A. Tinjauan Mengenai Hubungan Kerja

  • Definisi Hubungan Hukum

Beberapa sarjanawan hukum telah banyak mendefinisikan mengenai hubungan hukum (rechtsbetrekkingen). Soeroso didalam bukunya berjudul ‘Pengantar Ilmu Hukum’ mendefinisikan hubungan hukum sebagai hubungan antara dua atau lebih subjek hukum. Hak dan kewajiban satu pihak dalam hubungan hukum berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak lainnya.[1] Memperkuat definisi yang dijabarkan Soeroso, Ishaq juga memandang hubungan hukum sebagai hubungan yang terjadi antara dua subjek hukum atau lebih dimana hak dan kewajiban di satu pihak berhadapan dengan hak dan kewajiban di pihak lainnya.[2]

Menurut penulis, definisi sederhana dari hubungan hukum adalah hubungan yang diatur oleh hukum. Makna dari hubungan yang diatur oleh hukum disini adalah hubungan yang melahirkan hak dan kewajiban bagi beberapa subjek hukum dalam suatu peristiwa hukum. Berdasarkan definisi singkat tersebut dapat dipahami bahwa hubungan hukum adalah hubungan yang lahir dari suatu peristiwa hukum dengan memberikan implikasi lahirnya hak dan kewajiban diantara beberapa subjek hukum sehingga menimbulkan suatu perikatan. Setiap hubungan hukum yang diciptakan oleh hukum selalu mempunyai dua segi, yakni disatu pihak berisi hak, sedang di pihak lainnya merupakan kewajiban.[3] Hak dan kewajiban ini akan tetap melekat pada para pihak yang memiliki hubungan hukum hingga hak dan kewajiban tersebut ditunaikan. Bahkan menurut Abdulkadir Muhammad, hak dan kewajiban tersebut apabila tidak ditunaikan dapat dikenakan sanksi menurut hukum.[4]

Berdasarkan definisi dan penjabaran di atas, penulis dapat menarik suatu kesimpulan bahwa hubungan hukum memiliki setidaknya 3 (tiga) unsur, yaitu:

  1. Ada dua pihak atau lebih yang hak dan kewajibannya saling berhadap-hadapan.
  2. Adanya objekyang dilaksanakan hak dan kewajibannya.
  3. Adanya suatu sebab-akibat yang timbul atas suatu peristiwa hukumyang melahirkan hak dan kewajiban, misalnya melalui perjanjian.

Selain adanya unsur-unsur diatas, dari definisi-definisi tersebut, hubungan hukum juga mensyaratkan beberapa hal berikut, antara lain:

  1. Harus didasarkan pada peraturan hukum yang berlaku, yaitu peraturan yang mengatur mengenai hubungan hukum Dasar ini tentu sangat kental dalam tradisi Civil Law System, dimana hukum diidentikkan dengan hukum tertulis. Menurut penulis, syarat ini tidak begitu berlaku dalam tradisi Common Law System, karena dalam sistem ini hukum tumbuh dan lahir dari masyarakat.
  2. Harus menimbulkan akibat hukum. Hubungan hukum ini lahir dari adanya peristiwa hukum(peristiwa yang diatur menurut hukum). Munculnya peristiwa hukum ini tentu akan melahirkan akibat hukum yaitu adanya hak dan kewajiban bagi para pihak yang terikat dalam suatu hubungan hukum.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, setidaknya terdapat 3 (tiga) jenis hubungan hukum, yaitu:

  1. Hubungan hukum bersegi satu (eenzijdige rechtsbetrekkingen). Jenis hubungan hukumbersegi satu berarti hanya ada satu pihak yang memiliki wewenang dan pihak lainnya hanya memiliki kewajiban. Menurut Pasal 1234 KUH Perdata, jenis hubungan hukum ini lahir atas dasar perikatan yang ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
  2. Hubungan hukum bersegi dua (tweezijdige rechtsbetrekkingen). Maksudnya, para pihak yang terikat dalam hubungan hukumsama-sama memiliki hak dan kewajiban. Contoh dalam KUH Perdata adalah perjanjian jual beli, dimana masing-masing pihak berwenang/berhak meminta sesuatu dari pihak lain.
  3. Hubungan antara satu subjek hukum dengan semua subjek hukum lainnya. Selain kedua jenis hubungan diatas, seringkali masih ada hubungan antara subjek hukum dengan subjek hukum lainnya. Menurut Pasal 570 KUH Perdata, hubungan hukumini biasanya terdapat dalam kasus hak milik (eidendomsrecht).

 

  • Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja

Secara umum hubungan kerja adalah suatu bentuk hubungan hukum yang lahir didasarkan pada perjanjian pekerjaan antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Zainal Asikin mendefinisikan hubungan kerja sebagai hubungan antara buruh dan majikan setelah adanya perjanjian kerja, yaitu suatu perjanjian dimana pihak kesatu (pekerja/buruh) mengikatkan dirinya kepada pihak lain (pengusaha/majikan) untuk bekerja dengan mendapatkan upah, dan majikan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan si buruh dengan membayar upah.[5] Definisi tersebut dipersingkat oleh Lalu Husni, bahwa hubungan kerja lahir setelah adanya perjanjian kerja antar pekerja dan pengusaha.[6] Hubungan kerja dilihat dari sejarah istilahnya merupakan pengganti untuk istilah hubungan perburuhan. Hubungan perburuhan yang merupakan terjemahan dari istilah labour relation pada permulaan perkembangannya hanya membahas masalah-masalah hubungan antara pekerja dan pengusaha.[7]

Adapun menurut Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Definisi ini diperkuat dengan Pasal 50 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Dapat dipahami disini bahwa momentum lahirnya hubungan kerja didasarkan pada perjanjian kerja. Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Ketenagakerjaan menjelaskan definisi tentang perjanjian kerja, yaitu perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Perjanjian kerja ini dapat dibuat secara tertulis maupun lisan, walaupun dalam praktiknya, perjanjian kerja seringkali dibuat secara tertulis sebagai bukti yang bisa dipertanggungjawabkan.

