Wahid Hasyim adalah anak dari Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari dan merupakan ayah kandung dari Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Wahid Hasyim adalah menteri negara dalam kabinet pertama RI. Awalnya penulis tidak terlalu mempedulikan tokoh bernama Wahid Hasyim. Penulis hanya mendengar nama Wahid Hasyim sebagai nama jalan raya, dan tidak tertarik untuk meneliti lebih jauh sosok Wahid Hasyim.

Tapi ternyata, apa yang sudah menjadi pandangan penulis selama ini, tidak terasa sudah dilandasi oleh pemikiran-pemikiran Wahid Hasyim. Penulis memiliki banyak kesamaan pandangan dengan Wahid Hasyim dalam bidang politik, khususnya politik luar negeri. Walau memang makna dan substansi cara berpikirnya berbeda, karena dipengaruhi oleh faktor zaman.

Sudah sejak lama penulis mempelajari dan menganalisis situasi politik di dunia. Bagaimana ketegangan antar negara bisa terjadi, bagaimana agama bisa dijadikan alasan pembenar bagi pembantaian rakyat sipil, bagaimana etnis bisa menjadikan belenggu bagi terciptanya perang besar, bagaimana istilah “Hak Asasi Manusia” selalu dijadikan alasan bagi beberapa negara besar untuk melakukan invasi ke dalam sebuah negara. Penulis menyimak setiap perkembangan dunia melalui pola-pola terstruktur dari setiap kebijakan negara.

Hingga akhirnya penulis tercengang, takjub bukan main, karena sekitaran tahun 1940-an, orang yang bernama Wahid Hasyim ini telah membaca arah politik dunia dengan sangat baik, nyaris sempurna. Walau harus penulis akui, pandangan Wahid Hasyim masih terpaku dengan realitas di zamannya yang masih panas dengan keadaan Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Tapi walau bagaimanapun, diantara pengamat politik yang lain di zamannya, Wahid Hasyim melahirkan pemikiran-pemikiran yang sangat brilian.

Penulis mendapatkan pemikiran-pemikiran Wahid Hasyim secara tidak sengaja ketika penulis membaca sebuah buku berjudul “Mengapa Saya Memilih NU”, dan ternyata merupakan kumpulan tulisan artikel, kumpulan ceramah dan nasihat dari Wahid Hasyim. Penulis sama sekali tidak akan fokus pada pembahasan NU, tapi lebih fokus pada pemikiran-pemikiran Wahid Hasyim dalam bidang politik luar negeri. Mari penulis ajak pembaca untuk mendalami pemikiran Wahid Hasyim. Harap dimaklumi jika tulisan Wahid Hasyim banyak yang tidak sesuai dengan EYD zaman sekarang.

Wahid Hasyim Paham Perebutan Pengaruh Amerika Rusia

Sejak selesainya Perang Dunia II pada 1945 perebutan pengaruh antara blok Amerika di suatu pihak bersama-sama negara-negara Barat dan blok Rusia di lain pihak dengan negara-negara Eropa Timur dan Cina makin lama makin keras. Rakyat Rusia serta negara-negara Barat dengan suatu cara yang tegas dan peraturan-peraturan yang keras. Penjagaan pada tapal batas antara dua blok tadi dikuatkan. Inilah yang disebutkan tirai besi untuk menggambarkan bahwa penjagaan itu merupakan tembok dari besi yang tiada dapat ditembus.[1]

Mahasiswa-Mahasiswa Rusia Belajar di Al-Azhar, Mufti Palestina ke Rusia

Pada permulaan Maret 1953 ini terbetik kabar, bahwa 20 mahasiswa Rusia datang ke Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Selain dari itu, mereka datang untuk mengokohkan perhubungan antara mahasiswa-mahasiswa Rusia dan mahasiswa-mahasiswa Mesir. Dan pada saat itu, bersamaan terbetik pula kabar bahwa suatu organisasi Islam di Moskow, telah mengirimkan undangan kepada Mufti Palestina, Saud Amin Al-Husaini yang kini menjadi pelarian dan bertempat di Kairo, untuk mengunjungi negeri beruang itu serta mengeratkan perhubungan persaudaraan dengan Muslim disana. Dan yang lebih menarik lagi ialah berita dari Kairo bahwa pada pertengahan Maret ini sudah diadakan perjanjian dagang antara Mesir di satu pihak dan Rusia, Hungaria serta Polandia di lain pihak. Selain dari itu, rakyat (baca: umat Islam) Mesir karena menghadapi tindasan Inggris sehari-hari dengan langsung dalam soal Sudan, Suez, dan sebagainya, maka lalu mengarahkan pandangannya ke Rusia bukan karena setuju dengan politiknya, melainkan terutama karena sudah jengkel terhadap sikap Inggris selama ini. Seperti umat Islam Indonesia sebelum Perang Dunia II memihak Jepang karena jengkelnya melihat politik Belanda yang menjemukan. Dan lebih dari itu umat Islam di Tunisia dan Maroko yang tiap-tiap hari menghadapi politik penjajahan Perancis yang terkenal kejamnya, mungkin dipengaruhi oleh pergeseran lama antara Kartago dan Roma yang telah berabad-abad dahulu, maka lalu memalingkan pandangan ke Rusia pula. Karena itu janganlah heran jika suatu saat kelak kita mendengar bahwa umat Islam di Mesir dan Tunisia-Maroko (Afrika Utara) mengambil sikap memihak pada Rusia.[2]

