Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) X merupakan satu dari lima BUM Desa percontohan tingkat nasional. BUM Desa X berdiri pada tanggal 25 Maret 2013 sebelum lahirnya UU Desa. Sejarah berdirinya BUM Desa X berawal dari unit usaha KUPAS (Kelompok Usaha Pengelolaan Sampah) yang didirikan pada akhir tahun 2012. Unit usaha KUPAS ini berkembang dan dianggap sukses oleh Pemerintah Desa, sehingga unit usaha tersebut bertransformasi menjadi Badan Usaha Milik Desa. BUM Desa ini kemudian didirikan dengan Peraturan Desa Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pendirian Badan Usaha Milik Desa.

Setelah pemerintah dan parlemen mengundangkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan mengundangkan salah satu peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa (selanjutnya akan disebut Peraturan Menteri Desa tentang BUM Desa), maka peraturan desa mengenai pendirian BUM Desa X diperbarui menjadi Peraturan Desa Nomor 9 Tahun 2015 tentang Badan Usaha Milik Desa.

Berdasarkan Anggaran Dasar BUM Desa X, tujuan dari pendirian BUM Desa X salah satunya adalah menciptakan kesempatan berusaha dan membuka lapangan pekerjaan yang ini merupakan pengejawantahan dari tujuan BUM Desa yang tertuang dalam Pasal 3 poin f Peraturan Menteri Desa tentang BUM Desa yang menyatakan bahwa tujuan BUM Desa adalah membuka lapangan pekerjaan. Tujuan utama BUM Desa juga adalah untuk meningkatkan perekonomian desa dan memanfaatkan aset desa untuk kesejahteraan masyarakat.

Menurut penelitian tesis Putri Raodah pada tahun 2018 di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, dijelaskan bahwa BUM Desa merupakan badan hukum tersendiri, bukan merupakan kategori Perseroan Terbatas, Yayasan, atau Koperasi.[1] BUM Desa memiliki bentuk yang unik dan berbeda dengan badan hukum lainnya, yaitu merupakan suatu badan usaha bercirikan desa yang dalam pelaksanaan kegiatannya disamping untuk membantu penyelenggaraan pemerintah desa, juga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat desa. Hal ini juga dipertegas dalam Peraturan Menteri Desa tentang BUM Desa khususnya dalam Pasal 5 ayat (2) bahwa pendirian BUM Desa diatur sesuai dengan kondisi ekonomi dan sosial budaya masyarakat. Pembentukan BUM Desa harus melalui Musyawarah Desa dan hasilnya menjadi pedoman bagi Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa untuk menetapkan Peraturan Desa tentang Pendirian BUM Desa.

Adanya keleluasaan bagi Musyawarah Desa untuk memutuskan terbentuknya sebuah Badan Usaha Milik Desa yang didalamnya bebas mengatur bentuk dan susunan pelaksanaan BUM Desa, maka setiap desa memiliki karakter dan kerangka organisasi BUM Desa yang berbeda-beda. BUM Desa X sendiri setidaknya memiliki 6 (enam) unit usaha, antara lain:[2]

  1. UJPL yang merupakan bentuk transformasi dari unit Kelompok Usaha Pengelolaan Sampah (KUPAS). Jenis usaha yang ditawarkan adalah pengelolaan bank sampah dan pengelolaan lahan.
  2. Unit KMyang merupakan unit yang bergerak di jasa wisata edukasi dan kuliner berbasis masyarakat agraris.
  3. Unit CwS, merupakan unit yang bergerak dalam penyewaan tempat bagi masyarakat.
  4. Unit Swadesa, merupakan unit yang mengembangkan gerai kelontongan yang memiliki tujuan menciptakan sebuah sistem layanan pemasaran terhadap produk-produk dari masyarakat desa.
  5. Unit Agro, merupakan unit yang bergerak di bidang pengelolaan bahan-bahan organik.
  6. Unit AK, merupakan unit pelatihan bagi masyarakat untuk menghasilkan karya-karya kreatif tepat guna yang bisa diperjual belikan di Swadesa.

BUM Desa X juga memiliki satu Perseroan Terbatas dimana BUM Desa merupakan pemilik saham mayoritas, yaitu PT. Sinergi X. Perseroan ini merupakan unit usaha yang memproduksi produk-produk kecantikan dan kesehatan yang telah mendapatkan izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan serta telah mendapatkan sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia.[3] Penelitian penulis hanya difokuskan pada Badan Usaha Milik Desa, sehingga penulis mengeluarkan PT. Sinergi X dari objek kajian karena secara hukum merupakan badan hukum tersendiri yang terpisah dari BUM Desa.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, secara umum BUM Desa X memiliki setidaknya 93 orang yang terlibat didalamnya, 16 orang diantaranya merupakan pengurus BUM Desa dan manajemen di unit usaha. Jumlah 16 orang tersebut, 4 orang diantaranya merupakan pengurus BUM Desa—termasuk direktur BUM Desa X, 5 orang merupakan pihak manajemen di Kampoeng Mataraman, 3 orang merupakan pihak manajemen UJPL, dan untuk unit CwS, Swadesa, Agro, dan AK masing-masing 1 orang manajemen.[4] Bentuk dan susunan struktur organisasi BUM Desa penulis lampirkan diakhir penelitian tesis ini.

Hasil pengurangan dari jumlah pengurus BUM Desa dan pihak manajemen di unit usahanya, BUM Desa X memiliki setidaknya 77 pekerja. Jumlah 77 pekerja tersebut tersebar di enam unit dengan peta persebarannya sebagai berikut:

Tabel 4.1. Persebaran Pekerja BUM Desa X Tahun 2019.

No. Unit Usaha Jumlah Pekerja Umur Pekerja Jenis Kelamin
1 UJPL 17 >18 L=16, P=1
2 KM 48 >18 L=31, P=17
3 CwS 3 >18 L=2, P=1
4 Swadesa 4 >18 L=2, P=2
5 Agro 3 >18 L=3
6 AK 2 >18 L=1, P=1

Keterangan : L = Laki-laki; P = Perempuan.

Fokus penelitian yang diangkat penulis adalah mengenai perlindungan hukum di bidang pengupahan. Selama proses penelitian di BUM Desa X, penulis mendapatkan data mengenai jumlah upah untuk setiap pekerja, bahkan penulis mendapatkan pula jumlah upah bagi pengurus direksi dan manajemen di unit usaha. Data mengenai jumlah upah ini tidak penulis jabarkan secara detail, namun penulis lampirkan di akhir penelitian tesis ini.

Secara umum, ada beberapa fakta yang penulis dapatkan dari sistem pengupahan di BUM Desa X, yaitu nilai upah yang diberikan kepada pekerja di BUM Desa berada di kisaran Rp.1.000.000 hingga Rp.1.400.000. Upah tersebut dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu gaji pokok, tunjangan kehadiran, tunjangan masa bakti, insentif, transport, dan asuransi. Setiap pekerja memiliki hitungannya tersendiri, artinya nilai upah yang diterima berbeda antara satu pekerja dengan pekerja lainnya.

Perbedaan upah diantara setiap pekerja di BUM Desa X didasarkan pada lamanya bekerja, berat dan tidaknya jenis pekerjaan yang dikerjakan, hingga strata pendidikan yang juga mempengaruhi perbedaan upah. BUM Desa X tidak memiliki struktur dan skala upah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Struktur dan Skala Upah, sehingga penentuan nominal upah yang diterima pekerja merupakan hitungan manual yang didasarkan pada pengamatan subjektif.

Setiap pekerja bisa dialihkan ke jenis pekerjaan lain secara sepihak oleh BUM Desa, bahkan bisa dipindahkan ke unit usaha lainnya. Implikasi dari pengalihan jenis pekerjaan tersebut, dalam satu bulan bisa saja seorang pekerja melakukan pekerjaan di unit usaha yang berbeda-beda. Perhitungan upahnya, BUM Desa X menetapkan upah berdasarkan nilai upah bulan sebelumnya.[5]

Menurut sudut pandang BUM Desa X, para pekerja/buruh dikategorikan sebagai pekerja kontrak, beberapa orang masuk kategori pekerja harian lepas.[6] Konsep pekerja kontrak ini memiliki permasalahan secara yuridis, karena perjanjian kerja kontraknya akan diperbarui setiap tanggal 1 Januari. Mayoritas pekerja akan diperbarui kontraknya setiap tahun dan tidak kunjung diberikan status pekerja tetap. Permasalahan-permasalahan yang didasarkan pada fakta yang penulis dapatkan dari lapangan ini penulis kaji dalam pembahasan berikutnya.

 

A. Hubungan Hukum BUM DesaX dengan Para Pekerjanya

Kelayakan BUM Desa X Sebagai Pemberi Kerja

  • Status Badan HukumBUM Desa X

BUM Desa X merupakan salah satu lembaga ekonomi yang diharapkan dapat menjadi salah satu yang berkontribusi pada sumber pendapatan desa. Keberadaan BUM Desa X perlu mendapatkan justifikasi hukum yang pasti. Ketentuan pada UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa jelas menyebutkan bahwa BUM Desa merupakan bentuk badan usaha berbadan hukum. Lantas bagaimana mengidentifikasi BUM Desa X sebagai badan hukum? Untuk dapat menjawab hal tersebut, maka harus merujuk secara spesifik pada Undang-Undang Desa dan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 (PP Desa). UU Desa dan PP Desa menjelaskan bahwa Badan Usaha Milik Desa, yang selanjutnya disebut BUM Desa, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa.

Selanjutnya dalam Bab X Pasal 87 UU Desa diatur bahwa desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa. BUM Desa yang dibentuk oleh desa tersebut harus dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. BUM Desa dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 88 UU Desa jo. Pasal 132 PP Desa disebutkan bahwa BUM Desa didirikan berdasarkan musyawarah desa yang kemudian hasil musyawarah tersebut ditetapkan dengan Peraturan Desa. Selanjutnya dalam Pasal 135 PP Desa disebutkan bahwa modal awal BUM Desa bersumber dari APB Desa yang merupakan kekayaan desa yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham. Modal BUM Desa terdiri dari : (1) Penyertaan Modal Desa, yang berasal dari APB Desa dan lainnya; (2) Penyertaan Modal Masyarakat Desa.

Status BUM Desa sebagai badan hukum dikukuhkan melalui undang-undang yang mengamanatkan BUM Desa dibentuk berdasarkan Peraturan Desa, namun sebagai badan hukum, BUM Desa juga harus memiliki organisasi yang teratur. Organisasi yang teratur ini dapat dilihat dalam Pasal 132 PP Desa yang menyebutkan bahwa Pengelola BUM Desa setidaknya harus terdiri dari : (1) Penasehat; dan (2) Pelaksana Operasional. Penasehat secara ex-officio dijabat oleh Kepala Desa, sedangkan Pelaksana Operasional adalah perseorangan yang diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Desa.

Tidak seperti badan hukum layaknya Perseroan Terbatas, Yayasan ataupun Koperasi, dimana kesemuanya mendapatkan statusnya sebagai badan hukum saat mendapatkan pengesahan dari menteri terkait, khusus untuk BUM Desa hal tersebut dikecualikan. UU Desa dan PP Desa tidak menyebutkan secara eksplisit saat mana BUM Desa sah menjadi sebuah badan hukum. Menurut Pasal 88 UU Desa jo. Pasal 132 PP Desa yang menyebutkan bahwa “Pendirian BUM Desa dilakukan melalui musyawarah desa dan ditetapkan dengan peraturan Desa” maka dapat disimpulkan bahwa saat telah disahkannya kesepakatan dalam musyawarah desa dan kesepakatan tersebut ditetapkan dalam suatu Peraturan Desa, maka pada saat itulah telah lahir BUM Desa sebagai badan hukum.[7]

Berdasarkan beberapa aturan tersebut di atas terlihat bahwa BUM Desa memang dibentuk dengan konsep sebagai badan hukum. BUM Desa dapat disebut sebagai badan hukum maka harus memiliki karakteristik antara lain yaitu:[8]

  • Adanya harta kekayaan yang terpisah;
  • Mempunyai tujuan tertentu;
  • Mempunyai kepentingan sendiri;
  • Adanya organisasi yang teratur.

