Sunan Gunung Djati atau Syarif Hidayatullah adalah salah satu dari penyiar agama Islam di tanah Jawa bersama kesembilan wali yang dikenal dengan nama Walisongo. Sunan Gunung Djati merupakan cucu dari penguasa Tanah Sunda, Prabu Siliwangi dari Kerajaan Sunda Padjadjaran. Sangat unik melihat kenyataan bahwa Sunan Gunung Djati adalah penyiar agama Islam yang terkemuka, karena kakeknya Prabu Siliwangi adalah Raja dari kerajaan bercorak Hindu-Buddha di Jawa Barat.[1] Cirebon baru menjadi kerajaan yang berdaulat dan tidak lagi berada dibawah kekuasaan manapun, ketika Sunan Gunung Djati berkuasa dan melepaskan diri dari Kerajaan Sunda Padjadjaran.[2]

Syarif Hidayatullah atau yang biasa kita kenal sebagai Sunan Gunung Djati lahir dari pasangan Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alim dan Nyai Rara Santang. Beliau lahir pada tahun 1448 Masehi dan saat mulai beranjak dewasa beliau ditugaskan oleh ayahnya untuk memimpin kerajaan. Namun ia menolak dengan alasan ingin menyebarkan ajaran agama Islam.

Sunan Gunung Djati yang tadinya tinggal bersama kedua orang tuanya di Timur Tengah, memutuskan kembali ke tanah Jawa untuk melanjutkan niatnya dalam penyebaran agama Islam. Pada usia 25 tahun beliau sudah dikenal sebagai ulama penyebar Islam yang sangat dihormati. Tidak hanya itu saja, beliau juga  disegani karena kepemimpinannya yang sangat adil dan bijaksana.

Sunan Gunung Djati yang dikenal sebaga cucu Prabu Siliwangi ini merupakan seorang ulama yang sangat berpengaruh dalam penyebaran agama Islam di Cirebon. Beliau berhasil menyebarkan agama Islam dengan mengajak seluruh prajuritnya ataupun masyarakat untuk masuk ke dalam agama Islam. Berkat kegigihannya tersebut ia menjadi salah satu tokoh yang berpengaruh dalam sejarah Islam di tanah Jawa.

Sunan Gunung Djati wafat pada tanggal 19 September 1569 Masehi dalam usia 121 tahun. Beliau dimakamkan di Gunung Sembung  yang berada di Desa Astana Kabupaten Cirebon. Makam beliau juga termasuk salah satu tujuan ziarah Walisongo yang hingga sekarang masih ramai dikunjungi masyarakat dan para peziarah.

Kisah Sunan Gunung Djati memang patut untuk diketahui mengingat perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam. Dengan tidak pernah memandang siapapun untuk diajak memeluk agama Islam, membuatnya dijadikan sebagai tokoh teladan ataupun ulama besar bagi masyarakat, khususnya warga Cirebon.

Berikut ini kami sampaikan beberapa informasi mengenai perjalanan hidup Sunan Gunung Djati yang dapat menjadi bahan ilmu pengetahuan tentang para ulama Walisongo di Indonesia.[3]

 

Keahlian yang Dimiliki

Terdapat beberapa keahlian yang dimiliki oleh Sunan Gunung Djati. Antara lain seperti dalam hal keagamaan, ilmu kedokteran, ahli bahasa, dan beberapa dalam strategi politik dan perang. Terutama keahliannya dalam bidang strategi politik yang telah berhasil meruntuhkan  kerajaan Sunda Padjajaran hingga berhasil mengusir bangsa Portugis yang kala itu menjajah daerah Selat Sunda.

Selain keahliannya dalam bidang politik, Sunan Gunung Djati juga dikenal ahli dalam bidang kesehatan dan penyembuhan penyakit. Beliau dikenal sangat mahir dalam mendeteksi gejala penyakit ataupun menyembuhkan sebuah penyakit hanya dengan kesaktiannya. Mungkin itulah salah satu karomah dari Sunan Gunung Djati.

