Pengutipan = (Idik Saeful Bahri, 2021, Konsep Dasar Ilmu Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia, Kuningan: Bundaran Hukum, hlm. 6-19)
Sejarah Ilmu Hukum
Jika merujuk pada sejarah, tidak ada satupun catatan yang sangat valid dan kuat mengenai awal mula dari kajian hukum. Bahkan menurut penulis, hukum telah ada sejak manusia menempati planet ini. Dengan adanya interaksi antar manusia, maka lahirlah aturan diantara mereka, sesederhana apapun bentuknya.
Namun berdasarkan pendapat Peter Mahmud Marzuki, hukum sebagai sebuah ilmu tidak dapat dipisahkan dari tradisi peradaban Barat. Berbeda dengan peradaban Timur yang tidak menempatkan hukum sebagai faktor sentral, dalam peradaban Barat hukum dipandang sebagai prinsip sentral kehidupan.[1]
Peter Mahmud Marzuki memperkuat argumentasinya dengan beberapa analisis sejarah, misalnya dari peradaban Yunani. Pada tahap yang menentukan sejarah Yunani, negara teritorial merupakan suatu organisasi politik yang sangat penting. Negara dipandang lebih penting dari semua organisasi yang dibuat oleh manusia.[2]
Berbeda dengan Peter Mahmud Marzuki, penulis kurang sependapat dengan pernyataan tersebut. Mengesampingkan peradaban Timur dalam menelusuri sejarah ilmu hukum adalah hal yang agak paradoks jika tolak ukur yang digunakan adalah ketertarikan suatu peradaban dengan suatu konsep negara.
Peradaban Timur seperti Tiongkok, Jepang, Nusantara, dan banyak wilayah lainnya, juga memiliki konsep negara menurut versi yang berkembang saat itu. Untuk menjaga stabilitas suatu negara, dibutuhkan hukum yang kuat dan ditopang dengan pendekatan ilmu. Walau tentu saja, ilmu yang mempelajari hukum saat itu tidak sedemikian rumit seperti sekarang ini. Namun setidaknya, setiap peradaban memiliki kaidah-kaidah ilmu hukum dalam menjaga stabilitas dan kelangsungan negaranya.
Dari uraian tersebut, sulit untuk ditentukan kapan tonggak pertama lahirnya ilmu hukum. Ini akan menjadi perdebatan yang tiada berkesudahan, karena hukum itu sendiri lahir dari masyarakat, dan masyarakat tentu lebih dulu ada sebelum lahirnya suatu peradaban tertentu seperti Yunani, Tiongkok, dan yang lainnya.
Namun jika kita kaji dalam perkembangan selanjutnya, sejarah ilmu hukum mulai menguat sejak era Romawi. Hukum Romawi, yang menjadi acuan hukum Barat, bersumber dari Corpus Iuris Civilis hasil kodifikasi Kaisar Iustinianus. Guarnerius yang menurut sejarah disebut Irnerius telah melakukan studi yang sistematis terhadap hukum Romawi sebagai suatu sarana untuk menghilangkan kebingungan dalam hukum lokal Eropa. Ia mulai mengajar di Universitas Bologna di Italia pada tahun 1087.[3]
Sejak saat itulah dipandang sebagai saat timbulnya studi hukum secara sistematis sebagai suatu pengetahuan. Hal ini disebabkan karena pada saat itu hukum diajarkan sebagai sesuatu yang terpisah dari politik dan agama. Pada saat itu aturan-aturan dan putusan-putusan mengenai sengketa dipelajari dan diterangkan dalam kerangka prinsip-prinsip umum. Para lulusan universitas yang telah mengenyam pendidikan ini kemudian bekerja sebagai konsultan, hakim, advokat, administrator, dan perancang undang-undang. Mereka menerapkan apa yang mereka pelajari untuk membangun dan membuat koherensi norma-norma hukum yang terakumulasi secara massal. Dengan demikian, mereka mengukir sistem hukum baru yang lain dari hukum yang telah ada yang dulu tidak dipisahkan dari kebiasaan, politik, dan agama.[4]
