Nama lengkap saya Idik Saeful Bahri, lulus dari program strata satu studi Ilmu Hukum di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan lulus dari program strata dua magister hukum di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Saya termasuk orang yang pekerja keras, bahkan sejak kuliah di S1 dulu. Bermula dari semester 3, saya sudah terbiasa aktif mengikuti perkuliahan, aktif di beberapa organisasi, juga masih menyempatkan mengisi waktu dan rutinitas dengan kerja sambilan atau kerja part time. Memang tidak mudah, namun saya tetap membagi-bagi waktu diantara ketiganya. Saya tetap berhasil lulus dengan predikat cumlaude baik di S1 maupun S2. Selain itu, saya juga memiliki pengalaman organisasi yang cukup di internal kampus, baik organisasi program studi maupun organisasi pergerakan. Termasuk saya juga pernah beberapa kali bekerja paruh waktu dari sore hingga malam hari. Berbekal pengalaman kerja inilah, saya terbiasa hidup mandiri.

Sebagaimana proposal penelitian yang ditulis, salah satu permasalahan yang sedang dihadapi oleh negara ini adalah upaya amandemen kelima Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Upaya ini berangkat dari ketidakpuasan selama 19 tahun sistem yang terbangun di UUD yang sekarang dengan realita di masyarakat yang jauh dari substansi negara hukum dan demokrasi. Indeks penegakan hukum di Indonesia tetap lemah dan indeks demokrasinya pun tidak menunjukkan arah perbaikan. Tidaklah salah memang jika beberapa pihak mengusulkan amandemen kelima UUD NRI 1945.

Ada beberapa isu yang diusulkan dalam perubahan amandemen kelima UUD NRI 1945, diantaranya dalam bidang hukum yaitu penegasan kembali tugas dan wewenang antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang secara teori saling tumpang tindih. Permohonan penyelesaian judicial review atau pengujian undang-undang secara teori hanya dilakukan di Mahkamah Konstitusi, namun dalam UUD NRI 1945 prinsip ini dilakukan oleh kedua lembaga yaitu MA dan MK, yang ini menimbulkan suatu kerancuan teori. Seharusnya, seluruh pengujian produk hukum dilakukan di Mahkamah Konstitusi, sementara penyelesaian sengketa diluar pengujian produk hukum seperti sengketa pemilihan umum dilakukan di Mahkamah Agung. Selain itu, sifat putusan MK yang final and binding juga dikritik banyak pihak. MK dianggap sebagai lembaga yang superpower karena tidak adanya upaya hukum yang bisa dilakukan jika permohonan seorang warga negara tidak dikabulkan oleh MK. Padahal hal ini bertentangan dengan salah satu tujuan hukum yaitu keadilan dan juga melanggap prinsip-prinsip negara demokrasi.

Lahirnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga dianggap sebagai langkah mati saat amandemen dilakukan, karena pada kenyataannya DPD merupakan lembaga yang paling tidak menguntungkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Ada ataupun tidak dari keberadaan DPD tidak berpengaruh terhadap stabilitas demokrasi di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari tugas dan wewenang DPD yang sebetulnya bisa diambil alih oleh pihak lain yang lebih relevan. Pengusulan rancangan undang-undang otonomi daerah sebetulnya tidak hanya bisa dilakukan oleh DPD, tapi juga bisa dilakukan oleh pemerintah daerah di daerah yang bersangkutan. Pemberian usulan dalam pembahasan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga sebetulnya bukan mutlak kewenangan DPD, namun juga bisa dilakukan oleh pihak dan lembaga lainnya. Oleh karenanya, usulan-usulan pembubaran DPD mungkin terlihat sangat logis di era sekarang.

Masa jabatan presiden yang 5 tahun dan dapat dipilih kembali di periode setelahnya juga dipersoalkan oleh banyak pihak. Faktanya, sudah dua kali sejak amandemen UUD NRI 1945, presiden  petahana tetap mampu mempertahankan takhta tanpa kesulitan yang berarti. Dalam proses-proses kampanye juga biasanya beberapa oknum bawahan presiden selalu menggunakan fasilitas negara untuk keperluan kampanye. Hal ini tentu menciderai pilar-pilar negara demokrasi. Maka wajar, jika beberapa pihak mengusulkan agar kekuasaan presiden hanya untuk satu kali periode saja, walaupun jumlah tahunnya ditambah menjadi 7 atau 8 tahun.

Selain itu, perubahan nama negara dari Indonesia menjadi Nusantara juga mulai dimunculkan oleh beberapa pihak, termasuk juga perubahan bendera Indonesia yang diharapkan bisa ditambah dengan garuda pancasila agar berbeda dengan bendera negara Monaco yang terlihat sama persis dengan yang dimiliki Indonesia. Usulan-usulan yang diuraikan ini hanyalah beberapa usulan yang muncul di permukaan yang menjadi dasar rencana amandemen kelima UUD NRI 1945.

Sebagaimana diketahui bersama, pelaksanaan amandemen UUD dilakukan di forum tertinggi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sehingga pasti didalamnya akan banyak nuansa dan intrik politik dalam upaya amandemen tersebut. MPR adalah salah satu lembaga politik sebagaimana DPR, karena keterpilihan orang-orang di MPR sebagiannya berasal dari anggota DPR, sementara orang-orang di DPR dipilih atas partisipasi partai politik dalam pemilihan umum. Maka terlihat sekali disini, upaya amandemen UUD NRI 1945 akan sangat diwarnai gagasan-gagasan politik praktis. Untuk menghindari hal semacam itu terjadi, perlu adanya antisipasi sebelum amandemen itu dilakukan. Dalam hal ini saya mengambil judul disertasi tentang “Independensi Kekuasaan Kehakiman dan Pembaruan Sistem Lembaga Tinggi Negara yang Progresif dalam Amandemen Kelima Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Sesuai Prinsip Negara Hukum dan Demokrasi” untuk mengukur setiap usulan amandemen pasal-pasal di UUD dalam kacamata ilmu hukum, utamanya hukum tata negara dan hukum konstitusi. Hasil penelitian yang dilakukan ini akan memperlihatkan usulan-usulan mana saja yang itu didasarkan pada teori yang tegak lurus, dan usulan-usulan mana saja yang sifatnya hanya politis semata.

