Banyak beterbangan disekeliling kita spanduk-spanduk atau pamflet-pamflet yang isinya mengkafir-kafirkan Syiah. Entah pengkafiran yang mereka lakukan itu merupakan bagian dari kepedulian mereka terhadap dunia Islam, atau justru menjadi belenggu dan hanya motif politik. Golongan yang mengkafirkan ini memberikan banyak bukti tentang kekafiran Syiah, misalnya perbedaan syahadat antara kaum Syiah dan Sunni. Ada juga yang memuat perbedaan tata cara wudlu dan shalat. Semuanya mereka kupas, seolah-olah mereka sangat kritis terhadap data yang mereka dapatkan. Tapi apa betul dan valid seluruh data-data yang mereka sampaikan itu? Atau hanya sekedar data busuk yang tidak berarti sama sekali?

Awalnya penulis agak kaget melihat banyaknya spanduk bertuliskan “Syiah Bukan Islam” di kota yang sering disebut sebagai the city of tolerant. Karena penulis meyakini, ada kesalahan analisa yang dilakukan oleh golongan-golongan ini. Pasti terjadi kesalahan sudut pandang hingga membuat keputusan sepihak yang bahkan tak berdalil sama sekali.

Harus kita akui bersama, bahwa Syiah tidak bisa begitu saja dilupakan dalam sejarah dunia Islam. Walau bagaimanapun, Syiah memiliki peran tersendiri dalam membangun kehidupan Islam skala Internasional. Dalam pembahasan kali ini, kita harus memulainya dari sejak kemunculan Syiah.

Berdasarkan data yang paling objektif dan yang bisa dipertanggung jawabkan, golongan Syiah ini lahir di akhir masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Karena perbedaan pandangan mengenai kasus pembunuhan khalifah Utsman, sahabat Muawiyah radiallahuanhu dan Aisyah radiallahuanha melakukan pertemuan dengan Ali bin Abi Thalib. Karena panasnya situasi politik, keduanya dikawal oleh tentara masing-masing. Kedua belah pihak terus melakukan negosiasi, tapi kesepakatan tidak kunjung didapatkan.

Sementara itu ditengah lapangan, tentara  kedua belah pihak yang sudah siap berperang, tidak bisa mengontrol keadaan. Berawal dari saling ejek, saling hina, dan saling melempar batu, hingga terjadilah perang besar. Perang saudara yang sangat disayangkan oleh seluruh ulama Muslim, termasuk juga disayangkan oleh Ali bin Abi Thalib, Muawiyah, dan Aisyah. Tapi keputusan Tuhan tak pernah bisa di gugat. Ini merupakan suatu rencana dan skenario bagi kehidupan di dunia yang singkat ini. Allah tentu lebih tahu mengenai apa yang Dia kehendaki. Perang antara sesama kaum Muslim itu yang sekarang kita sebut sebagai perang Shifin.

Banyak orang berpikir perang Shifin mungkin sebagai akhir dari panasnya situasi politik di masa khalifah Ali, tapi ternyata tidak. Perang Shifin justru menjadi babak baru bagi kehidupan Islam secara umum. Para tentara-tentara Muslim yang memiliki loyalitas kepada khalifah Ali menyatakan diri sebagai Syiah Ali yang berarti penolong Ali, atau terjemahan bebasnya bisa juga kita sebut sebagai pendukung Ali. Disinilah kata Syiah Ali terdengar di seantero dunia Islam. Di awal pembentukan aliran ini, sama sekali tidak ada perbedaan akidah. Semuanya masih tetap sama. Hanya saja golongan Syiah Ali memiliki loyalitas yang tinggi kepada Ali bin Abi Thalib. Golongan Syiah Ali yang pertama ini sama sekali tidak pernah mengkafirkan Abu Bakar dan Umar, karena Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Sebaik-baik umat Islam setelah Nabi Muhammad adalah Abu Bakar dan Umar”. Yang menjadi perdebatan diantara golongan Syiah Ali adalah “Lebih utama mana antara Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib”.