Patut Dipikirkan Umat Islam Indonesia

Sedikit maupun banyak pertentangan-pertentangan yang tersebut itu pada suatu saat akan membawa pengaruh juga ke Indonesia, tidak sebagai soal pertentangan antara blok Barat dan Timur dalam arti yang umum, tetapi dalam hubungan pertentangan itu dengan persoalan Islam Internasional. Timbullah sekarang pertanyaan, bagaimana sikap umat Islam Indonesia dalam menghadapi persoalan itu kelak? Apakah juga akan memakai politik banci yang namanya politik bebas seperti sekarang, yang sudah mengakibatkan Indonesia dicurigai dari kedua belah pihak, dan kemudian digencet oleh kedua-duanya seperti sekarang, ataukah menampakkan suatu politik luar negeri yang lebih dekat pada akal yang sehat, walaupun harus menghadapi suatu resiko yang berat? Marilah kita tunggu bagaimana perkembangannya soal ini lebih jauh, dan bagaimana pula umat Islam Indonesia menempatkan diri dalam pergolakan yang demikian itu.[3]

Ada Kemungkinan Indonesia Bagaikan Timur Tengah

Pada waktu pembukaan Masjid Syuhada di Yogyakarta, 1 Muharram 1372 atau 20 September 1952, saya berjumpa dengan salah seorang tamu dari kalangan perwakilan luar negeri yang ikut menghadirinya. Kepadanya saya bertanya secara bergurau. Rupanya penyakit menular militer mula-mula berkembang di Suriah sampai tiga kali, lalu terjangkit ke Mesir, kini sudah menjalar ke Libanon. Apakah menurut pendapat tuan penyakit tadi akan menular ke Indonesia? Sambil tertawa dia menjawab, “mungkin sekali akan menjalar kemari, tetapi disini tidak mungkin hebat sebagai di sana”.[4]

Barat Selalu Diuntungkan

Dalam pada itu yang untung ialah orang Barat yang mengemudikannya. Kalau kita pikirkan betul-betul,  perumpamaannya tuduhan fanatik pada umat Islam itu adalah didasarkan pada theorie vaccinatie (menyuntik) penyakit di dalam badan dengan kutu-kutu yang sama, maksudnya ialah supaya kutu-kutu penyakit yang masih tahan kuat lagi tidak fanatik atau progresif. Kasihan bangsa-bangsa jajahan yang dikomedikan sehingga berkelahi segolongan melawan segolongan yang lainnya. Walaupun begitu masih juga mereka suka dikomedikan orang. Mudah-mudahan hal ini diinsafi oleh kaum Muslim.[5]

Pahitnya Perselisihan

Kita dulu di zaman Belanda hidup berselisih-selisihan antara satu golongan dengan yang lain. Antara golongan penghulu, golongan ulama, golongan pangreh praja, golongan nasional, dan lain-lainnya. Kita telah mengalami pahitnya akibat yang ditimbulkan oleh perselisihan-perselisihan itu.[6]

Kita telah merasakan kerugiannya nusa dan bangsa karena akibat di adu dombakan Belanda dulu itu. Maka sisa-sisa zaman yang tidak enak itu harus kita buang jauh-jauh dan kita ganti dengan semboyan: “dan jadilah kamu sekalian, wahai hamba-hamba Allah, bersaudara”. [7]

Bangkitnya Islam dari Timur

Berabad-abad orang Barat melihat kita orang Timur, terutama umat Islam, dengan penglihatan menghina dan merendahkan. Tetapi, mereka boleh menunggu dan melihat, bahwa pada suatu masa kelak, Allah swt akan menakdirkan kebangunan dan kebangkitan Islam. Pada waktu yang demikian, kaum penjajah Barat yang suka mempermainkan makhluk Allah serta berlaku sombong akan merasai akibat kesombongannya.[8]

Uraian ini saya sudahi dengan penutup kutipan surat Al-Naml ayat 93:

“dan ucapkanlah, wahai Muhammad bahwasanya segala puji bagi Allah. Dia akan menunjukkan tanda-tanda (kebesaranNya), dan kamu sekalian tentu akan mengetahui tanda-tanda itu, Tuhanmu tidak akan lupa atas perbuatan-perbuatan yang dikerjakan mereka itu.”

