Pendahuluan

Harus terlebih dahulu saya jelaskan, bahwa ini bukanlah jurnal, bukan pula buku, dan sebetulnya bukan artikel ilmiah—walaupun isinya bisa sangat ilmiah secara hukum. Namun ini hanyalah artikel biasa yang dikemas dalam bentuk cerita fiktif yang mungkin dibutuhkan oleh beberapa pihak, utamanya dosen-dosen di kampus swasta yang sekarang menghadapi tekanan batin.

Mengapa tulisan ini cukup penting? Karena saat tulisan ini dibuat, teman saya merupakan dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di Indonesia. Teman saya akhirnya paham betul dinamika persoalan yang dihadapi oleh dosen-dosen di kampus swasta. Banyak berseliweran pertanyaan-pertanyaan yang hampir sama dilontarkan setiap tahun di  forum-forum dosen, entah itu di grup WA maupun grup telegram.

Jadi intinya, tulisan ini ingin sedikit memberikan angin segar bagi beberapa orang yang sekarang sedang mengalami sedih hati. Tetaplah semangat dalam menghadapi hidup, dan tanamkan kalimat ampuh ini, “bahwa dosen bukanlah profesi segala-galanya”. Dengan kita berhenti dari dosen, tidak lantas hidup kita berakhir. Justru, bisa jadi itu merupakan awal yang cerah.

Hal ini penting untuk didoktrinkan dan dibenamkan ke dalam sanubari kita masing-masing. Sudah sampai ditingkatan lulusan pascasarjana, seharusnya dalam menghadapi hidup bisa sangat enjoy dan menyenangkan. Namun kadang bagi beberapa pihak, menjadi lulusan pascasarjana, hidupnya semakin cemas dan ketakutan. Semakin tinggi gelarnya, semakin bodoh dalam mencari penghasilan. Semakin panjang gelarnya, semakin mudah dia ditekan orang. Semakin panjang pengalaman kuliahnya, kadang nyatanya kembali ke setelan pabrik, pikiran di dalam tempurung.

Mari kita hentikan itu. Sekali lagi benamkan ke dalam diri sendiri, bahwa gelarmu berharga. Bahwa pengalaman kuliahmu sangat berguna. Bahwa engkau bisa hidup tanpa tergantung hanya pada satu profesi itu.

Oke biar tidak tambah panjang lagi openingnya, mari kita mulai saja alur ceritanya.

 

Dulu, dosen adalah profesi impian

Kita mulai dulu dari kisah teman saya. Dulu saat kuliah, teman saya sudah memimpikan untuk menjadi dosen. Kenapa? Karena teman saya kagum dengan dosen-dosennya, baik yang di S1, lebih-lebih yang di S2. Apalagi jika melihat seorang guru besar yang keilmuannya luas, selalu menjadi ajang tunggu bagi puluhan mahasiswa yang memadati kelas offline nya.

Melihat realita disekeliling itulah, teman saya tanamkan di dalam dirinya bahwa “saya ingin menjadi dosen”. Ini pula yang menjadi alasan, setelah lulus dari S1, tidak membutuhkan waktu lama, teman saya lanjut ke program pascasarjana. Disini terlihat jelas, siapapun yang kuliah dari S1 langsung ke S2, di pikiran terdalamnya, pasti ada pikiran untuk menjadi dosen. Iya lah, dalam bidang hukum misalnya, hampir semua profesi hukum, semuanya bisa dilamar hanya dengan bermodalkan ijazah S1 saja. Hakim? Jaksa? Komisioner KPK? Penyidik BNN? Advokat? Konsultan hukum pajak? Dan yang lainnya, semuanya hanya butuh ijazah S1. Jadi ketika teman saya putuskan untuk lanjut S2, targetnya memang menjadi dosen. Dan dia benar mengambil program studi hukum.

Namun saat menjadi dosen, bayangan-bayangan indah tadi ternyata hanya sebuah fatamorgana. Dunia dosen, bagi sebagian orang yang sudah menekuninya, ternyata bisa sangat buruk dan licik.

 

Bagaimana ceritanya bisa jadi dosen?

Hal ini bermula gara-gara pandemi. Ya, tentu saja, Covid-19 yang menyerang Indonesia pada awal Maret 2020 merusak segala macam sendi kehidupan teman saya. Dan pada bulan April nya, itu adalah agenda wisuda pascasarjana yang sudah disusun oleh pihak universitas. Namun saat tau presiden mengumumkan kasus pertama pada awal Maret, pihak universitas pun membatalkan secara sepihak acara wisuda yang harusnya teman saya hadiri. Wisuda offline ditiadakan, wisuda online pun tidak ada, karena kampus masih gagap mungkin menghadapi situasi tersebut, kampus selain UT mana terbiasa hal-hal online. Jadi ya, agendanya cuma ngambil ijazah ke Fakultas. Datang pake masker, di cek suhu, ambil ijazah, tanda tangan, pulang. Damn.