Ditengah-tengah itu, ternyata ada golongan yang mengkafirkan seluruh orang yang ikut bertempur di perang Shifin. Golongan ini sebenarnya juga termasuk pasukan Ali bin Abi Thalib, tapi kemudian menyatakan berbelok karena menganggap yang bertempur sesama Muslim seluruhnya kafir. Golongan ini juga mengkafirkan Ali bin Abi Thalib, Muawiyah dan Aisyah. Ini adalah bentuk pengkafiran besar-besaran pertama dalam dunia Islam. Bila sebelumnya hanya mengkafirkan satu atau dua orang, golongan ini mengkafirkan hampir ribuan orang. Golongan ini yang kemudian kita kenal sebagai Khawarij.

Mendengar pengkafiran yang dilakukan oleh Khawarij, sontak saja golongan Syiah Ali tidak terima begitu saja. Kedua golongan ini akhirnya terus berseteru. Keduanya saling mengkafirkan antara satu dengan yang lainnya. Melihat fenomena-fenomena yang sudah kelewat batas, ulama-ulama yang netral dan tidak terlibat politik antara Ali dan Muawiyah, secara tegas menyatakan non-blok terhadap dua pihak yang berseteru, yaitu Syiah Ali dan Khawarij. Ulama-ulama ini juga lebih memilih tidak berpihak, baik kepada Ali maupun kepada Muawiyah. Ulama-ulama ini yang kemudian kita sebut sebagai pelopor lahirnya ajaran Sunni, yang menjadi golongan mayoritas umat Muslim hingga sekarang. Karena sifatnya yang mayoritas, terbentuklah nama Ahlussunnah wal Jamaah.

Pemaparan ringkas diatas, merupakan pemaparan yang sudah diakui oleh seluruh aliran di jagad Islam, bahkan oleh Syiah sendiri. Itu artinya, tidak ada lagi pertentangan mengenai sejarah dari sejak perang Shifin, munculnya nama Syiah Ali, munculnya Khawarij, dan lahirnya Sunni atau Ahlussunnah wal Jamaah. Perbedaan pandangan datang dikemudian hari. Mari penulis jabarkan mengenai perbedaan itu.

Saudara-saudara kita yang sekarang sedang menggencarkan propaganda “Syiah Bukan Islam” menyebut bahwa pendiri aliran Syiah adalah seseorang bernama Abdullah bin Saba. Orang ini diklaim sebagai mantan pemeluk agama Yahudi. Darah Yahudinya masih kental. Dikhawatirkan, orang bernama Abdullah bin Saba ini muncul untuk memecah belah agama Islam. Oleh karena itu, saudara-saudara kita yang sedang gencar dengan propaganda “Syiah Bukan Islam”, menganggap aliran Syiah tidak sah lahir karena didirikan oleh seseorang yang mantan Yahudi.

Tapi ternyata tuduhan ini dibantah oleh pihak Syiah. Beberapa pihak Syiah yang dirugikan karena propaganda Syiah Bukan Islam, berdalih bahwa Abdullah bin Saba adalah tokoh fiktif, hanya rekaan dari golongan yang membenci Syiah. Terjadi perbedaan disini. Satu memandang Syiah lahir dari Abdullah bin Saba, satunya lagi berpendapat tokoh itu hanyalah fiktif belaka.

Penulis harus bersikap objektif melihat perbedaan keduanya. Pemikiran yang mengatakan bahwa Syiah didirikan oleh Abdullah bin Saba secara umum memang benar, tapi harus melalui kajian yang mendalam. Yang penulis dapatkan, Abdullah bin Saba memang menjadi salah satu pelopor dari Syiah, tapi bukan Syiah secara umum. Abdullah bin Saba lahir di dunia Islam dengan masuk ke dalam kubu Syiah, dan mendirikan sebuah aliran baru di Syiah. Karena Abdullah bin Saba memiliki sikap radikal atau daya kritis yang luar biasa, Abdullah bin Saba inilah yang memulai gerakan pengkafiran terhadap sahabat Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Bahkan dalam beberapa kesempatan, golongan yang diprakarsai oleh Abdullah bin Saba ini menyatakan bahwa Ali sebagai Nabi. Dalam beberapa aliran malah menganggap Ali sebagai Tuhan. Ini mungkin alasan saudara-saudara kita melancarkan serangan “Syiah Bukan Islam”.

