A. Konsep Anak

Definisi Anak

Istilah yang sering dipakai untuk menunjukan masa remaja antara lain puberteit, adolescentia dan youth. Dalam bahasa Indonesia sering dipergunakan istilah pubertas atau anak. Puberteid (Belanda) atau Puberty (Inggris) berasal dari bahasa latin Pubertas, pubertas berarti kelaki-lakian, kedewasaan yang dilandasi oleh sifat dan tanda-tanda kelaki-lakian. Adolescentia dimaksudkan masa muda yakni diantara 17 dan 30 tahun.[40]

  • Perspektif Psikologi

Ditinjau dari segi psikologi telah digambarkan oleh Granvile Stanly Hall seorang ahli yang pertama dari Amerika Serikat mengatakan bahwa psikologi anak perlu dipisahkan dengan psikologi dewasa dan bahkan perlu dipandang sebagai suatu bidang tersendiri.[41] Sementara menurut Soerjono Soekanto berpendapat bahwa anak secara relatif masih mencari-cari bentuk pola-pola perilaku mereka.[42]

Singgih D. Gunarsa membagi pendekatan psikologi ini menjadi 2 yaitu psikobiologis dan psikoanalitis. Beliau mengutip pendapatnya Grandvile Stanly Hall yang mengatakan bahwa perkembangan psikis banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor fisiologis, sedangkan faktor fisiologis ini tergantung dari faktor-faktor yang sudah ditentukan oleh aspek keturunan atau faktor-faktor yang sudah ada padanya sejak lahir. Perkembangan dan pertumbuhan dikendalikan oleh proses kematangan yang terjadi dalam dirinya, maka pengaruh kebudayaan dan lingkungan sosial kurang diperhatikan dalam pembahasannya.[43]

Apabila dilihat  batasan usia anak dari sudut psikososial, Singgih Gunarso dalam makalahnya berjudul Perubahan Sosial dalam Masyarakat yang disampaikan dalam Seminar “Keluarga dan Budaya Remaja di Perkotaan” yang dilakukan di Jakarta, menyebutkan bahwa klasifikasi perkembangan anak hingga dewasa dikaitkan dengan usia dan kecenderungan kondisi kejiwaannya. Menurut Singgih Gunarso terbagi menjadi lima tahap, yaitu: (1) anak, seseorang yang berusia di bawah 12 tahun; (2) remaja dini, yaitu seseorang yang berusia antara 12-15 tahun; (3) remaja penuh, yaitu seseorang yang berusia antara 15-17 tahun; (4) dewasa muda, yaitu seseorang yang berusia antara 17-21 tahun; (5) dewasa, yaitu seseorang yang berusia di atas 21 tahun.[44]

  • Perspekif Adat

Dalam pertalian sanak berdasarkan pertalian darah, maka yang dibicarakan adalah anak kandung. Anak kandung mempunyai kedudukan yang terpenting dalam somah masyarakat adat. Oleh karenanya sejak anak itu masih dalam kandungan hingga dilahirkan, dalam masyarakat adat terdapat banyak upacara-upacara adat yang bersifat religio-magis.[45]

Pengertian tentang anak yang diberikan oleh hukum adat, bahwa anak dikatakan minderjarigheid (bawah umur), yaitu apabila seseorang berada dalam keadaan dikuasai oleh orang lain. Maksud penguasaan ini jika tidak dikuasai oleh orang tuanya maka dikuasai oleh walinya (voogd) nya.

Ter Haar, seorang tokoh adat mengatakan bahwa hukum adat memberikan dasar untuk menentukan apakah seseorang itu anak-anak atau orang dewasa dengan melihat unsur yang dipenuhi seseorang, yaitu apakah anak tersebut sudah kawin, meninggalkan rumah orang tua atau rumah mertua dan mendirikan kehidupan keluarga sendiri.

Dalam hukum adat di Indonesia, batasan umur untuk disebut anak bersifat pluralistik. Dalam artian kriteria untuk menyebut bahwa seseorang tidak lagi disebut anak dan telah dewasa beraneka ragam istilahnya. Sedangkan menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung yang berorientasi pada hukum adat di Bali menyebutkan batasan umur anak adalah di bawah 15 (lima belas) tahun seperti putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 53 K/Sip/1952 Tanggal 1 Juni 1955 dalam perkara antara I Wayan Ruma melawan Ni Ktut Kartini. Pengertian anak dalam kaitan dengan perilaku anak nakal (Juvenile delikenquency), biasanya dilakukan dengan mendasarkan pada tingkatan usia, dalam arti tingkat usia berapakah seseorang dikategorikan sebagai anak. Selain itu adapula yang melakukan pendekatan psikososial dalam usahanya merumuskan tentang anak.[46]

  • Perspektif Hukum

Menurut Nicholas Mc. Bala dalam bukunya Juvenile Justice System mengatakan bahwa anak adalah periode di antara kelahiran dan permulaan kedewasaan. Masa ini merupakan masa perkembangan hidup, juga masa dalam keterbatasan kemampuan termasuk keterbatasan untuk membahayakan orang lain.[47] Lebih rinci definisi anak menurut Kamus Hukum adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah hal kepentingan.[48]

Di lihat dari tingkatan usia, batasan seseorang dikategorikan sebagai anak dapat dilihat pada gambaran berikut ini, di mana diberbagai negara di dunia tidak ada keseragaman tentang batasan umur seseorang  dikategorikan sebagai anak:[49]

  • di Amerika Serikat, 27 negara bagian menentukan batas  umur anak antara 8-18 tahun, sementara 6 negara bagian lain menentukan batas umur antara 8-17 tahun, sementara ada pula negara bagian yang lain menentukan batas umur antara 8-16 tahun;
  • di Inggris, ditentukan batas umur antara 12-16 tahun;
  • di Austaralia, kebanyakan negara bagian menentukan batas umur antara 8-16 tahun;
  • di Belanda, menentukan batas umur antara 12-18 tahun;
  • di  Srilangka, menentukan batas umur antara 8-16 tahun;
  • di Iran, menentukan batas umur antara 6-18 tahun;
  • di Jepang dan Korea, menentukan batas umur antara 14-20 tahun;
  • di Taiwan, menentukan batas umur antara 14-18 tahun;
  • di negara-negara ASEAN lain, antara lain: Kamboja (antara 15-18 tahun); Filipina (antara 7-16 tahun); Malaysia (antara 7-18 tahun); Singapura (antara 7-18 tahun).

 

Batasan Usia Anak

Pengertian anak terkait dengan batasan umur, ditemukan banyak literatur yang memberi batasan umur anak yang berbeda-beda. Dalam hal ini, dapat ditelusuri berdasarkan fase-fase perkembangan anak yang menunjukkan kemampuan atau kecakapan seorang anak untuk bertindak. Hal ini juga mengakibatkan adanya penafsiran yang mengartikan istilah-istilah anak dan belum dewasa secara campur aduk sehingga ukuran atau batas umurnya juga berbeda-beda.[50]

Batas usia anak dapat dipahami dari berbagai konsep disiplin ilmu, namun anak dalam konteks hukum dibatasi dalam beberapa hal, yaitu:

Menurut KUH Perdata

Pasal 330 (1) batas umur belum dewasa (minder jarigheid) dengan telah dewasa (meerder jarigheid), yaitu umur 21 tahun kecuali:

  • Anak yang sudah kawin sebelum berumur 21 tahun; dan
  • Pendewasaan (venia aetetis).

Pembubaran perkawinan sebelum 21 tahun tidak mempengaruhi kedewasaannya (ayat (2)) dan seorang yang belum dewasa yang tidak di bawah kekuasaan orang tua berada di bawah perwalian (ayat (3)).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:

  • Pasal 6 ayat (2) mengatur syarat perkawinan bagi seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tuanya;
  • Pasal 7 ayat (1) menurut batas minimum untuk dapat kawin bagi pria adalah 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun.

Hukum Kebiasaan (Hukum Adat dan Hukum Islam)

Menurut Hukum Adat tidak ada ketentuan yang pasti tentang kapan seseorang dapat dianggap dewasa dan wenang bertindak. Di Jawa Barat[51], ukuran kedewasaan seseorang diukur dan segi:

  • dapat mandiri (bekerja sendiri);
  • cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab; dan
  • dapat mengurus harta kekayaannya sendiri.