Diawal-awal perkembangan tersebut, yang diajarkan di universitas hanya terbatas pada Corpus Iuris Civilis hasil kodifikasi Kaisar Iustinianus. Seiring perkembangan zaman, kurikulum di Universitas Bologna, Paris, Oxford, dan universitas lainnya di Eropa diperluas bukan hanya mengkaji Corpus Iuris Civilis, namun juga meliputi hukum Kanonik yang ditetapkan oleh Paus dan Dewan Gereja Katolik dan sistem hukum sekuler yang dikembangkan oleh kerajaaan-kerajaan di Eropa yang biasanya dibuat atas bimbingan para yuris lulusan Universitas Bologna. Dalam menganalisis teks-teks Iustinianus, para dosen mengintroduksi masalah-masalah hukum yang aktual dan signifikan saat itu dan menganalisisnya dalam kerangka hukum Romawi dan hukum Kanonik. Metode pengajaran di Fakultas Hukum Universitas Bologna dan universitas lainnya di Dunia Barat pada abad XII dan XIII merupakan suatu metode baru tentang analisis dan sintesis. Metode inilah yang kemudian dikenal sebagai metode ‘skolastik’. Metode ini yang pertama kali dikembangkan pada awal 1100-an berpangkal pada pra-anggapan mengenai otoritas absolut buku-buku tertentu yang dipandang berisi doktrin-doktrin yang lengkap dan terintegrasi. Namun demikian, mereka juga menduga adanya lubang-lubang maupun kontradiksi. Oleh karena itu, mereka membuat argumen-argumen untuk dapat menutupi lubang-lubang itu dan menyelesaikan kontradiksi yang ada. Metode ini disebut dialectica, yaitu mencari titik temu dari dua hal yang bertentangan. Metode demikian sebenarnya pertama kali dikembangkan pada zaman Yunani kuno. Istilah dialectica dalam bahasa latin merupakan adaptasi dari istilah Yunani dialektike yang artinya suatu diskusi dan penalaran melalui dialog sebagai suatu metode investigasi intelektual yang dikembangkan pada masa Socrates, Plato, dan Aristoteles.[5]
- Bangsa Tuna Aksara
Beberapa upaya yang dilakukan oleh bangsa-bangsa primitif untuk menanggulangi tindakan main hakim sendiri adalah:
- Adanya pembalasan secara setimpal, yakni memaksakan suatu tindakan dari korban kepada pelaku dengan kadar yang sama. Misalkan ada orang yang membunuh, maka keluarga korban yang terbunuh diberikan keleluasaan untuk membalas membunuh kepada orang yang membunuh keluarganya.
- Kepala suku atau kepala agama memberikan pengaruh kepada masyarakat untuk hanya memberikan celaan kepada pelanggar peraturan. Ketika ada orang yang melanggar sebuah aturan atau norma, maka orang tersebut akan diproses oleh kepala suku atau kepala agama. Sementara itu, hasrat main hakim sendiri yang masih ada dalam diri masyarakat dituanngkan dengan cemoohan atau gunjingan terhadap pelaku yang melanggar aturan.
- Bangsa-bangsa dahulu mencoba untuk membuat sebuah lembaga khusus yang menangani masalah orang-orang yang melanggar hukum. Fase ini tentu saja menjadi cikal bakal lahirnya lembaga yudikatif.
Selain itu, ada beberapa karakteristik yang khas dari bentuk hukum bangsa-bangsa di zaman pra-aksara, antara lain:
- Hukum yang ada tentu saja hanya didasarkan pada kebiasaan masyarakat yang terjadi secara turun menurun. Bangsa-bangsa di zaman itu belum mengenal tulisan, sehingga hukum yang ada hanya berkiblat pada keputusan para penguasa adat yang mereka jadikan sebagai poros hukum di zaman pra-aksara.
- Tatanan hukum yang ada di zaman pra-aksara memiliki keragaman yang sangat besar, antara satu bangsa dengan bangsa yang lain memiliki perbedaan yang cukup signifikan, bahkan diantara suku-suku kecil pun terjadi perbedaan. Hal ini yang menjadikan pada zaman pra-aksara tidak dikenal universalitas hukum, karena antara satu bangsa dengan bangsa yang lain, antara satu suku dengan suku yang lain, memiliki perbedaan. Bahkan kelompok-kelompok yang mempunyai kebiasaan sendiri, akan berusaha sekuat tenaga untuk menjadikan kebiasaannya sebagai tameng dalam mempertahankan kelompoknya. Tidak jarang pada zaman pra-aksara terjadinya perselisihan atau peperangan antar-suku maupun antar-bangsa hanya didasarkan pada lahirnya gesekan diantara kedua hukum yang berbeda.
