Gua Rendi. Salah seorang mahasiswa di universitas negeri ternama di kota Yogyakarta, UGM. Gua punya banyak teman, karena hobi gua kumpul-kumpul dengan anak-anak organisasi. Orang bilang gua ini berkulit putih. Lumayan ganteng katanya. Tapi aneh. Gua masih jomblo. Gua masih kalah dengan banyak mahasiswa lain yang sudah banyak mendapatkan pasangan. Kadangkala gua malu, meskipun hal itu gua tutup-tutupi. Tapi gua juga heran, kenapa gua sampai saat ini masih jomblo. Jangan pikir gua nervous ya kalau deket cewek. Nggak. Gua bahkan sering ngobrol dengan mereka.

Jadi apa yang menyebabkan gua jomblo ini? Ternyata gua baru sadar jawabannya setelah di beritahukan oleh teman terdekat gua, Amel, seorang mahasiswi yang berbeda fakultas, tapi kami kenal dalam sebuah organisasi. Amel menceritakan pandangannya terhadap diri gua. Dia menilai bahwa gua ini seorang yang cuek. Tidak peka terhadap perasaan wanita. Dan memang benar. Dari situ saja gua udah menerima pandangan Amel. Gua seorang yang cuek. Bagaimana tidak, gua jarang sekali nembak cewek. Karena gua merasa, si cewek harus memberikan sinyal pertama terhadap cowoknya. Tapi realitasnya, tidak semua sinyal itu dapat di tangkap oleh si cowok. Tidak sedikit kabar dari banyak teman yang sampai ke telinga gua, bahwa si A suka sama gua. Si B sayang sama gua, dan sebagainya. Tapi gua tetap cuek dan ngobrol dengan mereka layaknya seorang teman.

Satu hal lagi. Gua lebih suka di tembak cewek dari pada menembak.  Hal yang sebenarnya menjadi aib pribadi gua sendiri. Dan pernyataan gua ini bukan tanpa alasan. Udah beberapa cewek yang pernah nembak di hadapan gua, atau ada juga yang lewat sms dan telepon. Tapi semuanya gua tolak, karena tidak memenuhi kriteria yang gua harepin.

Gua bingung dengan status jomblo gua. Status yang selalu membuat gua malu manakala teman-teman organisasi kumpul-kumpul membawa pasangan. Dan gua duduk sendiri. Paling juga dengan banyak teman lain yang sesama jomblo. Pasangan gua selalu gerombolan cowok, atau kadangkala cuma sendiri.

***

Di suatu saat di hari minggu, jam 7 pagi tepatnya, gua di telepon oleh Raka, teman se-organisasi di kampus.

“Dimana men?” tanya Raka.

“Gua baru bangun,” jawab gua datar.

“Cepat ke kampus, ada acara jalan-jalan ke Dieng. Kurang satu motor.”

“Hah? Kok bisa gua baru tau?”

“Baru tadi malem kita bicarainnya. Itu juga lewat chatting di facebook. Lu si jarang online.”

“Ok deh.”

Gua langsung berangkat ke kampus. Membawa motor andalan gua, ninja berwarna hijau, masih mulus. Meskipun tampang gua gak jelek-jelek amat, motor juga gak jelek-jelek amat, tetap aja jomblo. Aneh kan?

Gua datang ke kampus. Dan memang benar. Ada sekitar 17 motor berjejer di pinggir sekretariat organisasi. Dan memang benar, ada satu orang yang tidak kebagian motor. Seorang cewek. Dan gua baru menyadari suatu keberuntungan yang besar gua bisa hadir. Ketika si cewek membalikkan badan, gua baru tau itu Gea, teman organisasi gua yang sebenarnya udah lama gua suka. Tapi gua menunggu sinyal darinya, dan sampai saat ini gua belum menemukan sinyal itu. Satu hal lagi, gua jarang banget nembak cewek, karena takut ditolak. Jika memang si cewek tidak memberikan sebuah sinyal yang nyata, maka gua tak akan menembaknya, walaupun sebenarnya gua suka padanya. Ini problem gua mas bro, help me.

Tak panjang lebar lagi, Gea langsung naik ke motor gua. Beberapa menit kemudian, kami mulai perjalanan menuju Dieng.