Adapun dalam Hukum Islam, batasan kedewasaan tidak berdasar hitungan usia, tetapi sejak ada tanda-tanda perubahan badaniah, bagi pria apabila sudah mimpi, dan bagi wanita apabila sudah mendapat haid (datang bulan). Menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 menyatakan anak adalah seorang yang belum berumur 18 tahun termasuk dalam kandungan.[52]

Menurut UU Perlindungan Anak

Pasal 1 Konvensi Hak Anak[53] secara umum mendefinisikan anak sebagai orang yang belum mencapai usia 18 tahun, namun dalam pasal tersebut juga mengakui kemungkinan adanya perbedaan atau variasi dalam penentuan batas usia kedewasaan di dalam peraturan perundang-undangan dari tiap-tiap negara peserta. Misalnya, untuk bekerja, untuk ikut pemilihan umum, untuk mengkonsumsi minuman beralkohol, untuk bertanggung jawab secara pidana atau untuk bisa dijatuhi hukuman mati dan sebagainya. Idealnya negara peserta memberlakukan standar yang ditetapkan dalam Standar Konvensi Hak Anak sebagai standar terendah dan sedikit demi sedikit mulai menyesuaikan batasan umur anak yang terdapat dalam perundang-undangan nasional agar sesuai dengan standar Konvensi Hak Anak.

Dengan melihat ketentuan yang berlainan tersebut di atas, maka pengertian anak berlaku bagi seorang anak adalah berumur di bawah usia 18 tahun (UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Masalah pokok yang dihadapi sebagian negara berkembang termasuk Indonesia, yaitu masih banyaknya anak-anak yang harus memikul tanggung jawab di luar batas kemampuannya; sebagai akibat kehidupan sosial, ekonomi dan nilai budaya yang kurang mendukung anak dalam memenuhi hak-hak dasarnya, sehingga tidak dapat hanya dipahami secara yuridis saja, tetapi menyangkut faktor sosial ekonomi budaya dan anak di mana dia berada (sesuai wilayahnya). Supaya berdaya guna dan berhasil guna, perlindungan hukum bagi kehidupan anak harus memenuhi syarat-syarat:

  • Faktor ekonomi dan sosial yang dapat menunjang keluarga anak;
  • Nilai budaya yang memberi kebebasan bagi pertumbuhan anak; dan
  • Solidaritas anggota masyarakat untuk meningkatkan kehidupan anak.

Namun, dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 001/PUU-VIII/2010 tentang batasan umur anak. Dalam amar putusan menyatakan sebagai berikut :

Menyatakan frasa,”… 8 (delapan) tahun…,” dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668), beserta penjelasan Undang-Undang tersebut khususnya terkait dengan frasa “…8 (delapan) tahun…” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional), artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai “…12 (dua belas) tahun…”;

Sehingga, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, maka batasan umur anak sebagai pelaku tindak pidana yang dapat di dilakukan proses hukum adalah anak yang berusia 12 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun.

 

Anak di Mata Hukum

Hukum  pidana  sebagai  suatu  hukum  publik  merupakan  hukum sanksi  istimewa  (bijzonder  sanctierecht),  karena  hukum  pidana  itu mengatur  hubungan  antara  para  individu  dengan  masyarakat,  hukum  pidana  dijalankan  untuk  kepentingan  masyarakatnya dan  juga  dijalankan  dalam  hal  kepentingan  masyarakat  itu  benar-benar  memerlukannya.[54] Hukum pidana ini selain berlaku kepada orang dewasa, juga berlaku terhadap anak di bawah umur.

Sanksi terhadap pelanggaran pidana anak memiliki segi-segi yang berbeda dengan sanksi terhadap orang dewasa. Undang-Undang Peradilan Pidana Anak mengatur secara khusus bagi pelaku tindak pidana dibawah umur (minderjarig) dimana sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana anak terbagi atas Pidana Pokok dan Pidana Tambahan. Pidana Pokok terdiri atas: Pidana peringatan; Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan; Pelatihan kerja; Pembinaan dalam lembaga; Penjara. Adapun Pidana Tambahan terdiri dari: Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau Pemenuhan kewajiban adat.[55]

Anak yang diduga melakukan tindak pidana, tidak tertutup kemungkinannya untuk ditahan di dalam Rumah Tahanan Negara, Tahanan Rumah atau Tahanan Kota. Undang-Undang Peradilan Pidana Anak tidak melarang petugas untuk menahan seorang anak ketika dilakukan pemeriksaan perkaranya. Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan kepentingan masyarakat.

Pada prinsipnya didalam Undang-Undang Peradilan Pidana Anak dinyatakan bahwa tersangka atau terdakwa dapat dilakukan penahanan. Karena istilah “dapat” ditahan, maka penahanan terhadap seorang anak dalam perkara pidana tidak selalu harus dilakukan. Hal ini tergantung kepada petugas pemeriksa, apabila setelah berhadapan dengan anak yang terlibat tindak pidana, petugas merasa tidak khawatir bahwa anak tersebut akan melarikan diri dan tidak akan mempersulit jalannya pemeriksaan, maka anak tersebut tidak perlu ditahan. Ia harus patuh untuk setiap diperlukan, wajib datang dan memperlancar pemeriksaan.[56]

Apabila seorang anak ditahan, maka petugas yang melakukan penahanan harus memberikan tembusan Surat Perintah Penahanan kepada keluarganya (Pasal 21 ayat (3) KUHAP). Hal ini dimaksudkan agar keluarga si anak mengetahui secara pasti keberadaan anaknya di dalam tahanan. Tempat penahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa (Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Peradilan Pidana Anak).

 

Hak-Hak Anak

Sesuai Mukadimah Deklarasi PBB tersirat bahwa umat manusia berkewajiban memberikan yang terbaik bagi anak-anak. Semua pihak menyetujui peran anak (role of the child) merupakan harapan masa depan. Ketentuan undang-undang tentang perlindungan hukum dimuat dalam Pasal 34 UUD 1945,[57] ketentuan ini ditegaskan pengaturannya dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 dan kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.[58]

Secara garis besar Deklarasi Mukadimah PBB memuat 10 asas tentang hak-hak anak, yaitu: hak untuk memperoleh perlindungan khusus, kesempatan dan fasilitas yang memungkinkan mereka berkembang secara sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan bermanfaat, memiliki nama dan kebangsaan sejak lahir, mendapat jaminan sosial termasuk gizi yang cukup, perumahan, rekreasi dan pelayanan kesehatan, memperoleh pendidikan, perawatan dan perlakuan khusus jika mereka cacat, tumbuh dan dibesarkan dalam suasana yang penuh kasih dan rasa aman sedapat mungkin di bawah asuhan serta tanggung jawab orang tua mereka sendiri, mendapat pendidikan, dan dalam hal terjadi kecelakaan/malapetaka, mereka termasuk yang pertama memperoleh perlindungan terhadap segala bentuk yang menyia-nyiakan anak, kekejaman dan penindasan serta perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk diskriminasi.

Mengingat pentingnya menjaga dan melindungi anak, pada tanggal 20 November 1989, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyetujui Konvensi Hak-hak Anak. Konsiderans konvensi itu memuat pokok-pokok pikiran, pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut yang dimiliki anggota keluarga manusia. Ini menjadi landasan dari kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di seluruh dunia.

Berdasarkan materi hukum yang tercakup di dalam Konvensi Hak Anak, dapat dikualifikasikan beberapa isi konvensi, yaitu:[59]

  1. Penegasan hak-hak anak;
  2. Perlindungan anak oleh negara;
  3. Peran serta berbagai pihak (pemerintah, masyarakat, dan swasta) dalam menjamin penghormatan terhadap hak-hak anak.

Materi hukum mengenai hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak tersebut, dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak, yaitu:[60]

  1. Hak terhadap Kelangsungan Hidup (survival rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak-hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup (the rights of life) dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya (the rights to the highest standard of health and medical care attainable).
  2. Hak terhadap Perlindungan (protection rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi.
  3. Hak untuk Tumbuh Kembang (development rights), yaitu hak-hak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan non formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak.
  4. Hak untuk Berpartisipasi (participation rights), yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak yang meliputi hak anak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak (the rights of a child to express her/his views in all metters affecting that child).

