Judul : Gegap Gempita Perjalanan Sejarah dan Upaya Status Kepahlawanan Eyang Hasan Maolani Lengkong
Penulis : Idik Saeful Bahri
Penerbit : Rasi Terbit
Kota Terbit : Bandung
ISBN : 978-623-7214-79-3
Eyang Hasan Maolani adalah salah satu musuh terbesar pemerintah Kolonial Belanda di sekitaran abad ke-19 Masehi. Beliau sezaman dengan Pangeran Diponegoro dan Kiai Mojo. Saking besarnya pengaruh Eyang Hasan Maolani, beliau diasingkan oleh pemerintah Hindia Belanda ke wilayah yang sekarang bernama kampung Jawa Tondano, di Sulawesi Utara. Eyang Hasan Maolani bergabung dengan Kiai Mojo dan rombongan gerilyawan Perang Jawa.
Eyang Hasan Maolani merupakan seorang kiai yang lahir di Desa Lengkong, Kabupaten Kuningan, pada hari Senin Legi, tanggal 22 Mei 1782 Masehi, atau bertepatan dengan tanggal 8 Jumadil Akhir tahun 1196 Hijriyah. Nasab Eyang Hasan Maolani bersambung hingga Kanjeng Sinuhun Sunan Gunung Djati Cirebon melalui jalur ayah. Dari jalur ibunya, Eyang Hasan Maolani memiliki darah Prabu Siliwangi, Sri Baduga Maharaja.
Namun walaupun lahir dari darah biru, kehidupan Eyang Hasan Maolani sangatlah sederhana. Dengan didikan para ulama, Eyang Hasan Maolani tumbuh sebagai santri yang selalu mencintai faqir miskin.
Desa Lengkong yang disebutkan dalam banyak penelitian sebagai sumber Islamisasi di Kabupaten Kuningan, memungkinkan Eyang Hasan Maolani mendalami ajaran agama Islam dengan sempurna. Corak keislaman Eyang Hasan Maolani mewarisi tradisi Ahlussunnah wal Jamaah, yakni beliau mengikuti madzhab Asy’ari dalam akidah, mengikuti madzhab Syafii dalam fiqh, serta pro-aktif menjalankan kehidupan tarekat.
Eyang Hasan Maolani terkenal sebagai penganut tarekat Syattariyyah, sama seperti Kiai Mojo dan Pangeran Diponegoro. Bahkan, Drewes menyebut Eyang Hasan Maolani sebagai Javaansche Goeroe’s atau Tiga Guru Jawa, karena merupakan pendiri dan penyebar tarekat Akmaliyah.
Gagasan dan pemikiran Eyang Hasan Maolani, disertai pengaruhnya yang sangat luas di masyarakat, menimbulkan keterancaman bagi pemerintahan Hindia Belanda. Dengan banyaknya isu dan tuduhan, pemerintah Hindia Belanda terus menyerang eksistensi Eyang Hasan Maolani. Namun masyarakat tetap berada dibawah kendali pengaruh Eyang Hasan Maolani.
Merasa upayanya sia-sia, pemerintah Hindia Belanda secara resmi menangkap dan mengasingkan Eyang Hasan Maolani ke kampung Jawa Tondano, Sulawesi Utara, pada tahun 1843. Kisah lanjutan perjalanan Eyang Hasan Maolani dihabiskan di pengasingan hingga akhir hayatnya.
Beberapa tokoh perjuangan yang sama-sama diasingkan ke kampung Jawa Tondano, telah secara resmi diakui oleh negara dengan diberikan gelar pahlawan nasional, sebut saja Kiai Mojo dan Imam Bonjol. Lantas mengapa sang Kiai Lengkong ini belum juga mendapatkan pengakuan yang sama?
Buku ini hadir untuk membahas dan menganalisis sepak terjang dan gagasan pemikiran Eyang Hasan Maolani yang bisa membuat takut pemerintahan kolonial. Serta buku ini membuktikan bahwa Eyang Hasan Maolani benar-benar layak dianugerahi gelar pahlawan nasional.