Semua kampus kayaknya di Indonesia, di awal semester pasti ada mata kuliah ini. Kenapa si harus ada?

Ya logikanya gini. Semisal saudara mau jadi dokter, ya saudara harus belajar buku pengantarnya, mempelajari ilmu-ilmu dasar untuk jadi dokter. Pengen jadi apoteker juga sama. Akuntan? Pasti sama juga. Setiap bidang ilmu itu pasti ada bagian pengantar yang wajib untuk dipelajari.

Semisal saudara seorang Muslim, biar saya tunjukkan salah satu contohnya. Untuk mempelajari Islam, saudara tidak bisa langsung belajar ke al-Qur’an. Saudara kan harus bisa baca aksara arab dulu. Masa tidak bisa aksara arab langsung buka al-Qur’an, nanti kejadian saudara buka Qur’an dari arah kiri malah diketawain orang.

Saat saudara bisa baca aksara arab, baru saudara bisa membaca al-Qur’an. Itu pun saudara masih belum bisa belajar Islam secara utuh dari al-Qur’an, apalagi berfatwa tentang hukum Islam. Masih jauh. Saudara harus bisa bahasa Arab dulu dong. Belajar Nahwu-Sharaf nya dulu kalo kata anak pesantren mah.

Kang, ane udah bisa nashrif nih, udah bisa dong mengkaji Islam langsung dari Qur’an?”

“Masih jauh lah. Masih jauh. Setelah bisa bahasa arab dasar, tingkatkan lagi ke kaidah bahasa arab yang lebih tinggi. Alfiyah mungkin. Terus ada lagi. Saat kau sudah hampir bisa tata bahasa Arab, kau perlu untuk mencoba belajar ilmu balaghah. Qur’an kan turun hampir 1500 tahun lalu. Harus tau perubahan makna dalam bahasa Arabnya. Termasuk tradisi pengucapan Arab. Kalo sudah  ditingkat ini, kamu nggak bisa seenaknya nyalahin orang yang berdoa “allahummaghfirlaHU” padahal mayatnya perempuan. Nggak bisa. Harus toleran kita. Karena nabi pun pernah mendoakan mayit perempuan dengan dhomir mudzakkar. Kalo semuanya sudah dikuasai, pelajari pula dasar-dasar ilmu tafsir. Jangan lupa juga ilmu ushul fiqh, karena tanpa ushul fiqh, fatwa yang walaupun ngakunya bersumber dari al-Qur’an, biasanya jadi rancu dan butuh fatwa tandingan…”

***

Yang muslim saya harap paham. Yang non-muslim, sebetulnya mudah. Untuk menjadi seorang ahli Injil misalnya, pasti melalui serangkaian buku-buku dasar sebagai pedoman untuk membedahnya. Untuk menjadi seorang yang paham ajaran luhur sang Buddha, pasti ada tahap-tahapnya. Dan itu pasti ada pengetahuan atau buku-buku dasarnya.

Nah gitu juga dalam hukum. Untuk paham seluk beluk hukum seluruhnya, ada step-stepnya. Yang terdasar itulah biasa kita sebut pengantar ilmu hukum. Disini bakal dijelaskan pedoman biar saudara tidak bingung saat menghadapi kasus-kasus hukum atau materi-materi hukum di tingkat selanjutnya.

 

Definisi Hukum

Hukum adalah aturan. Yap, betul. Tapi itu merupakan definisi secara bahasa. Definisi itu tentu terlalu luas cakupannya. Aturan buang sampah di dalam kelas, itu juga berarti hukum. Namun pertanyaannya, apakah aturan membuang sampah sembarangan di dalam kelas merupakan materi perkuliahan di Fakultas Hukum? Jelas tidak! Saudara mahal-mahal kuliah di Fakultas Hukum jelas akan sia-sia jika yang dibahas itu aturan tentang buang sampah atau aturan larangan merokok di dalam kelas.

Di Fakultas Hukum, definisi hukum yang menjadi objek kajian jelas tidak hanya sekedar aturan. Tapi aturan itu harus disusun oleh lembaga yang berwenang, yakni lembaga yang berasal dari lingkungan negara, serta memiliki perangkat dalam penegakan hukumnya. Itulah definisi hukum yang akan menjadi objek kajian di fakultas hukum.

Saya sering mencontohkan di dalam kelas. Jika Fakultas Hukum membuat aturan larangan merokok di dalam kelas, dengan sanksi pengurangan poin bagi mahasiswa—iya betul dibeberapa universitas biasanya ada aturan poin, maka itu tidak akan dikaji dalam kelas hukum, walaupun yang membuat aturan itu Fakultas Hukum sendiri. Mengapa? Karena Fakultas Hukum bukanlah lembaga yang berwenang. Tapi jika seandainya ada aturan larangan merokok di Jalan Malioboro Yogyakarta berupa Perda atau Peraturan Daerah, maka itulah salah satu objek kajian di Fakultas Hukum.

Kira-kira tergambar tidak? Sama-sama aturan larangan merokok, yang satu dikeluarkan oleh Fakultas Hukum, yang satu oleh DPRD DI Yogyakarta, namun memiliki implikasi berbeda. Saya harap saudara memahami apa itu “hukum” yang menjadi objek kajian di Fakultas Hukum.