Adapun Hak Asasi Anak menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), meliputi:

  1. Anak mendapat perlindungan orang tua, masyarakat dan negara (Pasal 62 ayat (1));
  2. Hak dilindungi sejak dan dalam kandungan (Pasal 52 ayat (1));
  3. Hak hidup dan meningkatkan taraf kehidupan (Pasal 53 ayat (1));
  4. Hak mendapat nama dan status kewarganegaraan (Pasal 53 ayat (2));
  5. Hak mendapat perawatan, pendidikan, pelatihan dan bantuan khusus anak cacat fisik atau mental (Pasal 54);
  6. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi (Pasal 55);
  7. Hak mengetahui, dibesarkan dan diketahui orang tuanya (Pasal 56 ayat (1));
  8. Hak diasuh dan diangkat anak oleh orang lain (Pasal 56 ayat (2));
  9. Hak dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan dan dibimbing orang tua/wali (Pasal 57 ayat (l));
  10. Hak mendapatkan orangtua angkat atau wali (Pasal 57 ayat(2));
  11. Hak perlindungan hukum (Pasal 58 at (1));
  12. Hak pemberatan hukuman bagi orang tua, wali/pengasuh yang menganiaya anak secara fisik, mental, penelantaran, perlakuan buruk dan pelecehan seksual dan pembunuhan (Pasal 58 ayat (2));
  13. Hak tidak dipisahkan dari orang tua (Pasal 59 ayat (1));
  14. Hak bertemu dengan orang tua (Pasal 59 ayat (2));
  15. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran (Pasal 60 ayat (1));
  16. Hak mencari, menenima dan memberikan informasi (Pasal 60 ayat (2));
  17. Hak untuk beristirahat, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi (Pasal 62);
  18. Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial (Pasal 62);
  19. Hak tidak dilibatkan dalam peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial dan peristiwa kekerasan (Pasal 63);
  20. Hak perlindungan dari eksploitasi ekonomi dan pekerjaan yang membahayakan dirinya (Pasal 64);
  21. Hak perlindungan dan kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan dan penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (Pasal 65);
  22. Hak tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi (Pasal 66 ayat (1));
  23. Hak tidak dapat dijatuhi hukuman mati atau hukuman seumur hidup (Pasal 66 ayat (2));
  24. Hak tidak dirampas kemerdekaannya secara melawan hukum (Pasal 66 ayat (3));
  25. Hak penangkapan, penahanan atau pidana penjara hanya sebagai upaya terakhir (Pasal 66 ayat (4));
  26. Hak perlakuan yang manusiawi bagi anak yang dirampas kemerdekaannya dan dipisahkan dan orang dewasa (Pasal 66 ayat (5));
  27. Hak bantuan hukum dan bantuan lainnya secara efektif bagi anak yang dirampas kebebasannya (Pasal 66 ayat (6));
  28. Hak membela diri dan memperoleh keadilan bagi anak yang dirampas kebebasannya di depan pengadilan yang objektif, tidak memihak dan sidang tertutup untuk umum.

 

Perlindungan Anak

UU Perlindungan Anak memandang Anak Nakal sebagai “anak yang berhadapan dengan hukum”. Terhadap Anak Nakal menurut Undang-Undang Perlindungan Anak harus mendapatkan perlindungan khusus, sebagaimana diatur dalam Pasal 59 dan Pasal 64 UU Perlindungan Anak. Anak yang sedang berhadapan dengan hukum sama dengan Anak Nakal yang sedang diperiksa dalam proses peradilan.

Salah satu perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum adalah “penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak”.[61] Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak, inilah yang menurut penyusun merupakan tujuan sistem peradilan pidana anak di dalam UU Perlindungan Anak. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak, yaitu sanksi yang dapat mendukung bagi pembinaan dan perlindungan terhadap anak.

Anak juga dilindungi dari segi sistem peradilannya. Tujuan sistem peradilan pidana anak di Indonesia dapat dilihat dalam ketentuan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPA).[62] Di dalam konsideran “menimbang” undang-undang tersebut ditandaskan bahwa pembuatan UU Sistem Peradilan Anak dimaksudkan sebagai ketentuan dalam penyelenggaraan pengadilan bagi anak, di mana terhadap anak perlu perlakuan khusus. Diperlukan perlakuan khusus karena anak sebagai generasi muda yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri khusus, maka memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, sosial secara utuh, selaras, serasi dan seimbang.

Tujuan sistem peradilan pidana anak dalam UU Sistem Peradilan Anak, tidak tertulis secara nyata, namun dapat diketahui dari ketentuan pasal yang mengatur tentang tugas dan wewenang sidang Sistem Peradilan Anak, dan dalam “Penjelasan Umum” undang-undang tersebut. UU Sistem Peradilan Anak menentukan:

Sidang Sistem Peradilan Anak yang selanjutnya disebut Sidang Anak bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara anak sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini.

Berdasarkan penjelasan umum tersebut dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan Pengadilan Pidana Anak berdasarkan Sistem Peradilan Anak mengarah pada tujuan “Pembinaan” dan “Perlindungan” terhadap anak. Tujuan pembinaan dan perlindungan ini dihubungkan dengan tugas dan wewenang sidang Sistem Peradilan Anak yang diatur dalam Pasal 3 UU Sistem Peradilan Anak, maka tujuan sistem peradilan pidana anak Indonesia adalah: memeriksa perkara Anak Nakal, memutus perkara Anak Nakal, dan menyelesaikan perkara Anak Nakal, dalam rangka pembinaan dan perlindungan terhadap anak.

Dengan adanya penjelasan ini, maka dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan tugas dan wewenang Sistem Peradilan Anak untuk “menyelesaikan perkara anak”, yaitu agar Sistem Peradilan Anak di dalam memeriksa dan memproses perkara anak tidak berhenti pada membuat putusan tentang terbukti atau tidak terbukti perkara anak tersebut, tetapi Sistem Peradilan Anak harus memikirkan lebih lanjut atas putusannya bagi anak tidak menimbulkan masalah lebih lanjut dan bermanfaat bagi masa depan anak. Dengan kata lain bahwa tugas dan wewenang Sistem Peradilan Anak untuk “menyelesaikan perkara anak”, berarti putusannya dapat bermanfaat bagi anak maupun bagi masyarakat, misalnya: bermanfaat bagi pembinaan anak; bermanfaat bagi perlindungan anak; bermanfaat bagi masa depan anak; dan tidak ada konflik lebih lanjut. Tujuan sistem peradilan pidana anak yang dilakukan dengan mengadili anak oleh badan-badan peradilan anak, tidak mengutamakan pidananya saja, tetapi perlindungan bagi masa depan anak adalah sasaran yang hendak dicapai oleh peradilan pidana anak.[63]

 

Pelanggaran Pidana Anak

Anak yang berhadapan dengan hukum disebut Anak Nakal, yaitu Anak yang melakukan tindak pidana, atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.[64]

Masalah kenakalan anak mulai mendapat perhatian yang khusus sejak terbentuknya suatu peradilan untuk anak-anak nakal atau Juvenile Court pada tahun 1899 di Cook Country Illinois, Amerika Serikat. Pada waktu itu peradilan itu berfungsi sebagai pengganti orang tua si anakincolo parentis—yang memutuskan perkara-perkara untuk kepentingan si anak dan masyarakat. Semenjak itu istilah juvenile delinquency dipakai untuk menggambarkan masalah kenakalan anak, berasal dari kata juvenile yang berarti muda atau belum dewasa (belum matang) dan kata  delinquere (bahasa latin) yang berarti kenakalan atau kealpaan.[65]

Istilah kenakalan dapat kita lihat atau temukan dalam KUHP Bab I Pasal 489 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut: “Kenakalan terhadap orang atau barang, yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan, diancam dengan denda paling banyak lima belas rupiah”.[66]

Kenakalan yang dimaksud dalam pasal ini merupakan terjemahan dari baldadigheid (Bahasa Belanda) yang menurut R. Soesilo ditafsirkan menjadi:

Yang dimaksud dengan kenakalan (baldadigheid) semua perbuatan orang, berlawanan dengan ketertiban umum ditujukan kepada orang, binatang dan barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan yang tidak dapat dikenakan salah satu pasal khusus dalam KUHP, orang mencuri, menggelapkan, menipu, menganiaya, membunuh misalnya, itu adalah semua perbuatan orang, berlawanan dengan ketertiban umum yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan (kenakalan-kenakalan), akan tetapi untuk perbuatan-perbuatan ini sudah ada pasalnya sendiri-sendiri seperti Pasal 362, 372, 351, 378, dan 338 sehingga tidak dikenakan Pasal 489.[67]

Sebagai suatu perbandingan saja antara Indonesia dengan Belanda dan Norwegia dikatakan oleh Soedarto, sebagai berikut:

Di samping itu ada perbuatan yang dinegara satu merupakan kejahatan, sedang dinegara yang lain tidak misalnya perzinaan, dalam arti seorang laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan seorang wanita yang bersuami, di Indonesia merupakan kejahatan, sedangkan di Norwegia sejak  tahun 1927 bukan kejahatan lagi, demikian pula di Nederland sejak tahun 1971. Perbuatan ini di Indonesia ditetapkan sebagai melawan hukum dan dapat di pidana,[68]

Dari uraian dan beberapa contoh di atas maka sangat sulit sekali mencari batasan apa dalam menilai suatu kejahatan, seperti yang dikatakan oleh J.E. Sahetapy, bahwa:

Berbicara mengenai kejahatan dan penjahat, penulis berkesimpulan bahwa kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu pengertian dan penamaan yang relatif, mengandung suatu peribelitas dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun pasif), yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan anti sosial atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai suatu sesuai dengan ruang dan waktu.[69]

Soewardi Harsopranoto membagi bentuk kenakalan anak menjadi 3 (tiga) bagian besar, yaitu:[70]

  1. Sub-Kultur Kriminal, suatu bentuk gang, kenakalan anak yang mengarah pada perbuatan pencurian, pemerasan dan lain-lain. Perbuatan ilegal yang untuk mendapatkan penghasilan (uang atau income).
  2. Sub-kultur konflik, suatu bentuk yang mengutamakan perbuatan-perbuatan kekerasan sebagai suatu cara untuk mendapatkan atau meningkatkan status.
  3. Sub-kultur pengelakan/pengasingan (rettreatist sub-culture) suatu bentuk gang yang mengutamakan atau menekankan pada penggunaan obat-obatan (secara salah).