Keempat ciri tersebut tercermin dalam ketentuan yang mengatur tentang BUM Desa tersebut. Kekayaan BUM Desa merupakan kekayaan desa yang dipisahkan. BUM Desa juga memiliki tujuan dan kepentingan yang ditetapkan oleh undang-undang yaitu  untuk mengembangkan perekonomian desa dan meningkatkan pendapatan desa. BUM Desa juga memiliki organisasi yang teratur yang dapat dilihat dari adanya penasehat dan pelakasana operasional.

Khusus untuk kasus yang penulis angkat dalam penelitian tesis ini, BUM Desa X merupakan sebuah badan hukum yang didirikan berdasarkan Peraturan Desa Y Nomor 9 Tahun 2015 tentang Badan Usaha Milik Desa. Peraturan desa tersebut merupakan pembaruan dari Peraturan Desa Y Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pendirian Badan Usaha Milik Desa. Diterbitkannya Peraturan Desa Nomor 9 Tahun 2015 oleh Pemerintah Desa Y memberikan implikasi hukum perubahan status BUM Desa X sebagai sebuah badan usaha berbadan hukum.

 

  • BUM DesaX Sebagai Pengusaha

Analisis yang sangat penting untuk menjawab rumusan masalah pertama dari penelitian tesis ini adalah menjabarkan posisi BUM Desa X sebagai pengusaha atau perusahaan dalam sudut pandang hukum ketenagakerjaan. Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa pengusaha mencakup tiga ruang lingkup sebagai berikut:

  • orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaanmilik sendiri;
  • orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaanbukan miliknya;
  • orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesiamewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

Terlihat dari definisi tersebut bahwa pengusaha adalah pihak yang menjalankan suatu perusahaan. Adapun definisi dari perusahaan sendiri menurut Pasal 1 angka 6  UU Ketenagakerjaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Lebih lanjut yang termasuk dalam ruang lingkup perusahaan adalah bentuk usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Berdasarkan definisi pengusaha dan perusahaan tersebut, penulis dapat menyimpulkan setidaknya terdapat empat unsur utama pengusaha menurut UU Ketenagakerjaan, yaitu:

  • adanya suatu pihak tertentu, baik orang perseorangan, persekutuan, maupun badan hukum;
  • menjalankan suatu kegiatan usaha, baik usaha bisnis, usaha sosial, maupun usaha lain;
  • usaha yang dijalankan bisa merupakan milik sendiri maupun bukan miliknya;
  • berkedudukan di Indonesia. Jika perusahaantidak berkedudukan di luar wilayah Indonesia, maka harus diwakilkan oleh sebuah perusahaan yang berkedudukan di Indonesia.

Khusus untuk kasus Badan Usaha Milik Desa, telah penulis jelaskan dalam pembahasan sebelumnya bahwa berdasarkan ketentuan UU Desa dan PP Desa, BUM Desa merupakan badan usaha berbadan hukum. Modal awal BUM Desa bersumber dari APB Desa yang merupakan kekayaan desa yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham. Modal BUM Desa terdiri dari : (1) Penyertaan Modal Desa, yang berasal dari APB Desa dan lainnya; (2) Penyertaan Modal Masyarakat Desa. Dilihat dari karakteristiknya, BUM Desa tidak bisa dikategorikan sebagai Perseroan Terbatas, Yayasan, maupun Koperasi, namun BUM Desa merupakan badan hukum tersediri yang memiliki ciri khas yang berbeda dari badan hukum lainnya.

Sebagai sebuah badan usaha, BUM Desa juga tentu memiliki unit usaha untuk menunjang kegiatannya. Menurut Peraturan Menteri Desa Nomor 4 Tahun 2015, BUM Desa dapat menjalankan bisnis sosial (social business) sederhana yang memberikan pelayanan umum (serving) kepada masyarakat dengan memperoleh keuntungan finansial; dapat menjalankan bisnis penyewaan (renting) barang untuk melayani kebutuhan masyarakat Desa dan ditujukan untuk memperoleh Pendapatan Asli Desa; BUM Desa dapat menjalankan usaha perantara (brokering) yang memberikan jasa pelayanan kepada warga; BUM Desa dapat menjalankan bisnis yang berproduksi dan/atau berdagang (trading) barang-barang tertentu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat maupun dipasarkan pada skala pasar yang lebih luas; dapat menjalankan bisnis keuangan (financial business) yang memenuhi kebutuhan usaha-usaha skala mikro yang dijalankan oleh pelaku usaha ekonomi Desa; dapat menjalankan usaha bersama (holding) sebagai induk dari unit-unit usaha yang dikembangkan masyarakat Desa baik dalam skala lokal Desa maupun kawasan perdesaan.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, BUM Desa bisa memiliki unit usaha dibawahnya untuk menunjang kegiatannya. Unit usaha ini bisa berbentuk badan hukum seperti Perseroan Terbatas maupun tidak berbadan hukum. Implementasi di lapangan sebagaimana yang penulis dapatkan utamanya di objek penelitian tesis ini, unit usaha BUM Desa kebanyakan tidak berbadan hukum, hanya berupa unit dibawah BUM Desa untuk membagi kerja tugas, seperti seksi bidang dalam lembaga pemerintahan. Berdasarkan kenyataan tersebut, BUM Desa biasanya menjalankan usaha miliknya sendiri sebagai badan hukum dengan memanfaatkan potensi-potensi yang ada di setiap desa. Beberapa kasus, BUM Desa mungkin menjalankan usaha yang bukan miliknya, namun merupakan milik masyarakat atau milik desa. Contoh kasus misalnya daerah wisata Umbul Ponggok di Klaten, dimana tempat wisatanya sendiri merupakan kepemilikan desa, namun pengelolaannya diserahkan kepada BUM Desa.

Terakhir, BUM Desa juga memenuhi unsur keempat yaitu berkedudukan di Indonesia. Hal ini merujuk pada definisi desa baik di UU Desa, PP Desa, maupun Peraturan Menteri Desa Nomor 4 Tahun 2015, yang menjelaskan bahwa desa adalah adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jelas dari definisi tersebut bahwa desa terintegrasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia, sehingga kedudukannya tentu berada di wilayah negara Indonesia.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, dapat dijelaskan bahwa BUM Desa X telah memenuhi kriteria sebagai pengusaha sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan. BUM Desa X merupakan sebuah badan hukum yang didirikan dengan Peraturan Desa Y Nomor 9 Tahun 2015 tentang Badan Usaha Milik Desa. BUM Desa X juga menjalankan kegiatan usaha seperti pengelolaan sampah, swalayan desa, dan lain-lain. Usaha yang dijalankan BUM Desa X adalah usaha milik sendiri yang awalnya merupakan kekayaan desa yang disetor secara terpisah menjadi kas BUM Desa. BUM Desa X juga berkedudukan di Indonesia, tepatnya berada di Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul. Berdasarkan hal-hal tersebut, BUM Desa X memiliki legal standing sebagai pihak pertama dalam perjanjian kerja yang dibuat dengan para pekerjanya.

 

KeabsahanPerjanjian BUM Desa X dengan Para Pekerjanya Sebagai Perjanjian Kerja

Apabila dilihat dari fakta yang ada, BUM Desa dan para pekerjanya merupakan hubungan hukum karena didasarkan pada sebuah perjanjian, baik perjanjian tertulis maupun lisan. Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.

Persebaran dari total jumlah 77 pekerja yang bekerja di BUM Desa X, 71 orang diantaranya diikat dengan perjanjian tertulis. Isi dari perjanjian yang diberikan kepada pekerja tersebut berisi 5 (lima) pasal, yaitu: Pasal 1 mengenai penunujukkan para pihak; Pasal 2 mengenai kewajiban para pihak; Pasal 3 mengatur tentang wewenang dan hak para pihak; Pasal 4 mengenai jangka waktu perjanjian; dan Pasal 5 tentang pembatalan perjanjian.[9] Contoh isi perjanjian kerja antara BUM Desa dengan para pekerjanya penulis lampirkan diakhir penelitian tesis ini.

Terdapat setidaknya 6 (enam) orang yang hanya diikat dengan perjanjian lisan. Keenam pekerja ini dalam sudut pandang BUM Desa masuk kategori pekerja harian lepas.[10] Keenamnya bekerja untuk mendapatkan upah setiap hari, walaupun dalam implementasinya pemberian upah diberikan 1 (satu) bulan sekali. Keenam pekerja ini dalam melaksanakan pekerjaannya sangat fleksibel, tidak dituntut untuk datang setiap jam kerja dari hari senin hingga hari sabtu. Nominal upah yang diberikan akan dikalikan dengan jumlah hari dimana dia masuk kerja dengan perhitungan nominal upah perharinya adalah Rp.40.000. Keenam orang ini terbagi dalam dua unit usaha, lima orang di UJPL, dan satu orang lainnya di AK.

Masa awal pendirian BUM Desa sekitar tahun 2013 hingga 2015, perjanjian yang dilakukan antara BUM Desa dengan para pekerjanya semuanya menggunakan perjanjian lisan. Saat itu, unit usaha yang ditawarkan hanya terbatas pada unit KUPAS (Kelompok Usaha Pengelolaan Sampah) dengan jumlah pekerja dibawah 20 orang. Seiring dengan perkembangan unit usaha BUM Desa X, pada tahun 2016 setiap perjanjian yang dibuat selalu dilakukan secara tertulis, kecuali untuk kasus pekerja harian lepas.[11]

Apakah perjanjian yang dilakukan BUM Desa dengan para pekerjanya merupakan perjanjian kerja? Merujuk Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Ketenagakerjaan, dijelaskan bahwa perjanjian kerja merupakan perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Adapun menurut Subekti, perjanjian kerja adalah perjanjian antara seorang buruh dengan majikan, perjanjian dengan ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperatas (dierstverhanding) yaitu suatu hubungan berdasarkan pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati pihak yang lain (buruh).[12] Terlihat dari kedua definisi tersebut, definisi dari Subekti lebih kokoh dan kuat menjabarkan mengenai perjanjian kerja. Setidaknya terdapat satu perbedaan mendasar diantara kedua definisi tersebut, dimana Subekti menyinggung adanya hubungan subordinasi antara pengusaha dengan pekerja/buruh.

Berdasarkan definisi mengenai perjanjian kerja di atas, dapat diuraikan bahwa perjanjian kerja setidaknya harus memiliki 4 (empat) unsur, yaitu:

  1. adanya unsurwork atau jenis pekerjaan yang ditawarkan;
  2. adanya unsurperintah;
  3. adanya waktu kerja;
  4. adanya upah.

Apabila penulis analisis dari isi perjanjian—utamanya perjanjian tertulis—yang dilakukan BUM Desa X dengan para pekerjanya, keempat unsur tersebut telah terpenuhi. Terlihat dalam Perjanjian tertulis (lihat Lampiran II tesis ini), terlihat di Pasal 2 mengenai kewajiban para pihak, di bagian kewajiban Pihak II poin a dan b menjelaskan jenis pekerjaan yang ditawarkan, yaitu penempatan unit usaha yang ditunjuk oleh BUM Desa. Unsur kedua mengenai perintah—dalam istilah Subekti adalah hubungan subordinasi, bisa dilihat dari timpangnya jumlah kewajiban pengusaha dengan pekerja/buruh, dimana kewajiban pekerja/buruh lebih banyak daripada kewajiban pengusaha. Isi kewajiban pekerja/buruh juga terlihat lebih berat dan merupakan bentuk pelaksanaan dari konsep atasan-bawahan. Adapun untuk waktu kerja terlihat dalam Pasal 4 Perjanjian BUM Desa dengan para pekerjanya yang menyatakan bahwa masa berlaku perjanjian adalah selama 12 bulan. Terakhir mengenai upah juga diatur dalam perjanjian di Pasal 3 mengenai wewenang dan hak.

Perjanjian secara lisan pun secara implisit telah memenuhi 4 (empat) unsur diatas. Telah nyata terlihat dari fakta-fakta yang ada, pihak BUM Desa X sebagai pihak pengusaha dan keenam orang yang diikat dengan perjanjian lisan masuk kategori sebagai pihak pekerja/buruh. Kedua pihak tersebut telah melakukan kesepakatan sehingga terjalin sebuah hubungan hukum. Kesepakatan keduanya tentu mengatur adanya upah kerja yang menjadi salah satu unsur penting perjanjian kerja. Hal ini terbukti dengan adanya laporan BUM Desa X mengenai gaji harian sebesar Rp.40.000. Adapun untuk unsur waktu kerja, PS mengkonfirmasi bahwa pekerja yang diikat dengan perjanjian lisan juga bekerja untuk satu tahun untuk selanjutnya diperpanjang dengan pendekatan lisan.[13] Selain itu, tentu terdapat hubungan subordinasi (unsur perintah) dimana BUM Desa memberikan suatu perintah pekerjaan dan keenam orang tersebut melakukan pekerjaan yang diperintahkan. Keenam orang tersebut memang melakukan pekerjaannya secara fleksibel, artinya mereka tidak terikat secara kaku dengan BUM Desa, namun fakta adanya perintah pekerjaan dari BUM Desa ketika mereka masuk kerja adalah bukti adanya hubungan subordinasi.

