A. Data Statistik Penyalahgunaan Narkotika Anak di Kabupaten Kuningan

Penyusun akan memulai pembahasan di bab 4 ini dengan mengungkap seluruh data hasil penelitian yang penyusun lakukan selama beberapa minggu di Kabupaten Kuningan. Khusus untuk data mengenai penyalahgunaan narkotika anak di Kabupaten Kuningan, penyusun peroleh data seluruhnya dari data base Polres Kabupaten Kuningan.

Pengertian data adalah suatu kumpulan informasi atau keterangan yang disampaikan dan diperoleh oleh orang dari suatu pengamatan baik dalam bentuk angka, lambang ataupun sifat. Syarat utama dalam analisa data atau pengamatan data secara statistik adalah dengan mengolah data secara baik untuk mendapatkan hasil informasi maupun kesimpulan yang baik dan akurat. Data harus memiliki sifat representatif atau mewakili, objektif atau sesuai dengan apa yang terjadi, relevan atau berhubungan dengan persoalan yang sedang dialami dan yang akan dipecahkan, dan akurat dengan nilai ketelitian yang tinggi dan kesalahan atau standar eror yang kecil.[150]

Data dan statistik ada hubungan yang sangat erat di kedua istilah tersebut. Sementara data statistik sangat berhubungan erat dengan kehidupan manusia sehari-hari. Hubungan erat dengan bidang ilmu pengetahuan, eksakta, sosial, bidang ekonomi dan juga bidang lainnya. Statistika merupakan ilmu yang mempelajari cara mengumpulkan data, mengolah, menyajikan dan menganalisis serta menyimpulkan. Statistika merupakan suatu pendekatan modern untuk menyajikan mengenai konse-konsep dasar dan metode statistik secara lebih jelas dan langsung dapat membantu seseorang didalam pengembangan daya kritik dalam suatu kegiatan pengambilan keputusan dengan menggunakan cara-cara kuantitatif.

Manfaat statistik adalah membantu para pengelola dan pelaksana program khususnya dalam mengambil keputusan yang selanjutnya dipakai dasar perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi berbagai kegiatan yang dilakukan. Selain manfaat tersebut, beberapa manfaat lainnya adalah:[151]

  1. Mendapatkan gambaran mengenai suatu fenomena tertentu dengan lebih sederhana melalui ukuran-ukuran statistik.
  2. Mampu mengambil kesimpulan dengan tingkat kepercayaan tertentu berdasarkan sampel dari populasi.
  3. Dapat melakukan efisiensi biaya melalui sampling.
  4. Dapat membuat pemodelan dari sebuah permasalahan.
  5. Dapat mengetahui apa saja faktor yang berhubungan dengan sebuah permasalahan.
  6. Dapat mengetahui efek dari sebuah variabel
  7. Dapat melakukan peramalan data untuk masa mendatang.

Untuk itu, penyusun merasa penggunaan data dan statistik dalam persoalan yang penyusun angkat—yakni penyalahgunaan narkotika anak, perlu untuk ditampilkan. Berikut data-data penyalahgunaan narkotika yang penyusun dapatkan dari data base Polres Kabupaten Kuningan, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, yakni 2014, 2015, dan 2016.[152] Data berikut akan penyusun sampaikan secara deskriptif, untuk kemudian digambarkan dalam bentuk tabel dan grafik.

Pada tahun 2014, jumlah kasus penyalahgunaan narkotika yang berhasil di ungkap oleh Satuan Reserse Narkoba Polres Kuningan sebanyak 34 kasus. Rata-rata umur para pelaku penyalahgunaan narkotika tersebut berkisar antara umur 20 sampai 40 tahun (sudah dewasa). Namun walau begitu, terdapat sejumlah kasus yang melibatkan anak, sekitar 4 kasus.

Empat anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika ini terpantau berumur 16 dan 17 tahun. Satu diantaranya berjenis kelamin perempuan. Keempat anak tersebut masing-masing menyalahgunakan 205,1 gram ganja, 2,91 gram ganja, 1,54 gram ganja, dan 2,4 gram ganja.

Sementara di tahun 2015, jumlah penyalahgunaan narkotika berkurang menjadi 32 kasus yang tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Kuningan. Senada dengan itu, kasus di kalangan anak pun mengalami penurunan, dari yang sebelumnya di tahun 2014 terjadi 4 kasus, pada tahun 2015 turun menjadi 1 kasus. Jenis narkoba yang disalahgunakan adalah jenis ganja seberat 5,46 gram.

Adapun pada tahun 2016, kembali terjadi penurunan. Namun penurunan angka ini belum bisa dipastikan seluruhnya, karena penyusun memperoleh data penyalahgunaan narkotika tahun 2016 dalam kurun waktu Januari hingga Oktober. Penyusun melakukan penelitian dan pengambilan data sekitar bulan November 2016, sehingga data pada tahun 2016 ini tidak murni dalam rentang waktu setahun, namun hanya 10 bulan saja. Namun begitu, data selama 10 bulan ini sudah mewakili data 2016, karena komposisi bulan yang termuat—yakni 10 bulan—lebih besar dari sisa bulan lainnya, yakni November dan Desember. Artinya, data 10 bulan sudah bisa dijadikan pegangan untuk melihat perkembangan penyalahgunaan narkotika selama tahun 2016.

Jumlah penyalahgunaan narkotika pada tahun 2016 (maksudnya dari Januari sampai Oktober 2016), terhitung sebanyak 28 kasus. Sama seperti tahun 2015, penyalahgunaan narkotika anak pada tahun 2016 juga hanya terjadi 1 kasus, dilakukan oleh anak berusia 17 tahun. Namun pada tahun 2016 ini mengalami perbedaan dari dua tahun sebelumnya, dimana anak tersebut melakukan penyalahgunaan narkotika jenis berbeda dengan anak-anak di tahun 2014 dan 2015, yakni menggunakan sabu seberat 0,73 gram.

Dari data-data deskriptif diatas, dapat penyusun buat suatu format data statistik untuk melihat perkembangan penyalahgunaan narkotika anak di Kabupaten Kuningan, khususnya selama kurun waktu 3 tahun. Dilihat dari segi usia dan jenis maka dapat dibuat suatu bagan berikut:

No. Tahun Tanggal Lahir Jenis Kelamin Umur Jenis Narkoba
1 2014 03 Januari 1997 Perempuan 17 tahun 205,1 gram ganja
2 2014 25 Juni 1998 Laki-laki 16 tahun 2,91 gram ganja
3 2014 12 Maret 1997 Laki-laki 17 tahun 1,54 gram ganja
4 2014 10 Juli 1997 Laki-laki 17 tahun 2,4 gram ganja
5 2015 11 Mei 1998 Laki-laki 17 tahun 5,46 gram ganja
6 2016 04 Juni 1999 Laki-laki 17 tahun 0,74 gram sabu

Tabel 4.1. Data Penyalahgunaan Narkotika Anak Tahun 2014, 2015, 2016, Kuningan.

Jumlah berat narkotika yang disalahgunakan anak selama tahun 2014 mencapai 211,95 gram, dan semuanya merupakan jenis ganja. Kemudian pada tahun 2015 mengalami penurunan yang sangat signifikan menjadi 5,46 gram ganja, sementara pada tahun 2016, secara angka mengalami penurunan menjadi 0,74 gram, namun merupakan jenis sabu.