Jika berdasarkan  tipologi  korban  yang  diidentifikasi  menurut  keadaan  dan status korban, dapat dilihat sebagai berikut:[71]

  1. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku;
  2. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban;
  3. Participating victims,  yaitu  seseorang  yang  tidak  berbuat,  akan  tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban;
  4. Biologically weak  victims,  yaitu  mereka  yang  secara  fisik  memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban;
  5. Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban;
  6. Self victimizing  victims,  yaitu  mereka  yang  menjadi  korban  karena kejahatan yang dilakukannya sendiri.

 

Peran Sistem Peradilan Pidana Anak

Sistem peradilan pidana anak merupakan bagian sistem peradilan pidana, maka di dalam memberikan pengertian sistem peradilan pidana anak, terlebih dahulu menguraikan tentang sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana (criminal justice system)  menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar “pendekatan sistem”. Remington dan Ohlin mengemukakan:

Criminal Justice System  dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem, peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya. [72]

Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formal maupun hukum pelaksanaan pidana.[73] Mardjono Reksodiputro memberikan batasan sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan.[74]

Frase sistem peradilan pidana anak, mengandung unsur sistem peradilan pidana, dan unsur anak. Kata anak dalam kata sistem peradilan pidana anak mesti dicantumkan, karena untuk membedakan dengan sistem peradilan pidana dewasa, sehingga sistem peradilan pidana anak adalah sistem peradilan pidana bagi anak. Anak dalam sistem peradilan pidana anak adalah Anak Nakal, yaitu anak yang melakukan tindak pidana, ataupun anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak.[75]

Sudarto mengemukakan bahwa di dalam peradilan anak terdapat aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang tertuju pada kepentingan anak, yaitu segala aktivitas yang dilakukan oleh polisi, jaksa, hakim dan pejabat lain, harus didasarkan pada suatu prinsip ialah demi kesejahteraan anak dan kepentingan anak.[76]

Mengacu pada pendapat-pendapat tersebut, maka sistem peradilan pidana anak adalah suatu sistem penegakan hukum pidana anak yang dilaksanakan secara terpadu oleh 4 (empat) sub-sistem kekuasaan, yaitu kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili/ menjatuhkan pidana, dan kekuasaan eksekusi/pelaksanaan pidana, berdasarkan hukum pidana materiil anak, hukum pidana formal anak, dan hukum pelaksanaan pidana anak, dan aktivitas dalam penegakan hukum pidana anak ini lebih menekankan pada kepentingan perlindungan anak dan tujuan kesejahteraan anak.[77]

Peran Kepolisian

Mengenai tindakan apa saja yang dilakukan penyidik anak dalam rangka proses penyidikan, ketentuan Pasal 7 Ayat (1) KUHAP telah membuat rincian sebagai berikut:

  • Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
  • Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian;
  • Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
  • Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
  • Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
  • Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
  • Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
  • Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
  • Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Peran Kejaksaan

Penuntut Umum Anak diangkat berdasarkan surat keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Untuk dapat diangkat sebagai Penuntut Umum Anak diatur didalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak[78], yang memberikan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut:

  • Telah berpengalaman sebagai penuntut umum tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa;
  • Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak.

Peran Pengadilan

Menurut Pasal 9 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pemeriksaan sidang anak nakal dilakukan oleh hakim khusus, yaitu Hakim Anak. Pengangkatan Hakim Anak ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan surat keputusan, dengan mempertimbangkan usul Ketua Pengadilan Tinggi tempat hakim bersangkutan bertugas melalui Ketua Pengadilan Tinggi pengangkatan hakim anak oleh Ketua Mahkamah Agung bukan oleh Menteri Kehakiman, karena hal tersebut menyangkut teknik yuridis pengadilan dan merupakan pengangkatan hakim khusus (spesialis).

Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim Anak diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menentukan sebagai berikut:

  • Telah berpengalaman sebagai Hakim di pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Umum;
  • Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak.

Peran Balai Pemasyarakatan

Dalam sistem pemasyarakatan di samping Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS), juga terdapat Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Kedua lembaga ini tidak sama fungsinya, pada lembaga pemasyarakatan atau LAPAS tugasnya adalah melakukan pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan, sedangkan BAPAS bertugas melaksanakan bimbingan terhadap warga binaan pemasyarakatan (Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan).

Warga binaan pemasyarakatan yang berada dalam bimbingan BAPAS berdasarkan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Permasyarakatan terdiri dari:

  • Terpidana bersyarat;
  • Narapidana, anak pidana dan anak negara yang mendapatkan pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas;
  • Anak negara yang berdasarkan putusan pengadilan, pembinaannya diserahkan kepada orang tua atau badan sosial;
  • Anak negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk, bimbingannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial;
  • Anak asuh yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya dikembalikan kepada orang tua atau walinya.

Orang-orang yang berada dalam bimbingan BAPAS di atas dalam Undang-Undang Pemasyarakatan disebut Klien Pemasyarakatan (Pasal 1 angka (9)). Mereka dibimbing ketika sudah tidak menghuni di LAPAS/LAPAS Anak, tetapi masa hukumannya belum selesai dijalani.

Apabila bimbingan terhadap anak negara diserahkan kepada orang tua atau walinya seperti dalam Pasal 42 ayat (1) huruf c, d dan e Undang-Undang Pemasyarakatan, maka BAPAS tidak melakukan bimbingan terhadap mereka, melainkan melaksanakan tugas sebagai berikut:

  • Pengawasan terhadap orang tua asuh atau badan sosial dan orang tua atau wali agar kewajiban sebagai pengasuh dapat dipenuhi;
  • Pemantauan terhadap perkembangan anak negara dan anak sipil yang diasuh.

Jadi pada prinsipnya BAPAS di dalam sistem pemasyarakatan anak yang terlibat tindak pidana berperan untuk memberikan bimbingan agar nantinya anak tersebut dapat diterima kembali oleh masyarakat dan dapat hidup secara wajar sebagai warga masyarakat yang baik.

 

B. Konsep Rehabilitasi Anak

Definisi Rehabilitasi

Rehabilitasi adalah sebuah kegiatan ataupun proses untuk membantu para penderita yang mempunyai penyakit serius atau cacat yang memerlukan pengobatan medis untuk mencapai kemampuan fisik psikologis, dan sosial yang maksimal.[79] Gangguan fisik dan psikiatrik tidak hanya memerlukan tindakan medis khusus, tetapi juga membutuhkan sikap simpatik. Disini dokter harus melakukan pendekatan yang akan membantu penderita ataupun pasien untuk mengatasi gangguan fisik atau psikiatriknya dan menyadari potensi maksimal mereka baik secara fisik, psikiatrik, dan sosial di dunia luar yang nyata. Jenis pendakatan ini semakin dikenal dan membuat rehabilitasi menjadi bidang khusus yang terpisah di banyak rumah sakit.[80]

Rehabilitasi adalah restorasi (perbaikan, pemulihan) pada normalitas, atau pemulihan menuju status yang paling memuaskan terhadap individu yang pernah menderita penyakit mental.[81] Adapun  pengertian  lainnya  mengatakan  bahwa  rehabilitasi  adalah  usaha untuk memulihkan untuk menjadikan pecandu Narkotika hidup sehat jasmani dan rohaniah  sehingga  dapat  menyesuaikan  dan  meningkatkan  kembali  keterampilan, pengetahuannya,  serta  kepandaiannya  dalam  lingkungan  hidup.[82] Penanganan kasus Narkotika dengan praktek rehabilitasi dilakukan agar keadilan hukum dapat terlaksana sebagaimana mestinya.[83]

Rehabilitasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah upaya pemulihan kepada kedudukan (keadaan, nama baik) yang dahulu (semula); atau perbaikan anggota tubuh yg cacat atas individu (misalnya pasien rumah sakit, korban bencana) supaya menjadi manusia yang berguna dan memiliki tempat dalam masyarakat.[84] Adapun rehabilitasi menurut undang-undang ialah pemulihan hak seseorang dalam kemampuan atau posisi semula yang diberikan oleh pengadilan. Menurut Pasal 1 ayat 22 KUHAP, rehabilitasi ialah hak seseorang untuk mendapatkan pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

Mengingat bahwa dalam tindak pidana ini pelaku juga sekaligus menjadi korban,  maka  praktik  pemulihan  ini  diberikan  kepada  pecandu  narkotika  bukan hanya sebagai bentuk pemidanaan. Asas-asas perlindungan korban juga salah satu dari  beberapa  hal  yang  mendorong  lahirnya  pemidanaan  dalam  bentuk rehabilitasi.[85]

 

Alasan Rehabilitasi terhadap Penyalah Guna Narkotika

Dalam  hal  bentuk  rehabilitasi  pengguna  narkotika,  hukum  pidana  positif mengenal  dua  hal  yaitu  rehabilitasi  medis  dan  rehabilitasi  sosial.  Yang  dimaksud rehabilitasi  medis  adalah  suatu  proses  kegiatan  pengobatan  secara  terpadu  untuk membebaskan  pecandu  dari  ketergantungan  Narkotika.[86] Sehingga  dalam pelaksanaannya dibutuhkan spesialis ilmu kedokteran yang berhubungan penanganan secara menyeluruh dari pasien yang mengalami gangguan fungsi atau cidera, susunan otot  syaraf,  serta  gangguan  mental,  sosial  dan  kekaryaan  yang  menyertai  kecacatan tersebut.

Pengobatan  terhadap  pecandu  sangat  bervariasi  sesuai  dengan  kebanyakan jenis  obat  yang  dipergunakan  dengan  efek  keracunan  yang  berlainan  tingkat bahayanya.  Umumnya  pengobatan  itu  ditunjukkan  kepada  penyalah guna  obat  yang tingkat bahayanya tinggi, seperti akibat keracunan, morfin, heroin dan kokain. Akibat keracunan  yang  akut  akibat  kelebihan  takaran  (over  dosis)  atau  lepas  obat  yang mendadak,  mengakibatkan  banyak  merenggut  korban.  Terhadap  penderita  dalam keadaan  yang  kritis  tanpa  harapan  hidup,  diperlukan  tindakan  yang  penuh prikemanusiaan.

Setelah  masa  kritis  dapat  dilampaui,  sasaran  selanjutnya  adalah menghilangkan  racun  narkotika  atau  yang  dikenal  dengan  detoksifikasi (menghilangkan racun). Upaya pemulihan pecandu selanjutnya dapat melalui berbagai tahap,  diantaranya  ada  yang  masih  menggunakan  narkotika  dengan  menurunkan dosisnya tahap demi tahap seperti yang dilakukan di negara maju.[87]

Adapun rehabilitasi  sosial  merupakan  upaya  agar  mantan  pemakai  atau  pecandu  Narkotika dapat membangun mental kehidupan bersosial dan menghilangkan perbuatan negatif akibat pengaruh dari penggunaan narkotika agar mantan pecandu dapat menjalankan fungsi sosial dan dapat aktif dalam kehidupan di masyarakat.

Yang  dimaksud  upaya  untuk  mencapai  peningkatan  stabilitasi  fisik,  moral, mental, dan keterampilan ialah sebagai berikut: 1) Pemantapan fisik/ badaniah adalah meliputi segala upaya  yang bertujuan meningkatkan perasaan sehat jasmaniah pada umumnya dan  juga mentalnya (rohaniahnya);  2) Pemantapan  keagamaannya  adalah meliputi segala upaya yang bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang  Maha Esa; 3)  Pemantapan  sosial  meliputi  segala  upaya  yang  bertujuan memupuk,  memelihara,  membimbing  dan  meningkatkan  rasa  kesadaran  dan bertanggung jawab sosial bagi pribadinya, keluarga dan masyarakat; 4) Pemantapan pendidikan  dan  kebudayaan  meliputi  segala  upaya  yang  bertujuan  meningkatkan pengetahuan,  vokasional,  sikap  mental  dan  rasa  keindahan; 5) Pemantapan vokasional  meliputi  segala  upaya  yang  bertujuan  meningkatkan  kecekatan  dan keterampilan  melakukan  pekerjaan  dan  sikap  mental  yang  bergairah  dan membangun.[88]

 

Pelaksanaan Rehabilitasi Anak

Dalam menjalankan rehabilitasi penyalahgunaan narkotika, bentuk-bentuk rehabilitasi yaitu:

  1. Rehabilitasi Medis (Medical Rehabilitation) adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara  terpadu  untuk  membebaskan  pecandu  dari  ketergantungan narkotika.[89] Rehabilitasi  medis  juga bertujuan  untuk  pemantapan fisik/badaniah  adalah  meliputi  segala  upaya  yang  bertujuan  meningkatkan perasaan sehat jasmaniah pada umumnya dan juga mentalnya.[90] Sehingga  dalam  pelaksanaannya  dibutuhkan  spesialis  ilmu kedokteran  yang  berhubungan  penanganan  secara  menyeluruh  dari  pasien yang mengalami  gangguan  fungsi  atau  cidera,  susunan  otot  syaraf,  serta  gangguan mental,  sosial  dan  kekaryaan  yang  menyertai  kecacatan  Dalam Pasal 56 disebutkan:[91] Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri; Lembaga rehabilitasi  tertentu  yang  diselenggarakan  oleh  instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri.
  2. Rehabilitasi Sosial  (Social  Rehabilitation)  adalah  suatu  proses  kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas Pecandu Narkotika  dapat  kembali  melaksanakan  fungsi  sosial  dalam  kehidupan masyarakat.[92] Rehabilitasi sosial juga sebagai bentuk pemantapan sosial meliputi segala  upaya  yang  bertujuan  memupuk,  memelihara,  membimbing,  dan meningkatkan rasa kesadaran dan tanggung jawab sosial bagi pribadinya, keluarga, dan masyarakat.[93]

Rehabilitasi  sosial  merupakan  upaya  agar  mantan  pemakai  atau Pecandu  Narkotika  dapat  membangun  mental  kehidupan  bersosial  dan menghilangkan perbuatan negatif akibat pengaruh dari penggunaan narkotika agar mantan pecandu dapat menjalankan fungsi sosial dan dapat aktif dalam kehidupan di masyarakat. Dalam pasal 59 disebutkan:[94]

  • Pelaksanaan ketentuan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  56  dan Pasal 57 diatur dengan Peraturan Menteri;
  • Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.

Berdasarkan ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak ditentukan bahwa Anak Didik Pemasyarakatan yang terdiri dari anak pidana, anak negara dan anak sipil ditempatkan di Lembaga Permasyarakatan Anak yang harus terpisah dari orang dewasa. Adapun pengertian dari Anak Didik Pemasyarakatan dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 angka (8) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan. Pengertian dari Anak Didik Pemasyarakatan adalah:

  1. Anak Pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan anak paling lama sampai berumur 18 tahun;
  2. Anak Negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan anak paling lama sampai berumur 18 tahun;
  3. Anak Sipil, yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lembaga Pemasyarakatan anak paling lama sampai berumur 18 tahun.

Jika kita merujuk pada aturan yang ada, rehabilitasi anak ini lebih dekat maknanya terhadap pelaksanaan rehabilitasi sosial anak.[95] Namun begitu, anak juga berhak menerima fasilitas rehabilitasi medis sebagaimana disebutkan di dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.[96] Pelaksanaan rehabilitasi yang dimaksud bisa berada dalam sebuah lembaga ataupun diluar lembaga.[97] Rehabilitasi sosial bagi anak ditujukan kepada:[98]

  1. Anak yang  belum  berusia  12  (dua  belas)  tahun  melakukan tindak pidana atau di duga melakukan tindak pidana;
  2. Anak yang  sedang  menjalani  proses  hukum  ditingkat penyidikan, penuntutan, dan pengadilan;
  3. Anak yang telah mendapatkan penetapan diversi[99]; atau
  4. Anak yang  telah  mendapatkan  penetapan dan/atau  putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap.

Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan bahwa setiap anak, baik yang merupakan Anak Korban dan/atau Anak Saksi berhak atas semua perlindungan dan hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan.[100] Dengan kata lain, seluruh hak yang diatur di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak berlaku pula untuk setiap anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika.

