Menurut saya,Predikat akreditasi saat ini tidak pernah menunjukkan mutu dan kualitas yang sesungguhnya...”

 

Sebagai orang yang pernah bekerja di universitas dan di lembaga negara, saya memiliki pemikiran yang cukup nyeleneh. Bagi saya, proses akreditasi pada instansi-instansi tertentu itu tidak perlu dilakukan sebagaimana biasanya dilakukan sekarang ini. Yang ada, akreditasi itu hanyalah ajang akal-akalan untuk memoles citra lembaga agar diberikan nilai yang memuaskan. Kasarnya, saat proses akreditasi, barang yang seharusnya sampah akan ditampilkan seolah-olah perhiasan. Dan saat akreditasi telah usai, sifat sampahnya akan muncul lagi.

Ini terjadi berulang-ulang. Dan kejadian ini tidak dimonopoli di satu instansi saja, tapi hampir menyeluruh di negeri ini. Saat ada akreditasi, instansi yang bersangkutan akan memoles dirinya dengan data-data bodong untuk mencapai predikat tertentu.

Saat berada di dunia universitas misalnya, checklist akreditasi bisa dilihat dalam LED dan LKPS. Banyak standar yang sudah disusun dan itu tentu bukan perkara mudah untuk melengkapi setiap list tersebut. Tapi universitas tidak mau ambil pusing. List-list yang ada tersebut dibuat evidence nya dengan asal-asalan dan bodong. Misalnya, dalam list LED dan LKPS, ada poin penelitian dosen. Ada pula list lain penelitian mahasiswa. Harusnya, sekali lagi ini harusnya, dosen telah menerbitkan penelitian dan ketika ada akreditasi, penelitian yang telah diterbitkan itu dilampirkan sebagai bukti/evidence. Namun kenyataannya tidak begitu. Awalnya dosen-dosen itu tidak memiliki penelitian. Kemudian si prodi menghadapi akreditasi, dan selama akreditasi ini si prodi menuntut dosen untuk menerbitkan penelitian. Dan tentu saja, kualitas penelitiannya bobrok, ala kadarnya.

Sehingga terkesan akreditasi ini sistemnya kejar target. Semua kerjaan dikerjakan dalam satu waktu. Setelah akreditasi selesai, dosen pemalas akan kembali menjadi dosen pemalas. Kampus bodong akan tetaplah menjadi kampus bodong.

Begitu juga di instansi negeri. Hal semacam itu juga ternyata tidak jauh berbeda. Hari-hari biasa ya pelayanannya ala kadarnya, tapi menjelang akreditasi, wihhh, semua dipoles. Berkas-berkas persyaratan yang sebelumnya tidak ada dan tidak dikerjakan, tiba-tiba nongol semua.

Bagi saya, program-program akreditasi ini hanyalah gimmick dan tidak berguna bagi pelayanan masyarakat dalam jangka panjang. Semua hanya formalitas dan tebar pesona sesaat.

Mari saya ilustrasikan contoh proses akreditasi bobrok di universitas.

  1. Universitas mengajukan pembukaan prodi baru.
  2. Kemudian mereka melakukan pembukaan pendaftaran mahasiswa baru.
  3. Terkumpullah jumlah mahasiswa sebanyak 30 orang.
  4. Dalam 3 tahun berikutnya, barulah mereka mengajukan akreditasi, karena jika tidak terakreditasi, ijazah mahasiswa yang hendak lulus dianggap sebagai ijazah yang tidak sah.
  5. Nah karena si prodi baru berdiri 3 tahun, apalagi jika ditambah realitanya hancur-hancuran, mereka tidak punya sistem yang baik untuk mengikuti akreditasi.
  6. Walaupun belum siap, nyatanya mereka tetap mengajukan akreditasi, dengan alasan sebagaimana dalam poin nomor (4).
  7. Ya jelas lah, orang belum siap akreditasi tapi tetap dipaksakan akreditasi ya ujung-ujungnya kerja lembur yang haram. Kerja lembur untuk ngakali sistem dengan data-data bodong.

Ini nyata terjadi, utamanya di kampus-kampus swasta. Saya hampir percaya, data-data akreditasi yang diinput dan ditampilkan, sebagiannya adalah data bodong belaka. Institusi yang belum layak dapat akreditasi tapi tetap keukeuh ikut sama seperti pembalap liar ingin main di MotoGP.

 

  • Saran dan Contoh Implementasi

Ada beberapa hal dalam pikiran saya, yang ingin mencoba dan memberikan sebuah terobosan pemikiran.