Dari data-data diatas, setidaknya penyusun dapat melihat bagaimana upaya pencegahan narkotika di Kabupaten Kuningan setiap tahunnya semakin baik. Hal ini tentu saja tidak bisa lepas dari peran Badan Narkotika Nasional Kabupaten (BNNK) Kuningan yang sudah aktif  melakukan Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN). Semakin baik nya usaha pencegahan narkotika di Kabupaten Kuningan memberikan implikasi positif terhadap jumlah penyalahgunaan narkotika, baik secara umum, maupun terfokus dalam kasus anak. Selain itu, beberapa poin yang harus dicatat dari data-data diatas, antara lain:

  1. Usia rata-rata penyalahgunaan narkotika anak di Kabupaten Kuningan adalah 17 tahun (sekitar kelas 1 atau kelas 2 Sekolah Menengah Atas). Hal ini mengindikasikan bahwa siswa dan siswi SMA masih menjadi target peredaran gelap narkotika.
  2. Terjadi hal yang mengejutkan, dimana seorang anak berjenis kelamin perempuan, melakukan penyalahgunaan narkotika jenis ganja seberat 205,1 gram. Jumlah ini jauh lebih besar dari jumlah penyalah guna yang lain, bahkan melebihi dari penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh orang dewasa.
  3. Terjadinya penurunan jumlah penyalahgunaan narkotika dalam kurun waktu 2014, 2015, dan 2016 di Kabupaten Kuningan, baik skala umum maupun yang terfokus pada penyalahgunaan narkotika anak, memberikan suatu harapan baik kinerja dari pihak kepolisian dan BNNK Kuningan dalam melindungi masyarakat Kuningan terbebas dari jeratan narkotika.

 

B. Eliminasi Klinik Gafari dari Penelitian

Dari awal pembuatan skripsi, penyusun sudah memutuskan untuk memasukkan Klinik Gafari dalam penelitian. Hal ini tidak lain karena penyusun berpandangan bahwa Klinik Gafari masuk dalam deretan tempat rehabilitasi narkotika di Kabupaten Kuningan dibawah koordinasi BNNK Kuningan. Bahkan Bapak Asep yang merupakan Kepala Seksi Rehabilitasi BNNK Kuningan juga menganjurkan memasukkan seluruh tempat rehabilitasi narkotika di Kabupaten Kuningan dalam pembahasan skripsi.

Namun ternyata, penyusun mendapatkan kendala dan hambatan di lapangan. Karena fokus penelitian penyusun terletak pada pelaksanaan rehabilitasi narkotika “anak”, maka penyusun harus mendapatkan data-data yang menunjang untuk itu. Tetapi, setelah penyusun mendatangi Klinik Gafari, ternyata klinik tersebut belum mendapatkan pasien rehabilitasi untuk kategori anak.

Karena posisi Klinik Gafari yang baru resmi dijadikan tempat rehabilitasi narkotika pada tahun 2015, sehingga banyak masyarakat yang belum mengetahui informasi adanya program rehabilitasi narkotika di Klinik Gafari. Masyarakat yang memiliki permasalahan narkotika lebih banyak merujuk kepada Yayasan Rumah Tenjo Laut yang merupakan tempat rehabilitasi resmi BNNK Kuningan. Kurangnya promosi dan iklan dari Klinik Gafari membuat masyarakat tidak mengenal adanya tempat rehabilitasi di klinik tersebut.

Dari sejak tahun 2015 disaat resmi membuka program rehabilitasi narkotika, Klinik Gafari hanya melayani tiga (3) pasien saja. Itu pun semuanya merupakan pasien dewasa, berumur lebih dari 18 tahun. Sementara fokus pembahasan skripsi ini terletak pada perlindungan hak terhadap “anak” dalam proses rehabilitasi narkotika.

Maka dari itu, terjadinya realita di lapangan yang tidak bisa dihindari ini, memaksa penyusun untuk mengeliminasi Klinik Gafari dari proses penelitian. Namun walau begitu, Klinik Gafari akan tetap penyusun pertahankan dalam riwayat profil di Bab 3 diatas, karena penyusun menganggap Klinik Gafari berada dibawah pengawasan dan koordinasi BNNK Kuningan yang melayani program rehabilitasi narkotika. Selain itu pula, hal ini merupakan masukan dari Bapak Asep selaku Kepala Seksi Rehabilitasi BNNK Kuningan agar memasukkan seluruh profil lembaga rehabilitasi dalam skripsi penyusun.

 

C. Perlindungan Hak Anak dalam Proses Rehabilitasi

Telah penyusun jelaskan secara rinci di bab 2 diatas, bahwasanya anak memiliki konsep yang berbeda dengan orang dewasa jika dilihat dari segi hukum. Hal ini juga tentu akan memberikan implikasi berbeda diantara keduanya, dimana anak seharusnya mendapatkan perlakuan “khusus” yang dibedakan dengan orang dewasa. Pembedaan perlakuan seperti ini bukan berarti hukum tidak adil, justru pembedaan semacam ini merupakan bentuk keadilan hukum.

Bahkan dalam hukum pidana sendiri, sanksi terhadap anak memiliki perlakuan yang berbeda dengan sanksi terhadap orang dewasa. Undang-Undang Peradilan Pidana Anak mengatur secara khusus bagi pelaku tindak pidana dibawah umur (minderjarig) dimana sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana anak terbagi atas Pidana Pokok dan Pidana Tambahan. Pidana Pokok terdiri atas: Pidana peringatan; Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan; Pelatihan kerja; Pembinaan dalam lembaga; Penjara. Adapun Pidana Tambahan terdiri dari: Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau Pemenuhan kewajiban adat.

Jika kita merujuk pada aturan yang ada, rehabilitasi anak ini lebih dekat maknanya terhadap pelaksanaan rehabilitasi sosial anak. Namun begitu, anak juga berhak menerima fasilitas rehabilitasi medis sebagaimana disebutkan di dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.[153] Pelaksanaan rehabilitasi yang dimaksud bisa berada dalam sebuah lembaga ataupun diluar lembaga.[154]

Pelaksanaan rehabilitasi terhadap anak juga tidak selalu merupakan tanggung jawab pemerintah, tapi juga bisa dilaksanakan oleh elemen masyarakat.[155] Itulah alasan mengapa Badan Narkotika Nasional di daerah seringkali tidak memiliki lembaga rehabilitasi, padahal salah satu misi BNN adalah pelaksanaan rehabilitasi. BNN selalu berdiri sebagai badan pengawas pelaksanaan rehabilitasi yang dilaksanakan oleh masyarakat.

Sementara itu, pelaksanaan rehabilitasi sosial bagi anak harus meliputi:[156]

  1. motivasi dan diagnosis psikososial;
  2. perawatan dan pengasuhan;
  3. pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan;
  4. bimbingan mental spiritual;
  5. bimbingan fisik;
  6. bimbingan sosial dan konseling psikososial;
  7. pelayanan aksesibilitas;
  8. bantuan dan asistensi sosial;
  9. bimbingan resosialisasi;
  10. bimbingan lanjut; dan/atau
  11. rujukan.

Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan bahwa setiap anak, baik yang merupakan Anak Korban dan/atau Anak Saksi berhak atas semua perlindungan dan hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan.[157] Dengan kata lain, seluruh hak yang diatur di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak berlaku pula untuk setiap anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika.

Beberapa hak anak yang akan penyusun soroti dalam proses penelitian ini, mengacu pada UU Perlindungan anak, yakni meliputi:[158]

  1. Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial (Pasal 8).
  2. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya (Pasal 9).
  3. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri (Pasal 11).
  4. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan (Pasal 13):
  5. Diskriminasi;
  6. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
  7. Penelantaran;
  8. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
  9. Ketidakadilan; dan
  10. Perlakuan salah lainnya.
  11. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi (Pasal 16).
  12. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk (Pasal 17):
  13. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;[159]
  14. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
  15. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.

Idealnya, pelaksanaan rehabilitasi narkotika terhadap anak harus dipisahkan dari pelaksanaan rehabilitasi narkotika terhadap orang dewasa. Hal ini untuk memastikan perlindungan hak-hak anak yang terntunya berbeda dengan orang dewasa. Hak-hak anak harus tetap terjamin bahkan dalam posisi anak sebagai korban yang sedang di rehabilitasi. Penegasan ini sudah disinggung sebelumnya, bahwa dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan bahwa setiap anak, baik yang merupakan Anak Korban dan/atau Anak Saksi berhak atas semua perlindungan dan hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Adapun undang-undang yang mengatur terhadap hak-hak anak adalah Undang-Undang Perlindungan Anak. Sehingga, seluruh hak-hak dalam UU Perlindungan Anak masih tetap melekat terhadap anak yang berada dalam proses rehabilitasi.

