Jika pembaca keliling dunia dari Barat hingga ke Timur, dan bertanya tentang madzhab dalam furu’ syariat dan i’tiqad di berbagai wilayah Islam, maka pembaca akan mendapatkan jawaban yang kurang lebih seperti ini:

  1. Maroko menjawab madzhab Maliki / Ahlussunnah wal Jamaah
  2. Al-Jazair menjawab madzhab Hanafi / Ahlussunnah wal Jamaah
  3. Tunisia madzhab Hanafi / Ahlussunnah wal Jamaah
  4. Libya madzab Hanafi / Ahlussunnah wal Jamaah
  5. Turki madzhab Hanafi / Ahlussunnah wal Jamaah
  6. Mesir madzhab Hanafi dan Syafi’i / Ahlussunnah wal Jamaah
  7. Irak madzhab Hanafi / Ahlussunnah wal Jamaah (sebagian lagi Syiah)
  8. India madzhab Hanafi / Ahlussunnah wal Jamaah
  9. Pakistan madzhab Hanafi / Ahlussunnah wal Jamaah (sebagian kecil Syiah)
  10. Indonesia madzhab Syafi’i / Ahlussunnah wal Jamaah
  11. Filipina madzhab Syafi’i / Ahlussunnah wal Jamaah
  12. Thailand madzhab Syafi’i / Ahlussunnah wal Jamaah
  13. Malaysia madzhab Syafi’i / Ahlussunnah wal Jamaah
  14. Somalia madzhab Syafi’i / Ahlussunnah wal Jamaah
  15. Sudan madzhab Hanafi / Ahlussunnah wal Jamaah
  16. Nigeria madzhab Hanafi / Ahlussunnah wal Jamaah
  17. Afghanistan madzhab Hanafi / Ahlussunnah wal Jamaah
  18. Libanon madzhab Hanafi / Ahlussunnah wal Jamaah
  19. Hadramaut (wilayah di Yaman) madzhab Syafi’i / Ahlussunnah wal Jamaah
  20. Hijaz (Mekkah dan Madinah) madzhab Syafi’i dan Hanafi / Ahlussunnah wal Jamaah (sebagian kecil bermadzhab Hambali dan Wahabi)
  21. Saudi diluar Hijaz bermadzhab Hambali atau Wahabi
  22. Yaman sebagian madzhab Zaidiyah (Syiah), sebagian madzhab Syafi’i / Ahlussunnah wal Jamaah
  23. Iran murni Syiah
  24. Daerah Soviet (Eropa Timur) mayoritas madzhab Hanafi / Ahlussunnah wal Jamaah (sebagian kecil Syiah)
  25. Tiongkok madzhab Hanafi / Ahlussunnah wal Jamaah

Jawaban serupa akan pembaca peroleh jika pembaca bertanya ke wilayah selain yang penulis sebutkan. Mungkin berbeda dalam menjawab madzhab fikih, tapi mayoritas sama dalam menjawab i’tiqad, yakni Ahlussunnah wal Jamaah. Jadi apa sebenarnya Ahlussunnah wal Jamaah itu?

Ditengah-tengah banyaknya aliran dan firqah-firqah yang ada di dalam realitas masyarakat muslim saat ini, nama Ahlussunnah wal Jamaah seolah-olah bagaikan magnet untuk dijadikan tameng bagi perlindungan diri dari ganasnya zaman yang memang sudah ditakdirkan oleh Tuhan ini. Beraneka macam aliran muncul, dari yang hanya bid’ah belaka, sesat, bahkan sampai tingkatan kafir yang jauh dari nilai-nilai syahadatain. Saling curiga pun muncul antara satu golongan dengan golongan yang lain, antara satu aliran dengan aliran yang lain, antara satu sekte dengan sekte yang lain. Terjadilah antar golongan itu saling mengkafirkan antara satu dengan yang lainnya.

Untuk mencari aman diantara situasi buruk semacam itu, tidak sedikit kelompok yang berlindung di bawah nama Ahlussunnah wal Jamaah. Dengan mengakui diri sebagai pengikut ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, kelompoknya tidak dengan mudah di curigai oleh kelompok lain. Nama Ahlussunnah wal Jamaah memang dianggap sebagai sebuah bahasa universal dalam dunia Islam, yang dengan nama itu, kita bisa berjalan dengan leluasa tanpa merasa di buntuti oleh musuh.