  1. Harus mulai digaungkan, bahwa akreditasi ini bukanlah perkara mutlak yang harus diikuti. Siapa saja yang layak, ya dia dapat. Dalam pandangan saya, akreditasi itu sejatinya harus mirip seperti pemberian hadiah nobel, dia yang telah berkontribusi maka dia mendapat hadiah.
  2. List-list akreditasi ini jangan dibuat seremonial seperti sekarang ini. Tradisinya, ada tim assesor yang datang, disambut, dibuatkan acara openingnya, dan lain-lainnya dengan segala macam tetek bengeknya. Terlihat sekali disini, upaya peninjauan akreditasi ini hanya merupakan bagian dari target penyerapan anggaran, belum masuk pada substansi kenaikan mutu.
  3. Dari awal, list akreditasi ini hanya dibuat dalam surat edaran saja. Kemudian sistem penilaiannya dilakukan secara online.
  4. Setiap evidence dituntut untuk di upload setiap kurun waktu tertentu.
  5. Lembaga atasnya yang menjadi assesor hanya melakukan audit pada berkas-berkas yang diinput.
  6. Tanpa adanya upacara penyambutan, tim assesor bisa datang sewaktu-waktu untuk melihat langsung bukti yang di input dalam sistem. Hal ini memungkinkan setiap orang dalam instansi harus selalu siap dengan data, sehingga tidak terkesan akreditasi ini hanyalah siklus pekerjaan yang berlangsung setahun sekali. Orientasi kinerja yang berbasis akreditasi ini harus diwujudkan setiap hari.
  7. Akreditasi yang diberikan harus berimplikasi pada tunjangan pegawai, sehingga etos kerja yang telah dibangun diapresiasi dengan kenaikan gaji.
  8. Khusus dalam dunia universitas, pengajuan program studi baru, awal-awalnya jangan disandarkan pada akreditasi. Tapi pada perizinan lain yang dirasa tepat sasaran. Kita ketahui bersama, yang namanya program studi baru itu tentu tidak akan mampu memenuhi kriteria list dalam LED dan LKPS. Nah karena si universitas atau prodinya ingin mendapatkan pengakuan dengan status terakreditasi, maka mereka melakukan segala macam upaya untuk menunjukkan bahwa mereka layak, tentunya dengan manipulasi data. Padahal sebetulnya nggak layak sama sekali. Hal ini tentu jangan dijadikan budaya yang turun temurun.

 

Berikut adalah contoh alur yang bisa saya berikan untuk kasus di universitas.

  1. Universitas mengajukan program studi baru.
  2. Pihak kementerian dan dinas pendidikan akan meninjau apakah pembukaan program studi baru ini relevan dengan kebutuhan di tempat itu atau tidak. Caranya dengan melakukan survei dan assesment pada masyarakat sekitar dan target anak-anak sekolah.
  3. Kemudian pihak universitas membuka pendaftaran mahasiswa.
  4. Jika jumlah mahasiswa yang mendaftar sedikit—tentunya harus ada kriterianya, maka pembukaan program studi baru itu harus dibatalkan. Mahasiswa-mahasiswa yang telah diterima bisa dialihkan pada program studi lain, atau diberikan rekomendasi kuliah di kampus lain.
  5. Namun jika memenuhi ambang batas jumlah mahasiswa misalnya, maka program studi itu dibuka dengan surat izin dari kementerian. Nah karena sudah di ACC oleh kementerian, maka ijazah yang dikeluarkan oleh kampus itu dianggap sah.
  6. Nah, proses penilaian itu dilakukan secara online. Si prodi harus sering update mengirimkan perkembangan prodinya.
  7. Nanti dalam kurun waktu tertentu, dibuat tim khusus untuk menganalisis kelengkapan berkas yang dikirim secara online.
  8. Dengan tanpa memberitahukan pihak kampus, assesor akreditasi datang ke universitas untuk melihat bukti fisiknya.
  9. Jika semua data benar, maka akreditasi turun dengan predikat, misalnya B, A, atau yang lainnya. Namun jika data yang diminta adalah data bodong, maka akreditasinya tidak jadi turun, dan jika datanya ternyata banyak bodongnya, maka prodi itu wajib ditutup.
  10. Mahasiswa-mahasiswa yang telah kuliah disana akan dialihkan ke kampus lainnya yang terdekat yang telah terakreditasi.

 

Skenario saya ini jika diuraikan begini memang cukup njelimet, namun ini semata-mata untuk menunjukkan bahwa akreditasi yang dilakukan itu benar-benar untuk menaikkan mutu institusi. Bukan sebagai wahana pencitraan untuk menaikkan jenjang karier para atasannya saja. Sekian.

 

~~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik  Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~~