Kajian ilmu yang saya dalami ini adalah berkaitan dengan hukum tata negara, lebih rinci lagi adalah hukum konstitusi. Hukum tata negara adalah salah satu klaster dalam bidang ilmu hukum yang mengkaji tentang struktur dan hierarki ketatanegaraan di suatu negara, dalam hal ini di Indonesia. Hukum tata negara selalu menjadi dasar dalam penentuan kebijakan ditingkat pusat, karena setiap produk hukum yang dihasilkan tidak boleh saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Jika ada suatu produk hukum bertentangan dan saling mengintervensi, maka produk hukum itu bisa dilakukan upaya judicial review kepada lembaga yudikatif untuk dimintakan dicabut atau dibatalkan. Demikian pula dalam hal amandemen UUD NRI 1945, ketentuan dalam setiap kajian pasal didalamnya tidak boleh bertentangan dengan teori-teori dasar dalam hukum tata negara, karena itu akan memberikan implikasi saling tumpang tindihnya kewenangan.

Saya pribadi memimpikan Indonesia kedepan bisa menjadi negara yang kokoh dalam sistem ketatanegaraannya. Hal ini tidak lain menjadi salah satu fungsi dari konstitusi yaitu untuk menjaga hak warga negara dari kekuasaan yang otoriter. Salah satu tujuan konstitusi adalah memberikan pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasaan politik, baik eksekutif maupun legislatif. Tanpa adanya konstitusi yang baik, suatu kekuasaan bisa sangat otoriter dan itu berimplikasi terhadap pelanggaran hak warga negara. Oleh karena itu, untuk mewujudkan penegakan hak warga negara yang kuat, dibutuhkan konstitusi yang kokoh. Untuk mewujudkan konstitusi yang kokoh, maka kita wajib mengawasi setiap upaya-upaya amandemen UUD NRI 1945 sebagai konstitusi dari permainan-permainan politik praktis.

Amandemen UUD NRI 1945 memang bukan perkara yang mudah, hal ini tidaklah sama dengan revisi undang-undang di DPR atau revisi Peraturan Pemerintah oleh kekuasaan eksekutif. Amandemen UUD akan melibatkan banyak pihak, sehingga pelaksanaannya dibutuhkan persetujuan dari banyak pihak pula. Namun lagi-lagi penting untuk disampaikan, beberapa sistem yang bolong dalam UUD yang sekarang merupakan perwujudukan hasil amandemen UUD sebanyak 4 kali di tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 yang kurang maksimal. Ada beberapa celah yang bisa menjadikan suatu pasal di UUD sangat multitafsir, misalkan di Pasal 7 UUD NRI 1945 yang berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Pasal ini pernah menjadi isu perdebatan saat seorang mantan wakil presiden yang sudah pernah dua kali menjabat ingin mengajukan diri kembali dalam pemilihan presiden, dengan alasan bahwa yang bersangkutan menjadi wakil presiden tidak dalam dua jabatan sekaligus, namun diselingi satu periode oleh pihak lain. Belum lagi di Pasal 6A Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 yang berbunyi: “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Hal ini juga mengkerdilkan proses demokrasi, karena itu berarti tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden. Kritik ini juga muncul berkaitan dengan fakta bahwa partai-partai politik di Indonesia sebagainnya tidak demokratis dengan melihat susunan kepengurusan mereka yang biasanya masih dalam satu keluarga. Tidak demokratisnya partai politik, melahirkan para pemimpin yang juga tidak demokratis.

Untuk itu, perlu kampanye besar-besaran dalam upaya amandemen kelima UUD NRI 1945 ini agar tetap sesuai dengan teori-teori hukum tata negara dan tetap menjunjung konsep demokrasi. Saya berinisiasi untuk menjadi seorang dosen dan mengajarkan prinsip ini kepada para penerus bangsa di lingkup universitas. Selain itu, saya juga hendak membuat suatu lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada kajian perumusan amandemen UUD NRI 1945 yang menjunjung tinggi nilai-nilai hukum dan demokrasi, sehingga sistem ketatanegaraan Indonesia bisa sangat kokoh untuk kedepannya. Kampanye-kampanye melalui seminar publik dan diskusi ilmiah juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari beberapa peran yang akan saya lakukan dalam mewujudkan ide dan gagasan ini.

Lebih lanjut dari itu, dengan posisi tawar seorang akademisi dibidang hukum tata negara yang bergelar doktor akan menjadi nilai tersendiri saat amandemen UUD NRI 1945 dilakukan. Penulisan-penulisan ilmiah dalam bentuk buku dan jurnal juga mutlak dilakukan untuk mengisi kekosongan kajian dalam amandemen UUD NRI 1945. Hal ini tidak lain dan tidak bukan, untuk mewujudkan negara Indonesia tercinta ini menjadi negara yang jauh lebih baik dalam sistem, serta mewujudkan tujuan-tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD NRI 1945, yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Hal ini wajib dituangkan dalam suatu susunan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang kokoh, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

~~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~~