Khusus untuk pekerja BUM Desa yang diikat dengan perjanjian lisan, menurut Pasal 63 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa dalam hal perjanjian kerja dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan kepada pekerja yang bersangkutan. Apakah perjanjian kerja lisan dianggap tidak sah jika pengusaha tidak membuat surat pengangkatan? Berdasarkan ketentuan UU Ketenagakerjaan, terdapat implikasi serius bagi pengusaha yang tidak memberikan surat pengangkatan bagi pekerja yang diikat dengan perjanjian lisan. Pasal 188 UU Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa terdapat sanksi pidana bagi pengusaha yang melanggar beberapa pasal, salah satunya adalah Pasal 63 ayat (1), dikenakan sanksi pidana paling sedikit lima juta rupiah hingga paling banyak lima puluh juta rupiah. Tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana pelanggaran.

Berdasarkan ketentuan Pasal 63 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, maka perjanjian kerja yang dilakukan BUM Desa X dengan pekerjanya yang diikat secara lisan adalah batal demi hukum, karena perjanjian tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu syarat sah perjanjian kerja adalah adanya klausula halal dimana perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adanya ketentuan di Pasal 63 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang tidak diikuti, maka berimplikasi perjanjian kerja tersebut batal demi hukum.

Keabsahan perjanjian pada umumnya mengacu pada Pasal 1320 KUH Perdata, namun khusus dalam perjanjian kerja dasar hukumnya mengacu pada Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Secara substansi kedua aturan hukum tersebut memiliki makna dan pembahasan yang hampir sama, perbedaannya terletak pada isi perjanjiannya saja, dimana perjanjian kerja harus mengandung unsur perintah dan jenis pekerjaan.

Ada 4 (empat) syarat sah perjanjian kerja menurut Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, antara lain:

  • Kesepakatankedua belah pihak.

Kesepakatan disini maksudnya bahwa kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus menerima setiap klausul yang telah dibuat. Pihak pekerja menerima pekerjaan yang ditawarkan dan pihak pengusaha menerima pekerjaan tersebut untuk dipekerjakan. Dengan istilah lain, perjanjian kerja dibuat tidak atas dasar penipuan (dwang), paksaan (dwaling), dan kekhilafan (bedrog).

  • Kemampuan atau kecakapanmelakukan perbuatan hukum.

Kedua belah pihak baik pengusaha maupun pekerja/buruh masuk kategori cakap dalam melakukan perjanjian kerja. Salah satu ciri dari kecakapan adalah terpenuhinya batas minimal umur. Batasan umur minimal bagi seorang yang dianggap cakap dalam membuat perjanjian kerja adalah 18 tahun. Ada beberapa pengecualian bagi anak berumur 13 hingga 15 tahun, dimana UU Ketenagakerjaan membolehkan kategori anak ini untuk melakukan pekerjaan dengan syarat jenis pekerjaannya merupakan pekerjaan ringan dan tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. Selain masalah umur, salah satu faktor kecakapan adalah kedua belah pihak tidak dibawah pengampuan pihak lain serta sehat secara mental dan jiwanya. Adapun untuk badan hukum, kecakapan ini ditandai dengan adanya kewenangan bertindak oleh direksi atau yang mewakili yang diatur dalam Anggaran Dasar.

  • Adanya pekerjaanyang diperjanjikan.

Ketentuan di Pasal 1320 KUH Perdata dikatakan sebagai ‘suatu pokok persoalan tertentu’, memiliki makna yang serupa bahwa dalam perjanjian yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh harus memuat suatu jenis pekerjaan yang ditawarkan sebagai objek dari perjanjian kerja. Berdasarkan jenis pekerjaan atau perintah pekerjaan dalam isi perjanjian kerja tersebut akan melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak.

  • Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Syarat perjanjian kerja yang keempat ini menurut penulis merupakan pengejawantahan dari syarat sah perjanjian nomor 4 di Pasal 1320 KUH Perdata mengenai ‘suatu sebab yang tidak terlarang’ atau ‘klausula yang halal’. Menurut banyak referensi ilmu hukum, maksud dari klausula yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata bermakna perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut praktiknya di lapangan—baik dalam kasus di BUM Desa maupun dalam kasus lain selain BUM Desa, perjanjian atau kontrak dalam bidang bisnis biasanya sudah dipersiapkan oleh pihak pengusaha untuk melakukan pembatasan atau penghapusan tanggungjawab,[14] biasa dikenal dengan istilah perjanjian baku atau perjanjian standar. Hal inilah salah satu yang membedakan perjanjian kerja dengan perjanjian pada umumnya. Pihak pekerja/buruh tidak memiliki daya tawar dalam perjanjian kerja yang dibuat. Pekerja tidak bisa menyanggah atau memperbaiki setiap klausul yang dalam pandangan subjektifnya mungkin merugikan pihak pekerja/buruh. Realitanya, perjanjian yang dibuat seolah-olah memberikan isyarat bahwa jika pekerja/buruh merasa tidak nyaman dengan isi klausulnya, maka pekerja/buruh boleh untuk menolaknya (take it or leave it contract). Artinya, dalam perjanjian baku istilah tawar menawar/negosiasi tidak bisa terjadi, sehingga tidak memunculkan persesuaian kehendak diantara kedua belah pihak. Secara umum, perjanjian baku tetap dianggap sah sepanjang tidak bertentangan dengan syarat sah perjanjian di Pasal 1320 KUH Perdata—atau dalam perjanjian kerja tidak bertentangan dengan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Perjanjian kerja tertulis antara BUM Desa X dengan 71 orang pekerjanya jika ditarik dari sudut pandang syarat sah perjanjian kerja, maka kesemuanya merupakan bentuk perjanjian kerja yang sah secara hukum. Kedua belah pihak—BUM Desa sebagai pengusaha dan pihak pekerja—telah melakukan kesepakatan hitam diatas putih untuk melakukan pekerjaan tertentu. Pekerja/buruh secara sukarela menerima setiap hak dan kewajiban yang ditawarkan pengusaha (dalam kasus ini adalah BUM Desa), walaupun sebagaimana penulis sampaikan sebelumnya bahwa perjanjian yang dibuat merupakan perjanjian baku yang telah ditetapkan oleh salah satu pihak—dalam hal ini pengusaha. Menurut penulis, ketika pekerja/buruh menerima dan menandatangani secara sukarela perjanjian kerja yang ditawarkan BUM Desa X, maka bisa dianggap pekerja/buruh tersebut menerima setiap klausul yang ada dan telah terjadi kesepahaman kehendak diantara keduanya.

Dilihat dari syarat kedua mengenai kecakapan, maka kedua belah pihak yaitu pihak BUM Desa dan 71 pekerja telah dikategorikan sebagai pihak yang cakap menurut hukum. Berdasarkan data yang penulis peroleh dari BUM Desa X, seluruh pekerja di BUM Desa berumur lebih dari 18 tahun, bahkan jika dilihat dari tanggal lahir para pekerja mayoritas berumur lebih dari 30 tahun. Kedua belah pihak juga tidak berada dibawah pengampuan pihak lain serta sehat secara mental dan jiwanya. Adapun untuk kecakapan BUM Desa bisa dilihat dari kewenangan bertindak dari direksi untuk mewakili BUM Desa. Terlihat dalam isi perjanjian dimana pihak yang mewakili BUM Desa adalah Eko Pambudi yang merupakan direktur BUM Desa X. Kewenangan Eko Pambudi ini tidak ada dalam Anggaran Dasar BUM Desa, namun diatur dalam Pasal 5 Anggaran Rumah Tangga BUM Desa X bahwa direktur memiliki kewenangan mewakili BUM Desa. Berdasarkan hal tersebut, maka baik pihak pekerja maupun BUM Desa X, keduanya adalah pihak-pihak yang cakap menurut hukum.

Syarat ketiga dan keempat juga terpenuhi jika melihat perjanjian kerjanya, dimana BUM Desa memberikan perintah pekerjaan kepada pihak pekerja/buruh. Jenis pekerjaan yang ditawarkan berbeda antara satu pekerja dengan pekerja yang lain sesuai kebutuhan unit usaha. Jika yang membutuhkan adalah Unit Jasa Pengelolaan Sampah (UJPL), maka isi perintah kerjanya salah satunya menarik sampah dari masyarakat Desa Y dan memilahnya di kantor UJPL. Perjanjian kerja yang dibuat BUM Desa juga secara substantif tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Bahkan dalam pandangan penulis, perjanjian kerja yang ada menguatkan cita-cita dari Peraturan Menteri Desa Nomor 4 Tahun 2015 tentang BUM Desa bahwa salah satu tujuan didirikannya BUM Desa adalah membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat desa.

Adapun untuk perjanjian lisan bagi 6 (enam) pekerja di BUM Desa X, menurut penulis statusnya menjadi batal demi hukum karena bertentangan dengan Pasal 63 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Pihak pekerja yang diikat dengan perjanjian lisan tidak diberikan surat pengangkatan oleh BUM Desa X, padahal jika merujuk pada Pasal 188 UU Ketenagakerjaan, tidak diberikannya surat pengangkatan bagi pekerja yang diikat dengan perjanjian lisan maka pengusaha bisa dijerat dengan ketentuan pidana.

Berdasarkan uraian fakta-fakta dan analisis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang dilakukan antara BUM Desa X dengan para pekerjanya yang diikat secara tertulis merupakan perjanjian kerja yang sah secara hukum. Perjanjian yang telah dibuat telah memenuhi syarat sah perjanjian kerja yang diatur dalam Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Adapun bagi pekerja BUM Desa X yang diikat dengan perjanjian kerja lisan status hubungan kerjanya menjadi batal demi hukum karena dalam praktiknya tidak disertakan dengan surat pengangkatan sebagaimana telah diamanatkan menurut Pasal 63 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Tidak adanya surat pengangkatan bagi pekerja yang diikat dengan perjanjian kerja lisan membuat pengusaha—dalam hal ini BUM Desa X—dapat dijerat dengan hukuman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 188 UU Ketenagakerjaan.

 

Jenis Perjanjian Kerja BUM Desa X dengan Para Pekerjanya Berdasarkan Waktu Berakhirnya

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membagi perjanjian kerja kedalam 2 (dua) jenis, yaitu: Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT); dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Kedua jenis perjanjian kerja tersebut diatur dalam Pasal 56 hingga Pasal 63 UU Ketenagakerjaan dan beberapa pasal lain yang tersebar dalam UU Ketenagakerjaan. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)—dan juga secara implisit mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)—diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, selanjutnya akan disebut sebagai Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 100 Tahun 2004.

Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 100 Tahun 2004 menjelaskan bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu. Adapun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu merupakan perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap. Keputusan Menteri tersebut juga mengatur mengenai jenis-jenis PKWT dan perubahan PKWT menjadi PKWTT.

Telah penulis jelaskan di atas bahwa dari total 93 orang yang terlibat di BUM Desa X, 77 orang diantaranya masuk kategori pekerja/buruh. Adapun 16 orang lainnya masuk kategori pengurus BUM Desa, yang menurut Peraturan Menteri Desa Nomor 4 Tahun 2015 tentang BUM Desa disebut sebagai Pelaksana Operasional. Itu berarti, 16 orang tersebut termasuk dalam lingkup pengusaha dalam sudut pandang Undang-Undang Ketenagakerjaan. Kewenangan Direktur BUM Desa X diserahkan secara delegasi kepada 15 orang dibawahnya, yaitu: 3 orang pengurus BUM Desa, 5 Manajemen di KM, 3 manajemen di UJPL, dan masing-masing 1 manajemen di unit CwS, Swadesa, Agro, dan AK.