Nah karena pandemi inilah, beberapa usaha yang teman saya rintis bertahun-tahun dari tahun 2016 harus mengalami kesulitan. Dan pada akhirnya harus melambaikan bendera putih.

Mulailah teman saya mencari-cari pekerjaan. Dan karena teman saya sudah punya ijazah S2, teman saya mencari lowongan dosen. Dan kita tau sendiri hasilnya, lowongan apapun termasuk dosen di awal-awal pandemi, hilang entah kemana. Sementara itu teman saya membutuhkan beberapa biaya untuk menopang hidup.

Ada satu lowongan, sebuah kampus di Banten, tapi dalam proses rekrutmennya tidak transparan. Wajar juga, jika akhirnya akun instagram si kampus itu diserang oleh netizen dari calon-calon dosen. Hingga akhirnya, teman saya mendapatkan juga pekerjaan dosen dengan mudah di tempat yang sekarang dia tempati. Saking mudahnya, CV yang teman saya kirim melalui email itu sebetulnya CV yang dibuat asal-asalan. Tapi toh dapat juga. Walaupun lokasinya di luar Jawa, teman saya pikir itu tidak terlalu buruk. Namun ternyata perkiraannya salah.

 

Kenapa diambil, padahal sudah tau gajinya kecil?

Dalam kontrak yang dikirim melalui WA, sebetulnya sudah jelas isi gajinya. Dan teman saya pikir itu angka yang kecil. Namun perlu diingat, dalam interview, itu dijelaskan bahwa akan ada tunjangan ini dan tunjangan itu, mulai dari transportasi, kelebihan sks, penelitian, dan lain-lain. Walaupun nyatanya memang tidak bohong, tapi itu cukup manipulatif, karena kenyataannya angka tunjangan itu sangat kecil sekali, dan itu tidak dijelaskan dalam interview.

Kita yang biasa kerja di sektor korporasi, saat mendengar tunjangan, itu angkanya bisa melebihi dari gaji pokoknya. Sehingga saat mendengar sekian deret tunjangan yang akan dikasih dalam jabatan dosen, pikiran teman saya melayang kemana-mana. Maklum, dia kan belum punya pengalaman sebagai dosen, wajar dong kalau dia berekspektasi tinggi, lulusan S2 lagi.

Ini mungkin yang harus di perjelas. Dalam interview, lebih baik sampaikan dulu pahitnya. Jika tunjangan nya kecil, lebih baik tidak usah disampaikan dalam interview. Cukup sebutkan angka gaji pokoknya saja.

Pun demikian dalam fasilitas, sampaikan pahitnya dulu. Hapus itu istilah hotel, apartemen, atau istilah keren lainnya, setidaknya selama interview. Cukup kasih tau kalau tempatnya mirip kamar kos dengan kamar mandi luar, dengan satu kamar berdua, air sering mampet, lingkungan tidak aman karena sering terjadi kasus pencurian, dan lain-lain. Dengan menyampaikan pahitnya, maka jika ada orang yang datang serius menjadi dosen, dia benar-benar siap dengan segala resikonya. Jangan sampai mendapatkan orang-orang yang baru datang, kemudian selang seminggu, si dosen baru itu sudah kabur duluan.

Kampusnya rugi? Jelas nggak. NIDN si dosen baru itu kan sudah tercatat berhome base di kampus tersebut. Lah si dosennya yang bodoh. Kabur dan apatis dengan NIDN nya. Si kampus kan nggak butuh dosennya, orang mahasiswanya saja sedikit. Ngapain datengin dosen banyak-banyak, kalo jumlah mahasiswa yang aktifnya bisa dihitung jari. Jelas, dosen-dosen baru yang lugu itu hanya dimanfaatkan saja, setidaknya NIDN nya untuk mendongkrak akreditasi. Bener apa bener?

 

Terus sekarang gimana?

Nah, jika kita kerja di sektor yang lain, saat kita tidak betah, atau merasa dikhianati, hal paling logis yang bisa kita lakukan adalah dengan mengundurkan diri (jika pekerja tetap ya, tapi jangan lakukan pengunduran diri untuk kerja kontrak), kemudian cabut. Selesai.

Tapi masalahnya untuk dosen, ada satu ganjalan yang cukup menyakitkan. Yaitu NIDN.

Karena teman saya juga masih amatir sebagai dosen, teman saya itu baru mengetahui apa itu NIDN saat dia sudah menjadi dosen. Dia kira ngurus perpindahan nya akan mudah, ternyata itulah momoknya.

