Dunia dosen dan akademisi adalah dunia yang serius. Orang-orang didalamnya tidak sefleksibel seniman atau budayawan. Tampang-tampang berkacamata tebal dan tatapan yang sangat datar, tentu menjadi identitas mereka.

Namun siapa sangka, selalu ada anekdot di setiap sisi kehidupan. Selalu ada gurauan, selalu ada materi untuk menjadi bahan perbincangan di forum-forum. Tak terkecuali dunia dosen dan akademisi.

Misalnya saja, sering kita temui kalimat-kalimat sindiran di media sosial seperti begini, “jika kamu kuliah di luar negeri, mending nggak usah balik, mas. Lebih baik berkarier di sana. Kalo balik, mentok-mentok paling jadi dosen…”

Apakah dosen adalah profesi yang buruk? Jelas tidak! Sama sekali tidak! Tapi kenapa profesi dosen selalu menjadi bahan obrolan di media sosial? Itu karena di banyak kampus di Indonesia (tentu yang bukan kampus negeri dan swasta terbaik), gaji dosen itu bisa sangat kecil sekali. Saking kecilnya, kadang lebih kecil dari cleaning service. Dan itu nyata.

Gaji dosen di Indonesia banyak yang dibawah UMR, padahal secara hukum jelas setiap pekerja/buruh terlindungi dengan upah minimum. Pihak kampus selalu memberikan alasan klasik, “ini dosen, mas, nggak nginduk ke UU Ketenagakerjaan, tapi nginduk ke UU Guru dan Dosen.” Tapi coba saya tanya, di UU Guru dan Dosen memang dijelaskan hubungan kerja dan segala implikasinya?

Gaji dosen yang kecil itu tentu tidak akan mampu membiayai kehidupan sehari-harinya, utamanya yang sudah berumah tangga. Mau kredit rumah? Coba ajukan ke bank, lihat apa yang bisa bank lakukan. Mereka akan sulit memberikan kredit, karena bank tidak pernah peduli profesi apa yang kamu jalani, mereka lebih peduli, ada berapa saldo di rekeningmu, dan berapa gajimu setiap bulan. Bagi bank, profesi dosen itu bukan sesuatu hal yang harus diistimewakan.

Selain karena gajinya yang kecil, pekerjaan dosen di kampus swasta biasanya rangkap ini dan itu. Seorang dosen bisa merangkap sebagai dosen sendiri, sebagai TU, sebagai pelayan mahasiswa, sebagai tim akreditasi yang kerja siang dan malam, bahkan sebagai tenaga kebersihan. Itu yang menjadi anekdot selanjutnya, “mana bisa dosen fokus di tridharma perguruan tinggi, jika kerjaan dosen udah sekampret itu banyaknya…” Oleh karena itu, banyak dosen yang tidak produktif. Kalopun dia menulis, isi tulisannya paling ya mirip-mirip daur ulang sampah, hasil comot ini dan itu. Alhasil, beberapa dosen secara terpaksa “mengemis” dana hibah penelitian, menyelipkannya untuk kehidupan pribadinya, sementara hasil penelitiannya dia pangkas dengan copy-paste.

Belum lagi soal NIDN. Dosen-dosen baru yang fresh graduate, mereka nggak tau apa-apa. Dengan lihainya si kampus yang memang butuh NIDN untuk proses akreditasi, membangun narasi-narasi liar bahwa pekerjaan dosen itu prospektif. Tunjangan ini itu dan fasilitas kelas hotel berbintang 5 ditawarkan dalam proses interview. Saat si dosen baru itu masuk, mereka baru sadar bahwa mereka dimanfaatkan. Namun setelah masuk, mereka juga dilema untuk meninggalkan kampus, karena nama mereka sudah terukir sebagai dosen berhome base kampus tersebut.

Mau pindah kampus? Susah ngurus perpindahan NIDN nya, karena pasti dipersulit oleh kampus asal. Coba bayangkan betapa pedihnya penderitaan dosen-dosen baru itu. Mereka memiliki ekspektasi tinggi sebagai seorang lulusan pascasarjana, namun nyatanya, hidup mereka terjatuh dalam lubang yang kelam. Biaya-biaya yang sudah dikeluarkan oleh pihak keluarganya untuk bisa kuliah di pascasarjana, ternyata tidak akan pernah balik modal. Mereka terjebak dalam lingkaran setan. Dan mereka hanya bisa menangis di setiap kesunyian malam.