 

Menikah Dengan Seorang Putri Cina

Pernikahannya yang terkenal dengan seorang putri kaisar Cina, Nyi Ong Tin berawal dari sebuah tantangan yang diberikan oleh kaisar Cina tersebut. Kaisar Cina memberikan sebuah tantangan yang berhasil dilakukan oleh Sunan Gunung Djati dengan kesaktiannya. Sunan Gunung Djati berhasil menjawab pertanyaan yang diajukan oleh kaisar Cina.

Pada awalnya kaisar Cina menganggap jawaban itu salah dengan mengusir Sunan Gunung Djati, namun pada akhirnya jawaban itu terbukti benar dan menyusul Sunan Gunung Djati untuk menemuinya. Selain berhasil menikahi putri Ong Tin, ia juga berhasil mengajaknya untuk masuk ke dalam agama Islam.

 

Memuslimkan Ribuan Prajurit

Setelah berhasil mengajak istrinya untuk menjadi seorang mualaf, beliau juga berhasil mengajak sebagian prajurit perang Kaisar Cina untuk ikut memeluk agama Islam. Jumlah prajurit yang diislamkan oleh Sunan Gunung Djati mencapai ribuan orang.

 

Menyebarkan Agama Islam dengan Cara yang Unik

Sunan Gunung Jati mempunyai caranya sendiri dalam menyebarkan agama Islam, yaitu dengan menggunakan media kesenian gamelan di Cirebon. Konon, setiap orang yang ingin melihat pertunjukan gamelan dari Sunan Gunung Djati harus mengucapkan dua kalimat syahadat terlebih dahulu. Itulah mengapa gamelan digunakan beliau sebagai media syiar Islam.

Hingga sekarang, gamelan tersebut masih di mainkan oleh pihak keraton Cirebon walaupun usianya sudah ratusan tahun. Rangkaian gamelan yang berupa gong, bonang, dan saron tersebut masih tersimpan rapi di museum pusaka Keraton Kasepuhan Cirebon. Untuk terkadang digunakan pada acara pementasan saat hari-hari kebesaran tertentu agama Islam.

 

Kesultanan Cirebon

Sekitar tahun 1487, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati berhasil diangkat menjadi sultan Cirebon. Hal ini memang berkaitan dengan kehadiran Walisongo termasuk Sunan Gunung Djati sendiri yang memberikan peranan penting dalam sejarah pembentukan Kesultanan Demak. Hal ini sesuai dengan rencana Sunan Ampel (ulama yang dituakan dalam Walisongo) dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa.

Untuk mengenang perjuangan dan pengabdiannya dalam penyebaran agama Islam, makam dari Sunan Gunung Djati selalu ramai diziarahi masyarakat. Bangunan dan arsitektur sekitaran makam Sunan Gunung Djati pun tampak bernuansa khas Cina. Para pengunjung biasanya hanya bisa berdoa di depan teras pintu masuk makam yang dikelilingi dengan tembok yang berbahan dasar keramik khas Cina.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, Sunan Gunung Djati selain dikenal sebagai ulama besar di tanah Sunda dan Cirebon, beliau juga dikenal sebagai pendiri dinasti kerajaan Islam di Jawa Barat. Dibawah ini merupakan silsilah Sunan Gunung Djati di Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Pangguron Kaprabonan, Keraton Kacerbonan, dan Kesultanan Banten. Hal ini didasarkan pada buku Sejarah Cirebon, diuraikan sebagai berikut:[4]

Keraton Kasepuhan

  • Pangeran Pasarean;
  • Pangeran Dipati Carbon;
  • Panembahan Ratu;
  • Pangeran Dipati Anom Carbon;
  • Panembahan Girilaya;
  • Sultan Raja Syamsuddin;
  • Sultan Raja Tajularipin Jamaluddin;
  • Sultan Sepuh Raja Jaenuddin;
  • Sultan Sepuh Raja Sena Muhammad Jaenuddin;
  • Sultan Sepuh Safiuddin Matangaji;
  • Sultan Sepuh Hasanudin;
  • Sultan Sepuh I;
  • Sultan Sepuh Raja Syamsuddin I;
  • Sultan Sepuh Raja Syamsuddin II;
  • Sultan Sepuh Raja Ningrat;
  • Sultan Sepuh Jamaluddin Aluda;
  • Sultan Sepuh Raja Rajaningrat;
  • Pangeran Raja Adipati Maulana Pakuningrat