Menurut Asri Wijayanti, perjanjian kerja merupakan dasar dari terbentuknya hubungan kerja. Perjanjian kerja dikatakan sah apabila memenuhi syarat sahnya perjanjian dan asas-asas hukum perikatan.[8] Pendapat Asri Wijayanti ini terlihat belum kekinian karena masih didasarkan pada syarat sah perjanjian di Pasal 1320 KUH Perdata. Syarat sah perjanjian kerja saat ini telah merujuk pada ketentuan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pendapat Asri Wijayanti tersebut tidak sepenuhnya keliru, karena jika melihat substansi Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan memiliki makna yang sama dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata. Adapun menurut Subekti, perjanjian kerja adalah perjanjian antara seorang buruh dengan majikan, perjanjian dengan ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperatas (dierstverhanding) yaitu suatu hubungan berdasarkan pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati pihak yang lain (buruh).[9] Hubungan subordinasi ini juga diperkuat dengan argumen Ari Hernawan yang berpendapat bahwa hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan yang berpola kekuasaan, karena ada yang menguasai dan dikuasai. Setidaknya ada perbedaan akses ke berbagai sumber daya dari kedua belah pihak, karena memang posisi tawarnya tidak sama. Perbedaan posisi tawar ini akan sangat berpengaruh dalam membangun relasi diantara keduanya.[10]

 

  • Unsur-Unsur Perjanjian Kerja

Berdasarkan definisi mengenai perjanjian kerja di atas, dapat diuraikan bahwa perjanjian kerja setidaknya harus memiliki 4 (empat) unsur, yaitu:

  1. Adanya unsurwork atau jenis pekerjaan yang ditawarkan. Sebelum adanya UU Ketenagakerjaan, unsur ini terlihat jelas dalam Pasal 1603a KUH Perdata. Setelah berlakunya UU Ketenagakerjaan, unsur ini merupakan pengejawantahan dari definisi Perjanjian Kerja di Pasal 1 angka 14 yang menjelaskan bahwa perjanjian kerja harus memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban. Isi dari syarat-syarat kerja harus tercantum adanya unsur work atau pekerjaan yang dijanjikan.
  2. Adanya unsurperintah. Lalu Husni berpendapat manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang dijanjikan.[11] Unsur perintah ini merupakan bentuk dari adanya hubungan subordinasi yang telah disinggung dalam konsep Subekti dan Ari Hernawan di atas. Pengusaha memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pekerja/buruh, sehingga pengusaha dapat memberikan perintah untuk melakukan sesuatu kepada pekerja/buruh.
  3. Adanya waktu kerja. Kedua belah pihak—yaitu pihak pengusahadan pekerja/buruh—harus menyepakati jangka waktu pekerjaannya. Waktu disini bermakna waktu kerja perhari dan jangka waktu perjanjian kerja yang disepakati pengusaha dan pekerja/buruh. Pada prinsipnya perjanjian itu harus didasari pada kesepakatan para pihak—termasuk didalamnya mengatur mengenai waktu kerja, namun dalam perjanjian kerja biasanya menggunakan perjanjian baku atau perjanjian standar, dimana klausul perjanjiannya telah dibuat oleh pihak pengusaha dan pekerja/buruh hanya diberi pilihan ‘ya’ atau ‘tidak’ terhadap perjanjian tersebut.
  4. Adanya upah. Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja, bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama seorang pekerjamelakukan pekerjaan pada seorang pengusaha adalah untuk memperoleh upah. Sederhananya, tidak adanya unsur upah pada suatu hubungan hukum, maka hubungan hukum tersebut bukan merupakan hubungan kerja.[12]

 

  • Syarat Sah Perjanjian Kerja

Ada 4 (empat) syarat sah perjanjian kerja menurut Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, antara lain:

  • Kesepakatankedua belah pihak.

Kesepakatan disini maksudnya bahwa kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus menerima setiap klausul yang telah dibuat. Pihak pekerja menerima pekerjaan yang ditawarkan dan pihak pengusaha menerima pekerjaan tersebut untuk dipekerjakan. Dengan istilah lain, perjanjian kerja dibuat tidak atas dasar penipuan (dwang), paksaan (dwaling), dan kekhilafan (bedrog).

  • Kemampuan atau kecakapanmelakukan perbuatan hukum.

Kedua belah pihak baik pengusaha maupun pekerja/buruh masuk kategori cakap dalam melakukan perjanjian kerja. Salah satu ciri dari kecakapan adalah terpenuhinya batas minimal umur. Menurut hukum ketenagakerjaan—sebagaimana juga diatur dalam beberapa ketentuan lain seperti UU Perlindungan Anak—bahwa batasan umur minimal bagi seorang yang dianggap cakap dalam membuat perjanjian kerja adalah 18 tahun. Ada beberapa pengecualian bagi anak berumur 13 hingga 15 tahun, dimana UU Ketenagakerjaan membolehkan kategori anak ini untuk melakukan pekerjaan dengan syarat jenis pekerjaannya merupakan pekerjaan ringan dan tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. Selain masalah umur, salah satu faktor kecakapan adalah kedua belah pihak tidak dibawah pengampuan pihak lain serta sehat secara mental dan jiwanya.

  • Adanya pekerjaanyang diperjanjikan.