Jika mengacu pada data hasil penelitian penulis, dari 77 pekerja di BUM Desa X, 6 (enam) orang diantaranya diikat hanya dengan perjanjian kerja lisan, sehingga terdapat setidaknya 71 pekerja yang diikat dalam perjanjian kerja secara tertulis. Berdasarkan jumlah 71 pekerja yang ada, 47 pekerja diantaranya telah bekerja lebih dari 3 tahun, sebagian dari mereka telah bekerja dari mulai perintisan BUM Desa pada tahun 2013 dan awal 2014. Adapun 24 pekerja lainnya telah bekerja dalam kurun waktu dibawah 3 tahun, ada yang telah bekerja 2 tahun dan ada pula yang baru bekerja 1 tahun. Demi memudahkan penjelasan, penulis akan uraikan data tersebut dalam bentuk tabel sebagai berikut:

Tabel 4.2. Pembagian Pekerja BUM Desa X Berdasarkan Lamanya Bekerja dan Jenis Perjanjian

Perjanjian kerja tertulis Perjanjian kerja lisan
Lebih dari 3 tahun kerja 47 6
Dibawah 3 tahun kerja 24

 

Berdasarkan data diatas, penulis akan membaginya dalam 3 (tiga) pembahasan. Kategori pertama yang dibahas adalah mengenai 47 pekerja yang telah bekerja di BUM Desa X lebih dari 3 tahun, bahkan sebagian telah bekerja sejak masa rintisan BUM Desa X. Telah disinggung dalam pembahasan sebelumnya bahwa seluruh pekerja di BUM Desa X diikat oleh perjanjian dimana isinya mengatur mengenai jangka waktu perjanjian yang hanya berlaku selama 12 (dua belas) bulan atau selama 1 (satu) tahun. Setiap tanggal 1 Januari, kontrak kerjanya akan diperbarui untuk 1 (satu) tahun berikutnya.

Menurut PS selaku sekretaris BUM Desa X, bahwa BUM Desa hanya membagi status pekerja dalam 2 kategori, yaitu pekerja kontrak dan pekerja harian lepas.[15] Menurut sudut pandang BUM Desa, 47 pekerja yang telah bekerja lebih dari 3 tahun tersebut dianggap sebagai pekerja kontrak atau PKWT. Jika merujuk pada Pasal 59 ayat (4) UU Ketenagakerjaan, PKWT hanya boleh didasarkan atas jangka waktu tertentu untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.  Secara matematis, jumlah jangka waktu kerja bagi PKWT adalah 3 tahun. Menurut Pasal 3 ayat (2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 100 Tahun 2004, dijelaskan bahwa PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya dibuat untuk paling lama 3 tahun. Prosedur untuk perpanjangan kontrak pun diatur dalam UU Ketenagakerjaan, yakni pengusaha harus memberitahukan niat perpanjangan kontrak kerjanya paling lama 7 (tujuh) hari sebelum PKWT berakhir.

Jika melihat realita yang ada di BUM Desa X untuk kasus 47 pekerjanya, secara normatif telah menyalahi ketentuan-ketentuan PKWT dalam UU Ketenagakerjaan maupun peraturan pelaksananya. Realitanya 47 pekerja di BUM Desa X telah bekerja lebih dari 3 tahun, bahkan sebagian ada yang telah bekerja hampir 6 tahun sejak masa rintisan BUM Desa tahun 2013. Selain itu, terdapat fakta bahwa setiap pekerja di BUM Desa X akan menjalani masa training selama 3 bulan.[16] Hal ini tentu bertentangan dengan ketentuan Pasal 58 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, dimana PKWT tidak dapat mensyaratkan adanya percobaan kerja. Adanya masa percobaan kerja dalam PKWT, menurut Pasal 58 ayat (2) UU Ketenagakerjaan masa percobaan yang dipersyaratkan tersebut dinyatakan batal demi hukum.

Berdasarkan penyimpangan-penyimpangan tersebut, menurut penulis perjanjian kerja antara BUM Desa X dengan 47 pekerjanya sudah beralih secara otomatis menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Hal ini didasarkan pada Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan, bahwa dengan tidak terpenuhinya Pasal 59 ayat (4) UU Ketenagakerjaan maka statusnya telah berubah secara otomatis menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Menurut Pasal 59 ayat (6) UU Ketenagakerjaan, memang pengusaha dapat memperbarui PKWT setelah ada masa tenggang maksimal 30 hari sejak PKWT sebelumnya berakhir, untuk diperbarui maksimal 2 (dua) tahun, namun menurut pihak BUM Desa, antara perjanjian kerja lama dengan perjanjian kerja baru tidak ada masa jeda karena setiap tanggal 1 Januari secara rutin kontrak diperbarui.[17] Itu berarti, Pasal 59 ayat (6) tidak bisa dijadikan dasar untuk membenarkan PKWT yang dilakukan oleh BUM Desa X. Bahkan ‘jika seandainya’ benarpun ada masa tenggang antara kontrak lama dengan kontrak baru dan memenuhi ketentuan Pasal 59 ayat (6) UU Ketenagakerjaan, bagi penulis masih ada beberapa pekerja—khususnya yang telah bekerja sejak masa rintisan BUM Desa X pada tahun 2013—yang tetap secara otomatis menurut hukum berubah statusnya menjadi PKWTT, karena jangka waktu 2013 hingga 2019 telah melebihi batas waktu 5 tahun dan tentu bertentangan dengan Pasal 59 ayat (6) UU Ketenagakerjaan.

Sementara untuk 24 pekerja BUM Desa X yang bekerja dibawah 3 tahun, sebelum menganalisisnya lebih jauh, perlu dijabarkan terlebih dahulu mengenai jenis dan sifat pekerjaan yang diperbolehkan untuk melakukan PKWT. Pasal 59 ayat (1) UU Ketenagakerjaan memberikan batasan mengenai jenis dan sifat yang diperbolehkan melakukan PKWT, yaitu:

  1. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
  2. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesainnya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
  3. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
  4. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Melihat realita yang ada, kegiatan usaha di unit usaha BUM Desa X tidak memenuhi kategori pertama karena jenis pekerjaan di BUM Desa bukan merupakan pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; juga tidak memenuhi kategori kedua karena pekerjaan di BUM Desa tidak dibatasi waktu maksimal 3 (tiga) tahun; serta tidak pula merupakan pekerjaan musiman karena jenis pekerjaannya tidak tergantung pada musim atau cuaca. Kategori yang mungkin cocok bagi jenis pekerjaan di BUM Desa adalah poin keempat mengenai pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Memang secara normatif kategori jenis dan sifat pekerjaan ini tidak dijelaskan lebih jauh, namun dalam implementasi di lapangan sering diterjemahkan sebagai peluang/kemungkinan untuk menjadi pemain pasar atas suatu produk baru.[18] Menurut penulis, Badan Usaha Milik Desa merupakan bentuk pemain pasar baru yang menawarkan produk-produk baru seperti pengelolaan bank sampah, swalayan desa, dan lain-lain.

Melihat penjabaran di atas, pekerjaan di Badan Usaha Milik Desa bisa diikat dengan PKWT. Kasus 24 pekerja di BUM Desa X, penulis berpendapat bahwa perjanjian kerja antara BUM Desa X dengan 24 pekerjanya tersebut masuk kategori PKWT (perjanjian bagi pekerja kontrak). Adanya masa training selama 3 bulan bagi pekerja baru tidak merubah status perjanjian kerjanya, namun menurut Pasal 58 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, dalam hal disyaratkan adanya masa percobaan, maka masa percobaan kerja yang disyaratkan tersebut batal demi hukum.

Adapun untuk 6 (enam) pekerja BUM Desa X yang diikat dengan perjanjian lisan, jelas secara normatif tidak bisa dikategorikan sebagai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), karena dalam ketentuan Pasal 57 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa perjanjian yang dibuat dalam sistem PKWT harus secara tertulis. PKWT yang dibuat tidak tertulis—atau secara lisan, dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu (PKWTT). Selain itu, fakta bahwa keenam pekerja tersebut telah bekerja lebih dari 3 tahun menguatkan perubahan statusnya menjadi PKWTT, karena menurut UU Ketenagakerjaan PKWT hanya didasarkan pada perjanjian kerja maksimal 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk 1 (satu) tahun. Bahkan jika merujuk pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 100 Tahun 2004, PKWT jenis harian lepas ini bertentangan dengan Pasal 10 ayat (2) yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja harian lepas hanya boleh dilakukan kurang dari 21 hari dalam 1 (satu) bulan. Fakta di BUM Desa X, pelaksanaanya bahkan bisa lebih dari 21 hari dalam 1 (satu) bulan.[19] Itu berarti, jika merujuk pada ayat berikutnya yakni Pasal 10 ayat (3) bahwa jika pekerja harian lepas melakukan pekerjaan lebih dari 21 hari/bulan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT.

Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka 53 pekerja (47 pekerja yang diikat dengan perjanjian tertulis ditambah 6 pekerja yang diikat dengan perjanjian lisan) di BUM Desa X dalam tinjauan UU Ketenagakerjaan merupakan kategori pekerja tetap (PKWTT), sementara 24 pekerja lainnya yang diikat dengan perjanjian tertulis merupakan pekerja kontrak (PKWT). Adapun secara administrasi di BUM Desa masih dikategorikan sebagai pekerja kontrak dan harian lepas. Adanya perubahan 53 pekerja menjadi status PKWTT inilah, maka segala bentuk akibat hukum yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan serta peraturan pelaksana dibawahnya mengikat secara hukum bagi pekerja tersebut.

 

Implikasi KeabsahanPerjanjian Kerja antara BUM Desa X dengan Para Pekerjanya Terhadap Hubungan Hukum

Darmawan selaku Kepala Seksi Pengupahan dan Kesejahteraan Tenaga Kerja di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Daerah Istimewa Yogyakarta menyampaikan pendapat bahwa hubungan kerja lahir didasarkan pada keabsahan perjanjian kerja.[20] Perjanjian kerja dengan hubungan kerja memiliki kaitan yang saling berhubungan, hal ini akan mengakibatkan adanya hubungan kerja yang terjadi antara pemberi kerja/pengusaha dengan pekerja/buruh.[21] Itu artinya, ada atau tidaknya hubungan kerja sangat dipengaruhi dari sah atau tidaknya perjanjian kerja. Jika sebuah perjanjian kerja bertentangan dengan Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, maka perjanjian tersebut tidak digolongkan sebagai perjanjian kerja, itu artinya secara otomatis tidak terjalin hubungan kerja diantara para pihak.

Berdasarkan analisis sebelumnya, dengan didasarkan pada perjanjian yang penulis dapatkan dari BUM Desa X berkesimpulan bahwa perjanjian antara BUM Desa X dengan para pekerjanya merupakan perjanjian kerja yang sah menurut hukum. Adanya keabsahan perjanjian kerja di BUM Desa X inilah, maka secara otomatis hubungan hukum antara BUM Desa X dengan para pekerjanya merupakan hubungan kerja sebagaimana telah didefinisikan dalam UU Ketenagakerjaan bahwa hubungan kerja lahir antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja. Termasuk didalamnya adalah 6 (enam) orang pekerja BUM Desa yang diikat dengan perjanjian lisan. Keenamnya memiliki hubungan kerja yang mengikat dengan BUM Desa X.

Mengapa perjanjian kerja secara lisan juga memiliki nilai ikat yang sama seperti dengan perjanjian kerja secara tertulis? Hal ini berdasarkan ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan mengenai definisi hubungan kerja, disebutkan bahwa hubungan kerja merupakan hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjan kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Definisi tersebut tidak mencantumkan perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha harus secara tertulis, namun hanya didasarkan pada setidaknya 3 (tiga) unsur yang menjadi sebab lahirnya hubungan kerja, yaitu:

  1. Unsur pekerjaan. Isi dalam perjanjian yang dibuat harus mengatur jenis pekerjaan yang ditawarkan oleh pihak pengusaha. Perjanjiankerja secara lisan oleh BUM Desa X tentu menawarkan jenis pekerjaan, semisal dalam kasus ini adalah sebagai pemilah sampah di UJPL dan sebagai mentor di Akademi Komunitas.
  2. Unsur upah. Selain menawarkan jenis pekerjaanyang harus dilakukan oleh pekerja/buruh, pengusaha juga menawarkan besaran upah yang akan diterima oleh pekerja/buruh dengan hitungan tertentu. Kasus di BUM Desa X, pekerja/buruh yang diikat dengan perjanjian kerja secara lisan mendapatkan upah harian sebesar Rp.40.000 untuk 8 jam kerja per hari. Terlepas dari apakah upah itu memenuhi persyaratan sebagaimana peraturan perundang-undangan lain yang mengatur—dalam hal ini Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, tidak mengurangi kenyataan bahwa hubungan antara BUM Desa X dengan para pekerjanya merupakan hubungan kerja.
  3. Unsur Perintah. Sebagaimana telah disebutkan dalam definisimenurut Subekti bahwa hubungan kerja merupakan hubungan subordinasi, maka tentu ada satu pihak yang kedudukannya—baik secara ekonomi maupun sosial—berada diatas dari pihak lainnya yaitu pihak pengusaha. Kedudukan yang berada diatas pekerja/buruh ini memberikan momentum adanya unsur perintah yang kuat dimana setiap perintah memberikan implikasi terhadap keberlangsungan hubungan kerja diantara keduanya. Implementasi kasus di BUM Desa X, unsur ini telah terpenuhi berdasarkan fakta aktivitas para pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan sesuai dengan arahan dan instruksi dari pihak BUM Desa.