Analisis penyusun ini juga dikuatkan oleh pernyataan Komisioner KPAI Bidang Kesehatan dan NAPZA ,Titik Haryati. Titik Haryati menegaskan bahwa pelaksanaan rehabilitasi anak harus dilakukan secara terpadu, artinya pelaksanaan tersebut harus terpisah dari orang dewasa.[160] Poin penting dalam rehabilitasi terpadu anak yang dimaksud ini adalah mengutamakan pemenuhan kebutuhan dasar pendidikan dan kesehatan sebagai faktor penting tumbuh kembang anak, serta pendekatan spiritual sebagai strategi memulihkan anak yang terpapar narkotika.

Titik Haryati juga menyoroti pelaksanaan hak anak dalam proses rehabilitasi yang mencampur-aduk antara anak dan orang dewasa. Rehabilitasi seperti itu tidak baik bagi perkembangan anak. Hal ini karena dalam pelaksanaan rehabilitasi yang mencampur anak dan orang dewasa, dalam pemenuhan hak anak, seperti pendidikan dan kesehatan, sering terabaikan.

Senada dengan pernyataan Komisioner KPAI, Suryo Atmanto yang merupakan Ketua Nawa Cita Institute, mengatakan bahwa anak yang menyalahgunakan narkoba adalah anak yang sakit secara jasmani dan rohani, sehingga penanganannya yang tepat melalui rehabilitasi terpadu (terpisah dari orang dewasa). Selain itu, penegakan hukum yang tepat adalah melalui keadilan restoratif. Dalam keadilan restoratif, anak yang menjadi pelaku dan korban, sama-sama diperlakukan sebagai korban kejahatan narkotika. Oleh sebab itu, solusi atas masalah ini adalah dengan merehabilitasi anak.

Idealnya pula, dalam rehabilitasi terpadu ada pembentukan karakter anak. Kebutuhan dasar pendidikan dan kesehatan yang tercantum dalam UU Perlindungan Anak melibatkan dokter, konselor bimbingan, konseling, psikolog, psikiater, dan para ahli lainnya untuk dimanfaatkan dalam proses healing[161].

Pengembangan bakat anak, keterampilan, tempat bermain, olah raga dan tempat ibadah merupakan sarana yang harus disediakan untuk mendukung tumbuh kembang anak. Strategi pendekatan spiritual juga menjadi prioritas yang harus diterapkan melalui sarana ibadah dalam rehabilitasi terpadu bagi anak yang menyalahgunakan narkoba.

Hal ini juga ditegaskan oleh Bapak Asep selaku Ketua Seksi Rehabilitasi BNNK Kuningan, bahwa pelaksanaan rehabilitasi terhadap anak seharusnya memang harus terpisah dari orang dewasa. Pemenuhan hak anak dalam proses rehabilitasi narkotika campuran (maksudnya campuran pasien anak dan dewasa) sering kali terabaikan.[162] Pernyataan ini juga dipertegas oleh Bapak Dadan Purqon yang merupakan Bagian Administrasi Keuangan dan merangkap jabatan sebagai Konselor Sosial di Yayasan Rumah Tenjo Laut, bahwa idealnya pelaksanaan rehabilitasi anak harus terpisah dari pelaksanaan rehabilitasi orang dewasa. Karena menurut Bapak Dadan, beberapa hak anak memang memiliki kekhususan tersendiri, berbeda dengan hak orang dewasa.[163]

 

  • Perlindungan Hak Anak di Yayasan Rumah Tenjo Laut

Sebelum masuk di pembahasan pelaksanaan rehabilitasi anak di Yayasan Rumah Tenjo Laut, penyusun akan menyampaikan terlebih dahulu data-data jumlah klien atau pasien yang ada di Yayasan Rumah Tenjo Laut hingga akhir tahun 2016. Pelaksanaan rehabilitasi di Rumah Tenjo Laut dilaksanakan selama tiga bulan.

Seluruh pasien atau klien yang ada di Yayasan Rumah Tenjo Laut merupakan pasien yang melakukan reabilitasi secara rawat inap. Tidak ada satu pun pasien yang melakukan rehabilitasi dengan rawat jalan. Sehingga perkembangan pasien dapat dilihat secara sistematis oleh pihak yayasan.

Data yang penyusun peroleh dari Yayasan Rumah Tenjo Laut, hingga akhir tahun 2016 didapatkan jumlah pasien sebanyak 25 orang. Tidak semua pasien berasal dari Kabupaten Kuningan, bahkan beberapa pasien ada yang berasal dari luar pulau Jawa.

Hal mengejutkan bagi penyusun, ternyata dari 25 pasien yang ada, 11 orang diantaranya berumur kurang dari 18 tahun (Anak). Artinya, sekitar 44% pasien di Yayasan Rumah Tenjo Laut selama tahun 2016, adalah anak-anak. Data lengkap mengenai ini akan penyusun sampaikan dibagian lampiran skripsi.

Karena fokus pembahasan penyusun hanya pada pelaksanaan rehabilitasi anak, maka penyusun hanya akan membahas 11 pasien yang masih dalam kategori dibawah 18 tahun. Berikut akan penyusun sampaikan beberapa hal mengenai 11 pasien tersebut.

No. Umur Jenis Kelamin Tanggal Masuk Rawat Riwayat Rehabilitasi Jenis Narkoba
1 17 L 15 April INAP Shabu, Ganja
2 13 L 16 April INAP Dekstro, Ganja
3 14 L 17 April INAP BRSPP Lembang Analgesic, Aprazolam, LCD
4 17 L 18 April INAP Shabu
5 14 L 22 April INAP Shabu
6 16 L 24 April INAP Shabu, Ganja
7 16 L 14 Mei INAP Shabu, Inex
8 17 L 15 Mei INAP Shabu
9 13 L 12 Juli INAP Alkohol, Ganja
10 16 L 14 Juli INAP Tramadol
11 14 L 19 Agustus INAP Alkohol, Obat-obatan

Tabel 4.2. Data Klien Anak Yayasan Rumah Tenjo Laut Tahun 2016.

 

Untuk menganalisis apakah pelaksanaan rehabilitasi narkotika anak di Yayasan Rumah Tenjo Laut sesuai dengan UU Perlindungan Anak atau tidak, maka hal pertama yang harus dijelaskan adalah mekanisme program rehabilitasi yang ditawarkan oleh Yayasan Rumah Tenjo Laut. Program-program di yayasan tersebut dibagi menjadi 4 tahap, yaitu :

Pendekatan Awal

Dalam tahap ini, merupakan rangkaian kegiatan yang mengawali keseluruhan proses pelayanan dan rehabilitasi sosial yang dilaksanakan dengan penyampaian informasi program kepada klien maupun keluarga atau kolega guna memperoleh dukungan dan data awal klien sebagai calon penerima layanan. Kegiatan ini terdiri dari:

  • Sosialisasi / Pengenalan Program.
  • Identifikasi.
  • Screening. [164]
  • Penerimaan Klien.

Pengungkapan dan Pemecahan Masalah (Asesmen)

Tahap ini merupakan kegiatan mengumpulkan, menganalisis, dan merumuskan masalah kebutuhan, potensi, dan sumber yang meliputi aspek fisik, psikis, dan spiritual. Meliputi kegiatan:

  • Persiapan.
  • Kegiatan pengumpulan data dan informasi.
  • Temu bahas khusus (case conference).

Rencana Pemecahan Masalah (Rencana Intervensi / Terapi)

Rencana Pemecahan Masalah disusun berdasarkan hasil pengungkapan dan pemahaman masalah dan kegiatan temu bahas kasus untuk menghasilkan pelayanan yang sesuai dengan kondisi objektif kebutuhan dan permasalahan klien. Kegiatan ini terdiri dari:

  • Persiapan
  • Kegiatan pengumpulan data dan informasi.
  • Temu bahas khusus (case conference).