 

Norma

Mulai dulu dari norma ya. Norma itu apa si? Mudahnya, norma itu aturan yang diikuti masyarakat. Di beberapa buku, istilah “norma” ini sama maknanya dengan “kaidah”. Anggap saja lah ya norma itu ada 4 jenis, yaitu:

  1. Norma Agama. Cirinya gampang kok. Kalo ada aturan yang sanksinya bawa-bawa nama Tuhan dan akhirat, nah itu norma agama. Misalnya yang beragama muslim, Iwan tidak melaksanakan sholat 5 waktu, pas ketahuan pak ustadz langsung dimarahi, “mau masuk neraka lu, Wan?” Nah itu contohnya, jadi jelas sholat 5 waktu bagi muslim itu termasuk norma agama yang ketika dilanggar, akan diancam dosa.
  2. Norma Kesusilaan. Untuk yang kedua ini, mudahnya gini aja lah ya. Semisal saudara ngelakuin sesuatu, kemudian dapet kecaman dari masyarakat, sampe-sampe mungkin saudara di usir dari rumah, nah itu norma kesusilaan. Semisal Rizal membunuh orang, memperkosa tetangganya, atau mencuri hp milik temannya. Nah si Rizal pasti jadi bulan-bulanan masyarakat. Norma kesusilaan ini sebagian besar biasanya sudah menjadi norma hukum, karena sudah diatur dalam UU. Norma kesusilaan ini biasanya bersifat universal, jadi di banyak daerah pasti hampir-hampir sama. Lah iya dong, pembunuhan misalnya, mau orang Jawa kek, mau orang Batak kek, mau orang Bali kek, mau orang Amerika kek, pasti sama-sama mengecam jika ada pembunuhan.
  3. Norma Kesopanan. Kalo ini lebih ringan dari nomor 2. Semisal saudara ngelakuin hal yang nggak pantes dan disinisin sama tetangga, nah itu norma kesopanan. Suatu waktu, Musdalifah lewat daerah kaum santri yang biasanya pake pakaian yang menutup aurat (pakaian Islami lah gampangnya). Tiba-tiba Musdalifah—seorang perempuan kekinian, maklum baru balik dari kota kali ya, pake rok pendek lewatin area pesantren. Apa nggak heboh tuh? Walaupun anak-anak pesantren itu nggak sampe ngusir Musdalifah dari kampung, tapi mereka pasti ngomongin Musdalifah. “Tuh liat, cewek jaman sekarang mah kagak tau sopan santun.”. Kan begitu biasanya. Nah untuk norma kesopanan ini, itu relatif ya. Setiap tempat bisa beda-beda. Di komplek pesantren, cewek pake rok pendek mungkin sudah dibully. Tapi di daerah lain yang abangan, ya biasa aja.
  4. Norma Hukum. Nah, setiap di Fakultas Hukum, kalo dosen ngomong istilah “norma”, maksudnya yang nomer 4 ini. Norma hukum itu mudahnya ya hukum yang berlaku di satu negara lah gitu. Hukum positif kalo orang bilang. Teringat cerita dosen saya dulu namanya Dr. Djoko Sukisno, beliau pernah cerita gini. Dulu, saat sepeda motor sudah masuk ke Indonesia dan sudah mulai banyak di jalanan, itu belum ada UU Lalu Lintas. Jadi, orang pake motor itu nggak pada pake helm. Bebas aja. Sampe suatu saat, karena banyak kecelakaan, maka dianggap penting bawa motor pake helm. Maka dibuatlah UU Lalu Lintas yang mewajibkan pake helm. Nah aturan pake helm saat UU Lalu Lintas disahkan, sudah menjadi norma hukum.

Kalo kata pak Djokis (itu sebutan dosen saya itu), dulu orang yang mensosialisasikan aturan pake helm itu dilakukan pak Hoegeng. Ituloh, jenderal yang kata Gus Dur kejujurannya mirip polisi tidur itu. Sampe-sampe masyarakat itu nuduh pak Hoegeng jualan helm. Tapi untunglah yang dituduh itu pak Hoegeng, kan orang jadi tau kalo itu tuduhan. Pak Hoegeng kan rumahnya butut, alias jelek. Beda kalo yang dituduh menteri jaman sekarang kan, dituduh bisnis PCR aja kan kita pasti percaya, orang hidupnya mewah gitu.

Nah, banyak norma hukum ini diambil dari norma kesusilaan, utamanya yang terkait hukum publik. Aduh hukum publik apaan? Nanti-nanti ya abis ini ada bagian khususnya…

 

Ciri-Ciri dan Unsur-Unsur Hukum

“Kamu kok kenal kalo orang pake jaket hitam itu si Moldi?”

“Ya karena aku tau ciri-ciri si Moldi. Dia kan gemuk orangnya, kalo pake sendal, pasti dia pake merek Swallow. Jadi kalo mukanya ketutup sama jaket pun, tetep tau…”

Udah kuliah di Fakultas Hukum, masa masih nggak tau ciri-ciri hukum si?

Hukum itu secara bahasa adalah aturan. Memang begitu definisi singkatnya. Jadi aturan dan larangan merokok di dalam kelas, auran untuk tidak membuang sampah sembarangan, aturan dosen saat ngasih tugas buat mahasiswanya, itu semua secara bahasa ya hukum. Ingat ya, itu definisi secara bahasa.

Tapi kan konyol, saudara bayar kuliah mahal-mahal di Fakultas Hukum, ternyata saat kuliah dosennya ngejelasin aturan untuk tidak membuang sampah sembarangan di dalam kelas. Lah itu kan nggak usah kuliah, kan? Buang-buang duit saja…

Nah di Fakultas Hukum, yang dipelajari tentu bukan itu. Tapi hukum dalam arti yang sesungguhnya. Hukum sudah tidak lagi diartikan sebagai aturan secara umum, tapi dipersempit maknanya menjadi “aturan dalam mengatur sesuatu yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang, kemudian saat seseorang melanggar aturan tersebut akan dikenakan sanksi oleh lembaga yang juga sama-sama berwenang…” Ini tambahan definisi dari bagian definisi diatas.