Menurut ketentuan di Pasal 1320 KUH Perdata dikatakan sebagai ‘suatu pokok persoalan tertentu’, memiliki makna yang serupa bahwa dalam perjanjian yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh harus memuat suatu jenis pekerjaan yang ditawarkan sebagai objek dari perjanjian kerja. Berdasarkan jenis pekerjaan atau perintah pekerjaan dalam isi perjanjian kerja tersebut akan melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak.

  • Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Syarat perjanjian kerja yang keempat ini menurut penulis merupakan pengejawantahan dari syarat sah perjanjian nomor 4 di Pasal 1320 KUH Perdata mengenai ‘suatu sebab yang tidak terlarang’ atau ‘klausula yang halal’. Menurut banyak referensi ilmu hukum, maksud dari klausula yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata bermakna perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Implikasi atau akibat hukum dari tidak terpenuhinya empat syarat sah perjanjian kerja tersebut juga berdampak sama dan mirip dengan tidak terpenuhinya empat syarat sah perjanjian pada Pasal 1320 KUH Perdata. Tidak terpenuhinya syarat poin a (kesepakatan kedua belah pihak) dan poin b (Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum) berimplikasi perjanjian kerja tersebut dapat dibatalkan, sementara tidak terpenuhinya syarat poin c (adanya pekerjaan yang dijanjikan) dan poin d (Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku) berdampak perjanjian kerja tersebut batal demi hukum.

 

  • Bentuk dan Isi Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja dapat dibuat dalam bentuk lisan dan/atau tertulis. Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan, sebenarnya perjanjian kerja lisan memiliki kedudukan dan keabsahan yang sama dengan perjanjian kerja tertulis. Adapun implementasi di lapangan, bentuk perjanjian tertulis menjamin kepastian hak dan kewajiban bagi para pihak, sehingga jika terjadi perselisihan akan sangat membantu proses pembuktian.

Ada beberapa kasus perjanjian kerja masih dibuat secara lisan, biasanya terjadi pada usaha mikro dan kecil. Atas dasar kekeluargaan, pihak pengusaha mempekerjakan tetangganya secara lisan. Khusus kasus di Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa), perjanjian kerja lisan ini masih sering digunakan. BUM Desa yang menerapkan asas kekeluargaan seringkali merekrut para pekerja di desa hanya diikat dengan perjanjian kerja lisan, sehingga bentuk perlindungan hukum bagi para pekerja sangat lemah.

BUM Desa X yang menjadi objek kajian penulis juga pada awal masa rintisannya di tahun 2013 masih menggunakan perjanjian kerja lisan. Seiring pesatnya pertumbuhan dan pemasukan unit usaha BUM Desa, pihak BUM Desa X pun mulai menerapkan perjanjian kerja tertulis. Beberapa pekerja yang bekerja di awal rintisan BUM Desa diperbarui perjanjiannya menggunakan perjanjian kerja tertulis.

Merujuk pada UU Ketenagakerjaan, perjanjian kerja lisan ini sah dan dianggap sama layaknya perjanjian tertulis. Ketentuan di KUH Perdata, utamanya pada Pasal 1320 mengenai syarat sah perjanjian juga tidak mewajibkan suatu perjanjian harus dibuat secara tertulis, sehingga perjanjian lisan juga mengikat secara hukum. Perjanjian secara lisan tentu akan menimbulkan permasalahan hukum dikemudian hari. Apabila kedua belah pihak mengalami ketidak-sepahaman dalam pelaksanaan perjanjiannya, maka satu pihak yang dirugikan (dalam kasus hukum ketenagakerjaan biasanya pihak pekerja), akan sulit membuktikan kebenaran di muka pengadilan.

Pasal 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat keterangan:

  1. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
  2. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
  3. jabatan atau jenis pekerjaan;
  4. tempat pekerjaan;
  5. besarnya upahdan cara pembayaran;
  6. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajibanpengusaha dan pekerja/buruh;
  7. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
  8. tempat dan tanggal perjanjian kerjadibuat;
  9. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

UU Ketenagakerjaan mempertegas bahwa poin e dan f diatas tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terkhusus untuk besaran upah, kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian kerja tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

Selain itu, UU Ketenagakerjaan juga menjelaskan bahwa segala hal termasuk didalamnya biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab dari pihak pengusaha. Perjanjian kerja juga tidak boleh diubah atau ditarik kembali secara sepihak kecuali atas persetujuan kedua belah pihak. Perjanjian kerja tersebut dibuat sekurang-kurangnya rangkap 2 (dua) dengan memiliki kekuatan hukum yang sama, para pihak masing-masing mendapatkan 1 (satu) rangkap perjanjian kerja.

 

  • Jenis PerjanjianKerja Berdasarkan Waktu Berakhirnya

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengenal setidaknya dua jenis perjanjian kerja, yaitu:

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang biasa disingkat dengan PKWT didasarkan atas jangka waktu dan selesainya suatu pekerjaan tertentu. Menurut Pasal 57 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, dijelaskan bahwa PKWT harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Adapun jika dalam praktiknya ternyata perjanjian yang dibuat antara pengusaha dan pekerja dilakukan tidak secara tertulis, maka akan dianggap sebagai Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) walaupun mungkin pihak pengusaha memiliki maksud melakukan perjanjian kerja untuk waktu tertentu.

Seandainya perjanjian waktu tertentu dibuat dengan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa asing, ketika terjadi perselisihan dan perbedaan penafsiran terhadap klausul-klausul perjanjian, maka yang digunakan adalah perjanjian dalam bahasa Indonesia. Selain itu, perjanjian kerja untuk waktu tertentu juga tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan (training). Jika terbukti pengusaha memberikan masa percobaan terhadap pekerjanya, maka masa percobaan tersebut dianggap batal demi hukum.