Pemecahan Masalah (Intervensi / Terapi)

Tahap ini merupakan penerapan dari rencana pemecahan masalah dengan layanan sosial dan teurafetic community[165] dengan metode yang meliputi kegiatan:

Bimbingan Fisik dan Kesehatan:

  1. Pemeriksaan Kesehatan;
  2. Pemeriksaan Urin;
  3. Detoksifikasi.[166]

Primary Stage:[167]

  1. Konseling Individu dan Kelompok;
  2. Seminar Grup;
  3. Terapi Kelompok.

Bimbingan Sosial:

  1. Peer Group;[168]
  2. Family Support Group;[169]

Bimbingan Mental Spiritual.

 

  • Pasal Perlindungan Anak yang Tercapai

Pelaksanaan rehabilitasi narkotika di Yayasan Rumah Tenjo Laut dengan mekanisme rawat inap ini memberikan implikasi positif terhadap pelaksanaan rehabilitasi. Capaian dan target yang diinginkan dari hasil rehabilitasi sering kali tepat sasaran.[170] Bukan hanya untuk klien dewasa, namun klien dari kalangan anak-anak pun terlihat mengalami kemajuan yang sangat pesat. Sehingga, jika dilihat dari pelaksanaan rehabilitasi, program-program yang ditawarkan oleh Yayasan Rumah Tenjo Laut—yang merupakan program resmi BNN, memberikan hasil yang cukup memuaskan bagi klien anak.

Dari segi pelayan kesehatan juga, Rumah Tenjo Laut memberikan tanggung jawab yang sangat baik. Pasal 8 UU Perlindungan Anak menegaskan bahwa, “Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial”. Hal ini mengisyaratkan bahwa tempat rehabilitasi sejatinya harus memiliki peran perawatan kesehatan yang memadai bagi kebutuhan anak.

Tuntutan pasal 8 ini ditanggapi dengan baik oleh Rumah Tenjo Laut. Secara khusus, Rumah Tenjo Laut memiliki sebuah ruangan khusus klinik yang diperuntukkan untuk kebutuhan klien.

Untuk menunjang jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial, Rumah Tenjo Laut pun memberikan fasilitas yang cukup baik. Terdapat ruang tidur yang besar, ruang khusus konseling, ruang tamu, tempat ibadah, ruang makan yang luas, kamar mandi yang bersih dan terawat, serta ruangan program yang luas.

Pelayanan kesehatan di Rumah Tenjo Laut juga sudah sedemikian sempurna, dengan adanya dokter khusus yang sudah melayani pelayanan kesehatan, yaitu dr. Maria G. Novia, D.A.R. Delain dokter, Rumah Tenjo Laut juga memiliki 2 perawat medis, yaitu Andri Nanlohi, S.Kep., dan Tri Eka Martiana. Fasilitas yang lengkap dengan ditunjang pelayanan yang baik, tentu akan memberikan perlindungan kesehatan bagi anak yang sedang menjalani proses rehabiitasi di Rumah Tenjo Laut.

Kebutuhan mental anak juga telah terjawab dengan disediakannya bagian konseling, dengan pelayanan dari para konselor yang sudah berpengalaman. Selain itu, kebutuhan spiritual anak juga telah terpenuhi dengan adanya fasilitas tempat ibadah yang telah disediakan di Rumah Tenjo Laut.

Pelaksanaan  Pasal 11 UU Perlindungan Anak yang mengatakan bahwa, “Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri”, juga sudah dalam taraf yang sesuai. Setiap beberapa minggu sekali, sesuai kesepakatan bersama, Rumah Tenjo Laut selalu rutin menggelar acara “Outing”, yakni acara main ke luar. Posisi Rumah Tenjo Laut yang berada di kaki Gunung Ciremai tentu sangat strategis membentuk pola main anak. Selain itu, gedung Rumah Tenjo Laut yang luas tentu akan memberikan keleluasaan bagi anak untuk bermain diluar program rehabilitasi.

Adapun untuk pelaksanaan perlindungan hak anak menurut Pasal 13 dan Pasal 16, penyusun melihat sudah sesuai. Dalam pelaksanaan yang terjadi, belum pernah ada suatu kasus anak yang diperlakukan secara diskriminatif, eksploitatif (baik ekonomi maupun seksual), penelantaran oleh pihak Rumah Tenjo Laut, penganiayaan, penyiksaan, dan lain sebagainya. Semuanya berjalan dengan perlindungan hak anak yang penuh atas Pasal 13 dan Pasal 16.

 

  • Pasal Perlindungan Anak yang Tidak Tercapai

Terlepas dari kualitas fasilitas di Rumah Tenjo Laut yang terlihat lengkap, namun khusus dalam masalah perlindungan anak, beberapa poin tidak terlaksana dengan baik. Setidaknya ada dua hal yang penyusun soroti, ada dua pasal yang tidak tercapai dalam proses perlindungan anak di rehabilitasi narkotika Rumah Tenjo Laut.

Pasal pertama yang penyusun singgung disini adalah Pasal 17 yang berbunyi, “Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa”. Pasal ini bukan hanya sebatas pasal retorika semata, namun juga dipertegas dengan beberapa argumen.

Pelaksanaan rehabilitasi narkotika terhadap anak harus dipisahkan dari pelaksanaan rehabilitasi narkotika terhadap orang dewasa. Hal ini untuk memastikan perlindungan hak-hak anak yang tentunya berbeda dengan orang dewasa. Hak-hak anak harus tetap terjamin bahkan dalam posisi anak sebagai korban yang sedang di rehabilitasi. Penegasan ini sudah disinggung sebelumnya, bahwa dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan bahwa setiap anak, baik yang merupakan Anak Korban dan/atau Anak Saksi berhak atas semua perlindungan dan hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Adapun undang-undang yang mengatur terhadap hak-hak anak adalah Undang-Undang Perlindungan Anak. Sehingga, seluruh hak-hak dalam UU Perlindungan Anak masih tetap melekat terhadap anak yang berada dalam proses rehabilitasi.

Analisis penyusun ini juga dikuatkan oleh pernyataan Komisioner KPAI Bidang Kesehatan dan NAPZA ,Titik Haryati. Titik Haryati menegaskan bahwa pelaksanaan rehabilitasi anak harus dilakukan secara terpadu, artinya pelaksanaan tersebut harus terpisah dari orang dewasa.[171] Poin penting dalam rehabilitasi terpadu anak yang dimaksud ini adalah mengutamakan pemenuhan kebutuhan dasar pendidikan dan kesehatan sebagai faktor penting tumbuh kembang anak, serta pendekatan spiritual sebagai strategi memulihkan anak yang terpapar narkotika.

Titik Haryati juga menyoroti pelaksanaan hak anak dalam proses rehabilitasi yang mencampur-aduk antara anak dan orang dewasa. Rehabilitasi seperti itu tidak baik bagi perkembangan anak. Hal ini karena dalam pelaksanaan rehabilitasi yang mencampur anak dan orang dewasa, dalam pemenuhan hak anak, seperti pendidikan dan kesehatan, sering terabaikan.

Senada dengan pernyataan Komisioner KPAI, Suryo Atmanto yang merupakan Ketua Nawa Cita Institute, mengatakan bahwa anak yang menyalahgunakan narkoba adalah anak yang sakit secara jasmani dan rohani, sehingga penanganannya yang tepat melalui rehabilitasi terpadu (terpisah dari orang dewasa). Selain itu, penegakan hukum yang tepat adalah melalui keadilan restoratif. Dalam keadilan restoratif, anak yang menjadi pelaku dan korban, sama-sama diperlakukan sebagai korban kejahatan narkotika. Oleh sebab itu, solusi atas masalah ini adalah dengan merehabilitasi anak.

