Sudah bukan rahasia lagi, penegakan hukum di Indonesia ini belum memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Komentar-komentar negatif dari masyarakat terhadap beberapa instansi penegakan hukum juga sering kita dengar, baik saat obrolan di tempat tongkrongan atau dari media sosial.
Sebetulnya, aturan hukum yang telah ada di Indonesia ini sudah sedemian baik, jika kita bandingkan dengan aturan hukum saat era orde baru dan orde lama. Penyatu-atapan kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung menjadi tonggak perbaikan sistem hukum di Indonesia.
Namun aturan hukum yang baik ini tidak berbanding lurus dengan implementasi di lapangan. Kerusakan dalam implementasi ini bisa kita tarik dari hal yang paling awal, yaitu rekrutmen para penegak hukum. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa beberapa proses rekrutmen di instansi penegak hukum tidak dilakukan secara jujur dan transparan. Masih adanya istilah kuota keluarga, pemberian harga untuk lolosnya tes kesehatan dan lain-lain, tetap ada hingga saat ini. Saya tidak akan menyebut instansi mana, tapi praktik itu masih ada.
Dari mulai proses rekrutmen yang kotor inilah akan berimplikasi pada proses penegakan hukum. Bayangkan, jika ada seseorang yang harus menjual tanah untuk dinyatakan lolos pada seleksi di salah satu instansi penegakan hukum, maka saat sudah menjadi penegak hukum, dia akan berusaha untuk mengembalikan modalnya dulu, dengan berbagai macam cara. Gaji pokok yang kecil dan tunjangan yang juga tidak seberapa, tidak akan mampu menutup kerugian dari uang sogok di awal rekrutmen. Maka sebagian masyarakat sudah tidak aneh menganggap beberapa oknum penegak hukum kotor ini akan mencari cara lain untuk menguras uang masyarakat demi kantongnya sendiri. Ini nyata ada, dan kita tidak bisa mengelak hal yang sudah senyatanya ada ini.
Belum lagi saat sudah masuk di instansi penegakan hukum, dimana karena setiap lembaga penegakan hukum itu merupakan lembaga pusat, maka mau tidak mau harus menerima penempatan di seluruh wilayah di Indonesia. Hal ini juga rawan sogokan. Untuk beberapa oknum yang menghendaki penempatan di daerah tertentu, ya harus bayar dulu. Dan itu ternyata masih banyak terjadi.
Lebih jauh lagi soal penegakan hukum dalam arti yang sesungguhnya, mulai dari proses penyidikan, penuntutan, proses litigasi di pengadilan, praktik saling lempar amplop masih terjadi. Juga setelah putusan dijatuhkan, lalu lintas amplop ini masih berbedar hingga Lapas. Dan lain sebagainya dan lain seterusnya.
Kotornya praktik penegakan hukum ini harus diakali dengan berbagai macam cara agar tidak menjadi budaya yang turun temurun. Sebagai seorang pengamat hukum, saya pribadi memiliki beberapa pandangan untuk—setidaknya—mengurangi praktik kotor dalam dunia penegakan hukum di Indonesia. Beberapa gagasan yang sudah saya konsep ini dapat diuraikan sebagai berikut:
- Sertifikasi ulang setiap fakultas hukum di Indonesia. Banyaknya kampus-kampus baru yang dengan mudah membuka program studi hukum dengan proses akreditasi yang dimanipulasi, membuat kultur fakultas hukum nya acak-acakan. Proses belajar tidak terjadi dengan baik dan lebih banyak akal-akalan presensi. Hal ini menjadi dasar bobroknya lulusan hukum. Kadangkala, kampus-kampus kecil ini hanya menerima mahasiswa yang sudah memiliki karier dan oleh karenanya si mahasiswa yang bersangkutan tidak pernah masuk perkuliahan dan hanya membayar beberapa rupiah kepada dosennya untuk diberikan nilai. Hina sekali pendidikan bobrok semacam ini.
- Buatlah skema rekrutmen yang transparan dan bersih. Harus ada minimal akreditasi fakultas hukum untuk mengikuti seleksi, sehingga orang-orang yang berkompetisi adalah orang-orang terpilih. Proses akreditasi fakultas juga harus dilakukan secara jujur, sehingga apa yang dilaporkan dalam LED dan LKPS adalah memang benar adanya.
- Di setiap lembaga penegakan hukum, harus dibuat pula skema dan mekanisme promosi dan mutasi yang transparan dan bersih. Promosi yang ada seharusnya ditinjau dari kinerja dan pencapaian pribadi, bukan karena kedekatan dengan atasan atau karena adanya sogokan.
- Indonesia harus mencoba membuka opsi penyidik swasta. Sejauh ini, proses penyidikan dilakukan oleh instansi negara, baik dari kepolisian, KPK, BNN, dan beberapa lembaga yang lain. Hal ini menjadi malapetaka manakala seseorang hendak melapor pelanggaran dan kejahatan pidana yang dilakukan oleh orang-orang tertentu yang dekat dengan kekuasaan. Masyarakat menilai dalam beberapa kasus, seolah-olah pihak penegak hukum ini tidak mau melanjutkan proses penyidikannya. Atau untuk kasus-kasus yang lain, proses penyidikannya bisa sangat cepat sekali. Ini tentu mengundang persepsi adanya tekanan politik terhadap beberapa proses penyidikan.