Nah dari definisi hasil otak-atik saya ini, bisa dibuat ciri-cirinya nih. Hukum yang dipelajari di Fakultas Hukum, ciri-cirinya harus:

  1. Adanya aturan. Ngatur apa aja lah ya, yang penting ada aturan.
  2. Aturan itu dibuat oleh lembaga yang berwenang. Ini maksudnya lembaga yang berwenang di tingkat negara ya. Jadi kalo dosen bikin aturan dilarang merokok di dalam kelas, itu bukan objek kajian di Fakultas Hukum. Dosen kan bukan lembaga yang berwenang, dia kan cuma babu nya mahasiswa s
  3. Adanya sanksi. Nah kalo udah cape-cape bikin aturan, terus aturan itu dilanggar, ya pasti jengkel lah ya. Makanya harus ada sanksi atau hukuman. Nah khusus kajian di Fakultas Hukum, proses pemberian sanksi itu juga harus melalui serangkaian proses di lembaga yang berwenang. Jadi kalo dosen ngasih sanksi sama mahasiswa yang merokok di dalam kelas dengan mengurangi nilai kuliahnya jadi nilai E, itu nggak bakal jadi materi perkuliahan di Fakultas Hukum.

Nah semisal saudara baca-baca buku Pengantar Ilmu Hukum, ciri-ciri hukum itu bisa beda-beda. Ada yang bilang cuma 2, ada yang bilang 3 sama seperti saya ini, ada juga 4, dan sebagainya. Itu monggo-monggo saja. Yang penting saudara paham konsepnya. Toh kalo dibanding-bandingin, yang bilang ciri-ciri hukum itu 2 atau 3 atau 4 dan lain sebagainya itu, sebenernya ujungnya ya sama saja.

Jadi kalo ada larangan ngerokok di dalam kelas yang dikeluarkan oleh Fakultas Hukum, itu jelas bukan kajian kita sebagai mahasiswa hukum. Bodo amat yang ngeluarin aturan sekelas Fakultas Hukum, yang jelas mereka bukan bagian dari lembaga yang berwenang ditingkat negara. Tapi kalo saudara denger ada Peraturan Daerah di Yogyakarta soal larangan merokok di Jalan Malioboro, nah baru itu bisa dibahas di Fakultas Hukum. Sama-sama aturan larangan merokok, tapi karena dikeluarkan oleh pihak yang berbeda, hasilnya pun bisa beda.

 

Sifat Hukum

Yang termudah dan wajib saudara pahami, setidaknya ada 2 sifat hukum:

  1. Hukum bersifat imperatif, maksudnya hukum itu bersifat mengikat dan memaksa. Ini biasanya berkaitan dengan hukum publik, misalnya peraturan perundang-undangan tentang hukum pidana.
  2. Hukum bersifat fakultatif, dia tidak terlalu mengikat dan juga tidak terlalu memaksa. Misalnya dalam hal hukum privat. Dalam KUH Perdata dijelaskan beberapa hal terkait isi perjanjian, namun dalam beberapa hal terkait isi perjanjian itu kita boleh untuk berbeda, dan perjanjian yang kita buat itu tetap dianggap sah.

 

Tujuan Hukum

Orang bikin layang-layang ya tujuannya biar bisa terbang. Orang bikin sapu ya biar bisa dipake bersih-bersih. Lah masa orang bikin hukum kagak ada tujuannya? Nggak mungkin kan?

Maka disusunlah setidaknya 3 tujuan hukum. Sebenarnya ya tujuan hukum itu tidak hanya 3, tapi 3 ini yang paling terkenal:

  1. Teori Etis = Hukum itu Bertujuan Menciptakan Keadilan. Ini kagak usah dibahas ya, orang yang bukan mahasiswa hukum aja biasanya tau kalo hukum itu harusnya menciptakan keadilan.
  2. Teori Positivis/Normatif = Hukum itu Bertujuan Menegakkan Kepastian. Kepastian apa nih? Kepastian hubungan antara kamu dan si dia? Ya bukan itu. Kepastian disini adalah kepastian hukum. Kepastian hukum itu maknanya adalah hukum itu ditegakkan sesuai dengan isi tulisan di undang-undangnya. Misal nih, di undang-undangnya bilang, barang siapa yang mencuri dihukum 100 tahun. Nah, kepastian itu pake kacamata kuda. Pokoknya kalo ada yang mencuri harus dihukum 100 tahun sesuai undang-undang. Walaupun semisal ada nenek-nenek usia 70 tahun maling setangkai pohon, ya tetep 100 tahun hukumannya.

Kepastian itu nggak punya nurani. Ini kebalikan dari keadilan. Kalo dewi keadilan lihat nenek-nenek tadi yang maling nggak seberapa, pasti udah bilang gini, “alah cuma segitu doang dihukum. Udah bebasin aja. Koruptor masih banyak gini, tetep aja masih ngurusin nenek-nenek…”

  1. Teori Utilities = Hukum itu Bertujuan Melahirkan Kemanfaatan. Iyalah, orang kalo mau bikin apa-apa pasti harus bermanfaat lah. Ngapain bikin hukum kalo nggak ada manfaatnya bagi masyarakat?

Nah, tujuan “Keadilan” dan “Kemanfaatan” biasanya temen karib, jarang ribut lah pokoknya. Yang sering ribut itu, antara “keadilan” sama “kepastian”. Itu hampir setiap hari tawuran. Karena memang, rasa keadilan itu sifatnya kontekstual, dia punya rasa dan nurani. Mencuri hukumannya 100 tahun kalo dilakukan seorang menteri dan nilai yang dia curi hampir segede APBN, ya wajar dihukum 100 tahun. Tapi kalo nenek-nenek yang ngambil ranting pohon, masa harus 100 tahun juga? Nah itu hebatnya dewi keadilan.

