Petunjuk = fokus hafalkan dan pahami di penemuan hukum.
***
Teori teokrasi = teori ketuhanan = hukum berasal dari Tuhan, dijelaskan melalui kitab suci, dan dilaksanakan oleh penguasa. Raja atau penguasa dianggap mendapat kuasa dari Tuhan sebagai wakil Tuhan.
Teori ini berkembang sebelum era renaissance di Eropa.
Teori kedaulatan rakyat = Pada zaman Renaissance, timbul teori yang mengajarkan, bahwa dasar hukum itu ialah “akal” atau ‘rasio” manusia (aliran rasionalisme). Menurut aliran Rasionalisme ini, bahwa Raja dan Penguasa Negara lainnya memperoleh kekuasaannya itu bukanlah dari Tuhan, tetapi dari rakyatnya. Pada Abad Pertengahan diajarkan, bahwa kekuasaan Raja itu berasal dari suatu perjanjian antara Raja dengan Rakyatnya yang menaklukan dirinya kepada Raja itu dengan syarat-syarat yang disebutkan dalam perjanjian itu.
Kemudian setelah itu dalam Abad ke-18 Jean Jacques Rousseau memperkenalkan teorinya, bahwa dasar terjadinya suatu negara ialah “perjanjian masyarakat” (Contract Social) yang diadakan oleh dan antara anggota masyarakat untuk mendirikan suatu Negara. Teori Rousseau yang menjadi dasar faham “Kedaulatan Rakyat” mengajarkan, bahwa Negara bersandar atas kemauan rakyat, demikian pula halnya semua peraturan-perundangan adalah penjelmaan kemauan rakyat tersebut.
Penganut = Jean Jacques Rousseau.
Teori kedaulatan negara = Pada abad ke-19, Teori Perjanjian Masyarakat ini ditentang oleh Teori yang mengatakan, bahwa kekuasaan hukum tidak dapat didasarkan atas kemauan bersama seluruh anggota masyarakat. Hukum itu ditaati ialah karena Negaralah yang menghendakinya. Hukum adalah kehendak negara.
Penganut = Hans Kelsen.
Teori kedaulatan hukum = Krabbe menentang Teori Kedaulatan Negara. Beliau mengajarkan, bahwa sumber Hukum ialah “rasa keadilan”. Menurut Krabbe, hukum hanyalah apa yang memenuhi rasa keadilan dari orang terbanyak yang ditundukkan padanya. Suatu peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan dari jumlah terbanyak orang, tidak dapat mengikat. Peraturan-perundangan yang demikian bukanlah “hukum”, walaupun ia masih ditaati ataupun dipaksakan. Hukum itu ada, karena anggota masyarakat mempunyai perasaan bagaimana seharusnya hukum itu.
***
PENEMUAN HUKUM
(Pasal 10 UU Kekuasaan Kehakiman)
Metode Interpretasi
- Subsumtif = dilihat dari teks UU
- Gramatikal = dari kaidah bahasa
- Formal = penjelasan otentik dari UU
- Historis = dari sejarah
- Sistematis = dari sistem peraturan
- Sosiologis = dari sosial masyarakat
- Komparatif = perbandingan
- Futuris = dari peraturan yang belum berlaku
- Restriktif = penafsiran UU terbatas
- Ektensif = penafsiran UU tidak terbatas
Metode Argumentasi
- Argumentum per analogiam = menafsirkan peraturan yang ada menjadi abstrak, untuk memperluas makna dalam memutus perkara yang belum ada peraturannya
- Penghalusan hukum (penyempitan hukum) = menafsirkan peraturan yang ada menjadi abstrak, untuk mempersempit makna dalam memutus perkara yang belum ada peraturannya
- Argumentum a contrario = menafsirkan peraturan yang ada menjadi abstrak, untuk diterapkan secara berlawanan dalam memutus perkara yang belum ada peraturannya
- Argumentum a fortiori = menafsirkan peraturan yang ada menjadi abstrak, melihat akibat hukum yang lebih berat dari perkara yang belum ada, kepada akibat hukum yang lebih ringan dari perkara yang sudah ada.
***
TAHAPAN HAKIM
Tahapan hakim dalam menemukan hukum :
- Tahap mengkonstatir = hakim bersifat logis dalam melihat pembuktian.
- Tahap mengkualifisir = menentukan peritiwa hukum yang dibuktikan itu merupakan pasal berapa.
- Tahap mengkonstituir = menarik kesimpulan.
***
Ratio decidendi (bentuk jamak rationes decidendi) adalah ungkapan dalam bahasa Latin yang berarti “alasan putusan”. Dalam bidang hukum, ratio decidendi adalah alasan atau penalaran yang menjadi pokok suatu putusan. Di dalam sistem hukum umum Inggris, berlaku doktrin stare decisis, yaitu putusan pengadilan akan menjadi preseden hukum untuk perkara-perkara selanjutnya. Maka dari itu, putusan pengadilan terdiri dua unsur, yaitu obiter dictum dan ratio decidendi. Ratio decidendi bersifat mengikat secara hukum dan pengadilan dalam perkara-perkara berikutnya terikat oleh preseden yang ditetapkan oleh ratio decidendi, sementara obiter dictum hanya bersifat persuasif.
Obiter dictum (juga digunakan dalam bentuk jamak, obiter dicta) adalah frase dalam bahasa Latin yang berarti “ngomong-ngomong”, dan dalam konteks hukum mengacu kepada bagian dari putusan hukum yang tidak pokok atau tidak terkait dengan substansi utamanya. Konsep ini berasal dari hukum umum Inggris; dalam sistem tersebut, suatu putusan terdiri dari dua unsur, yaitu ratio decidendi dan obiter dicta. Sebagai preseden, ratio decidendi mengikat secara hukum, sementara obiter dicta hanya bersifat persuasif. Suatu pernyataan hukum dapat menjadi ratio decidendi hanya jika pernyataan tersebut mengacu kepada fakta dan hukum yang pokok. Pernyataan yang tidak pokok atau hanya mengacu kepada perandaian atau isu hukum yang tidak terkait adalah obiter dicta.
Menurut ahli hukum Universitas Florida, Teresa Reid-Rambo dan Leanne Pflaum, obiter dicta dapat mengikat secara hukum jika pengadilan dalam perkara lain mengutip obiter dicta dari putusan sebelumnya dan menjadikannya sebagai ratio decidendi perkara tersebut.
***
~~~~~~~~~~~~~~~
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri
(idikms@gmail.com)
~~~~~~~~~~~~~~~