Tapi dengan pengklaiman ajaran Ahlussunnah wal Jamaah oleh sekian banyak golongan, aliran, maupun sekte dalam Islam, kini membuat bingung masyarakat muslim awam pada umumnya, seperti apa ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang sebenarnya. Apakah ajaran Ahlussunnah wal Jamaah seperti NU, Muhammadiyah, Salafi Wahabi, Hizbut Tahrir, atau yang mana? Sementara kelompok-kelompok tadi, mengklaim dirinya sebagai ahli waris dari ajaran Ahlussunnah wal Jamaah. Ini membuat dinamika Ahlussunnah wal Jamaah semakin kompleks.

Terlepas dari benar atau tidak, kita harus mengakui dulu satu hal, yakni suara mayoritas. Kita harus mengakui bahwa sampai saat ini, umat Islam belum bisa bersekongkol untuk melakukan makar terhadap ketentuan Allah secara kumulatif dan berskala internasional. Allah masih menjaga pemikiran-pemikiran kaum mayoritas sebagai bahan referensi dan rujukan bagi para penikmat ajaran Surgawi. Jangan dulu mudah terkecoh dengan tafsiran terhadap hadits yang mengatakan bahwa golongan yang akan selamat adalah golongan minoritas. Jangan dulu sampai ke arah sana, itu hanyalah alasan organisasi-organisasi yang tidak laku di pasaran.

Dari sini, sebagai latar belakang, kita harus mulai dari organisasi mayoritas di negeri ini, yaitu Nahdlatul Ulama. Dalam AD-ART nya, NU mengusulkan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah sebagai pedoman dari 2 madzhab dalam bidang tauhid, yaitu al-Asy’ari dan al-Maturidi, berpatokan pada 4 madzhab dalam bidang fikih, yaitu Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hambali, serta berkiblat kepada 2 madzhab dalam bidang tasawwuf, yaitu al-Junaidi dan al-Ghazali. Tapi pertanyaan muncul, apakah pengertian Ahlussunnah wal Jamaah sesempit itu? Tidakkah ada kemungkinan salah satu dari semua madzhab itu terjadi kecacatan? Dan mungkinkah ada pemahaman Ahlussunnah wal Jamaah yang lebih universal? Mari kita kaji.

Jika kita melihat dari sejarah, asal penggunaan nama Ahlussunnah wal Jamaah terjadi perdebatan. Sengaja disini penulis mengatakan lahirnya nama Ahlussunnah wal Jamaah, bukan lahirnya kelompok Ahlussunnah wal Jamaah, karena golongan Ahlussunnah wal Jamaah merupakan jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Jadi hakikat ajaran Ahlussunnah wal Jamaah tidak lain adalah ajaran yang disampaikan oleh nabi kepada umatnya. Hanya saja dengan berjalannya waktu, terjadilah cerai berai dalam ilmu agama, hingga kemudian harus kembali di satu padukan dalam sebuah kerangka teori. Setidaknya penulis menemukan ada 4 versi yang menggambarkan kemunculan nama Ahlussunnah wal Jamaah, yaitu :

  1. Ada pihak yang mengatakan bahwa sebenarnya nama Ahlussunnah wal Jamaah telah ada dari zaman nabi Muhammad. Salah satu dalilnya adalah hadits riwayat Abu Daud dan Tirmidzi. Banyak kalangan yang menganggap hadits ini dhaif, tapi karena banyak yang meriwayatkan, status haditsnya pun berganti menjadi kuat. Demikian menurut ilmu mushthalah hadits.
  2. Kelompok kedua mengatakan bahwa nama Ahlussunnah wal Jamaah lahir pada akhir windu kelima tahun hijriah, yang dikenal sebagai ‘amul jamaah (tahun persatuan).
  3. Pendapat ketiga menjelaskan bahwa nama Ahlussunnah wal Jamaah muncul pada abad II hijriah, yaitu di masa sedang puncaknya perkembangan ilmu teologi Islam atau ilmu kalam, yang ditandai dengan munculnya pemikiran rasionalisme Islam yang dipelopori oleh golongan Muktazilah. Untuk mengimbangi itu, muncullah orang bernama Abu Hasan al-Asy’ari yang membentengi umat dari pemikiran rasional orang-orang Muktazilah. Hanya saja, perlu juga kita pahami, ada yang tidak menyukai teologi al-Asy’ari seperti golongan Salafi Wahabi, dan menyebutnya hanya sebagai madzhab Asy’ariyah.
  4. Kemunculan nama Ahlussunnah wal Jamaah tidak bisa dilepaskan dari munculnya Syiah dan Khawarij dari sejak perang Shifin antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan kelompok Muawiyah. Karena fenomena saling mengkafirkan antara satu dengan yang lainnya, ulama pun menyatakan netral dan menyatakan kembali kepada Sunnah nabi. Kemudian barulah kita mengenal istilah Ahlussunnah wal Jamaah atau dikalangan sekarang lebih terkenal dengan sebutan Sunni.