Profesi dosen beberapa minggu terakhir ini kembali ramai dibicarakan banyak orang di media sosial. Beberapa postingan di akun twitter misalnya yang mengupload besaran gaji di salah satu kampus swasta di Indonesia, yang besarannya hanya sebesar Rp. 1.000.000, jauh lebih kecil dari cleaning service di kampus tersebut.

Dengan gaji yang nggak ngotak itu, dosen disuruh-suruh untuk menjadi bagian administrasi dan pengisian borang akreditasi yang bisa dikerjakan sampe bermalam-malam yang biaya insentifnya nggak seberapa. Itu pekerjaan atau perbudakan? Coba jawab dalam hati nurani masing-masing. Apa yang salah sebetulnya? Jika kampus nggak mampu membayar gaji dosen dengan standar yang layak, jangan lah buka prodi terus-terusan. Tutup saja! Buka lowongan sesuai yang dibutuhkan. Untuk apa buka prodi baru, sementara mereka nggak bisa bayar dosen-dosennya? Untuk apa mengajukan akreditasi, jika dalam prosesnya penuh manipulasi?

Tapi nanti si kampus bilang begini, “kami butuh 5 dosen, mas, buat ngelengkapi akreditasi. Tanpa akreditasi, mahasiswa-mahasiswa yang sudah terlanjur daftar tidak akan dapat pekerjaan.” Duh Gusti, lingkaran setan macam apa ini. Kemenristek dan Kemenaker wajib dan harus bekerjasama membuat regulasi hukum yang konkret untuk memecahkan masalah ini. Dunia akademis yang seharusnya menjadi pilar kemajuan bangsa, nyatanya masih mengandung luka dan kepedihan yang dalam.

Saya pribadi yang pernah terjun di dunia dosen, tidak akan pernah merekomendasikan profesi dosen kepada adik-adik tingkat saya atau kepada keluarga saya, kecuali betul-betul menjadi dosen di kampus negeri atau di kampus swasta terbaik.

Maka—terakhir sebagai penutup, sementara negara belum menjamin perlindungan hukum bagi dosen di kampus swasta, saya hanya bisa memberikan 4 saran:

  1. Jadilah dosen di kampus negeri.
  2. Jadilah dosen di kampus swasta terbaik.
  3. Selain itu, lupakan jadi dosen. Cari pekerjaan lain yang jauh lebih prospektif. Dosen bukanlah segala-galanya.
  4. Jika sudah mendapatkan pekerjaan utama, kamu bisa menjadi dosen luar biasa atau dosen tamu. Intinya, profesi dosen hanya sebagai pekerjaan sampingan atau sekunder sebagai bagian dari pengabdian.

 

Nb:

Bagi mahasiswa hukum utamanya yang pascasarjana, perlindungan hukum bagi dosen di kampus swasta ini bisa dijadikan judul penelitian. Termasuk saya juga berniat untuk mengembangkannya dalam tulisan jurnal dan buku kajian ilmiah untuk melihat sejauh mana kerusakan sistem dalam dunia dosen di kampus swasta ini. Saya juga akan mulai mengkampanyekan agar kampus-kampus swasta di Indonesia bisa memberikan fasilitas gaji dan tunjangan yang layak bagi kehidupan dosen-dosennya sesuai amanat UU, termasuk memberikan fasilitas jaminan kesehatan dan jaminan ketenagakerjaan. Semoga terlaksana.

 

Jalur hukum:

Sengketa kasus di dunia dosen, walaupun sudah menjadi perbincangan orang, namun jarang sampai ke meja hakim. Saya berharap, dosen-dosen yang merasa dirugikan dengan standar hak yang seharusnya diberikan oleh pihak universitas, bisa mulai mengajukan sengketanya ke Pengadilan Hubungan Industrial. Dengan banyaknya kasus yang masuk di pengadilan, maka akan banyak media yang menyorot, dan tentu akan melahirkan yurisprudensi yang penting untuk menjadi dasar bagi dosen-dosen lainnya. Ini  tentu akan menjadi perhatian serius bagi pihak pemerintah untuk membuat regulasi yang tepat untuk melindungi hak-hak dasar dosen. Sekian, terima kasih.

 

~~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~~