- Meskipun antara satu kelompok dengan kelompok lain memiliki banyak perbedaan, tentu ada beberapa poin yang sama dan dijaga diantara setiap kelompok. Namun begitu, persamaan ini hanya berlaku dalam beberapa hal saja, bahkan saking banyaknya perbedaan diantara hukum bangsa-bangsa pra-aksara, mengakibatkan kesulitan bagi manusia di zaman sekarang untuk mengklasifikasikan persamaan hukum diantara bangsa-bangsa pra-aksara. Beberapa hal hukum yang dianggap sama dan menjadi bagian dari setiap ketetapan bangsa-bangsa pra-aksara adalah kesetiakawanan kelompok, tidak adanya hak eigendom (hak milik) atas tanah secara individu, artinya setiap tanah yang ada di lingkungan masyarakat, murni merupakan milik masyarakat secara umum.
- Di dalam tatanana hukum bangsa-bangsa pra-aksara masih menjadikan agama sebagai sumber hukum yang cukup penting. Di zaman itu, tidak ada pembedaan antara aturan agama dengan ketentuan hukum, karena bangsa-bangsa pra-aksara tidak membedakan antara kekuatan natural dengan kekuatan supranatural. Masalah agama ini bahkan terus diturunkan dari zaman dahulu hingga sekarang. Di beberapa negara di dunia, masih menjadikan agama sebagai pusat pengendalian hukum.
Adapun mengenai isi dari hukum bangsa-bangsa pra-aksara dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Hubungan Keluarga
Secara kronologis, hubungan-hubungan antara keluarga adalah hubungan kehidupan manusia yang paling tua. Isi dari hukum bangsa-bangsa pra-aksara pasti memiliki suatu ketentuan yang mengatur hubungan keluarga. Hal termudah dalam memberikan contoh hubungan keluarga adalah terjadinya aturan yang hidup ditengah-tengah masyarakat pra-aksara yang mewajibkan seseorang untuk menikah eksogami (menikah dengan orang yang berbeda keluarga).
Kekuasaan keluarga pada umumnya di selenggarakan oleh seorang laki-laki atau ayah dalam kerangka pergaulan hidup patrilinier, artinya pergaulan hidup bertumpu pada garis keturunan dari jalur ayah kepada anak laki-lakinya. Sementara itu beberapa kelompok menggunakan kerangka pergaulan hidup matrilinier yang kekuasaannya berada pada kakak laki-laki dari ibu. Hal lain lagi yang diatur dalam hubungan keluarga adalah masalah hak waris. Setiap kelompok memiliki pandangan yang berbeda dalam mengatur perkara-perkara waris yang diturunkan dari orang tua kepada anak-anaknya.
b. Hubungan Kelompok
Selain hubungan dalam keluarga, lebih luas bangsa-bangsa pra-aksara juga diperkenalkan dengan hubungan antar kelompok, baik masalah internal kelompok maupun eksternal kelompok. Dalam hal internal kelompok, salah satu contohnya adalah pemilihan sang ketua adat. Pemilihan ini memiliki perbedaan antara satu kelompok dengan kelompok lain, ada yang menggunakan cara-cara duel antara kandidat-kandidat pemimpin, ada juga yang diturunkan berdasarkan garis keturunan layaknya sistem kerajaan pada masa sekarang.
Sementara untuk hubungan eksternal kelompok, biasanya hanya dilakukan pada kelompok-kelompok yang berada disekitar mereka. Diantara beberapa kelompok yang ada, mereka mengadakan sebuah perjanjian tertentu, serta memberikan kejelasan akan batas-batas wilayah antar-kelompok.
c. Hubungan Bangsa
Di beberapa kelompok di zaman pra-aksara, memiliki kesadaran untuk menciptakan kedamaian. Antara satu kelompok dengan kelompok yang lain melakukan kerjasama untuk tidak saling serang dan saling membantu dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk kerjasama inilah yang melahirkan sebuah komunitas besar yang disebut sebagai bangsa. Di zaman pra-aksara, belum ada kewajiban sebuah bangsa harus memiliki pemimpin tertinggi layaknya bangsa di zaman sekarang, karena di zaman itu pemilihan pemimpin bangsa masih belum dimungkinkan. Hal ini bukan tanpa alasan, karena egoisme kelompok masih lebih tinggi dari kesadaran bangsa. Disamping itu, perbedaan kebiasaan (hukum) antara satu kelompok dengan kelompok lain menjadi sebuah kendala yang sangat besar untuk melahirkan pemimpin bangsa.
d. Kepemilikan Benda
Bangsa-bangsa pra-aksara juga memberikan perhatian khusus terhadap benda. Kepemilikan benda pada zaman itu tidak serta merta dapat dikuasai oleh individu, tapi masih dianggap sebagai milik publik yang bisa digunakan siapa saja. Kepemilikan yang memiliki ruang lingkup kecil biasanya hanya sampai pada tingkatan keluarga. Benda-benda yang ada dalam lingkungan keluarga, secara otomatis merupakan benda-benda milik keluarga.