Hal ini juga ditegaskan oleh Bapak Asep selaku Ketua Seksi Rehabilitasi BNNK Kuningan, bahwa pelaksanaan rehabilitasi terhadap anak seharusnya memang harus terpisah dari orang dewasa. Pemenuhan hak anak dalam proses rehabilitasi narkotika campuran (maksudnya campuran pasien anak dan dewasa) sering kali terabaikan.[172] Pernyataan ini juga dipertegas oleh Bapak Dadan Purqon yang merupakan Bagian Administrasi Keuangan dan merangkap jabatan sebagai Konselor Sosial di Yayasan Rumah Tenjo Laut, bahwa idealnya pelaksanaan rehabilitasi anak harus terpisah dari pelaksanaan rehabilitasi orang dewasa. Karena menurut Bapak Dadan, beberapa hak anak memang memiliki kekhususan tersendiri, berbeda dengan hak orang dewasa.[173]

Namun dalam realita pelaksanaannya di Rumah Tenjo Laut, kegiatan dan proses rehabilitasi narkotika terhadap anak digabung dengan orang dewasa. Tidak ada suatu panduan khusus yang membedakan perlakuan terhadap anak dan orang dewasa. Sehingga sering terjadi mis-komunikasi jika dilaksanakan program-program gabungan.[174] Klien anak sering terabaikan karena kurang mampu mengikuti proses tersebut.

Sementara Pasal kedua yang tidak terlaksana dan tidak menjamin perlindungan anak adalah Pasal 9 yang mengatakan dengan jelas bahwa, “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”. Pelaksanaan pendidikan terhadap klien anak di Rumah Tenjo Laut terlihat tidak terlaksana sama sekali.

Idealnya, tempat rehabilitasi—apalagi yang sudah resmi bagian dari pengelolaan BNN, menyediakan suatu ruangan pendidikan khusus bagi anak, agar anak dapat mengikuti pelajaran yang sudah menjadi hak-nya. Kenyataan yang ada, anak tidak mendapatkan itu, sehingga pendidikan anak terhenti selama mengikuti proses rehabilitasi.

Alasan yang digunakan oleh pihak Rumah Tenjo Laut, menanggapi Pasal 9 dan Pasal 17 adalah sama, yakni sedikitnya klien dari kalangan anak-anak. Jumlah yang sedikit ini tidak memungkinkan untuk melakukan proses pendidikan dengan disertai guru resmi dan suatu bangunan khusus sekolah (atau setidaknya ruangan).[175] Alasan ini juga diperkuat dengan pernyataan Ketua Seksi Rehabilitasi BNNK Kuningan, bahwa dalam setiap kurun waktu pelaksanaan rehabilitasi, jumlah klien atau pasien anak selalu berada di bawah 10 orang, sehingga pelaksanaan pendidikan yang terpadu sulit tercapai.[176]

Jumlah klien anak di Rumah Tenjo Laut selama tahun 2016 memang sebanyak 11 anak, namun setiap anak mengikuti rehabilitasi di waktu yang berbeda. Enam anak masuk menjadi klien di Rumah Tenjo Laut pada bulan April, sementara dua lainnya masuk pada bulan Mei, dua lainnya lagi pada bulan Juli, dan satu klien masuk pada bulan Agustus.  Sehingga jika kita lihat, jumlah pasien anak dalam pelaksanaan rehabilitasi di Rumah Tenjo Laut tidak pernah banyak, hanya berkisar pada lima atau enam anak saja.

Dari uraian diatas, dapat dijelaskan bahwa pelaksanaan proses rehabilitasi di Rumah Tenjo Laut memang berjalan dengan sangat baik, hal ini tidak lain karena program yang diberikan adalah rawat inap. Namun dalam pelaksanaan perlindungan anak, beberapa hal sering terbaikan, dalam masalah ini yakni pemisahan klien anak dengan non-anak, serta pelayanan proses pendidikan terhadap anak.

 

  • Perlindungan Hak Anak di Yayasan Cipta Wening

Jumlah klien atau pasien di Yayasan Cipta Wening ternyata lebih banyak daripada jumlah klien di Rumah Tenjo Laut. Total seluruh  klien di tahun 2016 adalah 34 orang. Jumlah ini mengalahkan jumlah klien di Rumah Tenjo Laut yang hanya melayani 25 orang. Namun begitu, ada satu hal yang harus digaris bawahi dari pelaksanaan rehabiitasi di Yayasan Cipta Wening, yakni pelaksanaanya menggunakan metode rawat jalan. Hingga penyusun melakukan penelitian pada bulan November 2016, Yayasan Cipta Wening belum memiliki ruangan khusus untuk klien rawat inap.

Pelaksanaan yang menggunakan metode rawat jalan ini tentu akan memiliki konsekuensi hasil yang berbeda dengan pelaksanaan menggunakan rawat inap. Pada tahap inilah penyusun tidak dapat membandingkan pelayanan Yayasan Rumah Tenjo Laut dan Yayasan Cipta Wening secara head to head, karena metode yang digunakan berbeda. Antara satu dengan yang lainnya memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing.

Dari total keseluruhan 34 klien yang ditangani Yayasan Cipta Wening selama tahun 2016, hanya 4 klien yang masuk kategori anak. Dari keempat anak tersebut, satu diantaranya berumur 16 tahun, dan sisanya yang tiga anak berumur 17 tahun. Keempatnya berjenis kelamin laki-laki.

Program yang ditawarkan oleh Yayasan Cipta Wening juga memiliki perbedaan yang sangat kontras dengan program resmi yang dilaksanakan oleh Yayasan Rumah Tenjo Laut. Sudah penyusun singgung sebelumnya, bahwa Yayasan Cipta Wening memang tidak menggunakan panduan yang dikehendaki BNN, sehingga seluruh programnya merupakan program mandiri yang dibuat sendiri oleh yayasan.

Berikut program-program yang ditawarkan oleh Yayasan Cipta Wening, yaitu:

  1. Pengobatan Holistik Modern;
  2. Lembaga Rehabilitasi Komponen Masyarakat;
  3. Layanan Pasca Rehabilitasi & After Care;
  4. Layanan Konseling Adiksi, Konseling Remaja, Konseling Keluarga dan Konseling Sosial;
  5. Pelatihan Entrerpreneur;
  6. Pelatihan Seni Pemberdayaan Diri;
  7. Pelatihan Ilusioner & Seni Metafisika;
  8. Pelatihan Budidaya & Pengolahan Tanaman Obat;
  9. Pelatihan Budidaya Ikan Air Tawar;
  10. Pelatihan Tabulampot dan Sayuran Organik;
  11. Pelatihan Pengobatan Holistik Modern;
  12. Pelatihan Meditasi;
  13. Koleksi Tanaman Obat;
  14. Majelis Dzikir;
  15. Sanggar Meditasi;
  16. Sanggar Dongeng;
  17. Even Organizer;
  18. Sanggar Baca “Ngartos Sadaya”.

Selain hal diatas, Yayasan Cipta Wening juga selalu melibatkan klien atau pasien untuk turut aktif dalam beberapa pelayanan dan kelompok, yakni:

  1. Layanan Bantuan Hukum;
  2. Layanan Advokasi Hukum & Sosial;
  3. Kelompok Usaha Bersama “Cipta Aghniya Sejahtera”;
  4. Kelompok Usaha Tani “Cipta Muda Mandiri”;
  5. Waroeng Gedor .