Lain sama kepastian. Pokoknya di undang-undang bilang 100 tahun, harus 100 tahun. Nggak boleh nggak. Hukum harus tetep dijunjung walaupun langit hendak runtuh. Nah sejak dimunculkan gagasan tujuan hukum itu adalah kepastian, istilah “hukum” sudah tidak identik lagi dengan “keadilan”. Dulu, dulu sekali, orang bilang “hukum” itu maknanya adalah “keadilan”, karena memang hukum dan keadilan itu dua sejoli yang nggak bisa dipisahin. Tapi semua berubah saat muncul orang ketiga. Saat “kepastian” datang menggoda “hukum”, maka perkawinan “hukum” dan” keadilan” pun putus dengan sendirinya, mereka bercerai dengan tragis.

Dan sekarang, utamanya di negara-negara yang terpengaruh tradisi sistem hukum Eropa Kontinental (Eropa Daratan seperti Belanda, Jerman, Perancis), “hukum” sudah identik dengan “kepastian”. Termasuk Indonesia. Negeri tercinta kita ini kan dulu pernah dijajah Belanda. Jadi mau nggak mau ya pikiran orang Belanda ngaruh juga sama kita-kita ini.

 

Hukum Publik dan Privat

Kalau saudara baca buku saya yang lain yang fokus membahas Pengantar Ilmu Hukum, pembagian hukum itu bisa banyak sekali. Ada ius constitutum dan ius constiituendum, ada hukum pidana, perdata, administrasi, ada hukum tertulis dan tidak tertulis, dan pembagian yang lainnya.

Tapi diantara sekian banyaknya pembagian hukum, yang paling saya anggap penting, saudara wajib memahami apa itu hukum publik dan apa itu hukum privat.

Seperti yang saya jelaskan di dalam kelas, ini versi mudahnya ya, untuk memudahkan suatu hukum itu publik atau privat, lihat para pihak yang bersengketanya. Jika salah satu pihaknya ada unsur negara, maka itu jelas hukum publik.

Misalnya kasus pencurian yang itu bagian dari hukum pidana, coba perhatikan putusan hakim tentang kasus pencurian. Pihak yang dicantumkan itu cuma pihak terdakwa, karena pihak yang lainnya adalah penuntut umum. Penuntut umum ini berasal dari instansi negara yaitu Kejaksaan. Nah karena salah satu pihaknya ada instrumen negara, maka jelas, hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik.

Contoh lain, misalnya hukum administrasi negara. Ketika ada sengketa, penyelesaiannya di PTUN. Coba baca salah satu putusan di PTUN, lihat para pihaknya. Kan jelas disana, tergugatnya adalah jabatan dari lembaga negara. Maka kesimpulannya mudah, hukum administrasi negara merupakan kajian hukum publik.

Lah terus hukum privat apaan, pak? Ya kebalikan dari hukum publik lah. Di hukum privat, yang bersengketa itu tidak ada unsur negara. Pokoknya antar orang-perorang atau badan hukum perdata. Misal nih dalam sengketa wanprestasi, penggugatnya namanya Moldi, tergugatnya namanya Ana. Dua-duanya orang-perorang, nggak ada yang negara. Maka jelas, kasus itu termasuk hukum privat. Atau bisa disimpulkan, hukum perdata adalah bagian dari kajian hukum privat.

Mudah ya? Jadi kalo kapan-kapan kalian ditanya, “Musdalifah, hukum lingkungan itu, bagian hukum publik atau privat?” Musdalifah tinggal cari putusan yang terkait hukum lingkungan. Kemudian Musdalifah bisa dengan pede bilang, “hukum publik, pak”.

Atau misalnya Ana ditanya, “hukum merek itu termasuk hukum publik atau privat?”, cari aja putusan yang terkait merek. Nah untuk merek, nyari kasusnya jangan satu, tapi beberapa. Nanti keliatan, kalo hukum merek itu bisa termasuk hukum publik dan hukum privat sekaligus.

Ini trik mudahnya aja lah ya, di buku-buku Pengantar Ilmu Hukum, materi ini nggak bakal ada. Ini murni hasil otak-atik saya.

 

Hukum Formil dan Materiil

Selain pembagian hukum publik dan privat, satu hal lagi yang penting untuk saudara pahami, yaitu membedakan mana itu hukum formil dan mana itu hukum materiil.

Sederhananya, hukum materiil adalah hukum substansi, isi dari produk hukum itu mengatur tentang apa. Sementara hukum formil, orang biasa menyebutnya sebagai hukum acara, adalah prosedur untuk menegakkan hukum materiil.

Berkali-kali saya contohkan di dalam kelas, misalnya saya membuat  aturan begini:

  1. Setiap mahasiswa dilarang merokok di dalam kelas.
  2. Selain merokok, mahasiswa juga dilarang membuang sampah sembarangan.
  3. Setiap mahasiswa yang terbukti merokok di dalam kelas, maka akan dikurangi 20 poin.
  4. Setiap mahasiswa yang terbukti membuang sampah sembarangan di dalam kelas, maka akan dikurangi 5 poin.
  5. Ketua kelas wajib menegur mahasiswa yang merokok dan membuang sampah sembarangan di dalam kelas.
  6. Ketua kelas wajib memerintahkan mahasiswa yang membuang sampah sembarangan untuk membuang sampahnya ke tempat sampah yang telah disediakan.
  7. Ketua kelas melaporkan nama-nama mahasiswa yang merokok dan membuang sampah sembarangan di dalam kelas kepada Kaprodi untuk ditindaklanjuti dengan pengurangan poin.

Dari 7 aturan diatas, saya katakan, poin angka 1 sampai dengan 4 bisa kita sebut sebagai hukum materiil, karena inti dari aturan diatas adalah larangan merokok dan membuang sampah sembarangan, termasuk isi sanksinya.

Sementara poin angka 5 hingga 7 merupakan hukum formil atau hukum acara, bagaimana seorang ketua kelas yang kita anggap saja seperti penyidik, menegakkan aturan larangan merokok dan membuang sampah sembarangan di dalam kelas.

