlihatkan bagaimana asosiasi antara penginderaan yang satu dengan penginderaan yang lain diadakan menurut hukum-hukum yang tetap. Itulah sebabnya Mill berpendapat bahwa psikologi adalah dasar bagi semua ilmu lain, termasuk logika.

Ajaran Rudolf von Jhering merupakan gabungan antara teori yang dikemukakan Jeremy Bentham, John Stuart Mill dan Positivisme Hukum yang diajarkan oleh John Austin. Teori yang diajarkan oleh Jhering ini merupakan ajaran yang bersifat sosial.

Pada awalnya Jhering menganut Mazhab Sejarah yang dikembangkan oleh Friedrich Karl von Savigny dan Puchta, namun lama kelamaan ia memiliki pandangan yang berlawanan dengan Savigny. Seluruh hukum Romawi menurut Savigny merupakan pernyataan jiwa bangsa Romawi, sehingga merupakan hukum nasional. Pendapat tersebut kemudian dibantah oleh Jhering dengan mengemukakan bahwa seperti dalam hidup sebagai perkembangan biologis yang senantiasa terdapat asimilasi dari unsur-unsur yang mempengaruhinya, demikian pula dalam bidang kebudayaan dimana melalui pergaulan antar bangsa terdapat asimilasi pandangan-pandangan dan kebiasaan-kebiasaan.

Menurut Jhering lapisan tertua hukum Romawi memang bersifat nasional, tetapi pada perkembangannya hukum Romawi mendapat ciri-ciri universal melalui asimilasi dengan hukum lain, sehingga hukum Romawi yang pada awalnya bersifat nasional kemudian berkembang menjadi hukum universal. Ia memiliki pandangan bahwa hukum Romawi dapat digunakan sebagai dasar bagi hukum jerman karena hukum Romawi dalam perkembangannya sudah berhadapan dengan banyak aturan hidup lain. Jhering juga memandang bahwa tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang berupa mengejar kesenangan dan menghindari penderitaan. Dalam hal ini kepentingan individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang lain.

 

SOSIOLOGICAL JURISPRUDENCE

Sociological Jurisprudence merupakan salah satu aliran dalam filsafat hukum. Aliran ini memandang bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat. Aliran Sociological Jurisprudence dengan tegas memisahkan antara hukum positif (the positive law) dengan hukum yang hidup (the living law).

Sociological Jurisprudence timbul sebagai proses dialektika antara aliran Positivisme Hukum (sebagai tesis) dengan Mazhab Sejarah (sebagai antitesis), dimana Positivisme Hukum memandang tidak ada hukum selain perintah penguasa (law is a command of lawgivers), sedangkan Mazhab Sejarah memandang bahwa hukum timbul dan berkembang bersama dengan masyarakat. Aliran Positivisme Hukum mengutamakan akal, sementara Mazhab Sejarah lebih mementingkan pengalaman. Dalam hal ini Aliran Sociological Jurisprudence menganggap akal dan pengalaman sama-sama penting.

Eugen Ehrlich adalah seorang ahli hukum Austria. Ia merupakan tokoh pertama yang meninjau hukum dari sudut pandang sosiologi. Hal ini menjadikannya sebagai pelopor aliran Sociological Jurisprudence. Menurut Ehrlich terlihat jelas adanya perbedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat, dimana hukum positif akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup di masyarakat.

Pandangan Eugen Ehrlich bertolak belakang dengan pandangan para penganut Positivisme Hukum. Ehrlich berusaha untuk membuktikan bahwa titik pusat perkembangan hukum tidak terletak pada undang-undang, putusan hakim atau ilmu hukum, melainkan pada masyarakat itu sendiri. Ehrlich menempatkan kebiasaan sebagai sumber hukum yang utama.