Disisi yang lain, alasan pihak Syiah yang mengatakan bahwa Abdullah bin Saba sebagai tokoh fiktif juga ada benarnya secara prinsip. Orang Syiah jelas tidak terima bahwa sejarah berdirinya aliran mereka dilahirkan oleh orang bernama Abdullah bin Saba. Seluruh umat Muslim juga setuju, bahwa Syiah lahir di masa perang Shifin, dan itu merupakan aliran yang lahir karena kesadaran bersama. Kesadaran tentara Ali yang benar-benar loyal terhadap kekhalifahan Ali, memunculkan ide untuk terus mendukung Ali. Jadi jelas, Abdullah bin Saba merupakan tokoh fiktif dalam sejarah pembentukan Syiah.

Kedua-duanya tidak salah. Tapi yang harus penulis tekankan disini, bahwa sejarah yang diakui oleh seluruh pihak, entah itu Syiah maupun Sunni, menyatakan bahwa golongan Syiah secara umum tidak lahir dari mulut Abdullah bin Saba. Abdullah bin Saba merupakan pendiri dari sebuah aliran dalam Syiah. Jangan berpikir bahwa Syiah itu satu, sama sekali tidak. Syiah memiliki keberagaman yang hampir mirip dengan Sunni, bahkan lebih banyak. Belasan bahkan puluhan madzhab ada di aliran Syiah ini. Jadi penulis kira, pandangan kita terhadap Syiah haruslah hati-hati.

Adapun saudara-saudara kita yang mengatakan “Syiah Bukan Islam” berdalih bahwa syahadat Syiah berbeda dengan Sunni, tata cara wudlu dan shalat pun berbeda, dan masih banyak lagi perbedaan yang lainnya. Penulis tidak menafikan fakta ini. Apa yang kita lihat di media elektronik, bagaimana shalat orang Syiah sangat aneh sekali, bagaimana adzannya berbeda, bagaimana syahadatnya ada perbedaan, juga banyak lagi perbedaan lainnya. Penulis mengakui kebenaran informasi-informasi itu. Tapi tentu kita harus tetap objektif. Kita harus tetap mengkaji setiap informasi yang muncul dengan sangat cermat.

Hingga tibalah penulis menemukan referensi objektif mengenai itu. Secara umum, Syiah di zaman ini terbagi ke dalam 3 golongan besar, yaitu:

  1. Syiah Ghaliyah. Aliran ini merupakan aliran yang sangat keras dan ekstrim dalam dunia Syiah, hampir mirip kalangan Salafi Wahabi jika di kalangan Sunni. Aliran ini memiliki banyak golongan di dalamnya. Aliran ini yang kemudian menganggap Ali sebagai Nabi, dan tentu syahadatnya pun jelas berbeda dengan kita. Bahkan di beberapa golongan di aliran ini, menganggap Ali sebagai Tuhan. Ini sudah benar-benar keterlaluan. Maka tidak heran, seluruh ulama Islam, baik Sunni maupun dari pihak Syiah sendiri, menyatakan aliran ini sesat dan kafir. Jika melihat dari kenyataan yang ada, penulis kira aliran ini yang dimaksud aliran yang didirikan oleh Abdullah bin Saba. Meskipun penulis juga tidak menyangkal ada pihak yang menyatakan Abdullah bin Saba ini sebagai pelopor dari keberadaan Syiah Rafidhah.
  2. Syiah Rafidhah. Aliran ini merupakan aliran mayoritas di dunia Syiah. Terdapat banyak golongan didalamnya, tapi ada 2 golongan yang terkenal, yaitu Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah dan Syiah Ismailiyyah. Sebagian golongan di aliran ini yang memasukkan Imamah dalam rukun Iman mereka. Ada juga golongan di aliran ini yang mengkafirkan Abu Bakar, Umar, dan Utsman, tapi tentu tidak semua golongan, mengingat banyaknya golongan di aliran ini. Ulama Sunni sepakat bahwa golongan Syiah Rafidhah, mayoritas adalah sesat.
  3. Syiah Zaidiyah (termasuk Syiah Ja’fariyah). Aliran ini adalah aliran yang paling toleran dalam dunia Syiah, bahkan dalam ibadah tidak jauh berbeda dengan Ahlussunnah wal Jamaah. Yang membedakan dengan kita, Syiah Zaidiyah menganggap Ali lebih utama ketimbang Utsman, sementara mayoritas Sunni (tidak semuanya) menganggap Utsman lebih utama ketimbang Ali. Perbedaan Syiah Zaidiyah dengan Sunni juga terdapat dalam masalah-masalah sepele yang tidak perlu dibesar-besarkan. Mayoritas ulama Sunni menerima golongan ini, kecuali Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, salah seorang pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Mbah Hasyim secara pribadi berpendapat bahwa seluruh Syiah harus ditolak ajarannya, walau memang dikemudian hari banyak pesantren Nahdlatul Ulama yang mengajarkan kitab-kitab Syiah.