Dari sini saudara bisa paham, bahwa dalam hukum pidana misalnya, KUHP itu hukum materiil, sementara KUHAP adalah hukum formil. Dalam hukum perdata, KUH Perdata itu hukum materiil, HIR itu hukum formil. Tapi juga saudara jangan sampai terkecoh, misalnya KUH Perdata, selain didalamnya mengatur banyak hukum materiil, KUH Perdata juga bisa kita sebut sebagai hukum formil, karena bagian buku keempat KUH Perdata itu isinya ya hukum acara.

 

Subjek Hukum

Baca baik-baik bagian ini, ya. Saya merasa gagal sebagai dosen jika mahasiswa semester atas masih gagap nggak paham soal subjek hukum. Pas tau mahasiswa nggak bisa jawab, saya cuma bisa mengelus dada sambil bilang, “duh Gusti, paringi sabarrr…. Gustiiii….”

Coba saudara perhatikan pertandingan badminton antara Lin Dan dan Taufik Hidayat. Saat nonton di tv, itu kan banyak banget orangnya ya. Si Lin Dan nya ada lagi maen, si Taufik Hidayat juga ada, si wasit juga ada lagi duduk ditengah, terus ada kameramen, ada pelatih, ada penonton, ada tukang sapu, dan segala macemnya.

Tapi walaupun di gedung saat pertandingan badminton itu banyak orang, kita tau sendiri kalo sejatinya yang maen itu ya cuma si Lin Dan sama si Taufik Hidayat. Nah itu namanya subjek. Orang yang jadi fokus perhatian, itu subjek namanya.

Lah sama dengan hukum. Gampangannya aja lah ya, anggap saja pengadilan itu sama kayak lapangan badminton, maka dua pihak yang sedang bersengketa di pengadilan, itu namanya subjek hukum. Atau kalo mau diartikan, subjek hukum itu orang yang bisa bertanggungjawab atas setiap tindakannya dihadapan hukum, atau dihadapan pengadilan.

Kan hampir mirip sama definisi subjek badminton. Subjek badminton adalah siapa saja orang yang bisa bermain di arena atau lapangan badminton. Kan mirip kan?

Nah untuk bisa bermain badminton di level dunia, pasti ada syaratnya. Minimal juara tingkat nasional dulu misalnya, terus umurnya nggak boleh lebih dari 45 tahun misalnya karena itu usia pensiun atlet, dan lain-lain.

Nah subjek hukum pun sama. Untuk bisa bertanggung jawab dihadapan hukum atau di pengadilan, harus ada syarat-syaratnya.

Oke langsung saja kita bahas subjek hukum. Ada 2 ya subjek hukum itu:

  1. Natuurlijk Persoon = Manusia atau orang perorang (bukan orang-orangan)

Iya lah, namanya hukum kan dibuat untuk ngatur manusia, jadi ya manusia itu lah jadi subjeknya. Nah, tapi tidak semua manusia bisa jadi subjek hukum. Ada kriterianya. Apa aja?

Harus cakap. Secara umum syaratnya hanya cakap. Cakap ini bisa ditentukan oleh kedewasaan atau umur, bisa juga oleh keadaan mental. Tapi khusus masalah umur, di Indonesia nggak bisa asal pasang angka saja. Nggak bisa. Misal “orang yang cakap adalah yang sudah berusia 18 tahun”, itu nggak bisa bilang gitu. Karena aturan cakap dari kedewasaan/umur ini bisa beda-beda di setiap peraturan perundang-undangan. Sudah berkali-kali saya bahas di dalam kelas ya ribetnya nentuin umur ini. Jadi nanti untuk umur, kita nyari aman aja ya, pendapat yang saya kutip dari dosen saya saat di kelas sementara jangan dipake dulu lah ya, karena memang kurang populer. Jadi masalah batas umur ini, setiap klaster hukum bisa beda-beda. Dalam pidana sekian tahun, nanti di perdata bisa beda lagi.

Selain dari kedewasaan atau umur, cakap juga bisa dinilai dari keadaan mental. Kalo dia sakit jiwa, ya tentu dia bukan subjek hukum. Karena bukan subjek hukum, maka dia nggak bisa dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya. Misalnya saudara lagi jalan-jalan, tiba-tiba saudara dipukul orang gila. Ya itu mah musibah, mas, ikhlasin. Jangan mentang-mentang mahasiswa hukum terus minta pertanggungjawaban ke si orang gila tadi. Nanti saya yang repot, sebenernya yang gila itu siapa? Jangan-jangan saudara juga ikutan gila?

  1. Rechts Persoon = Badan Hukum

Nah ini yang ribet. Nanti setiap klaster hukum, ruang lingkup badan hukum itu bisa beda-beda ya. Oke secara umum aja dulu. Ada beberapa badan hukum yang harus saudara tau:

  1. Loh kok negara? Lah memang. Bukannya negara juga bisa kita seret ke pengadilan? Tindakan negara karena menghidupi banyak orang, setiap kebijakannya mau tidak mau pasti ada yang merugikan beberapa pihak. Lah kalo ada orang dirugikan karena kebijakan negara, masa nggak bisa dilawan si? Nah tapi tentu saja, negara ini nggak bisa jadi subjek hukum di semua klaster hukum. Harus lihat kondisi dulu ya. Khusus negara ini, biasa disebut sebagai badan hukum publik, dia tidak bisa di seret dalam kajian hukum privat.
  2. Partai Politik. Buka aja dah UU Partai Politik, itu badan hukum atau bukan.
  3. Organisasi Masyarakat. Ini juga buka dah UU Ormas nya yang pernah ribut-ribut itu, pake Perpu ya kalo nggak salah. Cape ngejelasinnya.
  4. Yayasan.
  5. Koperasi.
  6. Perseroan Terbatas.
  7. BUM Desa.

