Pengutipan = (Idik Saeful Bahri, 2021, Konsep Dasar Ilmu Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia, Kuningan: Bundaran Hukum, hlm. 44-46)

 

Teori Utilities (Kegunaan/Kemanfaatan Hukum)

Teori utilities ini memfokuskan diri bahwa hukum memiliki tujuan untuk menciptakan suatu faedah bagi masyarakat. Artinya hukum harus memberikan kemanfaatan bagi masyarakat umum. Sesuatu hal yang dianggap adil tapi merusak kehidupan masyarakat dianggap bukan merupakan tujuan hukum. Maka teori ini menegaskan pentingnya manfaat dari suatu hukum terhadap kehidupan masyarakat.

Utilitarianisme pertama kali dikembangkan oleh Jeremi Bentham (1748- 1831). Persoalan yang di hadapi oleh Bentham pada zaman itu adalah bagaimana menilai baik buruknya suatu kebijakan sosial politik, ekonomi, dan legal secara moral. Dengan kata lain bagaimana menilai suatu kebijakan publik yang mempunyai dampak kepada banyak orang secara moral. Berpijak dari tesis tersebut, Bentham menemukan bahwa dasar yang paling objektif adalah dengan melihat apakah suatu kebijakan atau tindakan tertentu membawa manfaat atau hasil yang berguna atau, sebaliknya kerugian bagi orang-orang yang terkait.[1]

Bila dikaitkan apa yang dinyatakan Bentham pada hukum (baca: Kebijakan), maka baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu ketentuan hukum baru bisa di nilai baik, jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan sebesar-besarnya, dan berkurangnya penderitaan. Dan sebaliknya dinilai buruk jika penerapannya menghasilkan akibat-akibat yang tidak adil, kerugian, dan hanya memperbesar penderitaan. Sehingga tidak salah jika ada para ahli menyatakan bahwa teori kemanfaatan ini sebagai dasar-dasar ekonomi bagi pemikiran hukum. Prinsip utama dari teori ini adalah mengenai tujuan dan evaluasi hukum. Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi sebagian terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan dari proses penerapan hukum. Berdasarkan orientasi itu, maka isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan penciptaan kesejahteraan negara.[2]

Penganut aliran Utilitarianisme selanjutnya adalah John Stuar Mill. Sejalan dengan pemikiran Bentham, Mill memiliki pendapat bahwa suatu perbuatan hendaknya bertujuan untuk mencapai sebanyak mungkin kebahagiaan. Menurut Mill, keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita, sehingga hakikat keadilan mencakup semua persyaratan moral yang hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.[3] Mill setuju dengan Bentham bahwa suatu tindakan hendaklah ditujukan kepada pencapaian kebahagiaan, sebaliknya suatu tindakan adalah salah apabila menghasilkan sesuatu yang merupakan kebalikan dari kebahagiaan. Lebih lanjut, Mill menyatakan bahwa standar keadilan hendaknya didasarkan pada kegunaannya, akan tetapi bahwa asal-usul kesadaran akan keadilan itu tidak diketemukan pada kegunaan, melainkan pada dua hal yaitu rangsangan untuk mempertahankan diri dan perasaan simpati. Menurut Mill keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri maupun oleh siapa saja yang mendapat simpati dari kita. Perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak hanya atas dasar kepentingan individual, melainkan lebih luas dari itu sampai kepada orang lain yang kita samakan dengan diri kita sendiri, sehingga hakikat keadilan mencakup semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.[4]

 

~~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~~

___________

[1] Sonny Keraf, 1998, Etika Bisnis Tuntunan dan Relevansinya, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 93-94.

[2] Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, 1993, Hukum sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm. 79-80.

[3] H.R Otje Salman, 2010, Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), Bandung: PT. Refika Aditama, hlm. 44.

[4] Bodenheimer dalam Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 277.