Di tengah perjalanan kami ngobrol ke sana kemari. Gua baru sadar, ternyata Gea lebih asyik dari yang gua kenal sebelumnya. Apa memang karena satu motor ya? Entahlah, tapi gua ngerasa nyaman banget ngobrol sama dia. Kami terus ngobrol, tertawa bareng karena guyonan kami sendiri, dan teman-teman di belakang gua mulai menatap serius dan memberikan komentar pertama. “Ada pasangan baru nih..” begitulah ejekan mereka. Ucapan itu yang membuat kami agak gugup. Gua gugup, dan dia pun gugup. Gua tahu itu. Gua tahu dari nada bicaranya.

Sesampainya di Dieng, seperti biasa, kami langsung berburu makanan. Karena sudah menjadi rutinitas dan budaya kami, kalau ada jalan-jalan dengan perjalanan jauh, setelah sampai pasti mencari warung makan.

Di warung makan itu, seperti biasa kami membuat kelompok-kelompok ngobrol. Cewek ngobrol dengan cewek. Cowok ngobrol dengan cowok. Karena meja di warung itu pada kecil-kecil, jadi tidak bisa digabung semuanya dalam satu meja. Ada juga cewek yang satu meja dengan para cowok yang sudah saling akrab banget. Dan gua masuk di dalamnya. Satu-satunya cewek di meja kami adalah Amel, teman kuliah gua yang sudah gua ceritain itu.

Tak disangka, ditengah perbincangan kami, Amel berbisik sama gua, “Ren, si Gea suka tuh!”

Mendengar ucapan itu, gua ragu.

“Ah yang bener lu?” tanya gua penasaran.

“Serius, Ren. Dia dari dulu suka sama lu. Dan gua juga bisa lihat sebenarnya lu juga suka sama dia. Cuma lu kebanyakan nunggu sinyal. Gak semua sinyal dapat lu tangkep, Ren.”

“Tapi gimana kalau dia nolak?”

“Gak bakal, sebelumnya dia pernah ngobrol sama gua, bahwa dia suka sama lu. Coba deh, buat kali ini aja, lu harus berani ngambil resiko nembak.”

Mendengar kata-kata Amel, mulai tumbuh jiwa semangat gua.

***

Ketika jalan-jalan dan berfoto-foto bareng dengan teman-teman, ada sebuah momen dimana Gea sedang berjalan sendiri. Gua mendekatinya. Ngobrol-ngobrol bareng. Dan pada akhirnya gua tembak dia di hadapan semua teman-teman gua.

“Ge, sebenarnya gua udah lama suka sama lu, lu mau gak jadian sama gua?”

“Ya elah, Ren. Kenapa nggak dari dulu si? Gua juga suka sama lu!”

Sialan. Jawabannya bikin gua nyesel seumur-umur. Kenapa gak dari dulu ya?

“Kenapa, Ren?” tanya dia serius.

“Jujur aja, Ge. Gua takut nembak lu. Gua takut ditolak. Lu belum kasih sinyal ke gua. Gua takut.”

“Ren Ren. Lu pikir gua pas pelantikan dulu gua nyariin kemeja sama jas buat lu, lu anggap bukan sinyal? Gua nyari muter-muter tengah malam, Ren. Itu cuma buat lu!

“Lu juga nggak nyadar, gua pernah posting foto bareng lu di facebook? Sampe sekarang belum gua hapus, Ren. Itu sinyal dari gua!”

Gua nggak bisa jawab. Gua membisu. Gua nggak bisa bantah dia. Emang gua terlalu cuek.

Acara nembak yang biasa gua liat di tv seperti romantis, tidak terjadi saat itu. Semuanya hening. Temen-temen gua yang lain bungkam. Nggak ada suara. Semuanya terdiam.

Dan Gea pun seketika berlari. Menjauh dari keramaian sambil menangis perlahan-lahan.

Gua nggak tau harus berbuat apa. Gua bener-bener nggak tau.

Sampe akhirnya Amel deketin gua sambil berbisik, “kejar, Ren. Dia udah jadi milik lu.”

 

~~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~~