Mungkin selain yang saya sebutin ini, masih ada lagi. Tapi biasanya jarang digunakan dan hanya berlaku untuk klaster hukum  tertentu saja. Misalnya kalo saudara belajar Hukum Internasional, nanti subjek hukumnya bisa aneh-aneh, misalnya ada Organisasi Internasional, ada juga Tahta Suci dari Vatikan. Pokoknya subjek hukum yang bagian dari rechts persoon ini bisa jadi lebih dari yang saya cantumin.

AWAS, KALO MASIH ADA YANG BILANG CV DAN FIRMA ITU BADAN HUKUM, mending wisuda nya di tunda dulu. Aduh. Jangan sampai ya…

 

Sumber Hukum

Kalo saudara ingin makan, saudara harus mencari sumber makanan, misalnya dengan pergi ke pasar, ke kebun, atau ke minimarket. Jadi jika ditanya, apa saja sumber makanan? Jawabannya ya: (1) Pasar, (2) Kebun, (3) Minimarket, dan lain-lain.

Begitupun dengan hukum. Untuk mencari hukum yang menjadi objek kajian di Fakultas Hukum, kita harus tau beberapa sumbernya. Untuk sumber hukum formil, setidaknya ada 5 yang terkenal:

  1. Hukum tertulis, misalnya undang-undang;
  2. Hukum tidak tertulis, misalnya kebiasaan;
  3. Traktat atau perjanjian internasional, ini biasanya ada 2 jenis, ada namanya perjanjian bilateral (antara dua negara), ada perjanjian multilateral (lebih dari 2 negara);
  4. Yurisprudensi atau putusan hakim;
  5. Doktrin atau pendapat sarjanawan hukum.

 

Asas Hukum

Sebelum kita bahas asas hukum, ada baiknya kita mengenal 3 tingkatan hukum, yaitu:

  1. Ilmu Hukum atau Dogmatika Hukum. Orang biasa menyebut ini sebagai hukum konkret. Contohnya ya norma hukum atau undang-undang. UU itu kan bisa dilihat, karena memang konkret.
  2. Teori hukum. Orang biasa menyebutnya hukum yang semi konkret dan semi abstrak. Teori hukum itu di beberapa kasus bisa menjadi norma hukum jika dicantumkan dalam UU, tapi juga bisa abstrak karena tidak dicantumkan dalam UU. Nah yang termasuk teori hukum salah satunya adalah asas hukum. Asas hukum ini sebagian ada yang dicantumkan dalam UU, sebagian ada yang tidak dicantumkan dalam UU, tapi sama-sama memiliki kekuatan hukum mengikat. Yang tercantum di UU, misalnya asas legalitas ada di KUHP, asas pacta sund servanda ada di KUH Perdata, asas lex specialis derogat legi generali ada di KUH Dagang, dan lain-lain. Ada juga asas hukum yang tidak dicantumkan dalam UU, misalnya asas lex posteriori derogat legi priori, juga asas lex superiori derogat legi imperiori. Tapi walaupun tidak dicantumkan dalam UU, asas hukum tersebut tetap mengikat. Jadi jika ada UU A lahir pada tahun 2000 dan ada UU A juga lahir pada tahun 2021, maka jelas UU A yang berlaku adalah yang lahir pada tahun 2021. Apa dasar hukumnya? Asas!
  3. Filsafat hukum. Orang biasa menyebutnya hukum yang abstrak. Ini merupakan kajian mahasiswa-mahasiswa doktoral hukum. Intinya, filsafat hukum adalah hal yang menjiwai dogmatika hukum dan teori hukum. Kenapa harus ada aturan pake helm bagi kendaraan roda dua di UU Lalu Lintas? Jawabannya karena untuk melindungi organ penting di otak bagian belakang manusia dari benturan jika terjadi tabrakan. Nah pemikiran seperti ini merupakan kajian filsafat hukum.

Jadi jelas ya, asas hukum itu adalah suatu pemikiran yang berjalan dibelakang norma hukum, dan walaupun tidak tercantum dalam undang-undang, asas hukum itu memiliki kekuatan mengikat yang sama.

 

 

Aliran dan Mazhab Hukum

Nah, aliran hukum ini salah satu kajian yang dipelajari lebih lanjut dalam materi filsafat hukum. Untuk melahirkan banyak corak hukum di dunia ini, ternyata ada sekian banyak perdebatan lintas zaman, dan itu tidak akan pernah berhenti. Sesekali saudara mungkin bisa bermeditasi, merenungkan apa si sebetulnya hukum itu, kemudian dibuat dalam sebuah gagasan yang terstruktur. Maka saudara sudah bisa disebut sebagai seorang filsuf hukum.

Pertanyaan mendasar tentang “’apa si hukum itu?”, “tujuan adanya hukum buat apa si?”, “jika tidak ada hukum kira-kira manusia tetap bisa hidup atau tidak si?”, “kira-kira rasa terhadap hukum itu ditentukan oleh Tuhan atau bukan si?”, dan pertanyaan-pertanyaan mendasar lainnya, memicu perdebatan lintas generasi dan memunculkan berbagai macam aliran. Kita mulai saja pembahasan ringkasnya ya.

  1. Aliran Hukum Alam

Aliran ini adalah yang tertua. Dalam pandangan aliran ini, hukum identik dengan keadilan. Jadi jika di zaman ini sebagian besar masyarakat menganggap hukum itu identik dengan keadilan, itu berarti aliran hukum alam ini tetap langgeng menembus zaman.