Menurut Pasal 59 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa perjanjian kerja yang didasarkan pada waktu tertentu tidak memuat segala jenis pekerjaan, namun dibatasi terhadap jenis-jenis pekerjaan tertentu, antara lain:

  • pekerjaanyang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
  • pekerjaanyang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
  • pekerjaanyang bersifat musiman; atau
  • pekerjaanyang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Perjanjian kerja waktu tertentu memang diperuntukkan untuk jenis-jenis pekerjaan yang tidak tetap, sehingga hanya dibutuhkan dalam sekali kontrak kerja berakhir hingga waktu yang telah disepakati dalam perjanjian. Lamanya durasi waktu PKWT menurut UU Ketenagakerjaan adalah 2 (dua) tahun. Jika perjanjian kerja tersebut masih dibutuhkan oleh kedua belah pihak, maka bisa diperpanjang untuk paling lama 1 (satu) tahun. Adapun jika perpanjangan masa kerjanya lebih dari 1 (satu) tahun, dalam sudut pandang UU Ketenagakerjaan sudah dikategorikan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu (PKWTT).

Ketika pengusaha berencana akan memperpanjang masa kerja bagi pekerja, maka diharuskan telah memberikan pemberitahuan secara tertulis kepada pekerja yang bersangkutan paling lama 7 (tujuh) hari sebelum masa kontrak berakhir. Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari dari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun. Setiap perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang tidak sesuai menurut UU Ketenagakerjaan, akan dianggap sebagai perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).

Ketentuan rinci mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu—termasuk didalamnya juga mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu, diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Keputusan Menteri tersebut menjelaskan secara detail jenis-jenis dari pekerjaan yang didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan syarat-syarat pemenuhan perjanjian kerjanya.

Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu

Berbeda dengan PKWT, Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dapat mensyaratkan adanya masa percobaan (training) dengan durasi waktu maksimal selama 3 (tiga) bulan. Masa percobaan tersebut, pengusaha tidak boleh memberikan upah dibawah upah minimum yang telah diatur oleh pemerintah daerah. Pada PKWTT, selain bisa dibuat dalam bentuk tertulis juga bisa dibuat secara lisan.

Bila memang perjanjian atau kontrak dibuat secara lisan, maka klausul yang berlaku dalam perjanjian kerja tersebut akan didasarkan pada peraturan undang-undang di bidang ketenagakerjaan. Antara kedua belah pihak sudah dianggap setuju dan paham dengan segala peraturan yang tercantum pada UU Ketenagakerjaan dan aturan pelaksanaannya. Sementara itu, bila perusahaan sudah memutuskan akan membuat PKWTT dalam bentuk lisan, maka perusahaan wajib membuat sebuah surat pengangkatan kerja pada karyawannya. Surat tersebut berisi:

  • nama serta alamat karyawan;
  • tanggal kapan karyawan akan bekerja;
  • jenis pekerjaanyang akan dilakukan karyawan;
  • besar upahyang akan diterima karyawan.

 

  • Berakhirnya Perjanjian Kerja

Menurut Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, perjanjian kerja yang disepakati oleh pengusaha dan pekerja dapat berakhir jika terjadi beberapa hal berikut:

  1. pekerjameninggal dunia;
  2. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
  3. adanya putusan pengadilandan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
  4. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

Perjanjian kerja tidak berakhir dikarenakan meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah. Jika terjadi pengalihan perusahaan, maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh. Adapun jika yang meninggal dunia adalah pengusaha perseorangan, maka ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh, sedangkan dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak-hak yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[13]

Undang-Undang Ketenagakerjaan juga menyebutkan bahwa apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena yang sebab sesuai Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan, maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Hal ini merupakan asas fairness (keadilan) yang berlaku baik pengusaha maupun pekerja agar kedua pihak saling mematuhi dan melaksanakan perjanjian kerja yang telah dibuat dan ditandatangani.[14]

 

B. Tinjauan Mengenai Pengupahan

  • Definisi Upah

Secara bahasa, upah adalah uang dan sebagainya yang dibayarkan sebagai pembalas jasa atau sebagai pembayaran tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu seperti gaji dan imbalan.[15] Sedangkan pengertian secara etimologi dalam sudut pandang Pasal 1 angka 30 UU Ketenagakerjaan, upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh, yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundangan yang berlaku, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Definisi upah menurut UU Ketenagakerjaan tersebut jelas memberikan makna bahwa upah merupakan hak yang wajib diterima oleh pekerja dari pengusaha, bukan merupakan hadiah atau pemberian cuma-cuma dari pengusaha.[16]

Upah diberikan sebagai bentuk balas jasa yang adil dan layak diberikan kepada para pekerja atas jasa-jasanya dalam mencapai tujuan organisasi. Upah dibayarkan kepada pekerja berdasarkan jam kerja, jumlah barang yang dihasilkan atau banyaknya pelayanan yang diberikan.[17] Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghasilan yang layak bagi kemanusiaan.