Pelaksanaan rehabilitasi terhadap anak juga tidak selalu merupakan tanggung jawab pemerintah, tapi juga bisa dilaksanakan oleh elemen masyarakat.[101] Itulah alasan mengapa Badan Narkotika Nasional di daerah seringkali tidak memiliki lembaga rehabilitasi, padahal salah satu misi BNN adalah pelaksanaan rehabilitasi. BNN selalu berdiri sebagai badan pengawas pelaksanaan rehabilitasi yang dilaksanakan oleh masyarakat.

Adapun rehabilitasi sosial bagi anak bertujuan agar:[102]

  1. ABH[103] dapat  melaksanakan  keberfungsian  sosialnya  yang  meliputi kemampuan  dalam  melaksanakan  peran,  memenuhi  hak-hak anak,  memecahkan  masalah,  aktualisasi  diri,  dan  pengembangan potensi diri; dan
  2. Tersedianya lingkungan  sosial    yang  mendukung   keberhasilan Rehabilitasi Sosial ABH.

Sementara itu, pelaksanaan rehabilitasi sosial bagi anak harus meliputi:[104]

  1. motivasi dan diagnosis psikososial;
  2. perawatan dan pengasuhan;
  3. pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan;
  4. bimbingan mental spiritual;
  5. bimbingan fisik;
  6. bimbingan sosial dan konseling psikososial;
  7. pelayanan aksesibilitas;
  8. bantuan dan asistensi sosial;
  9. bimbingan resosialisasi;
  10. bimbingan lanjut; dan/atau
  11. rujukan.

Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak, perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59[105], dan terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.[106] Sementara itu, rehabilitasi anak juga seharusnya dipisahkan dengan rehabilitasi orang dewasa. Hal ini untuk memberikan jaminan hak terhadap anak. Beberapa hak anak yang seharusnya didapat dalam proses rehabilitasi antara lain:[107]

  1. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;[108]
  2. penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
  3. penyediaan sarana dan prasarana khusus;
  4. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
  5. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
  6. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan
  7. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.

 

C. Konsep Narkotika

Definisi Narkotika

Secara  umum,  yang  dimaksud  dengan  narkotika  adalah  sejenis  zat yang dapat  menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu  bagi orang-orang  yang menggunakannya,  yaitu  dengan  cara  memasukkan  ke  dalam  tubuh.[109] Istilah narkotika yang dipergunakan di sini bukanlah narcotics pada  farmacologie (farmasi), melainkan  sama  artinya  dengan  drug,  yaitu  sejenis  zat  yang apabila  dipergunakan  akan  membawa  efek  dan  pengaruh-pengaruh  tertentu pada tubuh si pemakai, yaitu:[110]

  1. mempengaruhi kesadaran;
  2. memberikan dorongan  yang  dapat  berpengaruh  terhadap  perilaku manusia.

Adapun pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa :

  1. penenang;
  2. perangsang (bukan rangsangan seks);
  3. menimbulkan halusinasi  (pemakainya  tidak  mampu membedakan  antara  khayalan  dan  kenyataan,  kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat).

Sehubungan  dengan  pengertian  narkotika,  menurut  Sudarto  dalam bukunya  Kapita  Selekta  Hukum  Pidana  mengatakan  bahwa  perkataan narkotika  berasal  dari  perkataan  Yunani  “Narke”,  yang  berarti  terbius sehingga tidak merasa apa-apa”.[111] Sementara  Smith  Kline  dan  Frech  Cliniacal  Staff  mengemukakan definisi  tentang  narkotika  yaitu  “Narcotic  are  drugs  which  product insensibillity  or  stuporduce  to  their  depressant  offer  on  the  central  nervous system,  included  in  this  definition  are  opium-opium  derivatitis  (morphine, codein, methadone)”.[112] Artinya lebih kurang ialah :

Narkotika  adalah  zat-zat  atau  obat  yang  dapat  mengakibatkan ketidaksadaran  atau  pembiusan  dikarenakan  zat-zat  tersebut  bekerja mempengaruhi  susunan  syaraf  sentral.  Dalam  definisi  narkotika  isi sudah  termasuk  candu,  zat-zat  yang  dibuat  dari  candu  (morphine, codein, methadone).

Berbicara  mengenai  narkotika,  sering  terdengar  beberapa  akronim  yang berkaitan erat dengan hal tersebut, misalnya: NAZA (Narkotika dan Zat Adiktif); dan NAPZA (Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif). Dari akronim NAPZA, yang mempunyai arti lebih lengkap dibanding yang pertama,  maka  obat  yang  dianggap  berbahaya  adalah  narkotika,  alkohol, psikotropika dan zat adiktif.[113]

 

Sejarah Pengaturan Narkotika

Pada zaman Belanda pembatasan penggunaan candu dimulai sejak tanggal 1 September 1894. Pemerintah Belanda yang mengadakan monopoli perdagangan candu,  mendatangkan  bahan  tersebut  dari  Timur Tengah,  kemudian  diolah  dan diedarkan  kepada  mereka  yang  mempunyai  surat  keterangan  boleh  menghisap madat. Candu yang didatangkan itu masih harus diolah dengan jalan memasak dan meragikan serta dicampur dengan bahan netral lainnya untuk merendahkan kadar khasiatnya,  di  samping  masih  harus  diberi  tanda  bahwa  candu  yang  diisap  itu berasal dari pemerintah.[114]

Pada  era  sembilan  puluhan,  pemakai  narkotika  sudah  masuk  segala lapisan,  baik  kalangan  atas,  kalangan  menengah  maupun  kalangan  bawah sekalipun.  Dari  sudut  usia,  narkotika  sudah  tidak  dinikmati  golongan  remaja, tetapi  juga  golongan  setengah  baya  maupun  golongan  usia  tua.  Penyebaran narkotika  sudah  tidak  lagi  hanya  dikota  besar,  tetapi  sudah  masuk  ke  kota-kota kecil dan merambat di kecamatan atau desa. Jika dilihat dari kalangan pengguna, narkotika  tidak  hanya  dinikmati  oleh  kalangan  tertentu  saja,  tetapi  sudah memasuki  beberapa  profesi.  Macam-macam  profesi  tersebut,  misalnya  seperti manager  perusahaan,  pengusaha,  dokter,  pengacara  dan  sebagainya. Bahkan yang menyedihkan lagi, sudah menjalar dikalangan birokrat dan penegak hukum.[115]

Psikotropika  yang  pada  waktu  dulu  termasuk  golongan  obat  keras  yang dinikmati golongan menengah, saat ini juga dinikmati oleh golongan atas. Macam golongan  psikotropika  tersebut  seperti  shabu,  ekstasi  dan  sebagainya, sehingga pemerintah  perlu  mengeluarkan  golongan  obat  psikotropika  dari  golongan  obat keras,  dan  mengaturnya  dalam  Undang-Undang  Nomor  5  Tahun  1997  tentang Psikotropika. Sedangkan untuk obat bius atau narkotika yang semula diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 diganti dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1997 dengan sanksi yang lebih keras.[116] Namun   kini  Undang-undang  Nomor  22  tahun  1997 telah  diganti  dengan Undang-Undang  Nomor  35  Tahun  2009  dengan  sanksi  yang  lebih  luas  dalam penerapannya.

 

Jenis-jenis Narkotika

Zat dan obat Golongan I mempunyai potensi yang sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Oleh karena itu di dalam penggunaan hanya diperuntukkan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak dipergunakan dalam terapi.[117] Karena potensi yang sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan, maka khusus narkotika Golongan I diatur tersendiri, dan hanya dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan serta dilarang digunakan untuk kepentingan lainnya (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009). Pengertian pengembangan ilmu pengetahuan termasuk di dalamnya untuk kepentingan pendidikan, pelatihan, keterampilan, dan penelitian serta pengembangan. Dalam penelitian dapat digunakan untuk kepentingan medis yang sangat terbatas.

Penguasaan Narkotika Golongan I di luar ilmu pengetahuan adalah merupakan tindak pidana, misalnya:

  1. tanpa hak dan melawan hukum menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan dan menguasai Narkotika Golongan I;
  2. tanpa hak dan melawan hukum memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan atau menguasai Narkotika Golongan I.

Adapun  penggolongan  jenis-jenis  dari  Narkotika  berdasarkan  Undang-Undang Republik  Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang  Narkotika, adalah sebagai berikut:[118]

  1. Narkotika sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam: Narkotika Golongan I, Narkotika Golongan II; dan Narkotika Golongan III;
  2. Penggolongan narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali ditetapkan  sebagaimana  dicantum  sebagai  Lampiran  I  dan  merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang-Undang ini;
  3. Ketentuan mengenai  perubahan  penggolongan  Narkotika  sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Mentreri.