Dalam beberapa hal, ada beberapa benda yang dianggap keramat dan tidak boleh dimiliki oleh siapapun. Hal ini biasanya terjadi pada bangsa-bangsa yang masih menggunakan kepercayaan animisme-dinamisme. Benda-benda yang dianggap keramat oleh pemimpin kelompok, akan dijadikan sebagai benda sakral yang dilarang untuk dimiliki. Bahkan benda-benda itu dihormati layaknya Tuhan.
e. Kelas-kelas dalam Masyarakat
Isi dalam kebiasaan (hukum) masyarakat pra-aksara juga biasanya menentukan kelas-kelas dalam masyarakat. Pembagian atau pengklasifikasian kelas dalam masyarakat memiliki perbedaan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Ada yang membagi kelas berdasarkan harta, tahta, bahkan kekuatan fisik. Tapi yang jelas, masyarakat pra-aksara mengenal pembagian kelas dalam masyarakat.
Pembagian kelas ini dapat dibuktikan dengan lahirnya kepemimpinan feodalisme dan monarki di zaman modern sekarang ini. Hal ini memberikan sebuah kenyataan bahwa manusia cenderung untuk membeda-bedakan status sosial. Walau masa pra-aksara telah usai di dunia ini, tapi peninggalan-peninggalan pemikirannya masih berkembang bahkan hingga sekarang.
- Bangsa Aksara[6]
Perkembangan hukum di zaman bangsa-bangsa yang mengenal aksara memang memiliki sejarah yang cukup panjang. Namun poin-poin penting perkembangan hukum selalu ditandai pada masa munculnya negara. Hal ini berkaitan erat dengan kemunculan hukum modern yang kita kenal saat ini.
Hukum modern sebagai suatu tipe hukum, muncul dan terbentuk dalam kaitan yang erat dengan munculnya negara modern. Negara modern sudah menjadi prototipe dari negara-negara di dunia sekarang ini. Kehadiran negara merupakan suatu objek penting bagi sejarah hukum karena disiplin ilmu ini lebih melihat dan mengamati bentuk-bentuk hubungan antar manusia daripada bentuk-bentuk yang sudah disodorkan secara artifisial. Selain hal tersebut, negara modern juga merupakan kajian penting dalam sosiologi hukum. Oleh karena itu, sejak munculnya negara modern tersebut maka bentuk atau bangunan kehidupan sosial yang lama harus mundur dan digantikan dengan kehidupan sosial yang baru.
Dilihat dari perspektif yang demikian, negara modern lahir dari suatu konteks kehidupan yang unik, yaitu suasana politik di Eropa daratan sekitar abad XVIII. Dunia harus menunggu hampir dua ribu tahun untuk dapat menyaksikan munculnya suatu negara modern.
Salah satu guru besar ilmu sosiologi, Gianfranco Poggi, membagi pertumbuhan negara modern ke dalam beberapa masa, yaitu : 1) Feodalisme; 2) Staendestaat; 3) Absolutisme; 4) Masyarakat Sipil; dan 5) Negara Konstitusional.
Hukum modern sangat berbeda dengan hukum tradisional yang digantikannya. Beberapa karakteristik yang terdapat pada hukum modern menurut Unger, adalah sebagai berikut:
- Bersifat publik, dikaitkan kepada kekuasaan yang terpusat;
- Bersifat positif, merupakan kaidah yang dipositifkan;
- Bersifat umum, untuk semua golongan di dalam masyarakat;
- Bersifat otonom secara substantif, institusional, metodologis dan okupasional.
Hukum modern menuntut banyak persyaratan dan kesiapan struktural dan administratif. Hal tersebut berarti bahwa hanya dengan tingkat kesiapan tertentu saja hukum modern dapat dilaksanakan dengan baik. Ketidaksiapan struktural dan administratif menyebabkan hukum bersifat koersif, kendati negara tersebut merupakan negara hukum. Disebabkan oleh kelangkaan tenaga yang terampil dan administrasi yang mapan, maka hukum masih lebih banyak bertumpu pada penggunaan paksaan (coercion).