Terlihat dari ketentuan tersebut, bahwa upah merupakan hak yang harus diterima oleh pekerja/buruh. Hak itu sendiri bermakna kekuasaan atau izin yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum (baik personal maupun badan hukum) untuk menikmati hasil dari objek yang disepakati atau berdasarkan undang-undang. Oleh karena itu, setiap pekerja/buruh yang telah melaksanakan pekerjaannya sesuai perintah yang diberikan oleh pengusaha, maka dia memiliki hak atas upah. UU Ketenagakerjaan bahkan mengatur kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh untuk menerima penghasilan atau upah yang memenuhi penghidupan yang layak melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

 

  • Jenis-Jenis Upah

Menurut  eferensi hukum ketenagakerjaan, upah bisa dikategorikan dalam beberapa jenis sebagai sebagai berikut:[18]

  1. Upah Nominal, ialah sejumlah uang yang dibayarkan secara tunai kepada pekerja/buruhyang berhak sebagai bentuk imbalan atas jasa-jasa atau pelayanan yang telah dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian kerja.
  2. Upah Nyata (Real Wages), yaitu uang yang nyata dan benar-benar harus diterima oleh pekerja/buruhyang berhak. Upah nyata ini ditentukan berdasarkan besar atau kecilnya jumlah uang yang diterima dan besar atau kecilnya biaya hidup yang diperlukan.
  3. Upah Hidup, yaitu upahyang diterima pekerja/buruh relatif cukup untuk membiayai keperluan hidupnya secara luas, tidak hanya kebutuhan pokoknya saja, melainkan juga kebutuhan sosial dan keluarganya seperti pendidikan, asuransi, rekreasi, dan lain-lain.
  4. Upah Minimum(Minimum Wages), adalah upah terendah yang akan dijadikan standar oleh majikan untuk menentukan upah yang sebenarnya dari buruh yang bekerja di perusahaannya. Upah minimum biasanya ditentukan oleh pemerintah dan ini seringkali setiap tahun berubah.

 

  • SistemPengupahan

Sistem pengupahan merupakan kerangka bagaimana upah diatur dan ditetapkan. Imam Soepomo dalam tesis Marulinda Silalahi berpendapat bahwa dalam menetapkan upah, terdapat berbagai sistem upah, yaitu sebagai berikut:[19]

Sistem Upah Jangka Waktu

Menurut sistem ini upah ditetapkan menurut jangka waktu pekerja melakukan pekerjaan, untuk bekerja harian diberi upah harian, untuk seminggu bekerja diberi upah mingguan, untuk sebulan bekerja diberi upah bulanan. Sistem jangka waktu ini, pekerja menerima upah tetap, karena untuk waktu-waktu yang tertentu pekerja akan menerima upah yang tertentu pula.

Sistem Upah Potongan

Sistem upah potong ini seringkali digunakan untuk menggantikan sistem upah jangka waktu apabila hasil pekerjaan dari seorang pekerja tidak memuaskan. Sistem upah ini dapat diberikan jika hasil pekerjaan pekerja dapat diukur menurut ukuran terentu, misalnya jumlah banyaknya, jumlah beratnya, jumlah luas dari apa yang dikerjakan. Manfaat pengupahan dalam sistem ini adalah: [20]

  • Pekerja mendapat dorongan untuk bekerja giat;
  • Produktivitas semakin meningkat;
  • Alat-alat produksi dipergunakan secara intensif.

Adapun kelemahan dari pengupahan dalam sistem ini adalah: [21]

  • Pekerja selalu bekerja secara berlebihlebihan;
  • Pekerja kurang menjaga kesehatan dan keselamatannya;
  • Kurang teliti dalam mengerjakan sesuatu;
  • Upah tidak tetap.

SistemUpah Pemufakatan

Sistem upah ini pada dasarnya adalah upah potongan yaitu upah hasil pekerjaan tertentu, tetapi upah ini tidak diberikan kepada masing-masing pekerja melainkan pada sekumpulan pekerja yang bersama-sama melakukan pekerjaan itu. Jadi upah diberikan kepada suatu kelompok tertentu yang selanjutnya kelompok ini akan membagikan kepada para anggota. Misalnya pembuatan jalan, membongkar atau mengangkut barang.

Sistem Skala Upah Berubah

Menurut sistem ini, ada pertalian antara upah dengan harga perjualan hasil perusahaan. Upah akan naik atau turun didasarkan naik turunnya harga penjualan barang yang dihasilkan perusahaan. Istilah lainnya, jika harga naik maka upah akan naik, sebaliknya jika harga turun maka upah akan turun.

Sistem Pembagian Keuntungan

Pada penutupan tahun buku bila pengusaha mendapat keuntungan yang cukup besar, kepada buruh akan diberikan sebagian dari keuntungan tersebut atau perusahaan akan memberikan bonus kepada pekerja.

 

  • Upah Minimum

Upah Minimum adalah suatu standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada pekerja di dalam lingkungan usaha atau kerjanya. Upah minimum ditetapkan oleh gubernur sebagai jaring pengaman. Menurut Pasal 41 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (PP Pengupahan) dijelaskan bahwa upah minimum merupakan upah bulanan yang terdiri atas upah tanpa tunjangan dan upah pokok termasuk tunjangan tetap. Penetapan Upah minimum dilakukan setiap tahun berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Menurut Pasal 42 PP Pengupahan, upah minimum hanya berlaku bagi pekerja dengan masa kerja kurang dari satu tahun pada perusahaan yang bersangkutan. Upah bagi pekerja dengan masa kerja satu tahun atau lebih dirundingkan secara bipartit antara pekerja dengan pengusaha di perusahaan yang bersangkutan. Menurut PP Pengupahan, upah minimum terbagi dalam beberapa jenis, yaitu:

  1. Upah MinimumProvinsi (UMP). UMP ditetapkan oleh gubernur atas dasar rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi didasarkan pada hasil peninjauan kebutuhan hidup layak yang komponen dan jenisnya ditetapkan oleh menteri dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
  2. Upah MinimumKabupaten/Kota (UMK). Penentuan UMK juga dilakukan oleh gubernur. UMK harus lebih besar dari UMP.
  3. Upah MinimumSektoral Provinsi (UMSP). Sama seperti dua jenis upah minimum sebelumnya, UMSP juga ditetapkan oleh gubernur. Penetapan Upah minimum sektoral dilakukan setelah mendapat saran dan pertimbangan mengenai sektor unggulan dari dewan pengupahan provinsi sesuai dengan tugas dan kewenangannya. Upah minimum sektoral provinsi harus lebih besar dari Upah minimum provinsi di provinsi yang bersangkutan.
  4. Upah MinimumSektoral Kabupaten/Kota (UMSK). UMSK ditetapkan oleh gubernur di provinsi yang bersangkutan. Penetapan UMSK dilakukan setelah mendapat saran dan pertimbangan mengenai sektor unggulan dari dewan pengupahan kabupaten/kota sesuai dengan tugas dan kewenangannya. UMSK harus lebih besar dari Upah minimum kabupaten/kota.