Penjelasan  Undang-Undang  Nomor 35  Tahun  2009  Tentang  Narkotika menjelaskan  mengenai  maksud  dari  golongan-golongan  Narkotika  tersebut, yaitu:

  1. Narkotika Golongan  I  :  Narkotika  yang  hanya  dapat  digunakan  untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Jumlahnya ada 65 jenis. Contoh: heroin, ganja, opium, sabu-sabu, extacy dan kokain.
  2. Narkotika Golongan II : Narkotika yang berkhasiat pengobatan, digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Jumlahnya ada 86 jenis. Contoh: morfin, fentamil, alfametadol, ekgonia dan bezetidin.
  3. Narkotika Golongan  III  :  Narkotika  yang  berkhasiat  pengobatan  dan banyak  digunakan  dalam  terapi  dan/atau  untuk  tujuan  pengembangan  ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan  Jumlahnya ada 13 jenis. Contoh: kodein, propiram, norkedenia, polkodina dan etilmorfina.

 

Bentuk Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika

Menurut mekanisme dari penyelesaian suatu perkara narkotika harus diselesaikan menurut ketentuan acara pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Adapun bentuk penyalahgunaan narkotika adalah:

  1. Narkotika apabila dipergunakan secara proporsional, artinya sesuai menurut asas pemanfaatan, baik untuk kesehatan maupun untuk kepentingan penelitian ilmu pengetahuan, maka hal tersebut tidak dapat dijadikan sebagai tindak pidana narkotika. Akan tetapi apabila dipergunakan untuk maksud-maksud yang lain dari itu, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang jelas sebagai perbuatan pidana dan atau penyalahgunaan narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.
  2. Penyalahgunaan narkotika meliputi pengertian yang lebih luas, antara lain:[119]
  • membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan berbahaya dan mempunyai risiko. Misalnya ngebut di jalanan, berkelahi, bergaul dengan wanita dan lain-lain;
  • menentang suatu otoritas, baik terhadap guru, orang tua, hukum maupun instansi tertentu;
  • mempermudah penyaluran perbuatan seks;
  • melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalaman-pengalaman emosional;
  • berusaha agar menemukan arti dari pada hidup;
  • mengisi kekosongan-kekosongan dan perasaan bosan karena tidak ada kegiatan;
  • menghilangkan rasa frustasi dan gelisah;
  • mengikuti kemauan teman dan tata pergaulan lingkungan;
  • hanya sekedar ingin tahu atau iseng.

Kecuali daripada itu, narkotika juga dapat dipergunakan untuk kepentingan ekonomi atau kepentingan pribadi. Sementara bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain sebagai berikut:

  1. Penyalahgunaan/melebihi dosis. Hal ini disebabkan banyak hal, seperti yang telah diutarakan di atas;
  2. Pengedaran narkotika. Karena keterikatan dengan suatu mata rantai peredaran narkotika, baik nasional maupun internasional;
  3. Jual beli narkotika. Ini pada umumnya dilatar-belakangi oleh motivasi untuk mencari keuntungan materiil, namun ada juga karena motivasi untuk kepuasan.

Anak yang menggunakan Narkotika Golongan I bukan tanaman secara hukum telah melakukan tindak pidana. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan bahwa: Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Setiap orang di sini bukan hanya diperuntukkan bagi orang dewasa akan tetapi juga anak-anak.

 

Bahaya Penyalahgunaan Narkotika

Memang  tidak  dapat  dikesampingkan  bahwa  zat-zat  narkotika  dan  yang sejenisnya  memiliki  manfaat  yang  cukup  besar  di  dunia  kedokteran,  bidang penelitian, pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Berikut aplikasinya pemakaian  dalam  dosis  yang  teratur  akan  memberikan  manfaat,  akan tetapi pemakaian  zat-zat  jenis  narkotika  dalam  dosis  yang  tidak  teratur,  lebih-lebih disalahgunakan akan membawa efek-efek yang negatif.[120] Bahaya dan akibat secara khusus terhadap si pemakai, yakni yang menyangkut langsung terhadap penyalahgunaan narkotika itu sendiri, dapat menimbulkan efek-efek pada tubuh yang menimbulkan gejala sebagai berikut:[121]

  1. Heroin; termasuk Narkotika Golongan I. Heroin juga menghasilkan codeine morphinedan opium. Putauw adalah sebutan lain dari heroin yang berupa serbuk putih dengan rasa pahit. Selain putih, ada kalanya berwarna coklat atau dadu, tergantung pada bahan campurannya, seperti kakao, tawas, kina, tepung jagung atau tepung susu. Heroin dapat menghilangkan rasa nyeri. Cara penggunaan biasanya disuntik ke dalam vena, disedot atau dimakan (jarang sekali). Bahaya dan akibat mengkonsumsi heroin dapat menimbulkan: tampak mengantuk; bicara cadel, apatis; jalan sempoyongan dan gerak lamban; daya ingat dan perhatian terganggu; tubuh menjadi kurus, pucat, kurang gizi.
  2. Extasy; merk terkenal dalam perdagangan extasy, seperti buterfly, black heart, yupie drug dan lain-lain. Dalam farmakologi tergolong sebagai psiko-stimulansia (Narkotika Golongan II) seperti amfetamine, methamphatemine, kafein, kokain, khat dan nikotin yang direkayasa untuk tujuan bersenang-senang. Bahaya dan akibat mengkonsumsi extasy dapat menimbulkan: denyut jantung dan nadi bertambah cepat; gerak anggota badan tak terkendali (triping); kemampuan berempati meningkat; keintiman bertambah dan rasa percaya diri meningkat; penglihatan kabur; halusinasi.
  3. Meth-Amphetamine; disebut juga dengan nama shabu-shabu. Dalam farmakologi termasuk psiko-stimulansia yang tergolong jenis Narkotika Golongan II. Bahaya dan akibat mengkonsumsi jenis narkotika ini sama dengan extasy tetapi rasa curiga (paranoid) dan halusinasi lebih menonjol, sengaja dibuat untuk tujuan bersenang-senang seperti halnya extasy.
  4. Ganja; nama lain ganja mariyuana, hashis. Jenis narkotika ini termasuk Golongan I. Bahaya dan akibat mengkonsumsi ganja dapat menimbulkan: kedua mata merah, mulut kering; banyak keringat, jantung berdebar; kecemasan dan kecurigaan yang berlebihan; denyut jantung bertambah cepat; nafsu makan bertambah; euphoria, apatis, perasaan waktu berjalan lambat.
  5. Sedativa/hipnotika (obat penenang/tidur); obat ini memiliki banyak jenis dan tergolong psikotropika, seperti metaqualon/mandrax, flunitrazepam, clonazepam, nitrazepam, dan lain-lain. Toleransi perkembangannya tidak secepat heroin. Mengkonsumsi obat ini dapat mengakibatkan: banyak bicara; bicara cadel; jalan sempoyongan; pengendalian diri berkurang/melemah sehingga mudah tersinggung dan terlibat perkelahian; kadang-kadang kesadaran terganggu (dellirium).
  6. Alhohol; nama kimia dari alkohol adalah etanol atau etil alkohol. Banyak jenis dan merek dari alkohol, seperti bir, wisky, gin, vodka, martini, brem, arak, ciu, saguer, tuak, johnny walker, black and white dan lain-lain. Rekomendasi farmakologi, obat ini mirip obat penenang/obat tidur. Torelansi perkembangannya lambat, sedangkan gejala putus zat dapat berakibat fatal. Akibat yang ditimbulkannya antara lain: muka merah; banyak bicara dan cadel; pengendalian diri berkurang/melemah sehingga mudah tersinggung, marah dan terlibat perkelahian; gangguan koordinasi motorik; jalan sempoyongan; sulit memusatkan perhatian.

Adapun akibat-akibat lain yang bisa terjadi pada pemakai narkotika adalah:[122]

  1. Terjadinya keracunan (toxicity);
  2. Fungsi-fungsi tubuh yang tidak normal (mal function);
  3. Terjadinya kekurangan gizi (mal nutrition);
  4. Kesulitan penyesuaian diri (mal adjustment);
  5. Kematian.

 

~~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~~

__________________

[40] Y. Singgih D. Gunarsa, Psykologi Remaja, Cetakan XI, (Jakarta: BPK Gunung Mulia Kwintang, 1990), hlm. 4.

[41] Ibid., hlm. 10.

[42] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1990),  hlm. 21.

[43] Y. Singgih D. Gunarsa & Singgih D. Gunarsa, Psykologi Remaja….,  hlm. 11.

[44] Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, Cet. 1, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 4-12.

[45] Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: PT. Toko Gunung  Agung, 1995),  hlm. 111.

[46] Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia…., hlm. 4-5.