 

B. Perlindungan Upah Bagi Pekerja dalam SistemPengupahan di BUM Desa X

    1. Implementasi Pengupahandi BUM Desa X

Sebagaimana telah penulis sampaikan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa BUM Desa X memiliki keunikan tersendiri dalam memberikan upah bagi para pekerjanya. Pekerja yang diikat dengan perjanjian kerja tertulis—yaitu berjumlah 71 pekerja, diatur dengan jelas jumlah nominal yang akan diterima oleh pekerja, serta diatur dalam beberapa kategori upah, mencakup didalamnya: gaji pokok; tunjangan kehadiran; tunjangan jabatan; tunjangan masa bakti; insentif; transport; dan asuransi. Nominal total upah yang diterima oleh pekerja berada di kisaran Rp.1.000.000 hingga Rp. 1.400.000.

Nominal gaji pokok yang diterima pekerja berada dikisaran Rp.300.000 hingga Rp.700.000, tunjangan kehadiran memiliki nilai yang sama untuk setiap pekerja yaitu Rp.100.000, tunjangan jabatan bervariasi antara Rp.75.000 hingga Rp.200.000, tunjangan masa bakti senilai Rp.50.000 atau Rp.100.000 didasarkan pada lamanya bekerja di BUM Desa, insentif dikisaran Rp.160.000 hingga Rp.485.000 didasarkan pada penilaian yang dilakukan setiap 6 bulan sekali oleh pengurus manajemen di setiap unit usaha, nominal transport dikisaran Rp.65.000 hingga Rp.104.000 didasarkan pada jauh dekatnya rumah pekerja dengan unit usaha, dan asuransi sebesar Rp.60.000 yang bekerjasama dengan BNI Life.

Adapun untuk 6 (enam) pekerja lainnya yang diikat dengan perjanjian lisan, dibayar oleh pihak BUM Desa sebesar Rp.40.000 untuk satu hari kerja per delapan jam. Jika diasumsikan keenam pekerja tersebut bekerja satu bulan penuh (dikurangi 4 atau 5 hari libur) dikisaran 25 hari, maka total nominal yang didapatkannya adalah Rp.1.000.000. Tentu saja nominal yang didapatkan lebih kecil dari pekerja yang diikat dengan perjanjian kerja tertulis, namun berdasarkan hasil wawancara penulis dengan JW sebagai salah satu dari 6 (enam) pekerja tersebut, alasan mengambil pekerjaan harian lepas adalah agar tidak terikat terlalu kaku dengan pihak BUM Desa. Para pekerja bisa tidak masuk kerja lebih dari 3 hari secara berturut-turut. Menurut pernyataannya, JW mengatakan bahwa keenam pekerja tersebut telah membantu BUM Desa sejak masa awal rintisan BUM Desa di tahun 2013, sehingga pihak BUM Desa merasa segan untuk memutuskan hubungan pekerjaan dengan keenamnya. Meskipun jumlah nominal yang diterima lebih kecil dari pekerja yang diikat dengan perjanjian tertulis, JW dan 5 (lima) pekerja lainnya merasa bersyukur atas upah yang diberikan BUM Desa, karena selain bekerja membantu BUM Desa, keenam pekerja tersebut memiliki kesibukan dan pendapatan yang lain, ada yang membuka angkringan setiap malam, ada yang menjadi petani, dan lain-lain.[22] Itu berarti, keenam pekerja tersebut menjadikan BUM Desa sebagai pekerjaan sampingan dari pekerjaan lainnya yang dimiliki.

BUM Desa X tidak memiliki sistematika struktur dan skala upah sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 tentang Struktur dan Skala Upah, karena menurut Pasal 5 Peraturan Menteri tersebut dijelaskan bahwa struktur dan skala upah ditetapkan dalam bentuk surat keputusan pimpinan perusahaan. BUM Desa X sendiri tidak mengeluarkan surat keputusan yang ditujukan kepada pekerja dalam mengatur struktur dan skala upah. Perbedaan upah yang didapat oleh pekerja di BUM Desa X didasarkan pada perhitungan yang dilakukan oleh pengurus unit BUM Desa, didasarkan pada lamanya bekerja di BUM Desa, produktivitas kerja, dan jauh-tidaknya rumah pekerja dengan unit usaha. Sebagaimana telah penulis singgung dalam pembahasan sebelumnya bahwa pihak BUM Desa dapat memindahkan pekerja ke setiap jenis pekerjaan dan setiap unit usaha yang ada. Jika terjadi kasus tersebut, masalah pengupahannya akan dianggap sama dengan nominal upah bulan sebelumnya.[23] Adanya fleksibilitas tersebut, berimplikasi pada ketidak manfaatan perbedaan nominal upah didasarkan pada produktivitas kerja, karena penilaian kerja yang dilakukan setiap 6 (enam) bulan sekali itu hanya dilakukan oleh manajer unit usaha pada saat dilakukan penilaian, juga tidak ada manfaatnya perbedaan nominal upah didasarkan pada jauh-tidaknya rumah pekerja dengan unit usaha karena setiap enam kantor unit usaha BUM Desa berada di lokasi yang berbeda-beda, bahkan ada yang berbeda pedukuhan.

 

  1. Perlindungan Upah di BUM DesaX dalam Tinjauan Hukum Ketenagakerjaan

Menurut berbagai referensi ilmu hukum ketenagakerjaan, istilah ‘perlindungan upah’ tidak hanya menyangkut pada kesesuaian implementasi upah pada sebuah badan usaha tertentu dengan menggunakan tolak ukur upah minimum, baik upah minimum provinsi (UMP), upah minimum kabupaten/kota (UMK), upah minimum sektoral provinsi (UMSP), maupun upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK). Lebih dari itu, perlindungan upah diukur juga menggunakan pendekatan lain yang juga sangat substantif dalam melindungi para pekerja/buruh. Menurut ketentuan Pasal 88 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, bentuk-bentuk kebijakan yang melindungi pekerja/buruh terdiri atas: (1) upah minimum; (2) upah kerja lembur; (3) upah tidak masuk kerja karena berhalangan; (4) upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya; (5) upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya; (6) bentuk dan cara pembayaran upah; (7) denda dan potongan upah; (8) hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
(9) struktur dan skala pengupahan yang proporsional; (10) upah untuk pembayaran pesangon; (11) upah untuk perhitungan pajak penghasilan

  • Perlindungan Upah Berdasarkan Upah Minimum

Upah minimum merupakah salah satu bentuk perlindungan upah dari pemerintah untuk menjamin pekerja/buruh mendapatkan hak upahnya secara layak. Ketentuan mengenai upah minimum diatur dalam Pasal 88 hingga Pasal 92 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, diatur dalam BAB V Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, dan juga diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum. Definisi dari upah minimum sendiri merupakan upah bulanan terendah yang terdiri atas upah pokok termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh gubernur sebagai jaring pengaman. Jaring pengaman disini maksudnya upah yang diberikan didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa nominal upah yang diterima pekerja di BUM Desa X berada dikisaran Rp.1.000.000 hingga Rp.1.400.000. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (selanjutnya disebut PP Pengupahan) dijelaskan bahwa gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. Upah minimum yang ditetapkan gubernur tersebut hanya berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun pada perusahaan yang bersangkutan, adapun bagi pekerja/buruh dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih bisa dirundingkan secara bipartit antara pekerja/buruh dengan pengusaha di perusahaan yang bersangkutan.

Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan menjelaskan bahwa gubernur selain menetapkan upah minimum provinsi, juga menetapkan upah minimum kabupaten/kota. Upah minimum kabupaten/kota harus lebih besar dari upah minimum provinsi. Adapun upah minimum Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2019, telah ditetapkan dengan SK Gubernur DIY Nomor 320/KEP/2018 dan diumumkan oleh Gubernur DIY melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DIY serta mulai berlaku per tanggal 1 Januari 2019, dengan rinciannya sebagai berikut:

Tabel 4.3. Besaran Upah Minimum di Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2019

No. Upah Minimum Daerah Nominal Upah Minimum
1 Upah Minimum Provinsi DIY Rp.1.570.922
2 Upah Minimum Kabupaten/Kota Yogyakarta Rp.1.846.400
3 Upah Minimum Kabupaten/Kota Sleman Rp.1.701.000
4 Upah Minimum Kabupaten/Kota Bantul Rp.1.649.800
5 Upah Minium Kabupaten/Kota Kulonprogo Rp.1.613.200
6 Upah Minimum Kabupaten/Kota Gunungkidul Rp.1.571.000

 

Terlihat dari tabel di atas, bahwa upah yang diterima oleh pekerja BUM Desa X masih berada dibawah upah minimum Kabupaten Bantul yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Terdapat selisih sekitar Rp.200.000 dibandingkan dengan upah pekerja BUM Desa X yang sebesar Rp.1.400.000, sementara bagi pekerja BUM Desa X yang mendapatkan upah terkecil dikisaran Rp.1.000.000 memiliki selisih hampir Rp.600.000 dengan upah minimum di Kabupaten Bantul.

Secara normatif, pihak pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum dapat mengajukan penangguhan pelaksanaan upah minimum kepada Gubernur melalui Kantor Wilayah Kementerian Tenaga Kerja atau instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Provinsi. Berdasarkan permohonan penangguhan tersebut, Gubernur setelah meminta akuntan publik memeriksa keuangan perusahaan, dapat menolak atau mengabulkan. Apabila disetujui, putusan Gubernur hanya berlaku untuk masa paling lama 1 (satu) tahun.[24]

Implementasinya di lapangan, pihak BUM Desa X sebenarnya telah mengetahui dan menyadari secara nyata bahwa upah yang diberikan kepada pekerja/buruh berada dibawah ketentuan upah minimum Kabupaten Bantul, namun pihak BUM Desa merasa nominal upah Rp.1.000.000 hingga Rp.1.400.000 merupakan upah yang cukup besar dikalangan Badan Usaha Milik Desa di Kabupaten Bantul yang kebanyakan masih berada di kisaran Rp.700.000.[25]

Penulis tidak sepakat dengan dalih yang disampaikan pihak BUM Desa X dengan membandingkan nominal upah diantara sesama Badan Usaha Milik Desa di Kabupaten Bantul. Jika merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang pengupahan, tidak ada satupun yang membenarkan dalih tersebut. Bahkan menurut Darmawan selaku Kepala Seksi Pengupahan dan Kesejahteraan Tenaga Kerja di  Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DIY, menyatakan bahwa upah minimum adalah hal wajib yang harus diberikan oleh pihak pengusaha. Darmawan mencontohkan bahkan untuk pengusaha pinggir jalan yang kecil pun seperti penjual bakso tetap tunduk terhadap ketentuan upah minimum.[26] Pendapat Darmawan ini secara normatif-yuridis sudah sesuai dengan ketentuan undang-undang, karena Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UU Usaha Mikro) tidak mengatur secara eksplisit mengenai ranah ketenagakerjaan, sehingga tetap tunduk menurut ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan.[27] Menurut penulis, bahkan jika UU Usaha Mikro mengatur mengenai ketenagakerjaan pun, keberlakuannya tidak dapat diterima dan masih tetap menggunakan UU Ketenagakerjaan berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali. Penulis menyadari memang dalam implementasi di lapangan, tidak akan begitu efektif diterima oleh masyarakat ekonomi mikro dan kecil.