Hukum berkembang sesuai dengan tersedianya sumber-sumber dalam masyarakat. Kehadiran suatu sistem hukum merupakan fungsi dari konfigurasi kekuatan sosial masyarakat. Pada waktu hukum modern yang disebarkan di Eropa meluas dan dipakai oleh bangsa lain, muncul perkembangan karakteristik yang disebabkan oleh perbedaan habitat pada negara-negara tersebut.
Perkembangan yang demikian menimbulkan persoalan tersendiri, salah satunya pada bangsa-bangsa di kawasan Asia di mana predisposisi budaya memainkan peranan yang sangat penting dalam suatu perkembangan hukum. Sistem hukum modern di Eropa sebagaimana dilambangkan dalam doktrin Rule of Law adalah suatu perkembangan dengan muatan nilai budaya yang khas. Hukum modern dalam hal itu melembagakan suatu perkembangan ideologi pembebasan individu.
Dilihat dari perspektif Asia, khususnya Asia Timur, perkembangan sebagaimana tersebut di atas dihadapkan kepada suatu predisposisi budaya tertentu yang berbeda. Di kawasan Asia Timur tidak terdapat sejarah tentang adanya pembebasan terhadap individu. Keadaan yang berbeda tersebut yang kemudian menyebabkan penerimaan dan penggunaan hukum modern secara berbeda pula di kawasan Asia Timur.
Selain perbedaan sejarah pada habitat yang berbeda, perkembangan hukum yang tidak didukung oleh ketersediaan sumber daya akan menghasilkan praktik hukum modern yang berbeda. Secara sosiologis, dikatakan bahwa hukum hanya dapat dijalankan dengan modal tertentu yang dimiliki suatu bangsa atau komunitas.
Sistem hukum modern yang berkembang di Eropa menjadi suatu beban yang sangat berat ketika akan diterapkan pada bangsa-bangsa di Asia yang cenderung masih terbelakang apabila dibandingkan dengan bangsa-bangsa di Eropa. Sesudah introduksi hukum Barat tersebut, selama bertahun-tahun masyarakat pedesaan di kawasan negara di Asia masih tetap hidup dengan kebiasaan tradisionalnya yang telah berusia ratusan tahun. Filsafat mereka terhadap hukum modern masih tetap berlangsung dalam pola tradisi yang sudah lama dianut.
- Faktor Perkembangan Hukum
Hukum adalah suatu produk yang lahir dari hubungan-hubungan yang terjadi di masyarakat. Maka perkembangan sebuah hukum tidak akan bisa dilepaskan dari aspek-aspek hubungan dalam masyarakat. Faktor-faktor penting yang membawa perkembangan hukum dari masa ke masa adalah faktor politik, ekonomi, religi-ideologis, dan kultur budaya.
a. Faktor Politik
Tak bisa kita pungkiri, bahwa kekuasaan adalah ibu dari lahirnya sebuah produk hukum. Suatu ketentuan hukum biasanya lahir dari tangan-tangan penguasa, terlepas apakah hukum yang diciptakan sesuai dengan kehendak rakyat atau tidak. Tapi fakta bahwa hukum tidak bisa dilepaskan dari kehidupan politik sudah diterima oleh seluruh kalangan.
Jika kita buat perjalanan waktu dari zaman pra-aksara, maka kita menemukan bahwa bangsa-bangsa di zaman pra-aksara tidak memiliki penguasa tunggal. Artinya sistem politik pada masa itu sangat jauh tertinggal. Setiap pemimpin yang lahir hanya bisa mewadahi kelompok-kelompoknya masing-masing. Namun begitu, para pemimpin kelompok sudah bisa dijadikan tolak ukur perkembangan hukum dari zaman pra-aksara. Setiap keputusan yang lahir dari pemimpin kelompok akan diikuti oleh masyarakat yang bersangkutan. Hukum pun sedikit demi sedikit mengalami perkembangan.
Perkembangan hukum yang didasarkan dengan faktor politik mengalami pertumbuhan yang sangat besar ketika sistem-sistem pemerintahan modern diperkenalkan, seperti lahirnya demokrasi yang dijadikan kehidupan bernegara mayoritas wilayah di dunia.
b. Faktor Ekonomi
Marx dan Engels berpendapat bahwa faktor-faktor ekonomi mempunyai pengaruh absolut atas perkembangan kemasyarakatan.[7] Jika dilihat secara sepintas, mungkin beberapa diantara kita akan berpendapat bahwa faktor ekonomi tidak terlalu memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan hukum. Namun pemikiran ini sangat keliru.