Lebih lanjut Ehrlich berpendapat bahwa hukum tunduk pada kekuatan-kekuatan sosial tertentu. Ketertiban dalam masyarakat didasarkan pada pengakuan sosial terhadap hukum, bukan karena penerapannya secara resmi oleh negara. Tertib sosial terjadi karena diterimanya hukum yang dilandasi oleh aturan dan norma sosial yang tercermin dalam sistem hukum, sehingga pihak-pihak yang berperan untuk mengembangkan sistem hukum harus mempunyai hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat tersebut.

Roscoe Pound terkenal sebagai pencetus teori hukum sebagai alat untuk merekayasa masyarakat (law as a tool of social engineering). Pemikiran Pound berangkat dari pemikiran tentang pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat. Menurut Pound, kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum secara sistematis dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu:

  1. Kepentingan umum (public interest), meliputi:
    • Kepentingan negara sebagai badan hukum dalam memertahankan kepribadian dan substansinya.
    • Kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.
  2. Kepentingan masyarakat (social interest), yaitu:
    • Kepentingan masyarakat akan keselamatan umum, seperti keamanan, kesehatan dan kesejahteraan, serta jaminan bagi transaksi-transaksi dan pendapatan.
    • Perlindungan bagi lembaga-lembaga sosial yang meliputi perlindungan dalam perkawinan, politik dan ekonomi.
    • Pencegahan kemerosotan akhlak, seperti korupsi, perjudian, pengumpatan terhadap Tuhan, transaksi-transaksi yang bertentangan dengan moral atau peraturan yang membatasi tindakan-tindakan anggota trust.
    • Pencegahan pelanggaran hak (abuse of right)
    • Kepentingan masyarakat dalam kemajuan umum, seperti perlindungan hak milik, perdagangan bebas dan monopoli, kemerdekaan industri, serta penemuan baru.
    • Kepentingan masyarakat dalam kehidupan manusia secara individual, seperti perlindungan terhadap kehidupan yang layak, kemeredekaan berbicara dan memilih jabatan.
  3. Kepentingan pribadi (private interest), terdiri dari:
    • Kepentingan kepribadian (interest of personality), meliputi perlindungan terhadap integritas (keutuhan) fisik, kemerdekaan kehendak, reputasi (nama baik), terjaminnya rahasia-rahasia pribadi, kemerdekaan untuk menjalankan agama yang dianutnya dan kemerdekaan mengemukakan pendapat.
    • Kepentingan dalam hubungan rumah tangga (interest of domestic), meliputi perlindungan bagi perkawinan, tuntutan bagi pemeliharaan keluarga dan hubungan hukum antara orang tua dan anak-anak.
    • Kepentingan substansi (interest of substance), meliputi perlindungan terhadap harta, kemerdekaan dalam penyusunan testamen, kemerdekaan industri dan kontrak, serta pengharapa legal akan keuntungan-keuntungan yang diperoleh.

 

ALIRAN REALISME HUKUM

Realisme hukum berkembang dalam waktu yang bersamaan dengan sociological Jurisprudence. Sehingga ada penulis yang memasukan aliran ini menjadi bagian aliran positivis hukum, meskipun ada juga yang memasukan sebagai bagian dari neo positivisme hukum atau bahkan sebagai aliran tersendiri. Ada pula yang mengidentikan realisme hukum dengan pragmatikal legal realism. Pada kajian hukum, akar realisme hukum ada pada tataran empirisme, khususnya pengalaman-pengalaman yang didapat dari pengadilan. Dalam hal ini, jelas sistem hukum Amerika Serikat sangat kondusif dan terbukti memang kaya dengan putusan-putusan hakimnya.

Friedman berpendapat tentang kesamaan realisme Skandinavia dan Realisme Amerika adalah hasil pendekatan pragmatis dan paling sopan pada lembaga-lembaga sosial. Para ahli hukum telah mengembangkan dengan ciri khas anglo-Amerika yakni tekanan pada pekerjaan pengadilan-pengadilan dan tingkah laku pengadilan, untuk memperbaiki filsafat tentang positivisme analiti, yang menguasai ilmu hukum Anglo-Amerika pada abad ke-19. Mereka menekankan bekerjanya hukum, baik sebagai pengalaman maupun sebagai konsepsi hukum. Meskipun mereka kurang memperhatikan dasar hukum transendetal.