Dalam hal pelaksanaan program, penyusun melihat kegiatan-kegiatan yang tertuang dalam program Yayasan Cipta Wening sangat berkaitan erat dengan nilai-nnilai spiritual. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan selalu berlandaskan pada konsep-konsep agama. Hal ini bisa dilihat dari kegiatan-kegiatan majelis dzikir, seperti pengajian, maulidan, dan lain-lain. Bahkan, dalam beberapa kali pertemuan, Yayasan Cipta Wening selalu menyediakan madu untuk terapi kesembuhan. Hal ini dianggap merupakan penerapan dari ajaran agama.[177]

Pelaksanaan program-program yang ditawarkan oleh Yayasan Cipta Wening, memang disadari betul tidak memenuhi standar yang dikehendaki BNN.  Namun Kang Iyan (panggilan akrab Bapak Mukdiana) selaku Ketua Yayasan mengatakan bahwa program-program tersebut sudah sejak lama ia kembangkan, dari sekitar tahun 90-an. Kang Iyan yang juga merupakan lulusan IAIN Sunan Kalijaga tersebut juga mengklaim bahwa program-programnya sering memberikan efek positif bagi penyalah guna narkotika.[178]

Dalam pelaksanaan rehabilitasi dengan konsep rawat jalan, BNN memberikan suatu metode standar, dimana klien hanya dilakukan pertemuan 8 kali selama kurun waktu 3 bulan. Artinya, klien hanya berkonsultasi sebanyak satu kali per satu minggu setengah. Bagi Kang Iyan, standar semacam ini dirasa jauh dari harapan. Pelaksanaan rehabilitasi dengan hanya mengandalkan 8 kali pertemuan, tentu tidak akan memberikan implikasi besar terhadap proses rehabilitasi.[179]

Sementara itu, Kang Iyan sendiri melalui Yayasan Cipta Wening memberikan pelayanan bagi klien nya berupa dua kali pertemuan setiap minggu. Sehingga dalam kurun waktu 3 bulan, klien dapat mengikuti 24 kali pertemuan. Pertemuan yang dilakukan dengan klien merupakan hasil kesepakatan dengan klien sendiri. Jika klien hanya bisa di hari A dan hari B, maka Yayasan Cipta Wening mengikuti jadwal yang sesuai dengan klien tersebut. Walau begitu, Kang Iyan mengaku pertemuan yang hanya 24 kali itu juga dianggap belum maksimal, karena seharusnya proses rehabilitasi terbaik adalah menggunakan konsep rawat inap. Hanya saja, kurangnya fasilitas di Yayasan Cipta Wening yang tidak menyediakan ruang khusus untuk rawat inap, menjadi kelemahan tersendiri dari Yayasan Cipta Wening yang dipimpin Kang Iyan.[180]

  • Pasal Perlindungan Anak yang Tercapai

Dalam pelaksanaan Pasal 11 UU Perlindungan Anak tentang hak bergaul, berekreasi, dan berkreasi, Yayasan Cipta Wening memberikan suatu keleluasaan yang sangat besar. Hak anak benar-benar terlindungi melalui program-programnya yang tidak kaku. Selain itu, kondisi pelayanan yang hanya menyediakan rawat jalan, menambah jelas perlindungan anak di Pasal 11 ini dapat terkontrol dengan baik, karena itu artinya anak tidak dikekang di tempat rehabilitasi. Anak bisa dengan leluasa bermain tanpa harus diatur jadwalnya.

Perlakuan anak yang harus terbebas dari diskriminasi, eksploitasi (baik ekonomi maupun seksual), penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan,[181] dapat ditanggapi dengan baik oleh Yayasan Cipta Wening. Selama belasan tahun Yayasan Cipta Wening membuka proses rehabilitasi narkotika dengan menggunakan program-program andalannya, tidak pernah satu kali pun ada masalah perlakuan yang mengancam anak sesuai dengan himbauan dalam Pasal 13 dan Pasal 16 UU Perlindungan Anak. Dengan konsep rawat jalan pula, hal itu tentu bisa dicegah, karena tanggung jawab terhadap anak lebih banyak di tangan orang tua. Sehingga, perlindungan anak benar-benar terjaga dengan baik.

Selain itu, pelaksanaan rehabilitasi yang idelanya harus dipisahkan dari orang dewasa juga bisa disiasati dengan konsep rawat jalan. Karena pelaksanaan rehabilitasi di Yayasan Cipta Wening menggunakan metode konseling mandiri, artinya setiap klien atau pasien melakukan konsultasi secara pribadi, sehingga anak terpisah dari kegiatan orang dewasa. Selain itu, dalam pelaksanaan-pelaksanaan kegiatan gabungan seperti pelatihan seni, anak-anak sering dipisahkan dari orang dewasa.

Perlu juga dipahami disini bahwa Yayasan Cipta Wening tidak saja melayani klien atau pasien dengan masalah penyalahgunaan narkotika, namun juga menerima klien atau pasien dari permasalahan lain, seperti kenakalan remaja, anak-anak gangster, anak jalanan, dan lain-lain. Sehingga sebenarnya, klien anak di Yayasan Cipta Wening sangat banyak jumlahnya, hanya saja khusus dalam masalah rehabilitasi narkotika selama tahun 2016 hanya melayani 4 anak.

Dalam beberapa kegiatan kelompok yang dimaksud tadi, seperti pelatihan seni, anak-anak selalu dipisah dengan kelompok orang dewasa. Anak pasien rehabilitasi narkotika ini dicampur dengan anak yang memiliki masalah lain. Sehingga pemisahan ini menjadi hal yang diperhatikan di Yayasan Cipta Wening.

Perlindungan anak dari pelaksanaan hak pendidikan juga dapat terlaksana dengan beberapa program Yayasan Cipta Wening yang memprioritaskan klien dan pasien untuk gemar membaca. Dengan adanya program Sanggar Baca, Yayasan Cipta Wening mengharapkan seluruh klien dan pasiennya bisa belajar banyak dari buku-buku yang disediakan di yayasan. Selain itu, adanya program lain seperti pelatihan pengobatan, pelatihan budidaya, pelatihan seni, dan pelatihan lain, dapat menunjang segi pendidikan non-formal bagi klien.

Sementara untuk pendidikan formal, dengan sifatnya yang rawat jalan, tentu tidak menjadi persoalan serius. Dari empat pasien yang ada, dua diantaranya sudah kembali masuk sekolah. Pelaksanaan rawat jalan tentu memberikan keleluasaan bagi anak untuk tetap melaksanakan kewajiban dan haknya mendapatkan pendidikan. Adapun dua pasien lainnya belum memutuskan untuk sekolah, setelah sebelumnya di Drop Out (dikeluarkan) dari sekolahnya yang lama. Namun permasalahan itu tentu menjadi tanggung jawab orang tuanya, bukan lagi merupakan tanggung jawab yayasan sebagai penyedia rehabilitasi.

  • Pasal Perlindungan Anak yang Tidak Tercapai

Kurangnya fasilitas di Yayasan Cipta Wening memberikan beberapa implikasi terhadap pelaksanaan perlindungan hak terhadap anak. Hal ini dapat dilihat dengan tuntutan UU Perlindungan Anak pada Pasal 8. Disebutkan bahwa, “Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial”.

Pelaksanaan rehabilitasi yang tidak dilengkapi dengan pelayanan kesehatan terpadu seperti di Yayasan Rumah Tenjo Laut, menjadi kelemahan tersendiri dari Yayasan Cipta Wening. Kang Iyan sendiri mengakui, pihaknya belum sanggup melaksanakan pelayanan kesehatan berupa pengadaan fasilitas medis dan dokter. Sehingga hak anak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di tempat rehabilitasi tidak tercapai dengan baik.[182]

Selain itu, pelaksanaan rehabilitasi yang sifatnya rawat jalan juga mempengaruhi nilai kesuksesan rehabilitasi itu sendiri. Bagi Kang Iyan, pelaksanaan rehabilitasi dengan konsep rawat jalan jelas tidak efektif, karena dengan begitu, yayasan tidak bisa melihat perkembangan klien atau pasien secara terkontrol.[183]

Maka dari itu, pelaksanaan rehabilitasi di Yayasan Cipta Wening, walau telah mengedepankan beberapa perlindungan hak bagi anak, namun juga memiliki kelemahan terhadap perlindungan hak kesehatan bagi anak. Disamping itu, konsep rawat jalan juga memberikan implikasi tidak baik terhadap proses rehabilitasi. Capain-capaian yang hendak dituju dari hasil rehabilitasi seringkali tidak tercapai karena yayasan tidak bisa mengontrol perkembangan proses rehabilitasi terhadap klien atau pasien.

 

D. Tanggung Jawab BNNK Kuningan dalam Melindungi Hak Anak

  • Upaya Perlindungan Hak Anak oleh BNNK Kuningan

Pada prinsipnya, pelaksanaan rehabilitasi di dua yayasan—maksudnya Yayasan Rumah Tenjo Laut dan Yayasan Cipta Wening, memiliki peran dan merupakan tanggung jawab BNNK Kuningan. Sehingga, setiap kekurangan dalam pelaksaaan rehabilitasi dilapangan, menjadi nilai perbaikan bagi BNNK Kuningan.