Pengungkapan alat bukti yang kadang tidak diperjuangkan secara total oleh penyidik di instansi negara juga menjadi sorotan selanjutnya. Untuk kasus-kasus yang alat buktinya kurang, saat melapor ke pihak berwajib, biasanya laporan itu tidak mereka terima dengan alasan kurangnya alat bukti. Seharusnya, sebelum menolak laporan tersebut, penegak hukum memiliki tugas untuk mencari alat bukti tambahan yang lain, namun kadang itu tidak dilakukan.
Hal-hal semacam ini bisa disiasati dengan hadirnya penyidik swasta. Saat ada laporan masyarakat yang tidak diproses oleh pihak berwajib, maka masyarakat yang bersangkutan bisa mencoba untuk menghubungi penyidik swasta untuk melengkapi bukti yang kurang.
- Kejaksaan harus menjadi lembaga independen. Untuk memperbaiki penegakan hukum di Indonesia, menyitir pernyataan Prof. Yusril, kejaksaan sebaiknya dijadikan sebagai lembaga independen diluar dari kekuasaan eksekutif presiden. Dengan kejaksaan masih berada di bawah kekuasaan presiden, maka setiap upaya penegakan hukum masih bisa diintervensi oleh kekuasaan politik.
- Selain kejaksaan, KPK juga harus dikembalikan menjadi lembaga independen. Sejak revisi UU KPK pada tahun 2019 silam, kedudukan KPK secara resmi berada di bawah kekuasaan presiden. Hal inilah yang dianggap oleh beberapa pihak akan melemahkan kinerja KPK, utamanya jika harus melakukan penyidikan pada kasus-kasus yang menyeret lingkungan istana.
- Revisi UU Advokat. Advokat atau pengacara sebagai salah satu bagian dari penegak hukum, harus diatur sedemikian baik agar memberikan output yang baik pula dalam proses penegakan hukum. Beberapa hal yang perlu di revisi dalam UU Advokat sekarang ini, misalnya penyatuan organisasi advokat menjadi satu organisasi saja. Banyaknya organisasi advokat tentu menjadi celah perilaku menyimpang di kalangan para advokat, karena itu berarti jika seorang advokat melanggar kode etik dan dinyatakan diberhentikan dari keanggotaan salah satu organisasi advokat, maka advokat yang bersangkutan bisa masuk kembali ke organisasi advokat yang lain.
Selain itu, aturan pembatasan umur maksimal juga penting dilakukan. Dalam UU Advokat yang sekarang, yang diatur hanya batas umur minimal yaitu 25 tahun. Tidak adanya batasan umur maksimal, memberikan peluang para pensiunan polisi, jaksa, dan hakim, bisa menjadi seorang advokat, dan itu cukup berbahaya bagi penegakan hukum di Indonesia. Saat pensiunan jaksa menjadi advokat misalnya, ketika dia bersidang di pengadilan, maka mantan senior jaksa ini (yang telah menjadi advokat) bisa menekan juniornya di kejaksaan. Oleh karena itu, penentuan batasan umur maksimal, misalnya maksimal 35 tahun atau 40 tahun, mutlak dimasukan pada UU Advokat.
- Penguatan Komisi Yudisial. Sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Mahfud, rancangan awal pembuatan UU antara MA, MK, dan KY, seharusnya dilakukan pembahasan UU KY terlebih dahulu, baru kemudian diikuti oleh UU MA dan UU MK. Namun dalam praktiknya pasca amandemen UUD, yang dibahas malah UU MA dan UU MK terlebih dahulu, baru UU KY mengikuti. Hal ini tidak ideal. KY sebagai lembaga pengawas lembaga peradilan seharusnya memiliki power yang cukup besar.
Anggota-anggota KY juga, baik di pusat maupun di daerah, harus diisi oleh orang-orang yang profesional. Anggota KY di tingkat pusat misalnya, bisa diisi oleh mantan hakim agung atau mantan hakim konstitusi dan bisa berasal dari akademisi yang bergelar profesor dan berusia cukup sepuh. Hal ini dimaksudkan agar KY berani mengawasi kinerja hakim agung dan hakim konstitusi.
Pun demikian dibawahnya. KY di tingkat daerah, anggota-anggotanya harus berasal dari profesional yang melebihi profesionalitas hakim tinggi dan hakim di tingkat pertama. Ini penting dilakukan, agar KY betul-betul sesuai dengan amanat dalam UUD sebagai lembaga pengawas peradilan.
Selain dari 8 poin diatas, sebetulnya masih banyak celah penegakan hukum yang perlu diperbaiki. Namun menurut saya, 8 poin diatas akan memberikan implikasi yang signifikan terhadap penegakan hukum di Indonesia. Pembaca juga bisa menambahkan hal-hal lain yang sekiranya penting untuk memberikan masukan terhadap perbaikan penegakan hukum di Indonesia melalui komentar dibawah. Sekian.
~~~~~~~~~~~~~~~
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri
(idikmss@gmail.com)
~~~~~~~~~~~~~~~