Perkembangan hukum secara umum diakibatkan oleh perkembangan hubungan dalam masyarakat. Sementara perkembangan hubungan kemasyarakatan lahir dari perkembangan ekonomi. Semakin baik kondisi ekonomi dalam masyarakat, semakin baik pula perkembangan masyarakatnya. Maka implikasi akhirnya adalah menciptakan perkembangan hukum menjadi lebih baik. Hal ini dapat dilihat jika kita membandingkan antara satu negara dengan negara lain yang memiliki tingkat ekonomi yang berbeda. Ketika kondisi ekonominya baik dan stabil, maka konsep-konsep hukumnya pun berjalan dengan baik. Namun bagi negara-negara yang kondisi perekonomiannya tidak teratur, maka kondisi masyarakatnya pun akan terjadi kesenjangan yang implikasinya hukum tidak berdiri secara tegak.
c. Faktor Religi-Ideologis
Jika kita belajar terhadap sejarah, kita akan melihat dengan jelas betapa berpengaruhnya agama dalam memberikan kehidupan ditengah-tengah masyarakat. Agama memiliki peran sentral dari masa ke masa, bahkan hingga saat ini. Di dalam tatanan hukum tradisional, mereka masih mengandalkan sumber-sumber hukum yang berisi agama, serta belum adanya pemisahan antara penguasa kerohanian dan penguasa keduniawian. Pada masa itu, agama tetap merupakan faktor penting di dalam hukum, pengaruhnya semakin besar ketika para pemimpin agama bisa memberikan pengaruh politik.
Selain agama, hal serupa yang juga memiliki pengaruh bagi perkembangan hukum adalah ideologi-ideologi keduniawian yang mengandalkan kebenaran absolut sebagai pandangan hidup mereka. Hal ini sudah lama dijumpai di abad XX pada masa negara-negara sosialis, yang melihat Marxisme-Lininisme sebagai suatu klarifikasi ilmiah kejadian-kejadian di masyarakat. Ideologi Marxisme-Leninisme ini menjadi salah satu tonggak bersejarah dalam perjalanan ideologi yang melahirkan perkembangan hukum di dunia.
d. Faktor Kultur Budaya
Di samping faktor-faktor politik, ekonomi, religi-ideologis, ternyata faktor kultural memberikan pengaruhnya yang begitu menentukan bagi perkembangan hukum. Faktor kultural ini bukan hanya penting bagi perkembangan hukum, tapi faktor inilah yang membuat segala sesuatu dalam kajian ilmu hukum menjadi lebih baik. Tolak ukur perkembangan hukum dari faktor kultural adalah ketika dikenalnya aksara di tengah-tengah masyarakat. Disinilah hukum mulai dikodifikasi, dijelaskan dengan sempurna, dan diturunkan secara turun temurun.
Aksara ini juga sangat penting dalam penyebaran ilmu pengetahuan. Di satu sisi aksara memberikan pengaruh langsung terhadap perkembangan hukum, sementara di sisi yang lain aksara memberi dorongan yang kuat bagi perkembangan politik, ekonomi, dan religi-ideologis. Penemuan dalam pencetakan buku merupakan suatu faktor yang sangat menentukan dan memberikan sumbangsih yang luar biasa dalam penyebaran aturan-aturan hukum dan buku-buku ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan hukum. Dari sini dapat disimpulkan bahwa tanpa ilmu mencetak buku nampaknya hampir tidak mungkin membayangkan adanya suatu ilmu pengetahuan hukum modern.[8]
~~~~~~~~~~~~~~~
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri
(idikms@gmail.com)
~~~~~~~~~~~~~~~
______________
[1] Ibid., hlm. 10.
[2] Ibid.
[3] Harold J. Berman, 1983, Law and Revolution, Massachusetts: Harvard University Press, hlm. 123.
[4] Peter Mahmud Marzuki, op.cit., hlm.13.
[5] Ibid., hlm. 19.
[6] Banyak materi yang diambil dari http://kumham-jogja.info/karya-ilmiah/37-karya-ilmiah-lainnya/390-negara-modern-dan-sosiologi-hukum pada tanggal 24 Oktober 2015 pukul 00:50 WIB.
[7] Emeritus John Gilissen, dkk, op.cit., hlm. 97.
[8] Ibid., hlm. 101.