Perlu diperhatikan disini, penulis benar-benar tidak menganjurkan pembaca untuk mencari referensi di internet. Banyak hal yang keliru. Dunia internet kita saat ini, khususnya yang berbahasa Indonesia, sepenuhnya dikuasai oleh orang-orang Salafi Wahabi. Jadi tidak akan mungkin heran, pembaca akan melihat bagaimana banyak informasi yang merendahkan dan menghinakan imam al-Asy’ari. Entahlah penulis juga agak bingung, padahal salah satu syeikh mereka, yaitu Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah mengatakan bahwa, “Para ulama adalah barisan pembela ilmu agama, sedangkan Asya’irah adalah barisan pembela ilmu akidah.” (Al Fatawa: juz 4).

Dari berbagai macam perbedaan pendapat, penulis mencoba menengahi dari setiap pendapat yang ada. Secara umum, landasan berpikir dari ajaran Ahlussunnah wal Jamaah tentu telah ada dari zaman nabi Shallallahualaihi wa Sallam. Hal ini juga dikuatkan oleh pendapat Ibnu Taimiyah dalam bukunya Minhaju as-Sunnah yang mengatakan bahwa nama Ahlussunnah wal Jamaah telah ada jauh sebelum Imam madzhab lahir. Hanya saja, seiring dengan berjalannya waktu, kehidupan Islam sedikit demi sedikit digerogoti dengan politik-politik golongan, hingga memunculkan banyak aliran. Dengan kenyataan itulah, jelas peran nama Ahlussunnah wal Jamaah harus kembali disuarakan dan di dengungkan di dunia Islam. Maka melalui prakarsa pemikiran Imam al-Asy’ari, nama Ahlussunnah wal Jamaah itu kembali bergema.

Maka jelas dari sini, dari setiap pendapat yang ada mengenai tonggak kemunculan nama Ahlussunnah wal Jamaah, nama al-Asy’ari adalah kandidat satu-satunya yang muncul. Mau tidak mau, kita harus mencari tahu, bagaimana skema pemikiran dari orang yang bernama al-Asy’ari ini.

I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah yang disusun oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari terbagi dalam enam bagian sesuai dengan hadits nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan ditulis dalam Sahih Muslim Juz I halaman 22, yaitu :

  1. Ketuhanan
  2. Malaikat
  3. Kitab suci
  4. Rasul
  5. Hari Kiamat
  6. Qadla dan Qadar

Mengenai ketuhanan, kita diwajibkan untuk mempercayai 20 sifat wajib bagi Allah, 20 sifat mustahil bagi Allah, dan 1 sifat jaiz bagi Allah. Kita juga diwajibkan untuk mempercayai adanya malaikat yang jumlahnya tidak ada yang mengetahui kecuali Allah, dan hanya diwajibkan untuk mengetahui minimal 10 malaikat. Begitupun dengan kitab suci, kita diwajibkan untuk mempercayai kitab Zabur, Taurat, Injil, dan al-Quran. Demikian termasuk kita harus mengakui dan meyakini seluruh nabi dan rasul dari sejak Adam hingga ditutup oleh nabi Muhammad. Dan kita juga harus meyakini akan kedatangan hari Kiamat dan adanya kewenangan Allah dalam mengatur keseimbangan alam raya ini, yang kita sebut sebagai Qadla dan Qadar.

Kembali kepada latar belakang di permulaan tulisan ini, ditanyakan bahwa apakah pengertian Ahlussunnah wal Jamaah bisa sesempit itu? Penulis menyatakan tidak. Ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang sebenarnya adalah ajaran nabi itu sendiri. Jika nabi mengajarkan A, maka Ahlussunnah pun akan mengatakan A. Ahlussunnah secara bahasa memang diartikan sebagai golongan yang mengikuti sunnah nabi. Sementara istilah Jamaah, mengacu pada orang-orang setelah nabi, yaitu khulafaurrasyidin dan ulama-ulama tabi’in.

Dari sinilah akar permasalahan itu muncul. Bagaimana bisa kita mendalami ajaran nabi tanpa melalui perantara ulama antar generasi? Jelas tidak mungkin. Secara logika sederhana, jika kita ingin mendalami ajaran yang dibawa nabi (yang terpaut angka 1400-an tahun), kita harus belajar kepada kiai di tempat ngaji. Kiainya tentu mendapatkan ilmunya dari ulama sebelumnya. Ulamanya mendapatkan ilmunya dari ulama sebelumnya lagi. Terus hingga mendapatkan ilmu dari ulama tabi’in.