Aliran ini juga di dalam kelompoknya memunculkan beberapa sub-aliran. Tapi yang terkenal, aliran ini berpendapat bahwa nilai rasa hukum di dalam diri manusia itu sumbernya dari Tuhan. Kenapa mereka berpendapat demikian? Karena ketika tokoh-tokoh mereka jalan-jalan ke berbagai macam suku dan kebudayaan, ternyata setiap suku dan kebudayaan memiliki batasan hukum yang sama. Di satu suku bangsa, pembunuhan itu dikategorikan sebagai suatu pelanggaran hukum yang berat, ternyata di suku bangsa yang lainnya juga sama, pembunuhan itu dianggap pelanggaran hukum yang berat. Oh kalo begitu, hukum ini berasal dari Tuhan, karena nilai di setiap masyarakatnya  sama. Sehingga dalam pandangan hukum alam, hukum itu berlaku universal dimanapun berada, dan akan abadi, setiap zaman akan memiliki nilai yang sama terhadap hukum.

  1. Mazhab Sejarah

Mazhab sejarah kebalikannya dari aliran hukum alam. Bagi mazhab sejarah, hukum itu lahir dari jiwa masyarakat seiring perkembangan zaman. Itu lah alasan kenapa setiap daerah hukumnya bisa berbeda-beda. Di satu negara, minum alkohol itu adalah hal yang dilarang, tapi di negara yang lainnya, minum alkohol itu boleh-boleh saja. Sehingga mazhab sejarah memunculkan gagasan anti-tesis dari aliran hukum alam, bahwa nilai terhadap hukum itu bisa berbeda-beda di setiap tempat dan zaman, sehingga mereka berpendapat hukum itu bisa berbeda-beda di setiap daerah atau negara didasarkan pada jiwa masyarakatnya masing-masing, serta hukum itu tidak kekal abadi, karena jiwa masyarakat bisa berubah seiring perkembangan zaman.

  1. Aliran Positivisme Hukum

Aliran positivisme hukum lahir sebagai bantahan bagi aliran hukum alam dan mazhab sejarah sekaligus. Bagi aliran positivisme hukum, lahirnya hukum itu berasal dari kekuatan politik dan dibentuk oleh lembaga yang berwenang. Tujuannya satu: melahirkan kepastian hukum. Jadi tidak ada istilahnya hukum itu berasal dari Tuhan atau hukum itu berasal dari jiwa masyarakat. Apapun itu, jika tidak disahkan oleh instrumen negara, maka itu bukan hukum. Begitu pikiran sederhana dari positivisme hukum.

  1. Aliran Utilitarianisme Hukum

Ini berkaitan dengan teori utulities, teori kemanfaatan hukum. Hukum itu kan dibuat untuk manusia, ya harusnya hukum itu melahirkan kemanfaatan dong bagi manusia. Aliran ini sebagiannya menentang aliran positivisme hukum, tapi sebagiannya cenderung mendukung positivisme hukum. Penentangan terhadap positivisme hukum diwujudkan, bilamana ada UU dibuat oleh negara tapi tidak bermanfaat bagi masyarakat, berarti itu bukan hukum yang ideal. Tapi disisi yang lain, aliran hukum ini juga cenderung kompak dengan positivisme hukum, bahwa hukum itu harus dibuat oleh suatu lembaga negara yang berwenang, dan harus diikuti oleh masyarakat, sehingga hukum itu bisa bermanfaat. Agak-agak susah dipahami memang, karena di internal aliran ini juga lahir beberapa sub-aliran.

  1. Aliran Sosiological Jurisprudence

Aliran ini lebih realistis. Bagi aliran sosiological jurisprudence, hukum itu seharusnya lahir dari nilai-nilai di masyarakat. Setiap aturan hukum yang disahkan oleh negara dan tidak sesuai dengan nilai-nilai di masyarakat, maka hukum itu hanya akan menjadi hukum yang mati. Hukumnya berlaku tapi tidak akan diikuti oleh masyarakat.

 

Nah, sebetulnya masih ada beberapa aliran dan mazhab hukum yang lain, tapi saya kira yang paling penting yang 5 ini. Sementara aliran lainnya, kurang lebih cara pandangnya mirip-mirip atau hasil modifikasi dari ke 5 aliran ini. Untuk lebih lengkapnya saudara bisa baca buku elektronik saya yang lain yang judulnya “Konsep Dasar Ilmu Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia”.

 

Sistem Hukum

Sekarang kita beralih ke sistem hukum. Sistem hukum itu adalah suatu rangkaian hukum di suatu negara secara utuh. Jika saya tanya kepada mahasiswa, “ada berapa sistem hukum di dunia ini?”, kemudian si mahasiswa menjawab, “ada 2, pak, civil law dan common law,” saya pastikan saya akan menjewer mahasiswanya.

Jika ditanya, “ada berapa sistem hukum di dunia?”, jawablah yang tegas, ”ada banyak, pak.” Karena jika saudara jawab hanya ada 2, maka saudara tidak bisa menjawab sistem hukum di Arab Saudi, di Korea Utara, di Rusia, di China, di Afrika, dan banyak negara lainnya. Mereka bukan  civil law system, bukan pula common law system.

Sistem hukum yang banyak itu: ada civil law system, ada common law system, ada sistem hukum agama, ada sistem hukum adat, ada sistem hukum sosialis, dan lain-lain.