Setelah cukup lama teman saya dalami, NIDN ini agak susah di otak-atik. Di pertengahan tahun 2021, teman saya dinyatakan lolos seleksi sebagai dosen di salah satu universitas swasta di Jawa Tengah. Pihak kampus itu menghubungi teman saya melalui email. Karena tidak dibalas, langsung menghubunginya melalui WA.

“Silahkan mas, besok bisa ke kampus kami untuk menindaklanjuti penerimaan dosen ini.”

Agak ragu teman saya bilang, “mohon maaf, pak, tapi saya sudah punya NIDN”.

Cerita dulu sebentar ya, ini kampus membuka lowongannya sejak 2020, tapi karena terjadi pergantian pimpinan, proses seleksinya mandeg dan tau-tau hasilnya diumumkan tahun 2021.

“Wah, NIDN nya di kampus mana mas? Kalo sesama Jawa Tengah kami masih bisa menimbang-nimbang.”

Home base saya diluar Jawa, pak.”

“Wah, itu susah mas, mohon maaf ya.”

“Tapi kampus nya sama-sama kampus ormas hijau kok, pak.”

“Ya, itu nggak ngaruh mas. Yang bikin proses perpindahan home base itu sulit karena perbedaan LLDiktinya.  Ditambah biasanya sama kampus asal prosesnya diulur-ulur. Bisa lama itu mas, bisa bertahun-tahun. Padahal kami juga butuh NIDN nya untuk proses ini dan itu.”

Alhasil, teman saya pun gagal mendapatkan kesempatan emas itu. Dan sialnya, ini bukan kali pertama. Di akhir tahun 2020, teman saya juga pernah keterima sebagai dosen di salah satu kampus swasta bergengsi di Kota Bandung, Jawa Barat. Tapi karena NIDN nya sudah berhome base di tempat lain, si kampus dengan mantap menolak teman saya itu.

Jika sudah seperti  ini, ada beberapa hal yang harus diperhatikan:

  1. Hampir banyak lowongan kerja dosen, mensyaratkan salah satunya adalah “belum memiliki NIDN”.
  2. Perpindahan home base pasti akan dipersulit oleh kampus asal.
  3. Sehingga kampus baru pasti sudah menolak menerima kita sebagai dosen, walaupun sudah lolos seleksi.
  4. Kesimpulan intinya : saat kamu sudah punya home base, maka kemungkinan kamu pindah home base akan sangat kecil.

Lah terus kalau sudah seperti ini, solusinya gimana?

 

Kemungkinan solusi

Jika kamu menghadapi situasi dilema seperti ini, jangan sekali-kali ngobrol dengan pihak kampus. Kenapa? Karena pihak kampus akan bilang begini, “wah sudah terlanjur mas, itu sudah resiko, dan sulit loh mas bla-bla-bla”. Saya kasih tau, setiap ancaman, setiap perkataan yang menakut-nakuti dari orang-orang yang di kampus, saya pastikan itu OMONG KOSONG. Nggak usah takut. Tenang aja. Tidak ada satu pun masalah di dunia ini yang tidak bisa diselesaikan. Tuhan kita maha baik kok. Rileks saja.

Teman saya pun agak-agak diancam ini dan itu, bahkan hanya untuk masalah sepele yaitu nilai mahasiswa, namun teman saya menganggap itu ancaman sampah. Bahkan diancam santet segala macam yang ghaib-ghaib gitu. Di dalam hati, teman saya malah ketawa. Saking husnudzonnya teman saya kepada Tuhan, teman saya itu tidak takut hal-hal seperti itu. Kalaupun ada, atas izin Tuhan, sihir, santet, tenun dan segala macamnya itu, akan balik ke si pengirimnya. Lagi pula, wilayah yang dianggap sakti mandraguna di tanah Jawa, itu daerah Banten, itupun jika tau sejarahnya, ilmu Banten itu dari Cirebon. Dan teman saya itu orang asli kerasidenan Cirebon. Selain masalah santet, juga ditakut-takuti dengan ancaman nyawa. Teman saya ya rileks saja, karena bagi dia, hidup dan mati itu urusan Tuhan. Ada orang niat membunuh kita, jika Tuhan tidak berkehendak, kita nggak akan mati. Tapi jika Tuhan sudah berkehendak, malam kita tidur nyaman, besoknya sudah tidak bernyawa. Teman saya itu calon wali, ditakut-takuti hal semacam itu, sudah tidak ada efeknya sama sekali.

Jadi, orang-orang institusi yang masih menebar teror, ancaman, dan gunjingan di belakang, bisa dikatakan, itu tindakan yang sangat bodoh.

Oke jadi mari kita bahas solusinya.

Solusinya hanya 1, kamu bisa mengundurkan diri, atau diberhentikan. Beda nggak? Sebetulnya nggak.

