Judul Penelitian

Independensi Kekuasaan Kehakiman dan Pembaruan Sistem Lembaga Tinggi Negara yang Progresif dalam Amandemen Kelima Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Sesuai Prinsip Negara Hukum dan Demokrasi

 

Latar Belakang

Undang-Undang Dasar atau dalam kajian hukum tata negara disebut sebagai konstitusi merupakan aturan hukum tertinggi di suatu negara. Konstitusi ini menjadi dasar dan pedoman dalam pembuatan setiap peraturan perundang-undangan dibawahnya. Konstitusi tertulis di Indonesia sendiri dituangkan dalam rumusan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau UUD NRI 1945. Sepanjang sejarah berdirinya republik ini, setidaknya konstitusi tertulis tersebut telah diamandemen sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Pada setiap amandemen yang dilakukan, melahirkan konstruksi hukum dan ketatanegaraan yang penting, misalnya diperkenalkan institusi baru seperti Mahkamah Konstitusi (MK) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Selain itu, dari amandemen yang dilakukan juga menghapus setidaknya satu lembaga tinggi negara yaitu Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Konstruksi ketatanegaraan dari hasil amandemen tersebut mengalami banyak perubahan. Sebelumnya, lembaga tertinggi di republik ini adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dibawah struktur MPR, berdiri lima pilar kekuasaan penopangnya (atau dalam istilah Prof. Mahfud disebut sebagai panca-as politica), yaitu kekuasaan Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Agung (MA), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun setelah amandemen dilakukan pada awal-awal masa reformasi, struktur ketatanegaraan di Republik Indonesia berubah sangat signifikan. Kekuasaan yang tertinggi adalah hukum, bukan kekuasaan lembaga politik (maksudnya MPR) seperti masa pra-amandemen. Setelah amandemen, kekuasaan tertinggi di Indonesia adalah UUD NRI 1945, dengan ditopang setidaknya delapan pilar kekuasaan atau dalam istilah Prof. Mahfud disebut sebagai hasta-as politica, yaitu: kekuasaan eksekutif Presiden; Majelis Permusyawaratan rakyat (MPR); Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); Dewan Perwakilan Daerah (DPD); Mahkamah Agung (MA); Mahkamah Konstitusi (MK); Komisi Yudisial (KY); dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kedepalan lembaga tinggi negara tersebut memiliki kedudukan yang setingkat, diantara kedelapannya tidak bisa saling mengintervensi antara satu dengan yang lainnya.

Berdasarkan teorinya Montesquieu yang membagi kekuasaan kedalam tiga jenis, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif, kedelapan lembaga tinggi negara yang ada di Indonesia tidak semuanya dapat terdefinisi kedalam teori Montesquieu tersebut. Dari delapan lembaga tinggi negara yang bisa dikategorikan kedalam teori Montesquieu adalah kekuasaan Presiden sebagai eksekutif, kekuasaan DPR dan MPR sebagai legislatif, serta kekuasaan MA dan MK sebagai kekuasaan yudikatif. Adapun untuk DPD, KY, dan BPK, ketiganya tidak bisa digolongkan kedalam jenis kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Sudah 19 tahun dari sejak amandemen terakhir dilakukan dan menjadi sistem yang diikuti oleh negara ini, namun dalam perkembangannya sekarang usulan-usulan amandemen kelima UUD NRI 1945 mulai menguat. Usulan amandemen UUD kembali dimunculkan karena bagi beberapa pihak, ada sistem-sistem dalam UUD yang perlu untuk diperbarui. Misalnya tentang kewenangan dan tugas antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai pilar kekuasaan kehakiman di Indonesia. Lebih lanjut dalam hal judicial review, mekanisme dalam UUD NRI 1945 dipecah kepada dua lembaga tinggi negara tersebut, dimana untuk pengujian undang-undang atau UU terhadap UUD dilakukan di Mahkamah Konstitusi, sementara untuk pengujian peraturan perundang-undangan dibawah UU misalnya Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan Daerah (Perda) baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota, justru dilakukan di Mahkamah Agung. Selain itu, tugas mangadili sengketa diluar pengujian undang-undang seperti penyelesaian sengketa pemilihan umum justru dilakukan di Mahkamah Konstitusi, bukan di Mahkamah Agung.