Mudah-mudahan dalam perjuangan Asia Timur Raya ini, Allah swt memberikan taufik (pertolongan) dan hidayah (petunjuk), sehingga lekas tercapai kemenangan akhir di pihak kita. Amin.[9]

Analisis terhadap Pemaparan Wahid Hasyim

Pemaparan Wahid Hasyim mungkin terlihat sederhana, tapi sebenarnya mengandung makna yang begitu dalam. Dari beberapa halaman dari kumpulan tulisan dan ceramahnya, sudah bisa dibayangkan bagaimana sosok Wahid Hasyim bisa berdiri di koordinat x dan melihat dunia sebagai koordinat y.

Harus kita akui, pemikiran Wahid Hasyim ini tidak bisa terlepas dari situasi politik yang sangat kacau di zaman itu, yakni pecahnya Perang Dunia ke II dan lahirnya Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, yang melahirkan Proxy War di beberapa wilayah negara di dunia. Berbeda dengan penulis secara pribadi yang sudah tidak dipengaruhi oleh ketegangan politik antara Amerika Serikat-Uni Soviet, karena penulis lahir setelah runtuhnya Uni Soviet di tahun 1990-an.

Tapi perlu dipahami, sejak permulaan Perang Dunia II, benih-benih Sosialis-Komunis melawan Kapitalis-Liberalis sudah menggema di jagad bumi ini. Walau sudah berganti periode dari Wahid Hasyim hingga sekarang, kedua kubu yang memang merupakan dua aliran ideologi yang sulit untuk dipersatukan, akan terus berseteru hingga memunculkan sebuah pemenang, dan mengeliminasi negara yang kalah.

Ideologi Sosialisme dan Kapitalisme adalah dua ideologi ekonomi yang saling bertolak belakang, antara plus dan minus. Begitu pun dengan Komunisme dan Liberalisme yang merupakan ideologi politik, keduanya akan sulit untuk disatukan karena merupakan dua kutub yang berlainan. Jadi jelas, walau Wahid Hasyim memandang dan menganalisa politik luar negeri pada sekitaran tahun 1940-an hingga beliau meninggal sekitaran tahun 1950-an, pandangan dan analisa Wahid Hasyim akan tetap berlaku hingga salah satu kubu diantara keduanya menyatakan menang dan kalah.

Wahid Hasyim juga menyinggung bahwa bentuk politik non-blok Indonesia diantara keduanya, merupakan bentuk dari politik banci. Karena itu artinya, Indonesia akan digencet dan dicurigai oleh keduanya. Hal ini bukan tanpa alasan, karena tidak ada sebuah negara maju pun di dunia ini yang benar-benar netral dan non-blok. Kebijakan negara-negara maju pasti saja selalu berpihak, entah itu ke blok Barat atau blok Timur. Indonesia memang bukan negara maju, tapi eksistensi Indonesia dikancah dunia selalu diperhitungkan. Itu artinya, ketika Indonesia non-blok, justru menjadi mala petaka bagi dirinya sendiri. Maka dari itu, tidak heran jika kita mengkaji setiap kebijakan Soekarno, kita akan melihat dengan jelas bagaimana rezim Soekarno selalu pro terhadap blok Timur. Ternyata Soekarno pun baru menyadari, bahwa dengan mengambil sikap 100% non-blok, Indonesia akan benar-benar binasa.

Terlebih lagi, ternyata gerakan non-blok hanyalah formalitas belaka. Bagaimana banyak negara-negara yang sudah mendeklarasikan dirinya non-blok, tapi dalam mengambil sikap politiknya, tidak bisa terlepas dari pengaruh Barat dan Timur, misalnya kita bisa melihat peran politik negara Mesir, Iran, India, dan federasi negara Yugoslavia, serta hampir seluruh negara non-blok lainnya.

Wahid Hasyim sudah benar-benar muak dengan belenggu ideologi orang-orang Barat. Wahid Hasyim sebenarnya ingin menyaksikan kebangkitan Islam, tapi Wahid Hasyim menyadari, ada sebuah skenario panjang sebelum itu. Wahid Hasyim ingin menyampaikan kepada kita, bahwa setiap peradaban itu pasti akan hancur. Tidak ada peradaban manapun yang hidup selamanya. Dan Barat, yang jika kita hitung hingga tahun 2015, sudah menguasai dunia setidaknya lebih dari 400 tahun dari sejak kehancuran Baghdad oleh Mongol. Walau memang masa Barat memimpin dunia itu terbagi menjadi dua, yakni masa penguasaan Eropa Barat, dan sekarang adalah Amerika Serikat, tapi kedua kubu itu tetap saja berada dalam satu aliansi.

Tidak ada peradaban yang abadi. Wahid Hasyim percaya, bahwa suatu saat nanti, kejayaan Barat akan hancur, dan akan digantikan oleh generasi terbaru. Dan generasi itu, tak lain adalah negara-negara blok Timur. Wallahu A’lam.

 

~~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~~

__________

Referensi :

Wahid Hasyim, Mengapa Saya Memilih Nahdlatul Ulama, Bandung: Mizan, 2011.

 

__________

[1]Halaman 37

[2]Halaman 38

[3]Halaman 39

[4]Halaman 40

[5]Halaman 78

[6]Halaman 246

[7]Halaman 246

[8]Halaman 254

[9]Halaman 254