Dari realitas yang ada, penulis kira terlalu berlebihan jika menggunakan slogan “Syiah Bukan Islam”. Syiah secara umum hanya sesat dari jalur Ahlussunnah, jadi pengkafiran ini benar-benar tidak mendasar sama sekali. Adapun mengenai pembantaian warga Sunni oleh pemerintah Syiah, penulis kira itu hanyalah masalah politik. Pemerintah yang sah memang seharusnya menjaga kedaulatan negaranya. Termasuk juga kasus di Sampang, Madura. Penulis kira kita harus fair, karena ada banyak dugaan perselisihan antara Sunni dan Syiah di Madura hanya disebabkan oleh faktor pribadi, bukan faktor ajaran.

Secara bahasa, slogan “Syiah Bukan Islam” jelas tidak dibenarkan sama sekali. Mari penulis analogikan dengan pernyataan yang lain. Andaikan penulis membuat pernyataan “Orang Indonesia Bukan Orang Baik”, apakah dapat dibenarkan secara bahasa? Jelas tidak, karena generalisasi ini tidak benar. Tidak semua orang Indonesia itu jahat, tentu masih banyak orang Indonesia yang baik. Begitupun dengan Syiah. Tidak semua Syiah itu kafir.

Ditambah dengan kenyataan bahwa tidak ada satu pun ulama yang mengkafirkan Syiah secara umum. Kebanyakan hanya menyatakan Syiah sesat dari jalur Ahlussunnah. Kalaupun ada ulama Tabi’in yang mengkafirkan Syiah, tentunya ulama itu akan memberikan spesifikasi dari Syiah yang ia kafirkan. Ditutup dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia yang mengatakan bahwa Syiah itu sesat, jelas menandakan bahwa slogan “Syiah Bukan Islam” sama sekali tidak mendasar.

Dapat disimpulkan bahwa slogan “Syiah Bukan Islam” tidak tepat secara bahasa dan tidak memiliki landasan hukum dan landasan pemikiran yang kuat. Kita memang menolak pemikiran Syiah, tapi kita tidak harus memusuhi orang-orang Syiah. Yang kita tolak hanyalah pemikirannya, bukan orang-orangnya. Dan hati-hati terhadap adanya kemungkinan propaganda politik yang mungkin diuntungkan dengan slogan “Syiah Bukan Islam” ini. Wallahu A’lam.

 

Referensi Buku :

  • Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia (Tim Penulis MUI);
  • Khawarij dan Syiah dalam Timbangan Ahlussunnah wal Jamaah (Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi);
  • Minhaju As-Sunnah (Ibnu Taimiyah, seorang ulama bermadzhab Hambali yang kemudian menyatakan anti-madzhab dan mempengaruhi pemikiran Ibnu Qayyim dan Muhammad bin Abdul Wahhab. Melahirkan sebuah pemikiran baru yaitu pemurnian Islam yang sekarang gencar disuarakan oleh golongan Salafi Wahabi).

 

~~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~~