Upaya yang dimaksud disini erat kaitannya dengan tanggung jawab BNNK Kuningan dalam mengawasi pelaksanaan rehabilitasi dengan mengedepankan perlindungan hak terhadap anak yang penyusun teliti dari rumusan masalah di awal tulisan ini. Bagi penyusun, tanggung jawab BNNK Kuningan dalam mengawasi pelaksanaan rehabilitasi yang mengedepankan perlindungan hak terhadap anak harus dilihat secara menyeluruh dari upaya yang dilakukan BNNK Kuningan.

Melihat uraian sebelumnya, bahwa pelaksanaan rehabilitasi di dua yayasan dibawah pengawasan BNNK Kuningan, masih ada beberapa hak anak yang tidak terlindungi. Jika digabungkan, maka hak anak terhadap pendidikan, pelayanan kesehatan, dan hak pemisahan perlakuan dari orang dewasa, menjadi poin-poin yang tidak terpenuhi selama proses rehabilitasi dilakukan terhadap anak.

Anak memang sudah seharusnya memiliki perlakuan yang berbeda dengan orang dewasa. Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan bahwa setiap anak, baik yang merupakan Anak Korban dan/atau Anak Saksi berhak atas semua perlindungan dan hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan.[184] Dengan kata lain, seluruh hak yang diatur di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak berlaku pula untuk setiap anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, dalam hal ini anak yang sedang di rehabilitasi.

Disini jelas diungkapkan, bahwa anak yang sedang mengalami masa rehabilitasi, seluruh hak-nya yang tertuang dalam UU Perlindungan Anak masih melekat terhadap dirinya, sama seperti anak pada umumnya. Sehingga, perlakuan berbeda dari orang dewasa mutlak dilakukan. Pelayanan pendidikan dan kesehatan pun harus diperhatikan bersama oleh layanan rehabilitasi untuk terus melindungi hak-hak anak.

Idealnya, pelaksanaan rehabilitasi narkotika terhadap anak harus dipisahkan dari pelaksanaan rehabilitasi narkotika terhadap orang dewasa. Hal ini untuk memastikan perlindungan hak-hak anak yang tentunya berbeda dengan orang dewasa. Hak-hak anak harus tetap terjamin bahkan dalam posisi anak sebagai korban yang sedang di rehabilitasi. Bapak Asep sendiri selaku Kepala Seksi Rehabilitasi BNNK Kuningan mengakui, pelaksanaan rehabilitasi anak seharusnya memang terpisah dari pelaksanaan rehabilitasi orang dewasa.

Namun pada kenyataannya, pelaksanaan rehabilitasi anak tidak memiliki mekanisme khusus yang diatur oleh BNNK Kuningan, sehingga anak dicampur dengan orang dewasa dalam kegiatan-kegiatan rehabilitasi. Hal logis dari ini, anak sering tidak bisa mengikuti proses rehabilitasi dengan baik, karena ketidak-mampuan anak menyesuaikan diri dengan orang dewasa.[185]

Upaya-upaya yang dilakukan oleh BNNK Kuningan pun nyaris tidak ada. BNNK Kuningan melalui Bapak Asep mengakui kelemahan ini—kurangnya perhatian terhadap klien atau pasien anak, namun juga pihak BNNK Kuningan belum berani mengambil upaya dalam pemenuhan hak-hak anak, khususnya dalam bidang pendidikan. Pemenuhan hak pendidikan anak terhadap klien atau pasien anak di tempat rehabilitasi tentu membutuhkan biaya tersendiri, karena harus membangun beberapa ruangan khusus dan menyediakan guru pendamping, sementara anggaran BNNK Kuningan dianggap belum cukup untuk melakukan itu.[186]

Selama ini, BNNK Kuningan hanya melakukan kontrol, pengawasan, pemberian dana fasilitas, arahan, dan bantuan sosialisasi narkotika dalam pelaksanaan rehabilitasi di dua yayasan. Dalam memandang hak anak, BNNK Kuningan belum memiliki mekanisme konkret yang bisa dilakukan, sehingga kelemahan yayasan dalam pelaksanaan perlindungan hak terhadap anak tidak disikapi dengan serius oleh BNNK Kuningan.

 

  • Kendala dalam Pelaksanaan Hak Anak dalam Proses Rehabilitasi

Penyusun dapat menganalisis bahwa BNNK Kuningan beserta pihak yayasan rehabilitasi, belum memiliki upaya untuk mengedepankan pemenuhan hak terhadap klien atau pasien anak sebagaimana diamanatkan oleh UU Perlindungan Anak. Hal ini dikarenakan beberapa faktor, yaitu:

  1. Kurangnya kesadaran, baik dari BNNK Kuningan maupun yayasan rehabilitasi (Yayasan Rumah Tenjo Laut dan Yayasan Cipta Wening) dalam memahami pentingnya perlindungan hak anak dalam proses rehabilitasi narkotika.
  2. Kurangnya beberapa fasilitas yang tidak dimiliki yayasan.
  3. Kurangnya anggaran dana dalam pemenuhan fasilitas untuk menunjang pemenuhan hak anak yang dimaksud UU Perlindungan Anak.
  4. BNNK Kuningan dan pihak yayasan masih memandang bahwa klien atau pasien anak masih dalam taraf jumlah yang sedikit, sehingga pemenuhan hak-nya dianggap belum terlalu mendesak.

Kendala yang ada ini sudah dipahami benar oleh pihak BNNK Kuningan,[187] namun hingga penyusun melakukan penelitian pada November 2016, belum ada upaya khusus untuk memperbaikinya. Tinjauan paling konkret dari permasalahan ini ada pada poin satu, dimana pihak-pihak yang terlibat dalam proses rehabilitasi, baik BNNK Kuningan maupun pihak yayasan, belum memiliki kesadaran dan kepedulian dalam pemenuhan hak-hak anak, khususnya hak pendidikan, hak mendapatkan pelayanan kesehatan, dan hak untuk diperlakukan berbeda dari orang dewasa, sesuai dengan amanat UU Perlindungan Anak.

 

  • Langkah Strategis yang Dibutuhkan BNNK Kuningan

Permasalahan diatas yang belum mendapatkan perhatian serius, tentu harus disikapi dengan sebuah solusi yang tepat. Solusi yang akan penyusun sampaikan di akhir bab 4 ini akan merujuk pada hasil positif yang dicapai BNN tingkat nasional.

Permasalahan terhadap perlindungan hak anak dalam proses rehabilitasi narkotika ini sebenarnya bukan hanya masalah yang dialami di BNNK Kuningan, namun hampir di banyak BNN Kabupaten/Kota di tempat yang lain. Kendala yang dihadapi pun rata-rata sama, yakni kurangnya anggaran dana, sedikitnya klien atau pasien anak, serta yang paling utama, belum adanya kesadaran kolektif di internal BNN Kabupaten/Kota dalam memandang pentingnya pemenuhan hak terhadap klien atau pasien anak yang sedang menjalani proses rehabilitasi.

Di tingkat nasional sendiri, upaya-upaya untuk memberikan ruang khusus terhadap klien atau pasien anak sudah dilaksanakan dengan cukup baik. Hal ini diawali dengan banyaknya kerja sama antara BNN (Badan Narkotika Nasional) dengan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). Kerja sama yang dilakukan merujuk pada pentingnya pemenuhan hak anak dan upaya antisipasi penyalahgunaan narkotika di kalangan anak.