Tapi dari banyaknya sistem hukum yang ada, yang terkenal memang hanya ada 3, yaitu:

  1. Sistem hukum sipil atau civil law system. Orang biasa bilang juga sebagai sistem hukum Eropa Kontinental. Kenapa disebut sistem hukum Eropa Kontinental? Karena sistem hukum ini berkembang di negara-negara eropa daratan. Kontinental itu kan artinya daratan. Eropa daratan itu ya kalo liat di peta, itu negara-negara yang di bagian utuh benua Eropa yang tersambung ke benua Asia, seperti negara Jerman, Perancis, Belanda, dan lain-lain. Inti dari sistem hukum ini, hukum adalah peraturan tertulis. Intinya itu. Selain peraturan tertulis, berarti itu bukan hukum.
  2. Common law system. Orang biasa menyebutnya sistem hukum Anglo-Saxon. Kenapa disebut anglo-saxon? Karena anglo dan saxon adalah nama suku terbesar dan paling mendominasi di Inggris jaman Mungkin kalo di Indonesia seperti Jawa-Sunda. Sistem hukum ini berpendapat bahwa hukum itu lahir dari masyarakat, sehingga tidak harus dibukukan. Jika ada sengketa, langsung saja datang ke pengadilan, biarkan hakim yang menilai. Dari sinilah nanti lahir yurisprudensi atau putusan hakim. Nah putusan hakim ini akan menjadi dasar bagi hakim setelahnya untuk memutus perkara yang sama.
  3. Sistem hukum campuran. Nah ini cocok untuk Indonesia. Di Indonesia sendiri, mayoritas memang terpengaruh oleh sistem hukum Eropa Kontinental karena kita dulu dijajah oleh Belanda, tapi realitanya di beberapa daerah, kita juga menerima hukum adat, kita juga menerima hukum agama, termasuk yurisprudensi. Maka dalam kajian Hukum Tata Negara kekinian, sistem hukum Indonesia dikategorikan sebagai sistem hukum campuran, dan biar terlihat lebih keren, digagaslah nama sebagai sistem hukum Pancasila.

 

Teori Lahirnya Hukum

Ada banyak teori-teori lahirnya hukum, saya copy-paste saja dari materinya “Pusaka Penuntun Seleksi Calon Hakim” dengan beberapa perubahan. Ini teori-teori yang paling terkenal:

  1. Teori teokrasi = teori ketuhanan = hukum berasal dari Tuhan, dijelaskan melalui kitab suci, dan dilaksanakan oleh penguasa. Raja atau penguasa dianggap mendapat kuasa dari Tuhan sebagai wakil Tuhan.
  2. Teori kedaulatan rakyat = Pada zaman Renaissance, timbul teori yang mengajarkan, bahwa dasar hukum itu ialah “akal” atau ‘rasio” manusia (aliran rasionalisme). Menurut aliran Rasionalisme ini, bahwa Raja dan Penguasa Negara lainnya memperoleh kekuasaannya itu bukanlah dari Tuhan, tetapi dari rakyatnya. Pada Abad Pertengahan diajarkan, bahwa kekuasaan Raja itu berasal dari suatu perjanjian antara Raja dengan Rakyatnya yang menaklukan dirinya kepada Raja itu dengan syarat-syarat yang disebutkan dalam perjanjian itu.

Kemudian setelah itu dalam Abad ke-18 Jean Jacques Rousseau memperkenalkan teorinya, bahwa dasar terjadinya suatu negara ialah “perjanjian masyarakat” (Contract Social) yang diadakan oleh dan antara anggota masyarakat untuk mendirikan suatu Negara. Teori Rousseau yang menjadi dasar “Kedaulatan Rakyat” mengajarkan, bahwa negara bersandar atas kemauan rakyat, demikian pula halnya semua peraturan-perundangan adalah penjelmaan kemauan rakyat tersebut.

  1. Teori kedaulatan negara = Pada abad ke-19, Teori Perjanjian Masyarakat ini ditentang oleh Teori yang mengatakan, bahwa kekuasaan hukum tidak dapat didasarkan atas kemauan bersama seluruh anggota masyarakat. Hukum itu ditaati ialah karena negaralah yang menghendakinya. Hukum adalah kehendak negara.
  2. Teori kedaulatan hukum = Krabbe menentang Teori Kedaulatan Negara. Dia mengajarkan, bahwa sumber hukum ialah “rasa keadilan”. Menurut Krabbe, hukum hanyalah apa yang memenuhi rasa keadilan dari orang terbanyak yang ditundukkan padanya. Suatu peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan dari jumlah terbanyak orang, tidak dapat mengikat. Peraturan-perundangan yang demikian bukanlah “hukum”, walaupun ia masih ditaati ataupun dipaksakan. Hukum itu ada, karena anggota masyarakat mempunyai perasaan bagaimana seharusnya hukum itu.

 

Penemuan Hukum

Materi penemuan hukum ini juga saya ambil langsung dari buku elektronik berjudul “Pusaka Penuntun Seleksi Calon Hakim”, karena saya menganggap sudah demikian mudah dipahami.

Metode Interpretasi

  • Subsumtif = dilihat dari teks UU
  • Gramatikal = dari kaidah bahasa
  • Formal = penjelasan otentik dari UU
  • Historis = dari sejarah
  • Sistematis = dari sistem peraturan
  • Sosiologis = dari sosial masyarakat
  • Komparatif = perbandingan
  • Futuris = dari peraturan yang belum berlaku
  • Restriktif = penafsiran UU terbatas
  • Ektensif = penafsiran UU tidak terbatas

 

Metode Argumentasi

  • Argumentum per analogiam = menafsirkan peraturan yang ada menjadi abstrak, untuk memperluas makna dalam memutus perkara yang belum ada peraturannya
  • Penghalusan hukum (penyempitan hukum) = menafsirkan peraturan yang ada menjadi abstrak, untuk mempersempit makna dalam memutus perkara yang belum ada peraturannya
  • Argumentum a contrario = menafsirkan peraturan yang ada menjadi abstrak, untuk diterapkan secara berlawanan dalam memutus perkara yang belum ada peraturannya
  • Argumentum a fortiori = menafsirkan peraturan yang ada menjadi abstrak, melihat akibat hukum yang lebih berat dari perkara yang belum ada, kepada akibat hukum yang lebih ringan dari perkara yang sudah ada.

 

~~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~~