Pandangan lain dari tokoh aliran realisme adalah Johan Chipman Gray yang memiliki pandangan bahwa disamping logika sebagai faktor penting dalam pembentukan undang-undang, unsur kepribadian, prasangka, dan faktor-faktor lain yang tidak logis memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan hukum. Untuk membuktikan pandangannya, Gray mengemukakan contoh dari sejarah hukum di Inggris dan Amerika yang menunjukan bagaimana faktor-faktor politik, ekonomi, dan sifat-sifat pribadi yang lain dari hakim-hakim tertentu telah menyelesaikan soal-soal yang penting untuk jutaan orang selama ratusan tahun.

William James yang hidup pada tahun 1842-1910 memiliki pandangan pragmatisme adalah nama baru untuk beberapa cara pemikiran yang sama yang sebenarnya juga positivis. Ia menyatakan bahwa seorang pragmatis menolak abstraksi dan hal-hal yang tidak memadai, penyelasain secara verbal, alasan apriori yang tidak baik, prinsip yang ditentukan, sistem yang tertutup, dan hal-hal yang dianggap mutlak dan asli. Ia berbalik menentang kelengkapan-kelengkapan dan kecukupan,fakta, perbuatan, kekuasaan. Itu berarti sifat memerintah berdasarkan pengalaman, dan sifat rasional melepaskan diri dengan sungguh-sungguh.

Sementara John Dewey menyatakan bahwa logika bukan berasal dari kepastian-kepastian dari prinsip-prinsip teoritis seperti silogisme, tetapi suatu studi tentang kemungkinan-kemungkinan. Logika adalah teori tentang penyelidikan mengenai akibat-akibat yang mungkin terjadi, suatu proses dimana prinsip umum hanya bisa dipakai sebagai alat yang dibenarkan oleh pekerjaan yang dikerjakan. Kalau diterapkan pada proses hukum, ini berarti bahwa prinsip-prinsip umum. Ia mulai dengan keadaan yang penuh problema dan sering membingungkan, proses untuk membuatnya jelas meliputi pemilihan persoalan-persoalan tertentu. Dengan penentuan masalahnya, kemungkinan pemecahannya menjadi jelas bagi penyelidik seperti hakim

Benjamin Nathan Cardozo sebagai penganut aliran sejarah memiliki pandangan bahwa hukum mengikuti perangkat aturan umum dan yakin bahwa penganutan terhadap preseden seharusnya merupakan aturannya, dan bukan merupakan pengecualian dalam pelaksanaan peradilan. Kebutuhan akan kepastian hukum harus diserasikan dengan kebutuhan akan kemajuan, sehingga doktrin preseden tidak dapat dianggap sebagai kebenaran yang mutlak dan abadi. Tampaknua Benjamin dalam pandangannya, hakim wajib mengikuti norma-norma yang berlaku di masyarakat dan menyesuaikan putusan hakim itu dengan kepentingan umum.

Menurut Benjamin, perkembangan hukum sebagai gejala sejarah ditentukan oleh perubahan-perubahan dalam masyarakat, serta pandangan masyarakat mengenai adat istiadat dan moralitas. Ia beranggapan para hakim dan legislator harus senantiasa mempertimbangkan kondisi-kondisi sosial serta masalah-masalah sosial dalam pembentukan hukum.

 

ALIRAN FREIRECHTSLEHRE

Ajaran aliran Freirechtslehre merupakan salah satu aliran dalam filsafat hukum, yang dipelopori oleh Eugen Ehrlich, Stampe, Herman Isay, dan Ernst Fusch. Aliran ini disebut juga ajaran hukum bebas karena penganut filsafat ini mengatakan bahwa hakim harus kreatif dalam menemukan hukum yang sesuai dengan rasa keadilan, hakim mempunyai kebebasan yang sepenuhnya dalam menentukan hukum. Ia tidak terikat sama sekali dengan begitu banyaknya perundang-undangan, bahkan hakim boleh mengubah peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan.