[47] Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Cet: I, (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), hlm. 32-36.

[48] Marwan dan Jimmy, Kamus Hukum, Cet. 1, (Surabaya: Realite Publisher, 2009), hlm.41.

[49] Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia…., hlm. 12.

[50] Ade Maman Suherman dan J. Satrio, Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur (Kecakapan dan Kewenangan bertindak berdasar Batasan Umur), (Jakarta: Gramedia, 2010), hlm.36.

[51] Pemilihan contoh kedewasaan anak di Jawa Barat untuk menunjang penelitian skripsi ini yang juga dilakukan di salah satu kabupaten di Jawa Barat.

[52] Shanty Dellyana, Wanita dan Anak di Mata Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 2004), hlm.49.

[53] Konvensi ini merupakan instrumen Internasional di bidang Hak Asasi Manusia dengan cakupan hak yang paling komprehensif. Terdiri dari 54 pasal, Konvensi hingga saat ini dikenal sebagai satu-satunya konvensi di bidang Hak Asasi Manusia yang mencakup baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sekaligus.

Berdasarkan strukturnya, Konvensi ini dibagi menjadi 4 bagian, yakni: Preambule (mukadimah) yang berisi konteks Konvensi Hak Anak, Bagian Satu (Pasal 1-4) yang mengatur hak bagi semua anak, Bagian Dua (Pasal 42-45) yang mengatur masalah pemantauan dan pelaksanaan Konvensi Hak Anak, dan Bagian Tiga (Pasal 46-54) yang mengatur masalah pemberlakukan Konvensi.

[54] E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Surabaya: Pustaka Tintamas, 1987),  hlm. 57- 58.

[55] Lihat Undang-Undang  Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

[56] R.A. Norma Estarina, “Penegakan Hukum terhadap Anak Pelaku Kejahatan Narkotika di Wilayah Kabupaten Sleman”, Tesis, (Yogyakarta: Magister Hukum Litigasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2013), hlm. 14.

[57] Isi pasal 34 (1) adalah “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.

[58] R.A. Norma Estarina, “Penegakan Hukum terhadap Anak….., hlm. 71.

[59] Paulus Hadisuprapto, Peranan Orang tua dalam Mengimplementasikan Hak-hak Anak dan Kebijakan Penanganan Anak Bermasalah, dalam jurnal Pembangunan Kesejahteraan Sosial, (Jakarta: Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial,  Nomor 7, Maret 1996), hlm. 35.

[60] UNICEF, Guide to The Convention on the Rights of the Child (CRC), (Jakarta: UNICEF, t.t.), hlm. 4.

[61] Pasal 64 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

[62] Undang-undang tentang Peradilan Anak sekarang sudah mengacu pada Undang-Undang  Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

[63] Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hlm. 51.

[64] R.A. Norma Estarina, “Penegakan Hukum terhadap Anak…., hlm. 17.

[65] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1990), hlm. 20.

[66] KUHP, Terjemahan Prof. Moeljatno, Cetakan ke XIII, terbit tahun 1988.

[67] R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1980),  hlm. 277.

[68] Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cetakan II, (Bandung: Alumni, 1986), hlm.109.

[69] J.E. Sahetapy & B Marjono Reksodiputro, Parados Dalam Kriminologi, Cetakan II, (Jakarta: CV Rajawali, 1989),  hlm. 2.

[70] B.R.M. Bonokasi Dipojono & Soewandi Harsopranoto, Faktor-Faktor Sosio Budaya Sebagai Latar Belakang Kenakalan Remaja & Peranan Pekerja Sosial Dalam Penanggulangan Kenakalan Remaja, (Surabaya: Bappenkar Jawa Timur, t.t.), hlm. 20.

[71] Moh.  Taufik  Makarao,  Suhasril,  dan  Moh.  Zakky  A.S.,  Tindak  Pidana  Narkotika, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 49-50.

[72] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, (Bandung: Bina Cipta,1996), hlm. 14.

[73] Muladi, Kapita Selekta Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002), hlm. 14.

[74] Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum,  (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993), hlm. 1.

[75] R.A. Norma Estarina, “Penegakan Hukum terhadap Anak…., hlm. 33.

[76] Sudarto, Kapita Seleka Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 129.

[77] R.A. Norma Estarina, “Penegakan Hukum terhadap Anak…., hlm. 36.

[78] Undang-undang ini telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

[79] David Arnot, dkk, Pustaka kesehatan Populer Pengobatan Praktis: Perawatan Alternatif dan Tradisional, Volume 7, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2009),  hlm. 180.

[80] Ibid.

[81] J.P.  Caplin, Kamus  Lengkap  Psikologi,  (Jakarta:  PT.  Raja  Grafindo  Persada,   1995),  hlm. 425.

[82] Sudarsono, Etika  Islam Tentang Kenakalan Remaja,  (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm. 87.

[83] O.C. Kaligis, Narkoba dan Peradilannya di Indonesia, (Bandung: Alumni, 2002), hlm.8.

[84] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

[85] Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2004), hlm. 90.

[86] Lihat Pasal 1 ayat (16) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

[87] Sumarrno Masum, Penanggulangan Bahaya Narkotika dan Ketergantungan Obat, Cet. I ,(Jakarta: CV Haji Masagung, 1987), hlm. 136.

[88] Ibid., hlm. 138-139.

[89] Lihat Pasal 1 ayat (16) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

[90] Sumarmo Masum,  Penanggulangan Bahaya Narkotika….,  hlm.138.

[91] Lihat Pasal 56 Undang-Undang  Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

[92] Lihat Pasal 1 ayat (17) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

[93] Sumarmo Masum,  Penanggulangan Bahaya Narkotika….,  hlm. 139.

[94] Lihat Pasal 59 Undang-Undang  Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

[95] Lihat Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 09 Tahun 2015 tentang Pedoman Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum oleh Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.

[96] Lihat Pasal 90 poin a Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

[97] Yang dimaksud dengan “lembaga” dalam ketentuan ini adalah lembaga,  baik pemerintah  maupun  swasta,  di  bidang kesejahteraan  sosial  Anak,  antara  lain  panti  asuhan,  dan panti rehabilitasi.

[98] Lihat Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 09 Tahun 2015 tentang Pedoman Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum oleh Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.

[99] Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

[100] Lihat Pasal 89 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

[101] Lihat Pasal 93 poin e Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

[102] Lihat Pasal 10 Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 09 Tahun 2015 tentang Pedoman Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum oleh Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.

[103] ABH adalah singkatan dari Anak yang Berhadapan dengan Hukum.

[104] Lihat Pasal 12 Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 09 Tahun 2015 tentang Pedoman Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum oleh Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.

[105] Isi Pasal 59 berbunyi, “Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA),anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran”.

[106] Lihat Pasal 67 Undang-Undang  Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

[107] Lihat Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal ini menyangkut anak yang berhadapan dengan hukum.

[108] Hak-hak anak ini menyangkut pula pada hak anak pada Konvensi Hak Anak dan hak-hak anak dalam UU Perlindungan Anak seperti hak untuk hidup,  tumbuh, dan berkembang (Pasal 4), hak untuk beribadah sesuai agamanya (Pasal 6), hak mendapat pelayanan kesehatan (Pasal 8), hak mendapatkan pendidikan yang layak (Pasal 9), dan hak-hak yang lainnya.

[109] Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm. 33.

[110] Soedjono  D.,  Segi  Hukum  tentang  Narkotika  di  Indonesia,  (Bandung: Karya Nusantara, 1976), hlm. 14.

[111] Djoko  Prakoso, Kejahatan-Kejahatan  Yang  Merugikan  dan  Membahayakan Negara, (Jakarta: Bina Aksara, 2001),  hlm. 480.

[112] Ibid., hlm. 481.

[113] Hari Sasangka,  Narkotika dan Pesikotropika…., hlm. 4-5.

[114] Sumarmo  Masum,  Penanggulangan  Bahaya  Narkotika….,  hlm. 4-5.

[115] Muhammad Masrur Fuadi, “Konsep Rehabilitasi terhadap Pengguna Narkotika dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam”, Skripsi, (Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2015), hlm. 18.

[116] Hari Sasangka,  Narkotika dan Psikotropika….,  hlm. 2-3.

[117] Ibid., hlm. 173.

[118] Lihat Pasal 5 dan 6 Undang-Undang  Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

[119] Buku Pedoman 3, Petunjuk Khusus Tentang Operasi Penerangan Inpres Nomor 6 Tahun 1976, hlm. 8-9.

[120] Harsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, (Jakarta: Bina Aksara, 1989), hlm.51-52.

[121] M. Taufik Makarao, et.al, Tindak Pidana Narkotika, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hlm. 50-53.

[122] Hari Sasangka,  Narkotika dan Psikotropika…., hlm. 25.