 

C. Tinjauan Mengenai BUM Desa

  • Definisi BUM Desa

Jika dilihat dari definisi di UU Desa dan Peraturan Menteri tentang BUM Desa, dijelaskan bahwa BUM Desa merupakan badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa. Berdasarkan definisi tersebut, BUM Desa didirikan antara lain dalam rangka peningkatan pendapatan asli desa, sehingga kondisi itu akan mendorong setiap Pemerintah Desa memberikan goodwill dalam merespon pendirian BUM Desa. BUM Desa juga jika dilihat dari permodalan yang dimiliki, sedikit banyak ada persamaan dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Jika dalam BUMN atau BUMD perusahaan yang didirikan berbentuk Perseroan Terbatas, maka BUM Desa merupakan bentuk badan hukum tersendiri karena didirikan melalui Peraturan Desa. BUM Desa lahir atas kehendak seluruh warga desa yang diputuskan melalui Musyawarah Desa (Musdes).[22] Musdes adalah forum tertinggi melahirkan berbagai keputuan utama dalam BUM Desa mulai dari nama lembaga, pemilihan pengurus hingga jenis usaha yang akan dijalankan. Hasil dari Musdes tersebut dituangkan kedalam Peraturan Desa untuk membentuk sebuah BUM Desa.

 

  • Tujuan BUM Desa

Pendirian BUM Desa sebagaimana disebut dalam Permendesa PDTT No. 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa, memiliki tujuan sebagai berikut:

  1. Meningkatkan perekonomian Desa;
  2. Mengoptimalkan aset Desa agar bermanfaat untuk kesejahteraan Desa;
  3. Meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan potensi ekonomiDesa;
  4. Mengembangkan rencana kerja sama usaha antar desa dan/atau dengan pihak ketiga;
  5. Menciptakan peluang dan jaringan pasar yang mendukung kebutuhan layanan umum warga;
  6. Membuka lapangan kerja;
  7. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan pelayanan umum, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi Desa; dan
  8. Meningkatkan pendapatan masyarakat Desa dan Pendapatan Asli Desa.

Tujuan BUM Desa diatas antara lain harus dilakukan dengan cara memenuhi kebutuhan (produktif dan konsumtif) masyarakat melalui pelayanan barang dan jasa yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintah desa. Lembaga ini juga dituntut mampu memberikan pelayanan kepada non anggota (pihak luar desa) dengan menempatkan harga dan pelayanan sesuai standar pasar. Artinya terdapat mekanisme kelembagaan yang disepakati bersama, sehingga tidak menimbulkan distorsi ekonomi pedesaan disebabkan oleh usaha BUM Desa.[23]

 

  • Prinsip Pengelolaan BUM Desa

BUM Desa dalam menjalankan kegiatannya setidaknya memiliki enam prinsip yang wajib menjadi pegangan bagi pengelola, pemerintah desa dan warga masyarakat secara umum sebagai bagian dari BUM Desa. Keberadaan prinsip-prinsip dalam pengelolaan BUM Desa ini sangat penting agar dipahami dan dipersepsikan secara bersama-sama. Enam prinsip tersebut antara lain: [24]

  1. Prinsip Kooperatif memiliki arti bersifat kerja sama, maka dalam menjalankan dan mengelola BUM Desa pihak-pihak yang terlibat di dalam BUM Desa harus melakukan kerja sama yang baik. Prinsip kooperatif ini sangat penting demi lancarnya pengembangan dan kelangsungan usah BUM Desa.
  2. Prinsip Partisipatif berarti bersifat partisipasi, maka semua yang menjadi bagian atau pihak yang terlibat di dalam pengelolaan BUM Desa memiliki kewajiban dan kesadaran untuk berpartisipasi penuh dalam memberikan dukungan dan kontribusi dalam upaya mendorong kemajuan usaha BUM Desa.
  3. Prinsip emansipatif berarti bersifat emansipasi, maka dalam menjalankan dan mengelola BUM Desa pihak-pihak yang terlibat di dalam BUM Desa memiliki hak yang sama, karenanya harus diperlakukan secara sama tanpa memandang golongan, suku, agama atau strata sosial dan jabatan.
  4. Prinsip transparan berarti dilakukan secara terbuka, maka dalam menjalankan dan mengelola BUM Desa, mereka yang dipercaya sebagai pengelola harus berlaku terbuka dalam setiap aktivitas yang dilakukan, yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi. Prinsip transparan dalam pengelolaan BUM Desa menjadi sangat penting, hal ini agar semua aktivitas atau keputusan yang diambil BUM Desa dan berpengaruh terhadap kepentingan masyarakat desa secara umum dapat diketahui informasinya atau terbuka untuk masyarakat.
  5. Prinsip Akuntabel berarti dapat dipertanggungjawabkan, yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organisasi. Artinya aktivitas atau kegiatan yang dilakukan unit usaha BUM Desa harus dapat dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban yang dimaksud adalah pertanggungjawaban secara teknis dan administratif.
  6. Prinsip Sustainabel berati kegiatan usaha yang dijalankan harus dapat dikembangkan dan dilestarikan oleh masyarakat dalam wadah BUM Desa. Hal ini berarti kegiatan tersebut harus kegiatan usaha yang berkelanjutan.