Inkonsistensi ini menimbulkan permasalahan teori. Di Fakultas Hukum biasanya dibuat suatu skenario kasus tentang ini. Jika si A mengajukan judicial review Perda X dengan Pasal 20 UU Y di Mahkamah Agung, kemudian disaat yang bersamaan ternyata ada si B mengajukan judicial review Pasal 20 UU Y tersebut kepada UUD di Mahkamah Konstitusi, jika ternyata di Mahkamah Agung judicial review yang dilakukan oleh si A dikabulkan oleh majelis hakim dan ternyata juga judicial review oleh si B di Mahkamah Konstitusi juga dikabulkan, maka akan terjadi implikasi kekosongan hukum atau paradoks hukum. Hal semacam ini memang masih sebatas skenario, namun jika hal ini benar-benar terjadi, maka implikasinya akan sangat serius dan fatal karena putusan Mahkamah Agung dan putusan Mahkamah Konstitusi sama-sama memiliki kekuatan hukum mengikat yang sama. Kedua lembaga tersebut juga setingkat dibawah UUD, sehingga antara kedua lembaga tersebut tidak bisa saling intervensi.

Selain itu, sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final and binding juga dipersoalkan oleh beberapa pihak. Final artinya upaya hukum terakhir, yang bermakna bahwa setiap putusan MK tidak bisa dilakukan upaya hukum lanjutan. Sementara binding artinya mengikat bagi seluruh warga negara. Kritik yang paling kuat berfokus pada sifat final dari putusan MK. Dalam kajian hukum, salah satu tujuan dari hukum adalah tercapainya keadilan hukum. Adapun untuk mewujudkan keadilan hukum, salah satu bentuknya adalah tersedianya upaya hukum dalam setiap proses litigasi di pengadilan. Misalnya dalam proses peradilan umum, jika seseorang kalah di pengadilan tingkat pertama, dia bisa melakukan upaya hukum lanjutan berupa banding di pengadilan tinggi dan kasasi di Mahkamah Agung. Namun konsep upaya hukum tersebut tidak tersedia di Mahkamah Konstitusi, sehingga MK dianggap sebagai lembaga superpower yang tidak bisa dilawan. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat keadilan dan semangat negara demokrasi.

Lebih lanjut kritik-kritik terhadap sistem ketatanegaraan yang telah ada dalam UUD NRI 1945 adalah tentang keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam praktiknya, kinerja dan tugas DPD dianggap tidak terlalu urgent untuk dilakukan. Misalnya tugas dan wewenang DPD tentang mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah. Sebenarnya, tugas dan fungsi ini bisa dilakukan oleh pemerintah daerah masing-masing. Kemudian tugas dan fungsi DPD yang lain tentang memberikan pertimbangan dalam pembahasan undang-undang di DPR, itu juga bisa dilakukan selain oleh DPD. Alhasil, DPD ini dianggap sebagai lembaga yang tidak terlalu penting dan layak untuk dibubarkan jika amandemen UUD NRI 1945 kelima dilakukan.

Di ranah kekuasaan eksekutif, rentang waktu kekuasaan presiden yang saat ini adalah 5 tahun untuk satu kali masa jabatan dan bisa dipilih kembali pada masa jabatan berikutnya, menuai kritik dari beberapa pihak. Alasan dari kritik yang dilontarkan salah satunya adalah prinsip pemilihan umum untuk periode kedua dari calon incumbent atau petahana biasanya sangat kuat dengan bentuk kecurangan pemilu. Oleh karenanya, sejak amandemen UUD NRI 1945, petahana pasti terpilih kembali di periode kedua. Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan bagi beberapa pihak dan menuduh terjadi permainan kekuasaan saat pemilu dilakukan. Usul dari beberapa pihak adalah merubah 5 tahun masa jabatan presiden menjadi 7 atau 8 tahun masa jabatan, namun hanya untuk satu kali periode saja.

Selain dari beberapa uraian diatas tentang argumentasi amandemen UUD kelima, ada juga usulan tentang perubahan nama negara dan bendera negara. Usul-usul UUD kelima ini harus memiliki analisis teori yang kuat, sehingga struktur ketatanegaraan di Indonesia bisa sangat kuat dan bisa menjadi pilar negara demokrasi. Oleh karena itulah, disertasi penulis ini akan membahas seluruh aspek dari beberapa usulan amandemen Undang-Undang Dasar yang menguat ke publik untuk dikaji dalam sudut pandang keilmuan ilmu hukum.

Pembahasan ini menurut penulis sangat penting sebagai bahan masukan ketika amandemen kelima dilakukan. Sebagaimana diketahui, amandemen UUD dilakukan di MPR yang dalam teorinya MPR adalah lembaga politik. Akan banyak usulan-usulan politis yang masuk saat pembahasan amandemen UUD. Oleh karena itu, penting untuk merumuskan rencana amandemen yang diperkuat dengan teori-teori hukum agar amandemen yang dihasilkan tidak merusak konstruksi negara hukum dan demokrasi.