BNN dan KPAI tingkat nasional berhasil membentuk tim khusus yang dibuat untuk melakukan penanganan rehabilitasi dikalangan anak.[188] Tim khusus ini dibentuk untuk memastikan hak-hak terhadap anak yang diamanatkan UU Perlindungan Anak, dapat terjaga dan terlindungi dengan baik. Selain itu pula, BNN dan KPAI rutin menggelar seminar dan penyuluhan terhadap anak dalam upaya pencegahan anak dari penyalahgunaan narkotika.[189]

Lebih jauh dari itu, KPAI dengan menggandeng BNN berhasil membentuk tempat rehabilitasi terpadu bagi anak. Tempat rehabilitasi ini sejatinya menjadi cerminan pelaksanaan perlindungan hak anak yang dijamin dalam UU Perlindungan Anak. Bahkan di kasus terbaru, BNN dan KPAI bekerjasama untuk melakukan rehabilitasi terpadu bagi anak-anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh Gatot Brajamusti.[190]

Dari keberhasilan kerja sama antara BNN dan KPAI tingkat nasional, seharusnya juga menjadi contoh positif bagi pelaksanaan rehabilitasi di tingkat daerah. Melihat kenyataan tersebut diatas, bagi penyusun, langkah paling strategis bagi BNNK Kuningan dalam menghadapi permasalahan tidak terjaminnya hak-hak anak dalam proses rehabilitasi, adalah dengan menggandeng KPAI Kabupaten Kuningan yang berkantor di Jalan Siliwangi untuk membentuk suatu tempat rehabilitasi terpadu khusus anak.

Pendirian tempat rehabilitasi terpadu ini tidak lain merupakan kebutuhan anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika. Dalam data awal yang penyusun sampaikan di awal bab 4 ini, bahwa setiap tahun penyalah guna narkotika di kalangan anak selalu muncul (walau dalam jumlah yang kecil), sehingga pendirian rehabilitasi narkotika khusus anak perlu dibuat untuk melindungi hak-hak anak yang di kehendaki UU Perlindungan Anak.

Pelaksanaan ini bisa menggandeng pihak ketiga, seperti yayasan maupun klinik, atau bisa dikelola bersama antara BNNK Kuningan dan KPAI Kabupaten Kuningan. Bagi penyusun, pemenuhan hak-hak anak dalam proses rehabilitasi yang masih mencampurkan antara klien atau pasien anak dan non-anak, pemenuhan hak-hak terhadap anak seringkali terabaikan.

 

~~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~~

 

_______________

[150] Pengertian Data Statistik, http://artikel-az.com, akses 4 Februari 2017, pukul 16:36.

[151] Definisi dan Manfaat Statistik, http://www.en.globalstatistik.com, akses 4 Februari 2017, pukul 16:40.

[152] Data diambil langsung dari Data Base Polres Kabupaten Kuningan. Data lengkap akan penyusun lampirkan dibagian akhir skripsi.

[153] Lihat Pasal 90 poin (a) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

[154] Yang dimaksud dengan “lembaga” dalam ketentuan ini adalah lembaga, baik pemerintah  maupun  swasta,  di  bidang kesejahteraan  sosial  Anak,  antara  lain  panti  asuhan,  dan panti rehabilitasi.

[155] Lihat Pasal 93 poin (e) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

[156] Lihat Pasal 12 Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 09 Tahun 2015 tentang Pedoman Rehabilitasi Sosial Anak.

[157] Lihat Pasal 89 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

[158] Lihat selengkapnya dalam UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

[159] Poin ini menjadi landasan pemisahan rehabilitasi anak dan non-anak.

[160] KPAI Bentuk Rehabilitasi Narkotika Untuk Anak, http://www.kpai.go.id, akses pada tanggal 8 Februari 2017, pukul 12:29.

[161] Healing berarti penyembuhan.

[162] Pernyataan ini disampaikan oleh Bapak Asep selaku Kepala Seksi Rehabilitasi BNNK Kuningan, pada tanggal 4 November 2016 di gedung BNNK Kuningan.

[163] Pernyataan ini disampaikan oleh Bapak Dadan selaku Konselor Sosial di Yayasan Rumah Tenjo Laut, pada tanggal 7 November 2016 di Yayasan Rumah Tenjo Laut.

[164] Maksudnya adalah penyaringan klien, apakah layak diterima atau tidak.

[165] Maksudnya adalah pelaksanaan komunitas terapi (non-individu).

[166] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, detoksifikasi adalah penawaran atau penetralan toksin di dalam tubuh.

[167] Maksudnya adalah tahap pemilihan sebagai prioritas yang harus didahulukan.

[168] Maksudnya adalah grup sebanding.

[169] Maksudnya adalah pelaksanaan bimbingan dengan mendatangkan keluarga sebagai bahan dukungan bagi pelaksanaan rehabilitasi.

[170] Pernyataan ini disampaikan oleh Bapak Dadan selaku Konselor Sosial Yayasan Rumah Tenjo Laut, pada tanggal 7 November 2016 di Yayasan Rumah Tenjo Laut.

[171] KPAI Bentuk Rehabilitasi Narkotika Untuk Anak, http://www.kpai.go.id, akses pada tanggal 8 Februari 2017, pukul 12:33.

[172] Pernyataan ini disampaikan oleh Bapak Asep selaku Kepala Seksi Rehabilitasi BNNK Kuningan, pada tanggal 4 November 2016 di gedung BNNK Kuningan.

[173] Pernyataan ini disampaikan oleh Bapak Dadan selaku Konselor Sosial Yayasan Rumah Tenjo Laut, pada tanggal 7 November 2016 di Yayasan Rumah Tenjo Laut.

[174] Ibid.

[175] Ibid.

[176] Pernyataan ini disampaikan oleh Bapak Asep selaku Kepala Seksi Rehabilitasi BNNK Kuningan, pada tanggal 4 November 2016 di gedung BNNK Kuningan.

[177] Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri RA, bahwa seseorang datang kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan mengadu, “Wahai Rasulullah, saudaraku terkena diare”. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian bersabda, “Minumkanlah madu kepadanya”. Orang itupun kemudian meminumkan madu kepada saudaranya. Akan tetapi, ia kemudian datang lagi kepada Nabi dan mengadu untuk kedua kalinya, “wahai Rasulullah, aku sudah meminumkan madu kepadanya, tetapi diarenya justru semakin parah”. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun bersabda lagi, “Pergilah dan minumkanlah madu kepadanya”. Orang tersebut pun lantas meminumkan madu lagi kepada saudaranya itu. Ia pun kembali datang mengadu, “Wahai Rasulullah, minum madu justru semakin memperparah diarenya”. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian bersabda, “Maha benar Allah dan telah berdusta perut saudaramu. Pergilah dan minumkanlah madu kepadanya”. Orang tersebut lantas pergi, dan meminumkan madu kepada saudaranya. dan tak lama kemudian, saudaranya itu pun sembuh.

[178] Pernyataan ini disampaikan oleh Bapak Mukdiana selaku Ketua Yayasan Cipta Wening, pada tanggal 7 November 2016 di Yayasan Cipta Wening.

[179] Ibid.

[180] Ibid.

[181] Sebagaimana ditegasakan dalam UU Perlindungan Anak Pasal 13 dan Pasal 16.

[182] Pernyataan ini disampaikan oleh Bapak Mukdiana selaku Ketua Yayasan Cipta Wening, pada tanggal 7 November 2016 di Yayasan Cipta Wening.

[183] Ibid.

[184] Lihat Pasal 89 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

[185] Pernyataan ini disampaikan oleh Bapak Dadan selaku Konselor Sosial Yayasan Rumah Tenjo Laut, pada tanggal 7 November 2016 di Yayasan Rumah Tenjo Laut.

[186] Pernyataan ini disampaikan oleh Bapak Asep selaku Kepala Seksi Rehabilitasi BNNK Kuningan, pada tanggal 4 November 2016 di gedung BNNK Kuningan.

[187] Ibid.

[188] BNN dan KPAI Bentuk Tim Khusus Rehabilitasi Anak, http://www.gatra.com, akses pada tanggal 8 Februari 2017, pukul 14:46.

[189] BNN dan KPAI Gelar Seminar Bahaya Narkoba, http://www.dakta.com, akses pada tanggal 8 Februari 2017, pukul 14:49.

[190] KPAI dan BNN Rehabilitasi Anak-anak yang Diduga Jadi Korban Gatot Brajamusti, http://www.kpai.go.id/berita, akses pada tanggal 8 Februari 2017, pukul 14:53.