Perlu di pahami disini, bahwa ulama tabi’in adalah patokan kita. Mengapa? Karena di zaman inilah perpecahan besar dalam dunia Islam muncul. Dari sejak lahirnya aliran-aliran Syiah, Khawarij, Muktazilah, Qadariyah, Jabariyah, dan segala macamnya, lahir di masa ini dan masa setelahnya. Maka jelas, nama-nama ulama tabi’in akan menjadi patokan dasar kebenaran untuk mengantarkan kita menuju pemahaman para sahabat dan puncaknya hingga kepada nabi. Tidak heran, di zaman ini pula-lah, bermunculan madzhab-madzhab hebat dalam dunia Islam.

Dengan kenyataan itu, walau sesungguhnya ajaran Ahlussunnah wal Jamaah merupakan ajaran nabi, tapi untuk mencapai itu, kita harus melewati zaman tabi’in. Salah menentukan ulama, jelas kesananya akan berbeda. Tidak percaya? Sekarang kita ambil 1 contoh. Jika ada pertanyaan, dimana Allah? Maka jawabannya akan berbeda-beda. Orang yang ketika meriwayatkan ilmunya melewati jalur Tabi’in dengan berkiblat kepada Ibnu Taimiyah, jelas akan mengatakan bahwa nabi dan sahabatnya meyakini bahwa Allah bersemayam di atas Arsy sesuai dengan firmanNya. Tapi bagi orang yang meriwayatkan ilmunya lewat jalur al-Asyari dan al-Maturidi, mereka akan mengklaim bahwa nabi dan sahabatnya yakin bahwa Allah itu tidak bertempat karena menyandang sifat mukholafatu lil hawadits. Maka penting sekali mengenal madzhab-madzhab dalam Islam. Karena melalui madzhab inilah, hakikat dan makna ajaran nabi akan sampai kepada kita.

Oleh karena itu, sekali lagi penulis menyanggah bahwa hanya menjadikan al-Quran dan Hadits saja sebagai sumber hukum, jelas akan jauh menyesatkan. Terbukti, dengan gerakan inilah memunculkan banyak perselisihan karena mereka menafsirkan al-Quran dan Hadits dengan gayanya sendiri, dengan ilmunya sendiri, dengan latar belakangnya sendiri. Maka dari itu, penting bagi kita untuk menetapkan sebuah panduan bagi diri kita sendiri. Karena melalui ulama-ulama di masa Tabi’in dan Tabiut Tabi’in, ajaran nabi akan jelas terlihat.

Dan tentu saja, kita harus mengakui bahwa ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang merupakan ajaran nabi, dan menjadi rujukan bagi mayoritas umat muslim di dunia, adalah apa yang disampaikan dan di konsep oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari. Dengan memahami apa yang telah menjadi pembahasan Imam al-Asy’ari, setidaknya membuka peluang bagi kita untuk memahami konsep tauhid yang benar-benar menjadi pegangan nabi dan para sahabat.

Penulis kira, untuk memahami ajaran Ahlussunnah wal Jamaah secara global yang memang menjadi rujukan mayoritas umat muslim di dunia, tidak terlalu sulit. Dengan fokus pada pengajaran yang disampaikan di sekolah-sekolah negeri, hal itu sudah sangat membantu. Setidaknya pengajaran yang kita dapat di sekolah, merupakan pengajaran hak yang sudah umum diikuti oleh mayoritas umat muslim. Tapi jika pembaca ingin lebih mendalami ajaran Ahlussunnah wal Jamaah secara lebih detail, sebaiknya pembaca mencoba untuk mengenyam pendidikan di pesantren-pesantren salaf tradisional ala Nahdlatul Ulama. Wallahu A’lam.

 

~~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~~

 

__________

Referensi:

Syihab, H.Z.A., Akidah Ahlus Sunnah versi Salaf-Khalaf dan Posisi Asya’irah di antara Keduanya, Jakarta: Bumi Aksara, 1998.

Abbas, Siradjuddin. I’tiqad Ahlussunnah wal-Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1996.

Hasan, Tholhah, Ahlussunnah wal-Jamaah dalam Persepsi dan Tradisi NU, Jakarta: Lantabora Press, 2005.

Wahid, Abdurrahman, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Lintas Sejarah, Yogyakarta: LKPSM, 1998.

Nahdi, Saleh A., Siapakah Ahlus-Sunnah wal Jamaah?, Jakarta: Arista, 1992.

Al-Mishri, Muhammad Abdul Hadi, Manhaj dan Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah menurut Pemahaman Ulama Salaf, Jakarta: Gema Insani Press, 1994.