 

Perumusan Permasalahan

Usulan-usulan amandemen UUD NRI 1945 akan selalu muncul disetiap periode kepemimpinan. Usulan-usulan tersebut biasanya muncul secara spontan tanpa kajian yang mendalam. Jika amandemen kelima UUD dilakukan, maka seharusnya semua pasal-pasal yang hendak diamandemen wajib melalui serangkai penelitian yang panjang sehingga menutup akses kemungkinan munculnya pasal-pasal pesanan dari beberapa pihak yang hanya menguntungkan kelompoknya sendiri. Penelitian-penelitian tentang rumusan amandemen Undang-Undang Dasar harus dilakukan secara komprehensif dan dilengkapi dengan teori-teori yang kuat utamanya dibidang hukum tata negara.

Dalam hal pembagian peran dan tugas diantara lembaga yudikatif di Indonesia sebagaimana diuraikan sepintas pada latar belakang diatas, perlu adanya kajian yang lebih mendalam tentang peran dan fungsi Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Juga untuk Dewan Perwakilan Daerah, bisa dimungkinkan untuk dibubarkan atau diperkuat tugas dan wewenangnya. Begitupun dengan usulan-usulan yang lain, harus dikaji dengan baik untuk menghasilkan pola dan struktur ketatanegaraan yang diharapkan banyak pihak.

 

Pertanyaan/Tujuan Penelitian

Adapun pertanyaan dari tujuan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:

  • Mengapa amandemen kelima UUD NRI 1945 penting untuk dilakukan dalam memperkuat Indonesia sebagai negara hukum dan demokrasi?
  • Bagaimana tinjauan teoretis dari setiap pasal-pasal yang dipersoalkan dalam UUD NRI 1945 untuk dilakukan amandemen kelima?
  • Bagaimana konstruksi pasal-pasal yang diusulkan dalam amandemen UUD NRI 1945 yang kelima dalam memenuhi prinsip negara hukum dan demokrasi?

 

Kelogisan

Alasan dari urgensi amandemen kelima UUD NRI 1945 dapat menjadi dasar beberapa kelemahan sistem yang ada dalam UUD saat ini. Beberapa pihak melihat kelemahan yang ada dan mengusulkan untuk melakukan amandemen kelima. Namun kritik dan usulan yang dilakukan tidak diperkuat dengan dasar analisis yang kuat, sehingga penulis disini berposisi sebagai pembedah dari setiap persoalan usulan amandemen yang ada.

Dari usulan-usulan amandemen kelima UUD NRI 1945 tersebut penulis kaji dalam teori-teori negara hukum dan demokrasi. Hal ini tentu untuk menjaga dinamika amandemen yang nuansanya sangat politis. Dari hasil analisis yang dilakukan, akan dilahirkan konstruksi pasal-pasal baru yang lebih unggul secara teori sebagai saran dalam upaya amandemen kelima UUD NRI 1945.

 

Metode dan Desain

Metode penelitian yang penulis lakukan menggunakan dua jenis penelitian, yaitu penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian kepustakaan merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan, mempelajari, dan menganalisis setiap data tertulis tentang usulan amandemen UUD secara teoretis. Sementara penelitian lapangan dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung dengan fakta-fakta yang telah diketahui, misalnya dengan melakukan wawancara kepada beberapa pihak yang mengusulkan amandemen UUD.

 

Signifikansi/Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain:

  • Manfaat secara teoretis, yaitu dapat berguna bagi perkembangan ilmu hukum di Indonesia dan menjadi sumbangan pemikiran utamanya dalam bidang hukum konstitusi;
  • Manfaat secara praktis, yaitu dapat berguna untuk memberikan kontribusi dan saran dalam amandemen UUD kelima yang dilakukan di MPR.

 

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan dari penelitian ini adalah kajian yang komprehensif secara teori untuk menguji setiap usulan-usulan amandemen UUD NRI 1945. Penelitian ini juga bisa menjadi solusi bagi beberapa saran dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan amandemen pasal-pasal penting di UUD NRI 1945.

Daftar Pustaka

Akbar, Patrialis, 2013, Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945, Jakarta: Sinar Grafika.

Atmaja, I Dewa Gede, Suko Wiyono, Sudarsono, 2015, Teori Konstitusi Dan Konsep Negara Hukum, Malang: Setara Press.

Huda, Ni’matul, 2004, Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian Terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945, Yogyakarta: UII Press.

Sinamo, Nomensen, 2014, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Permata Aksara.

Thalib, Dahlan, Jasim Hamidi, Ni’matul Huda, 2001, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: Fajar Interpratama.

Tutik, Titik Triwulan, 2015, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Ctk. Ketiga, Jakarta: Prenadamedia Group.

 

~~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~~