 

  • Klasifikasi Jenis Usaha BUM Desa

Setidaknya ada enam klasifikasi jenis usaha yang diatur dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa , yaitu :

  1. BUM Desadapat menjalankan bisnis sosial (social business) sederhana yang memberikan pelayanan umum (serving) kepada masyarakat dengan memperoleh keuntungan finansial. Unit usaha tersebut dapat memanfaatkan sumber daya lokal dan teknologi tepat guna, meliputi: (1) air minum Desa; (2) usaha listrik Desa; (3) lumbung pangan; dan (4) sumber daya lokal dan teknologi tepat guna lainnya.
  2. BUM Desadapat menjalankan bisnis penyewaan (renting) barang untuk melayani kebutuhan masyarakat Desa dan ditujukan untuk memperoleh Pendapatan Asli Desa. Unit usaha ini dapat menjalankan kegiatan usaha penyewaan meliputi: (1) alat transportasi; (2) perkakas pesta; (3) gedung pertemuan; (4) rumah toko; (5) tanah milik BUM Desa; dan (6) barang sewaan lainnya.
  3. BUM Desadapat menjalankan usaha perantara (brokering) yang memberikan jasa pelayanan kepada warga. Unit usaha ini dapat menjalankan kegiatan usaha perantara yang meliputi: (1) jasa pembayaran listrik; (2) pasar Desa untuk memasarkan produk yang dihasilkan masyarakat; dan (3) jasa pelayanan lainnya.
  4. BUM Desadapat menjalankan bisnis yang berproduksi dan/atau berdagang (trading) barang-barang tertentu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat maupun dipasarkan pada skala pasar yang lebih luas. Unit usaha ini dapat menjalankan kegiatan perdagangan (trading) meliputi: (1) pabrik es; (2) pabrik asap cair; (3) hasil pertanian; (4) sarana produksi pertanian; (5) sumur bekas tambang; dan (6) kegiatan bisnis produktif lainnya.
  5. BUM Desadapat menjalankan bisnis keuangan (financial business) yang memenuhi kebutuhan usaha-usaha skala mikro yang dijalankan oleh pelaku usaha ekonomi Desa. Unit usaha ini dapat memberikan akses kredit dan peminjaman yang mudah diakses oleh masyarakat desa.
  6. BUM Desadapat menjalankan usaha bersama (holding) sebagai induk dari unit-unit usaha yang dikembangkan masyarakat Desa baik dalam skala lokal Desa maupun kawasan perdesaan. Unit-unit usaha tersebut dapat berdiri sendiri yang diatur dan dikelola secara sinergis oleh BUM Desa agar tumbuh menjadi usaha bersama. Unit usaha ini dapat menjalankan kegiatan usaha bersama meliputi: (1) pengembangan kapal Desa berskala besar untuk mengorganisasi nelayan kecil agar usahanya menjadi lebih ekspansif; (2) Desa Wisata yang mengorganisir rangkaian jenis usaha dari kelompok masyarakat; dan (3) kegiatan usaha bersama yang mengkonsolidasikan jenis usaha lokal lainnya.

 

D. Tinjauan Mengenai Perlindungan Hukum

  • Definisi Perlindungan Hukum

Istilah perlindungan hukum dalam bahasa Inggris dikenal dengan
legal protection, sedangkan dalam bahasa Belanda dikenal dengan Rechts
bescherming. Secara etimologi perlindungan hukum terdiri dari dua suku kata yakni perlindungan dan hukum. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perlindungan diartikan: (1) tempat berlindung; (2) hal (perbuatan dan sebagainya); (3) proses, cara, perbuatan melindungi.[25] Adapun istilah hukum diartikan sebagai: (1) peraturan  atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah; (2) undang-undang, peraturan, dan sebagainya yang mengatur pergaulan hidup masyarakat; (3) patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa; (4) keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim.[26]

Perlindungan hukum merupakan hak bagi setiap warga negara, sehingga dilain pihak bahwa perlindungan hukum merupakan kewajiban bagi negara, oleh karenanya negara wajib memberikan perlindungan hukum kepada warga negaranya. Pada prinsipnya perlindungan hukum terhadap masyarakat bertumpu dan bersumber pada konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat sebagai manusia, sehingga pengakuan dan perlindungannya merupakan bagian dari hak asasi manusia tanpa membeda-bedakan. Perlindungan hukum adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman dan nyaman oleh pemerintah yang dapat diwujudkan dalam bentuk seperti melalui restitusi, kompensasi, dan bantuan hukum lainnya.[27]

Adapun Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa perlindungan hukum bermakna bentuk pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.[28] Berdasarkan penjelasan tersebut, terlihat bahwa pionir dalam perlindungan hukum adalah negara melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melindungi hak-hak warga negaranya.

 

  • Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum

Berkaitan dengan perlindungan hukum, Philipus M. Hadjon membedakan dua macam sarana perlindungan hukum, yakni:[29]

  1. Sarana Perlindungan HukumPreventif. Perlindungan hukum yang preventif ini, subjek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa.
  2. Sarana Perlindungan HukumRepresif. Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum.