 

Keraton Kanoman

  • Pangeran Pasarean;
  • Pangeran Dipati Carbon;
  • Panembahan Ratu;
  • Pangerann Dipati Anom Carbon;
  • Panembahan Girilaya;
  • Sultan Muhammad Badriddin Kanoman;
  • Sultan Anom Raja Madurareja Kadiruddin;
  • Sultan Anom Alimuddin;
  • Sultan Anom Muhammad Kaeruddin;
  • Sultan Anom Abusolekh Imamuddin;
  • Sultan Anom Muhammad Komaruddin I;
  • Sultan Anom Muhammad Komaruddin II;
  • Sultan Anom Raja Dzulkarnaen;
  • Sultan Anom Raja Nurbuat;
  • Sultan Anom Muhammad Nurus.

 

Pangguron Kaprabonan

  • Pangeran Pasarean;
  • Pangeran Dipati Carbon;
  • Panembahan Ratu;
  • Pangeran Dipati Anom Carbon;
  • Panembahan Girilaya;
  • Sultan Muhammad Badriddin Kanoman;
  • Pangeran raja Adipati Kaprabon Kaprabonan
  • Pangeran Kusuma Waningyun;
  • Pangeran Brataningrat;
  • Pangeran Raja Sulaeman Sulendraningrat;
  • Pangeran Aripuddin Kusumabratawirja;
  • Pangeran Adikusuma

 

Keraton Kacerbonan

  • Pangeran Pasarean;
  • Pangeran Dipati Carbon;
  • Panembahan Ratu;
  • Pangeran Dipati Anom Carbon;
  • Panembahan Girilaya;
  • Sultan Muhammad Badriddin Kanoman;
  • Sutan Anom Raja Mandurareja kadiruddin;
  • Sultan Anom Alimuddin;
  • Sultan Anom Muhammad Kaeruddin;
  • Sultan Carbon Kacrebonan;
  • Pangeran Raja Madenda;
  • Pangeran Raja Dendawijaya;
  • Pangeran Raharja Madenda;
  • Pangeran Raja Madenda;
  • Pangeran Sidik Arjaningrat;
  • Pangeran Harkat Natadiningrat;
  • Pangeran Muhammad Mulyono Amir Natadiningrat

 

Kesultanan Banten

  • Sultan Banten Maulana Hasanuddin;
  • Sultan Banten Maulana Jusuf;
  • Sultan Muhammad Sebakingkin;
  • Sultan Abumapakir Abdul Kodir;
  • Sultan Abumaali Akhmad;
  • Sultan Abdul Patah;
  • Sultan Abunasir Abdul Kohar;
  • Sultan Abumaksum Jaenal Abidin;
  • Sultan Abdul Patah Muhammad Syapah;
  • Sultan Abdul Patah Muhammad Mukhyiddin;
  • Sultan Muhammadd Rapiuddin (diasingkan ke Surabaya oleh Belanda)

 

~~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~~

 

_______________

[1] Titan Rohkmutiana Hardhi, 2014, “Dakwah Sunan Gunung Jati Dalam Proses Islamisasi Di Kesultanan Cirebon Tahun 1479-1568”, Skripsi, Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, hlm. 44.

[2] Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiah, 2001, Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon, Jakarta: CV. Suko Rejo Bersinar, hlm.6.

[3] “Sunan Gunung Jati”, https://www.romadecade.org, diakses pada tanggal 13 Maret 2020, pukul 13:34.

[4] P. S. Sulendraningrat, 1978, Sejarah Cirebon, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hlm. 55-57.