Bahwa kreativitas hakim dalam menemukan hukum harus dihargai, hal itu merupakan kelebihan dalam aliran ini, sehingga dalam menetapkan hakim harus betul-betul melalui penyelidikan yang begitu serius, diharapkan hakim adalah seorang individu yang bebas dari segala pengaruh apa pun dari luar kemampuannya. Dengan kualitas hakim yang begitu sempurna, maka keadilan akan tercapai dan bahkan akan tercapai pula kepastian hukum.

Kelemahannya bahwa kebebasan seluas-luasnya yang diberikan kepada hakim dalam menentukan hukum berarti membuka pintu selebar-lebarnya bagi seorang hakim untuk bertindak sewenang-wenang, hal itu jika hakimnya adalah bukan seorang pribadi atau individu yang baik. Dari kelemahan itu keadilan tidak akan tercapai sehingga kepastian hu­kum pun tidak akan terjamin pula. Pengalaman ini pernah dipraktikkan di Jerman pada masa Rezim Nazi berkuasa, dalam peraturan yang dibuat tahun 1935 dinyatakan bahwa hakim boleh menjatuhkan hukuman demi kemurnian bangsa walaupun tanpa dasar perundang-undangan.

***

RINGKASAN ALIRAN HUKUM

MAZHAB HUKUM ALAM (pencetus = Zenu)

Socrates = hukum untuk mewujudkan kebijaksanaan dan kebenaran.

Plato = hukum mengikat bagi hakim dan masyarakat. Negara seharusnya dipimpin oleh cendikian yang bebas dan tidak terikat dengan hukum positif, tetapi terikat pada keadilan. buku : the republic.

Aristoteles = hukum mengikat bagi hakim saja.

Aristoteles membagi keadilan distributif (tergantung proporsi di masyarakat) dan korektif (harus ada standar umum).

Thomas Aquinas (bagian ini silahkan baca buku Filsafat Hukum, penulis agak bingung karena ada beberapa versi) =

  1. Lex eterna yaitu hukum rasio Tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia.
  2. Lex divina, adalah hukum rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh pancaindera manusia.
  3. Lex naturalis atau hukum alam, merupakan penjelmaan lex eterna ke dalam rasio manusia.
  4. Lex positivis, adalah penerapan lex naturalis dalam kehidupan manusia di dunia.

POSITIVISME HUKUM (pencetus = John Austin)

H.L.A. Hart = bahwa hukum adalah perintah dari manusia.

  1. Analitycal Jurisprudence

John Austin = Hukum adalah perintah penguasa yang berdaulat.. Buku = the province of jurisprudence determind, lecture on jurisprudence.

  1. Hukum Murni

Hans Kelsen = hukum yang murni tanpa anasir.

UTILITARIANISME (pencetus = Jeremy Bentham)

  1. Jeremy Bentham = untuk mewujudkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk orang banyak.
  2. Rudolf von Jhering = tujuan hukum untuk melindungi kepentingan individual.

MAZHAB SEJARAH (pencetus = friedrich karl von savigny)

  1. Savigny = hakikat hukum adalah pencerminan jiwa rakyat.

SOSIOLOGICAL JURISPRUDENCE = hukum merupakan hasil interakssi sosial dalam masyarakat.

  1. Max Weber = hukum berhubungan dengan kesepakatan atau persetujuan.
  2. Emil durkhaim = membagi hukum : represif (menegakkan) dan restitutif (mengganti).
  3. Ehrlich = terkenal dengan the living law.Membagi the living law: legal story (sejarah) dan jurisprudeence.
  4. Roscoe Pound = hukum berfungsi sebagai the tool of social engineering dan social control.

REALISME HUKUM

Friedmann = rasio dan akal menjadi sumber hukum.

ALIRAN HUKUM NASIONAL

  1. Hukum Pembangunan (Mochtar Kusumaatmadja)
  2. Hukum Progresif (Satjipto Rahardjo)
  3. Hukum Integratif (Ramli Atmasasmita)

***

 

~~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~~