Penjelasan Phillipus M. Hadjon tersebut secara umum memberikan makna bahwa hukum tidak hanya berbicara mengenai penegakan saja, namun juga lebih khusus menjamin terhadap kejadian-kejadian sebelum adanya sengketa sebagai bentuk antisipasi. Jika penulis tarik dalam tiga tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, maka perlindungan hukum itu sedang berjalan mencapai ketiganya secara searah. Adanya bentuk antisipasi dalam konsep perlindungan hukum secara preventif merupakan perwujudan dari kemanfaatan sebuah hukum yang memberi pelajaran terhadap suatu kesalahan yang telah berlalu agar tidak terulang kembali. Adapun perlindungan hukum secara represif merupakan perwujudan dari menegakkan kepastian hukum dan keadilan, walaupun diantara kedua tujuan tersebut akan terlihat bertolak belakang dalam implementasi di masyarakat.

 

  • Perlindungan Hukumdalam Pengupahan

Pemerintah telah memberikan perlindungan secara penuh terhadap upah pekerja/buruh. Perlindungan tersebut diwujudkan dalam berbagai kebijakan. Pada prinsipnya, setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Demi mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan tersebut, pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang
melindungi pekerja/buruh.

Salah satu bentuk kebijakan yang melindungi pekerja/buruh diatur dalam ketentuan Pasal 88 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang terdiri atas:

  1. upahminimum;
  2. upahkerja lembur;
  3. upahtidak masuk kerja karena berhalangan;
  4. upahtidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
  5. upahkarena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
  6. bentuk dan cara pembayaran upah;
  7. dendadan potongan upah;
  8. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
  9. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
  10. upahuntuk pembayaran pesangon;
  11. upahuntuk perhitungan pajak penghasilan.

Upah minimum dapat terdiri atas: (1) upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota; (2) upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota. Upah minimum diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak. Upah minimum ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota. Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum dapat dilakukan penangguhan.

Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika kesepakatan yang dicapai lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi. Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.

Berdasarkan teori yang ada, upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan (asas no pay no work). Ketentuan tersebut tidak berlaku, dan pengusaha tetap wajib membayar upah apabila:

  1. pekerja/buruhsakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
  2. pekerja/buruhperempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
  3. pekerja/buruhtidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
  4. pekerja/buruhtidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;
  5. pekerja/buruhtidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
  6. pekerja/buruhbersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
  7. pekerja/buruhmelaksanakan hak istirahat;
  8. pekerja/buruhmelaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan
  9. pekerja/buruhmelaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.

Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh. Jika perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak.

Pemerintah dalam rangka meningkatkan perlindungan upah terhadap pekerja/buruh juga menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (PP Pengupahan). PP Pengupahan ini diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya serta mendorong kemajuan dunia usaha. PP Pengupahan ini lebih rinci mengatur hak-hak pekerja atas upah yang timbul pada saat terjadinya hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha dan berakhir pada saat putusnya hubungan kerja.

 

~~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~~

 

_____________

[1] R. Soeroso, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 269.

[2] Ishaq, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 84.

[3] Ari Hernawan, 2013, Ketidakadilan dalam Norma dan Praktik Mogok Kerja di Indonesia, Udayana University Press, Denpasar, hlm. 81.

[4] Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.2.

[5] Zainal Asikin, 1993, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, PT. Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 65.

[6] Lalu Husni, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta, PT. Grafindo Persada, hlm. 39.

[7] Ari Hernawan, 2019, Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial, UII Press, Yogyakarta, hlm.1.

[8] Asri Wijayanti, 2009, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 41.

[9] Subekti, 1977, Aneka Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung, hlm. 63.

[10] Ari Hernawan, 2019, Op.Cit., hlm. 17.

[11] Lalu Husni, Op.Cit., hlm. 37-38.

[12] Ibid.

[13] “Berkahirnya Perjanjian Kerja”, http://hukumtenagakerja.com/perjanjian-kerja/berakhirnya-perjanjian-kerja/, diakses pada tanggal 17 September 2019, pukul 22:47.

[14] Ibid.

[15] W. J. S. Poerwadarminta, 2006, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 134.

[16] Eko Wahyudi, Wiwin Yulianingsih, dkk, 2016, Hukum Ketenagakerjaan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 125.

[17] Veithzal Rivai, 2005, Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Perusahaan dari Teori ke Praktik, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 351.

[18] Zaeni Asyhadie, 2007, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 89.

[19] Marulinda Silalahi, 2006, “Tinjauan Yuridis Pengaturan Upah Pekerja/Buruh Dihubungkan dengan UU No. 13 Tahun 2003 Serta Implikasinya Terhadap Upaya Mewujudkan Keadilan Antara Pekerja/Buruh dan Pengusaha”, Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.73.

[20] Imam Soepomo, 1987, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, hlm.183.

[21] Ibid.

[22] “Informasi Lengkap tentang Bumdes yang Harus Anda Ketahui”, http://www.berdesa.com/informasi-lengkap-tentang-bumdes-yang-harus-anda-ketahui/, diakses pada tanggal 10 Oktober 2019, pukul 23:01.

[23] “Tujuan Pendirian BUMDesa”, http://www.berdesa.com/4-tujuan-pendirian-bumdesa/, diakses pada tanggal 10 Oktober2019, pukul 09:45.

[24] Aryanto, “6 Prinsip Pengelolaan Bumdes”, https://blog.bumdes.id/2019/07/6-prinsip-pengelolaan-bumdes/, diakses pada tanggal 10 Oktober 2019, pukul 10:13.

[25] Kamus Besar Bahasa Indoesia (KBBI) Online, “Perlindungan” https://kbbi.web.id/perlindungan, diakses pada tanggal 21 Oktober 2019, pukul 16:11.

[26] Kamus Besar Bahasa Indoesia (KBBI) Online, “Hukum”, https://kbbi.web.id/hukum,
diakses pada tanggal 21 Oktober 2019, pukul 17:02.

[27] Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm.133.

[28] Sadjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.53.

[29] Phillipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya, PT.Bina Ilmu, hlm. 20.