Apalagi berdasarkan hasil data yang penulis terima, BUM Desa X memiliki omzet hingga kisaran lebih dari Rp.5 milyar setiap tahunnya.[28] Jika merujuk pada UU Usaha Mikro pun, BUM Desa X sudah masuk kategori usaha menengah keatas, bukan lagi usaha mikro dan kecil. Membandingkan upah BUM Desa X dengan Badan Usaha Milik Desa lainnya di Kabupaten Bantul merupakan suatu kekeliruan, karena BUM Desa X ini merupakan satu-satunya BUM Desa dari Kabupaten Bantul yang masuk nominasi 5 besar BUM Desa percontohan tingkat nasional.

Berdasarkan omzet yang begitu besar tersebut, dalam pandangan penulis seharusnya BUM Desa X telah menjamin para pekerjanya dengan upah minimum. Jika kita kalikan upah minimum Kabupaten Bantul kisaran Rp.1.650.000 dengan jumlah total pekerja sebanyak 77 orang, maka BUM Desa X membutuhkan pengeluaran untuk upah pekerja sebesar Rp.127.050.000 dalam satu bulan atau sebesar Rp.1.524.600.000 (baca: Rp.1,5 milyar) dalam satu tahun. Omzet lebih dari Rp.5 milyar per tahunnya dengan dikurangi Rp.1,5 milyar untuk upah pekerja, masih menyisakan Rp.3,5 milyar untuk keperluan BUM Desa yang lain. Jika hal ini tercapai, tentu secara tidak langsung merupakan pelaksanaan terhadap amanat Peraturan Menteri Desa tentang BUM Desa dimana salah satu tujuan BUM Desa adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

 

  • Perlindungan Upah Berdasarkan Waktu Kerja Lembur

Bentuk perlindungan upah yang kedua adalah waktu kerja lembur. Berdasarkan ketentuan Pasal 78 UU Ketenagakerjaan, bahwa pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja harus memenuhi syarat:

  • Ada persetujuan pekerja/buruhyang bersangkutan;
  • Waktu kerja lemburhanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja wajib membayar upah kerja lembur. Ketentuan waktu kerja lembur dan upah lembur diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur (Selanjutnya disebut Kepmenakertrans No. 102 Tahun 2004). Berdasarkan Kepmenakertrans tersebut, waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam seminggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 8 (delapan) jam sehari, dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau waktu kerja pada hari istirahat dan atau pada hari libur resmi yang ditetapkan pemerintah.

Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu. Tidak termasuk kerja lembur yang dilakukan pada waktu istirahat mingguan atau hari libur resmi. pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja, wajib membayar upah lembur. Perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh selama waktu kerja lembur berkewajiban:

  • Membayar upahkerja lembur;
  • Memberi kesempatan untuk istirahat secukupnya;
  • Memberikan makanan dan minuman sekurang-kurangnya 1.400 kalori apabila kerja lemburdilakukan selam 3 (tiga) jam atau lebih.

Jika tolak ukurnya menggunakan Pasal 3 Kepmenakertras No. 102 Tahun 2004, maka penerapan kerja lembur di BUM Desa X sudah sesuai dan dilaksanakan dengan baik. Menurut catatan kerja lembur di database BUM Desa X, pekerja/buruh di BUM Desa X melakukan kerja lembur tidak lebih dari 3 jam per hari dan/atau 14 hari dalam 1 minggu. Jika menggunakan tinjauan Pasal 7 Kepmenakertrans No. 102 Tahun 2004, maka pelaksanaan kerja lembur di BUM Desa X terlihat bertentangan dengan ketentuan tersebut, karena dalam implementasinya BUM Desa tidak memberikan makanan dan minumam dengan sekurang-kurangnya 1.400 kalori. Menurut pandangan BUM Desa, pemberian makanan di waktu kerja lembur sudah termasuk dalam upah kerja lembur.[29]

Jika tolak ukur tinjauannya menggunakan Pasal 8 ayat (2) Kepmenakertrans No. 102 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa cara menghitung upah dalam satu jam dihitung 1/173 kali upah sebulan, pasti dalam pelaksanaannya bertentangan dengan ketentuan tersebut. Mengapa penulis mengatakan pasti bertentangan? Ketentuan Pasal 8 ayat (2) Kepmenakertrans tersebut memiliki makna bahwa upah perbulannya telah dianggap memenuhi nominal upah minimum yang telah diatur pemerintah daerah. Penjelasan ini dipertegas oleh Darmawan selaku Kepala Seksi Pengupahan dan Kesejahteraan Tenaga Kerja di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DIY yang mengatakan bahwa seluruh ketentuan peraturan pelaksana dibidang ketenagakerjaan—termasuk didalamnya Kepmenakertrans  Nomor 102 Tahun 2004—merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Artinya, seluruh istilah ‘upah sebulan’ disemua peraturan pelaksana dibidang ketenagakerjaan, bermakna upah yang telah memenuhi target upah minimum.[30] Seperti telah penulis jabarkan dalam pembahasan sebelumnya, pelaksanaan upah di BUM Desa X tidak memenuhi target upat minimum yang berlaku bagi Kabupaten Bantul. Sehingga jelas, perlindungan upah menggunakan pendekatan waktu kerja lembur tidak terlaksana dengan baik.

 

  • Perlindungan Upah Berdasarkan Halangan Tidak Masuk Kerja

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menganut asas no work no pay. Maksudnya, upah tidak dibayar apabila pekerja tidak menjalankan pekerjaan. Meskipun demikian, apabila pekerja tidak masuk kerja bukan karena kesalahannya, pengusaha harus tetap membayar upah pekerja. Halangan yang menyebabkan pekerja tidak masuk kerja dan upahnya harus tetap dibayar menurut ketentuan Pasal 93 ayat (2) UU Ketenagakerjaan antara lain:

  • Pekerja sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
  • Pekerja perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan; ‘
  • Pekerja tidak masuk bekerja karena pekerjamenikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, istri melahirkan dan keguguran kandungan, suami atau istri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
  • Pekerja tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajban terhadap agamanya;
  • Pekerja tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
  • Pekerja bersedia melakukan pekerjaanyang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak memperkerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
  • Pekerja melaksanakan hak istirahat;
  • Pekerja melaksanakan tugas serikat pekerjaatas persetujuan pengusaha; dan
  • Pekerja melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.

Hasil dari wawancara yang dilakukan penulis dengan PS selaku sekretaris BUM Desa X, memberikan kenyataan bahwa pengurus BUM Desa baru mengetahui adanya aturan Pasal 92 ayat (2) tersebut. Menurut PS, ketika pekerja tidak masuk kerja apapun alasannya termasuk alasan sakit, BUM Desa akan menganggap pekerja tersebut absen dan tidak diberikan upah. Menurut sudut pandang BUM Desa, memberikan upah bagi pekerja yang bolos—apapun alasannya—dengan memberikan upah merupakan beban bagi keuangan BUM Desa.[31] Sehingga dalam implementasinya, ketentuan mengenai upah tidak masuk kerja karena berhalangan tidak terlaksana di BUM Desa X karena ketidaktahuan para pengurus BUM Desa.

Selain ketidaktahuan pengurus, ketika penulis melakukan wawancara dengan JW, KJ, SL, RJ, CA, dan DA selaku pekerja BUM Desa, keenamnya mengaku tidak mengetahui adanya ketentuan Pasal 92 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.[32] Khusus untuk kasus ini, penulis berpendapat bahwa selain ketidaktahuan pengurus dan pekerja akan ketentuan Pasal 92 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, masih melekatnya doktrin no work no pay ditengah-tengah masyarakat menyebabkan masih kuatnya argumentasi lahirnya kerugian jika memberikan upah bagi pekerja yang tidak hadir karena halangan sesuai Pasal 92 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.

Jika merujuk pada asas hukum presumptio iures de iure yang menganggap bahwa setiap orang dianggap mengetahui terhadap hukum yang berlaku, maka ketidaktahuan pihak BUM Desa akan ketentuan Pasal 92 ayat (2) UU Ketenagakerjaan tidak bisa dijadikan sebagai sebuah alasan pembenar untuk tidak memberikan upah bagi pekerja yang berhalangan sebagaimana telah diatur dalam pasal tersebut. Oleh karena itu, perlindungan upah bagi pekerja BUM Desa yang berhalangan tidak masuk kerja sesuai ketentuan Pasal 92 ayat (2) UU Ketenagakerjaan tidak terlaksana dan belum memberikan perlindungan yang baik.

 

  • Perlindungan Upah Berdasarkan Kegiatan Lain di Luar Pekerjaan

Pekerja yang tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain diluar pekerjaannya, tetap berhak mendapatkan upah. Kegiatan lain diluar pekerjaan dan tetap mendapatkan upah ini diatur dalam ketentuan Pasal 24 ayat (4) PP Pengupahan, yaitu sebagai berikut:

  • menjalankan kewajiban terhadap negara;
  • menjalankan kewajiban ibadah yang diperintahkan agamanya;
  • melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan Pengusaha dan dapat dibuktikan dengan adanya pemberitahuan tertulis; atau
  • melaksanakan tugas pendidikan dari Perusahaan.

Hasil wawancara penulis dengan PS selaku sekretaris BUM Desa maupun para pekerja BUM Desa memberikan hasil yang sama seperti pembahasan sebelumnya mengenai perlindungan upah berdasarkan halangan tidak masuk kerja. Baik pihak BUM Desa X maupun para pekerjanya tidak mengetahui adanya aturan tersebut sehingga bagi pekerja yang membolos untuk menghadiri kegiatan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (4) PP Pengupahan tetap dianggap absen dan tidak diberikan upah. Sama seperti pembahasan sebelumnya, selain karena faktor ketidaktahuan, menurut penulis kuatnya doktrin no work no pay menjadi salah satu alasan Pasal 24 ayat (4) PP Pengupahan ini tidak mendapatkan perhatian serius dari pihak pengusaha, dalam hal ini BUM Desa.

Berdasarkan hasil wawancara tersebut, penulis juga berpendapat bahwa ketidaktahuan pihak BUM Desa akan ketentuan Pasal 24 ayat (4) PP Pengupahan tidak bisa menjadi alasan pembenar atas tindakannya, karena jika merujuk pada asas hukum presumptio iures de iure, pihak BUM Desa dianggap mengetahui ketentuap Pasal 24 ayat (4) PP Pengupahan. Oleh karena itu, perlindungan upah bagi pekerja BUM Desa berdasarkan kegiatan lain diluar pekerjaan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (4) PP Pengupahan tidak dilaksanakan dengan baik oleh pihak BUM Desa, sehingga tidak memberikan perlindungan.

 

  • Perlindungan Upah Berdasarkan Hak Waktu Istirahat

Hasil wawancara penulis dengan PS selaku sekteratis BUM Desa X memberikan hasil yang sama dengan dua pembahasan sebelumnya, bahwa pihak BUM Desa tidak memberikan upah bagi pekerja yang absen kerja karena menjalankan hak istirahat.[33] Alasan utamanya pun sama, dimana asas no work no pay sangat kuat melekat di lingkungan BUM Desa, sehingga ketidakhadiran pekerja dengan alasan apapun tidak mendapatkan upah karena tidak bekerja. Ketidakhadiran pekerja dengan alasan-alasan yang logis hanya mendapatkan sikap maklum dari pengurus BUM Desa, namun tidak mendapatkan upah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Hal ini jelas bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan dan PP Pengupahan dimana pekerja yang absen karena menjalankan hak waktu istirahat tetap harus dibayarkan upahnya. Pasal 24 ayat (5) PP Pengupahan menjelaskan bahwa alasan pekerja tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya apabila Pekerja melaksanakan:

  • hak istirahat mingguan;
  • cuti tahunan;
  • istirahat panjang;
  • cuti sebelum dan sesudah melahirkan; atau
  • cuti keguguran kandungan.

Pihak BUM Desa mengakui bahwa pernah beberapa kali pekerjanya melakukan cuti yang cukup panjang karena alasan melahirkan, namun selama cuti pihak BUM Desa tidak memberikan upah.[34] Tentu saja hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 93 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, dimana upah tetap dibayarkan kepada pekerja yang berhalangan hadir, salah satunya hak waktu istirahat sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (5) PP Pengupahan.

Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, terlihat jelas bahwa BUM Desa X belum memberikan perlindungan bagi pekerjanya yang absen bekerja karena hak waktu istirahat. Sama sebagaimana penjelasan BUM Desa pada pembahasan sebelumnya, BUM Desa beralasan tidak mengetahui ketentuan tersebut, namun bagi penulis ketidaktahuan BUM Desa tidak bisa dijadikan alasan pembenar berdasarkan asas presumptio iures de iure.

 

  • Perlindungan Upah Berdasarkan Cara Pembayaran

Hasil wawancara penulis dengan pihak BUM Desa menunjukkan bahwa cara pembayaran upah di BUM Desa X adalah secara langsung dari manajemen di setiap unit usaha kepada pekerjanya menggunakan amplop putih.[35] Sebagaimana penulis jelaskan di atas, bahwa upah yang diterima pekerja berbeda antara satu pekerja dengan pekerja lainnya. Cara pembayaran upah ini merupakan salah satu indikator terciptanya perlindungan upah bagi pekerja.

Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (PP Pengupahan) mengatur mengenai bentuk dan cara pembayaran. Pasal 17 ayat (1) PP Pengupahan menjelaskan bahwa upah wajib dibayarkan kepada Pekerja/Buruh yang bersangkutan. Pasal 21 ayat (1) PP Pengupahan mengatur pembayaran Upah harus dilakukan dengan mata uang rupiah Negara Republik Indonesia. Adapun Pasal 22 ayat (1) PP Pengupahan menjelaskan bahwa upah dapat dibayarkan secara langsung atau melalui bank.

Berdasarkan hasil wawancara sebagaimana penulis jelaskan di atas, maka cara pembayaran upah di BUM Desa X telah sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Pembayaran upah secara langsung memenuhi ketentuan Pasal 22 ayat (1) PP Pengupahan yang menjelaskan bahwa upah dapat dibayarkan secara langsung. Kesimpulan dari pembahasan ini menunjukkan bahwa BUM Desa X telah memberikan perlindungan upah bagi para pekerjanya berdasarkan tinjauan cara pembayaran upah.

 

  • Perlindungan Upah Berdasarkan Denda

Bentuk perlindungan upah selanjutnya adalah denda, pemotongan upah dan ganti rugi. Pengusaha yang karena kesengajaan dan kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan presentase tertentu dari upah pekerja/buruh. Jika perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak.

Pengaturan denda tidak diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, namun secara lengkap diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah RI Nomor 78 Tahun 2015, hak untuk menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhir pada saat hubungan kerja putus. Ketentuan itu dapat diinterpretasikan bahwa akan ada akibat hukum apabila hak itu tidak diberikan tepat pada waktunya. Bentuk dari akibat hukum itu adalah pemberian ganti rugi kepada pekerja yang berupa bunga keterlambatan pembayaran upah. Apabila upah terlambat dibayar, maka mulai dari hari keempat sampai hari kedelapan terhitung dari hari dimana seharusnya upah dibayar, upah tersebut ditambah dengan 5% (lima persen) untuk tiap hari keterlambatan. Sesudah hari kedelapan tambahan itu menjadi 1% (satu persen) untuk tiap hari keterlambatan, dengan ketentuan bahwa tambahan itu untuk 1 (satu) bulan tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari upah yang seharusnya dibayarkan.

Ini adalah bentuk perlindungan upah yang cukup baik bagi pekerja/buruh. Implementasinya di BUM Desa X, sejauh yang penulis dapatkan datanya melalui wawancara dengan pihak BUM Desa dan para pekerjanya, kasus keterlambatan pembayaran upah belum pernah terjadi. Sehingga penulis tidak akan jauh mengomentari dan menganalisis perlindungan upah berdasarkan denda ini. Setidaknya, pekerja/buruh dijamin perlindungannya menurut hukum atas upah yang diterima serta menjadi bentuk antisipasi apabila terjadi keterlambatan pembayaran upah.

 

  • Perlindungan Upah Berdasarkan Hal yang Diperhitungkan dengan Upah

Pasal 51 ayat (1) PP Pengupahan menjelaskan bahwa hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan Upah terdiri atas:

  • denda;
  • ganti rugi;
  • pemotongan Upah untuk pihak ketiga;
  • uang muka Upah;
  • sewa rumah dan/atau sewa barang-barang milik Perusahaan yang disewakan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh;
  • hutang atau cicilan hutang Pekerja/Buruh kepada Pengusaha; dan/atau
  • kelebihan pembayaran Upah.

Kelanjutannya, berdasarkan Pasal 51 ayat (2) PP Pengupahan dijelaskan bahwa hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah dilaksanakan sesuai dengan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Ketika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah yang menjadi kewajiban Pekerja yang belum dipenuhi dan/atau piutang pekerja yang menjadi hak pekerja yang belum terpenuhi dapat diperhitungkan dengan semua hak yang diterima sebagai akibat Pemutusan Hubungan Kerja.

Merujuk pada perjanjian kerja BUM Desa dengan para pekerjanya, ketentuan mengenai hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah tidak diatur dalam perjanjian kerja. Tidak diaturnya hal tersebut tentu tidak memberikan kepastian bagi pekerja dan pengusaha jika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, sehingga menunjukkan tidak adanya perlindungan upah.

 

  • Perlindungan Upah Berdasarkan Struktur dan Skala Upah

Struktur dan skala upah lebih rinci diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Struktur dan Skala Upah. Struktur upah adalah susunan tingkat upah dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi atau dari yang tertinggi sampai dengan yang terendah. Adapun skala upah adalah kisaran nilai nominal upah dari yang terkecil sampai dengan yang terbesar untuk setiap golongan.

BUM Desa X tidak memiliki sistematika struktur dan skala upah sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan  Nomor 1 Tahun 2017 tentang Struktur dan Skala Upah, karena menurut Pasal 5 Peraturan Menteri tersebut dijelaskan bahwa struktur dan skala upah ditetapkan dalam bentuk surat keputusan pimpinan perusahaan. BUM Desa X sendiri tidak mengeluarkan surat keputusan yang ditujukan kepada pekerja dalam mengatur struktur dan skala upah.

Perbedaan upah yang didapat oleh pekerja di BUM Desa X didasarkan pada perhitungan yang dilakukan oleh pengurus unit BUM Desa, didasarkan pada lamanya bekerja di BUM Desa, produktivitas kerja, dan jauh-tidaknya rumah pekerja dengan unit usaha. Sebagaimana telah penulis singgung dalam pembahasan sebelumnya bahwa pihak BUM Desa dapat memindahkan pekerja ke setiap jenis pekerjaan dan setiap unit usaha yang ada. Jika terjadi kasus tersebut, masalah pengupahannya akan dianggap sama dengan nominal upah bulan sebelumnya.[36] Adanya fleksibilitas tersebut, berimplikasi pada ketidak manfaatan perbedaan nominal upah didasarkan pada produktivitas kerja, karena penilaian kerja yang dilakukan setiap 6 (enam) bulan sekali itu hanya dilakukan oleh manajer unit usaha pada saat dilakukan penilaian, juga tidak ada manfaatnya perbedaan nominal upah didasarkan pada jauh-tidaknya rumah pekerja dengan unit usaha karena setiap enam kantor unit usaha BUM Desa berada di lokasi yang berbeda-beda, bahkan ada yang berbeda pedukuhan.

Darmawan selaku kepala seksi pengupahan di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DIY berpendapat bahwa pembedaan upah di BUM Desa X didasarkan pada lamanya bekerja di BUM Desa, produktivitas kerja, dan jauh-tidaknya rumah pekerja dengan unit usaha, merupakan salah satu bentuk dari struktur dan skala upah, walaupun bersifat sederhana. Darmawan lebih lanjut menjelaskan bahwa sistematika struktur dan skala upah ini harus dilakukan secara konsisten oleh pengusaha kepada pekerjanya.[37]

Berdasarkan fakta-fakta yang penulis dapatkan di BUM Desa, menunjukkan bahwa struktur dan skala upah yang didasarkan pada lamanya bekerja di BUM Desa, produktivitas kerja, dan jauh-tidaknya rumah pekerja dengan unit usaha, tidak dilakukan secara konsisten karena pekerja bisa dipindahkan kapan pun ke setiap unit usaha yang ada. Itu artinya, struktur dan skala upah di BUM Desa tidak dibuat secara ideal sebagaimana contoh pada lampiran Peraturan Menteri Ketenagakerjaan  Nomor 1 Tahun 2017 tentang Struktur dan Skala Upah, sehingga pekerja tidak mendapatkan perlindungan upah dari pihak BUM Desa.

 

  • Perlindungan Upah Berdasarkan Upah Pesangon

Bentuk perlindungan upah yang terakhir adalah upah pesangon. Pesangon diberikan kepada pekerja yang karena sebab tertentu mengalami pemutusan hubungan kerja. Ketentuan tentang besarnya pesangon yang harus diberikan pengusaha kepada pekerja dari waktu ke waktu mengalami perbaikan. Selain kebijakan pengupahan yang ditetapkan pemerintah melalui peraturan perundang-undangan sebagai upaya melindungi kepentingan buruh dan keluarganya, juga dibentuk Dewan Pengupahan yang diharapkan dapat membantu pemerintah dalam pengembangan sistem pengupahan nasional, agar sistem pengupahan kedepan menjadi lebih baik.[38]

Apabila terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Lebih lanjut Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa perhitungan uang pesangon paling sedikit harus memenuhi ketentuan berikut:

  • masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
  • masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
  • masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
  • masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
  • masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
  • masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
  • masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
  • masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
  • masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah

Jika melihat pada perjanjian kerja antara BUM Desa dengan para pekerjanya (lihat Lampiran), pada Pasal 5 ayat (2) perjanjian tersebut dijelaskan bahwa Jika terjadi pembatalan perjanjian dari Pihak I—maksudnya pihak BUM Desa X, maka Pihak I wajib memberikan pesangon sejumlah 1 kali gaji pokok kepada Pihak II—maksudnya pekerjanya. Ketentuan ini berlaku umum tidak hanya untuk pekerja yang masa kerjanya kurang dari 1 tahun, namun juga berlaku bagi pekerja/buruh di BUM Desa X yang telah bekerja lebih dari 1 tahun, bahkan dalam beberapa kasus pekerja yang telah berkiprah di BUM Desa X sekitar 4 tahun namun kemudian dilakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) secara sepihak oleh pihak BUM Desa X dengan alasan performa kerjanya dianggap kurang memuskan, nominal uang pesangonnya hanya sebesar 1 bulan gaji.[39] Secara normatif jelas bertentangan dengan Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, dimana seharusnya jika pekerja/buruh telah bekerja selama 4 tahun, maka uang pesangonnya adalah 5 bulan gaji bulanan.

Belum lagi jika dianalisis berdasarkan pendapat Darmawan selaku Kepala Seksi Pengupahan dan Kesejahteraan Tenagah Kerja di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DIY yang mengatakan bahwa ketentuan ‘upah sebulan’ yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dianggap telah memenuhi upah minimum,[40] maka pelaksanaan uang pesangon di BUM Desa X juga tentu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karenanya, perlindungan upah dalam tinjauan uang pesangon tidak terlaksana dengan baik di BUM Desa X.

 

  • Perlindungan Upah Berdasarkan Pajak Penghasilan

Pasal 36 ayat (1) PP Pengupahan menjelaskan bahwa upah untuk perhitungan pajak penghasilan yang dibayarkan untuk pajak penghasilan dihitung dari seluruh penghasilan yang diterima oleh Pekerja/Buruh. Pajak penghasilan dapat dibebankan kepada Pengusaha atau Pekerja yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Pajak Nomor PER-32/PJ/2015 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.

Pelaksanaan upah di BUM Desa mirip seperti pelaksanaan upah bagi pekerja di usaha mikro, sehingga tidak banyak memahami pembayaran pajak penghasilan. Hal ini diakui baik oleh pihak BUM Desa maupun para pekerjanya, dimana para pekerja tidak membayar pajak penghasilan sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang. Oleh karena itu, penulis berkesimpulan bahwa pekerja di BUM Desa belum mendapatkan perlindungan upah berdasarkan pajak penghasilan.

Berdasarkan analisis penulis terhadap 11 (sebelas) aspek kebijakan perlindungan upah yang diatur dalam Pasal 88 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, hasil dari analisis tersebut dapat diuraikan dengan tabel berikut:

Tabel 4.4. Hasil Analisis 11 Aspek Kebijakan Perlindungan Upah.