Jika rujukannya ke UU Ketenagakerjaan (ingat, dosen kampus swasta walaupun embel-embelnya pake istilah pegawai, tapi kenyataannya mereka adalah pekerja/buruh dalam pandangan hukum, karena dalam UU Guru dan Dosen tidak menjelaskan hubungan kerja. Maka masalah kerja ini dikembalikan ke konsep hukum asalnya)[1], untuk sektor yang PKWTT, tidak diperkenankan adanya biaya penalty. Jadi, tenang saja. Jika pun saat kamu ngundurin diri, si kampus meneror kamu bahwa kamu harus bayar biaya penalty, solusinya mudah, silahkan hubungi kantor lawyer terdekat. Serang balik si kampusnya, dan kamu bisa dapat ganti rugi yang jauh lebih besar berdasarkan putusan pengadilan. That’s the simple things.

Saat kamu mengundurkan diri, kamu juga penting untuk memaksa pihak kampus untuk merubah statusmu dalam sistem dengan status keluar. Jika di persulit oleh si kampus, pakai cara sebelumnya. Kampus yang otak batu, harus dilawan dengan otak batu lagi.

Jika dalam sistem di kampus asal, kamu sudah  dinyatakan keluar, maka sisanya kamu hanya harus mengurus ke LLDikti untuk perubahan NIDN menjadi NUP. Dan tada, kamu sudah tidak berhome base lagi.

Hanya sialnya satu, karier dosenmu harus dimulai dari 0. Jadi jika sekarang kamu belum punya jafung apapun, sebaiknya kamu pikirkan dengan serius, kamu mau ngejar jafung termasuk sertifikasi dosen di home bose mu yang sekarang, atau mending tidak sama sekali.

Bagi teman saya, salah langkah itu cukup sekali. Jangan  sampai kita jatuh  di lubang yang sama. Dan bagi teman saya, dosen bukanlah profesi segala-galanya.

 

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulannya mudah, jika kamu sudah terlanjur salah langkah menjadi dosen dan betul-betul tidak ingin terikat lagi dengan kampusmu yang sekarang, pilihannya cuma satu, hilangkan jejak NIDN mu di kampus tersebut. Sekali lagi disampaikan, pindah home base bukanlah solusi. Tapi tetep juga harus diingat, resikonya, karier dosenmu harus mulai lagi dari titik terendah.

Adapun sarannya, khusus bagi siapapun yang belum menjadi dosen, atau yang sudah mengundurkan diri dan menarik NIDN nya dari kampus asal, kemudian ingin berkarier lagi menjadi dosen, saya wanti-wanti:

  1. Jadilah dosen di kampus negeri.
  2. Jadilah dosen di kampus swasta terbaik, seperti UII di Yogyakarta, atau Unpar di Bandung, atau Trisakti dan Tarumanagara di Jakarta, dan beberapa nama kampus swasta lainnya yang bergengsi.
  3. Selain itu, lupakan jadi dosen.

 

Saya tetap dipersulit nih

Oke, sebagian yang membaca pasti akan meremehkan, “tidak akan semudah itu ferguso…”

Tapi kamu harus tetap tau, teman saya itu adalah jebolan fakultas hukum. Dia tak bisa diancam ini dan itu. Dia juga tak bisa disesatkan dengan informasi sepihak dari pihak institusi. Dia juga praktisi hukum. Cara pandangnya ya cara pandang hukum.

Memangnya ada masalah NIDN yang itu bagian dari administrasi dianggap perkara sulit dalam kajian hukum? Malu sama mahasiswa dong.

 

Terakhir nih, saya ditakut-takuti dengan blacklist

Pimpinan teman saya juga bilang, katanya, kalau kita sampai mencabut NIDN, resikonya nama kita akan di blacklist. Tapi bisa saya pastikan, itu lagi-lagi adalah OMONG KOSONG. Jika di blacklist di kampus sesama ormas hijau, mungkin masih masuk akal, namun jika diblacklist di semua kampus di Indonesia, hey, orang bodoh mana yang akan percaya? Orang bodoh mana yang akan percaya kampus sekelas UI, ITB, dan UGM akan tunduk ke omongan pimpinan kampusmu itu?

Terakhir, setelah dipikir-pikir, profesi dosen itu sebetulnya adalah profesi yang ultimum remidium (pilihan terakhir). Jika kamu ada kerjaan selain dosen, mending ambil dulu. Dosen itu terakhir saja, kalau nggak dapet-dapet kerjaan, baru dosen. Tapi ini tentu tidak berlaku untuk dosen kampus negeri dan kampus swasta bergengsi ya, cuy.

Oke, sekian dulu. Dadah.

 

~~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~~

_______________

[1] Percaya saja sudah sama analisisnya anak hukum. Taklid saja taklid kalo nggak tau ilmunya mah.