No. Hasil Analisis Jumlah Aspek Keterangan
1 Terlindungi 1 Cara pembayaran upah.
2 Belum Terlindungi 9 Upah minimum; waktu kerja lembur; tidak masuk kerja karena berhalangan; tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya; hak waktu istirahat kerja; hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; struktur dan skala upah; upah pesangon; dan pajak penghasilan.
3 Belum Teranalisis 1 Denda.

 

Berdasarkan uraian analisis di atas, secara umum implementasi pengupahan di BUM Desa X tidak memberikan perlindungan upah bagi para pekerjanya. Adanya ketimpangan tersebut tentu lahir karena adanya sebab-sebab tertentu. Jika merujuk pada nilai omzet BUM Desa X yang berkisar lebih dari Rp.5 milyar per tahun, maka secara sederhana ketimpangan pemberian upah di BUM Desa X tidak perlu terjadi. Menurut hasil penelitian penulis, setidaknya ada beberapa faktor mengapa implementasi perlindungan upah di BUM Desa X tidak berjalan dengan baik, yaitu:

  • Kurangnya kesadaran pihak BUM DesaX akan bidang ketenagakerjaan.

Aturan hukum mengenai Badan Usaha Milik Desa dinaungi melalui Peraturan Menteri Desa dan Daerah Tertinggal, yang merupakan aturan pelaksana dari UU Desa. Kenyataan tersebut yang membuat sudut pandang pihak BUM Desa X hanya terpaku pada aturan-aturan mengenai desa, dan mengesampingkan aturan-aturan lain yang sebenarnya saling berhubungan—dalam hal ini maksudnya ketentuan di bidang ketenagakerjaan.

Pihak BUM Desa X melihat BUM Desa sebagai usaha mikro atau kecil yang hanya merupakan bagian sederhana dari usaha yang ada di desa.[41] Kurangnya kesadaran ini terjadi secara menyeluruh bahkan dari tingkat pemerintah desa. Jika melihat peraturan-peraturan desa dan keputusan-keputusan kepala desa mengenai Badan Usaha Milik Desa, maka terlihat sekali pemerintah desa memandang BUM Desa sebagai usaha mikro dan kecil. Cara pandang seperti ini tentu berpegaruh terhadap cara pandang mereka terhadap pekerja/buruh. Jika cara pandangnya masih menganggap sebagai usaha mikro atau kecil, maka perlakuan mereka terhadap pekerjanya juga akan disamakan seolah-olah sebagai pekerja serabutan yang hanya menjadi pelengkap keberhasilan BUM Desa.

  • Kurangnya kesadaran dari pihak pekerjaBUM Desa X.

Selain kurangnya kesadaran dari pihak BUM Desa, pihak pekerjanya juga tidak begitu tertarik memahami hak-haknya sebagai pekerja. Hasil wawancara dari 6 (enam) pekerja, semuanya tidak begitu mempersoalkan nominal gajinya yang dibawah upah minimum.[42] Doktrin pikiran para pekerja telah terpengaruh oleh sudut pandang yang digunakan BUM Desa X dan Pemerintah Desa Y, dimana para pekerja melihat dirinya sebagai pekerja usaha mikro atau kecil. Menurut istilah mereka, digaji ratusan ribu perbulan saja sudah sangat bersyukur.[43]

  • Tidak adanya kepedulian dari Dinas Tenaga Kerja.

Ketika penulis mewawancarai pihak BUM Desa X, mereka mengakui bahwa belum pernah sekalipun ada kunjungan atau arahan dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DIY.[44] Fakta ini juga dikonfimasi sendiri oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DIY yang memang belum pernah melakukan sosialisasi ketenagakerjaan di ranah Badan Usaha Milik Desa.[45]

Badan Usaha Milik Desa memang selalu diidentikkan sebagai usaha mikro atau kecil, sehingga mindset ini mengakar juga di Dinas Tenaga Kerja. Ketidak-pedulian Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DIY dengan tidak pernah memberikan arahan terhadap Badan Usaha Milik Desa memperkuat penjelasan bahwa Dinas Tenaga Kerja juga memandang BUM Desa sebagai bentuk usaha mikro atau kecil yang tidak perlu diawasi oleh Dinas. Padahal di Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri, setidaknya ada 2 (dua) BUM Desa yang sudah menjadi perbincangan tingkat nasional, yaitu BUM Desa X di Kabupaten Bantul, dan juga BUM Desa Amarta di Kabupaten Sleman.

Mindset seperti inilah yang perlu diperbarui. Aturan perundang-undangan mengenai usaha mikro, kecil, dan menengah telah jelas mengatur karakteristiknya. Badan Usaha Milik Desa tidak harus diidentikkan sebagai usaha mikro atau kecil, namun perlu dilihat dari omzet tahunannya, mungkin masuk kategori usaha menengah atau bahkan di masa depan bisa masuk kategori sebagai usaha besar. Terjadinya perubahan mindset ini, tentu akan merubah cara pandang mereka terhadap konsep ketenagakerjaan di Badan Usaha Milik Desa.

 

~~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~~

 

_____________

[1] Putri Raodah, 2018, “Status Badan Hukum dan Pemisahan Kekayaan pada Permodalan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Sebelum dan Setelah Berlakunya Undang-Undang Momor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Studi di Kecamatan Sape dan Kecamatan Bolo Kabupaten Bima)”, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 79.

[2] Hasil wawancara dengan PS, Staf Sekretaris BUM Desa X, pada tanggal 4 Agustus 2019, pukul 10:20.

[3] Hasil wawancara dengan PS, Staf Sekretaris BUM Desa X, pada tanggal 4 Agustus 2019, pukul 10:20.

[4] Hasil wawancara dengan PS, Staf Sekretaris BUM Desa X, pada tanggal 4 Agustus 2019, pukul 10:20.

[5] Hasil wawancara dengan PS, Staf Sekretaris BUM Desa X, pada tanggal 4 Agustus 2019, pukul 10:20.

[6] Hasil wawancara dengan PS, Staf Sekretaris BUM Desa X, pada tanggal 4 Agustus 2019, pukul 10:20.

[7] Erni Herawati, “Badan Usaha Milik Desa: Status dan Pembentukannya”, https://business-law.binus.ac.id/2016/10/16/badan-usaha-milik-desa-status-dan-pembentukannya/, diakses pada tanggal 20 Oktober 2019, pukul 12:22.

[8] Ibid.

[9] Hasil wawancara dengan PS, Staf Sekretaris BUM Desa X, pada tanggal 4 Agustus 2019, pukul 10:20.

[10] Hasil wawancara dengan PS, Staf Sekretaris BUM Desa X, pada tanggal 4 Agustus 2019, pukul 10:20.

[11] Hasil wawancara dengan PS, Staf Sekretaris BUM Desa X, pada tanggal 4 Agustus 2019, pukul 10:20.

[12] Subekti, 1977, Aneka Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung, hlm. 63.

[13] Hasil wawancara dengan PS, Staf Sekretaris BUM Desa X, pada tanggal 4 Agustus 2019, pukul 10:20.

[14] Paulus J. Soepratignja, 2006, Aneka Hukum Bisnis, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hlm. 152.

[15] Hasil wawancara dengan PS, Staf Sekretaris BUM Desa X, pada tanggal 4 Agustus 2019, pukul 10:20.

[16] Hasil wawancara dengan PS, Staf Sekretaris BUM Desa X, pada tanggal 4 Agustus 2019, pukul 10:20.

[17] Hasil wawancara dengan PS, Staf Sekretaris BUM Desa X, pada tanggal 4 Agustus 2019, pukul 10:20.

[18] “Penjajakan Produk Baru dengan PKWT”, https://www.hukum-hukum.com/2016/10/penjajakan-produk-baru-dengan-pkwt.html?m=1,  diakses pada tanggal 14 September 2019, pukul 14:47.

[19] Hasil wawancara dengan PS, Staf Sekretaris BUM Desa X, pada tanggal 4 Agustus 2019, pukul 10:20.

[20] Hasil wawancara dengan R. Darmawan, selaku Kepala Seksi Pengupahan dan Kesejahteraan Tenaga Kerja, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Daerah Istimewa Yogyakarta, pada tanggal 9 September 2019, pukul 9:45.

[21] Hardijan Rusli, 2004, Hukum Ketenagakerjaan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Terkait Lainnya, Edisi Kedua, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 88.

[22] Hasil wawancara dengan JW, pekerja di UJPL BUM Desa X, pada tanggal 7 September 2019, pukul 09:12.

[23] Hasil wawancara dengan PS, Staf Sekretaris BUM Desa X, pada tanggal 4 Agustus 2019, pukul 10:20.

[24] F.X. Djumialdji, 2010, Perjanjian Kerja, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.28.

[25] Hasil wawancara dengan PS, Staf Sekretaris BUM Desa X, pada tanggal 4 Agustus 2019, pukul 10:20.

[26] Hasil wawancara dengan R. Darmawan, selaku Kepala Seksi Pengupahan dan Kesejahteraan Tenaga Kerja, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Daerah Istimewa Yogyakarta, pada tanggal 9 September 2019, pukul 9:45.

[27] “UU Ketenagakerjaan Berlaku Bagi Pekerja UKM”, https://hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt52977267ec439/uu-ketenagakerjaan-berlaku-bagi-pekerja-ukm/, diakses pada 10 September 2019, pukul 15:38.

[28] Hasil wawancara dengan PS, Staf Sekretaris BUM Desa X, pada tanggal 4 Agustus 2019, pukul 10:20.

[29] Hasil wawancara dengan PS, Staf Sekretaris BUM Desa X, pada tanggal 4 Agustus 2019, pukul 10:20.

[30] Hasil wawancara dengan R. Darmawan, selaku Kepala Seksi Pengupahan dan Kesejahteraan Tenaga Kerja, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Daerah Istimewa Yogyakarta, pada tanggal 9 September 2019, pukul 9:45.

[31] Hasil wawancara dengan PS, Staf Sekretaris BUM Desa X, pada tanggal 4 Agustus 2019, pukul 10:20.

[32] Hasil wawancara dengan JW, KJ, SL, RJ, CA, dan DA, dalam waktu yang berbeda-beda.

[33] Hasil wawancara dengan PS, Staf Sekretaris BUM Desa X, pada tanggal 4 Agustus 2019, pukul 10:20.

[34] Hasil wawancara dengan PS, Staf Sekretaris BUM Desa X, pada tanggal 4 Agustus 2019, pukul 10:20.

[35] Hasil wawancara dengan PS, Staf Sekretaris BUM Desa X, pada tanggal 4 Agustus 2019, pukul 10:20.

[36] Hasil wawancara dengan PS, Staf Sekretaris BUM Desa X, pada tanggal 4 Agustus 2019, pukul 10:20.

[37] Hasil wawancara dengan R. Darmawan, selaku Kepala Seksi Pengupahan dan Kesejahteraan Tenaga Kerja, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Daerah Istimewa Yogyakarta, pada tanggal 9 September 2019, pukul 9:45.

[38] Evy Savitri Gani, “Sistem Perlindungan Upah di Indonesia”, Jurnal Tahkim, Vol. XI, No. 1, Edisi Juni, 2015, Institut Agama Islam Negeri Ambon, Ambon, hlm. 141.

[39] Hasil wawancara dengan PS, Staf Sekretaris BUM Desa X, pada tanggal 4 Agustus 2019, pukul 10:20.

[40] Hasil wawancara dengan R. Darmawan, selaku Kepala Seksi Pengupahan dan Kesejahteraan Tenaga Kerja, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Daerah Istimewa Yogyakarta, pada tanggal 9 September 2019, pukul 9:45.

[41] Hasil wawancara dengan PS, Staf Sekretaris BUM Desa X, pada tanggal 4 Agustus 2019, pukul 10:20.

[42] Hasil wawancara dengan JW, KJ, SL, RJ, CA, dan DA, dalam waktu yang berbeda-beda.

[43] Hasil wawancara dengan JW, KJ, SL, RJ, CA, dan DA, dalam waktu yang berbeda-beda.

[44] Hasil wawancara dengan PS, Staf Sekretaris BUM Desa X, pada tanggal 4 Agustus 2019, pukul 10:20.

[45] Hasil wawancara dengan R. Darmawan, selaku Kepala Seksi Pengupahan dan Kesejahteraan Tenaga Kerja, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Daerah Istimewa Yogyakarta, pada tanggal 9 September 2019, pukul 9:45.