Jika pembaca masuk ke ruang sidang, baik dari kubu kanan (advokat) ataupun dari kubu kiri (advokat juga atau dalam perkara pidana adalah Penuntut Umum), selalu memanggil hakim dengan sebutan “Yang Mulia”. Para terdakwa juga biasanya diajarkan untuk menyebutkan istilah itu, termasuk saksi dan ahli.

Saat ditelaah lagi, julukan “Yang Mulia” ini tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Tidak ada dalam UU maupun peraturan perundang-undangan dibawah UU manapun. Namun begitu, istilah ini tetap digunakan, karena memang sudah menjadi hukum yang hidup (the living law) di lingkungan dunia peradilan. Bahkan tanpa harus ada sanksi pun, aturan penyebutan ini secara serentak digunakan.

Pertanyaan mendasar, apakah memang hakim ini layak untuk dipanggil “Yang Mulia”?

Pertanyaan ini sebetulnya muncul di internal organisasi profesi hakim sendiri. Beberapa pihak pensiunan hakim memunculkan suatu pendapat bahwa hakim tidak harus dipanggil dengan istilah “Yang Mulia”.

Kehendak ini bahkan disampaikan oleh mantan Ketua Mahkamah Agung, Harifin Tumpa. Permintaan ini ditulis dalam sepucuk surat oleh Kerukunan Keluarga Purnabakti Hakim Agung (KKPHA) dan Persatuan Hakim Indonesia (Perpahi). Surat itu telah dikirim kepada Ketua MA yang sekarang, Syarifuddin.[1]

“Kami memohon maaf bahwa usulan atau kesimpulan kami ini tidak bersifat mutlak. Hanya sebagai keprihatinan kami sebagai para pensiunan atas adanya pendapat masyarakat yang bersifat sindiran yang dikaitkan dengan sebutan/sapaan ‘Yang Mulia’ kepada para hakim, tetapi di dalam kenyataannya masih banyak hakim yang dalam memeriksa dan memutus perkara belum mencerminkan sikap ‘Yang Mulia’,” ujar Harifin kepada wartawan, Kamis (25/6/2020).[2]

Menurut Harifin, bila dirujuk peraturan tertulis, tidak ada satu pun regulasi yang mewajibkan panggilan ‘Yang Mulia’. Bahkan, dalam Ketetapan MPRS RI No XXXI/MPRS/1966 telah mengatur penggantian sebutan ‘Paduka Yang Mulia’ (P.Y.M), ‘Yang Mulia’ (Y.M), Paduka Tuan (P.T) dengan sebutan Bapak/Ibu atau Saudara-Saudari. Berikut kutipan lengkap Ketetapan MPRS RI No. XXXI/MPRS/1966:[3]

Bahwa untuk mewujudkan kembali kepribadian Bangsa secara konsekuen berdasarkan Pancasila dan untuk mengikis habis sisa-sisa feodalisme serta kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, perlu menetapkan dalam bentuk Ketetapan MPRS penggantian sebutan ‘Paduka Yang Mulia’, ‘Yang Mulia’, ‘Paduka Tuan’ menjadi ‘Bapak/Ibu atau Saudara/Saudari’.

Dari penjelasan Harifin, terdengar cukup logis alasan dibalik ketidakcocokan istilah “Yang Mulia” masih ada hingga sekarang. Bahwa dalam pelaksanaannya, julukan ini kadang menjadi olok-olokan belaka. Ketidakpercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan menjadi sebab mengapa istilah penyebutan ini menjadi bahan obrolan di belakang layar.

Ini tentu menjadi PR bagi dunia peradilan untuk melakukan pembenahan. Kasus-kasus penangkapan hakim yang terkena kasus suap, pelecehan seksual, dan kasus-kasus yang lain, harus mendapatkan atensi lebih dari Mahkamah Agung untuk sedikit demi sedikit membenahi perilaku hakim.

Belum lagi dengan output putusan yang dirasa masih jauh dari rasa keadilan masyarakat, juga harus menjadi fokus perhatian. Betul memang, putusan hakim ini mengikat. Betul memang, apa yang sudah diputuskan tidak bisa dibatalkan oleh argumentasi masyarakat. Betul memang, hakim ini memutus perkara sesuai dengan pembuktian di dalam ruang sidang. Betul memang, konsep keadilan itu termasuk konsep yang abstrak.

Namun, seringnya hakim menjatuhkan putusan yang meringankan para pelaku utamanya kasus-kasus yang menjadi sorotan masyarakat, sebut saja kasus korupsi dan kasus-kasus yang melibatkan para pejabat negara, mau tidak mau membuat spekulasi buruk di kalangan masyarakat. Pandangan hakim seringkali sangat positivistik dan tidak peka dalam menilai dinamika di masyarakat. Hal inilah yang menjadi alasan kenapa saya pribadi tidak cocok dengan penggambaran dewi keadilan yang matanya ditutup. Bagi saya, dewi keadilan itu matanya harus dibuka, seperti doktrin yang dianut di beberapa negara seperti Jerman dan Jepang. Penegak hukum, wajib tau mana pihak yang miskin, dan mana pihak dari golongan orang kaya. Mana rakyat jelata, mana yang bangsawan. Keadilan semacam ini dalam kenyataannya menjadi paradigma yang meluas di Indonesia.

Dari sinilah kita bisa menjawab pertanyaan dalam judul tulisan ini, apakah sebutan “Yang Mulia” itu adalah sebuah kepantasan atau tuntutan moral?

Bagi saya, julukan dan sebutan “Yang Mulia” ini adalah kepantasan dan sekaligus tuntutan moral. Kepantasan disini bisa dilihat dari tugas hakim yang begitu mulia, yaitu memberikan rasa keadilan bagi masyarakat para pencari keadilan. Lagi pula, pendapat Harifin diatas yang mengatakan bahwa sebutan “Yang Mulia” ini harus dihapus dengan dasar Ketetapan MPRS RI No XXXI/MPRS/1966, sebetulnya bisa dibantah dengan beberapa argumen berikut:

  1. Selain hakim, penyebutan “Yang Mulia” juga dalam praktiknya masih dilakukan oleh para pejabat Indonesia untuk menyebut duta besar asing dan perwakilan negara asing di Indonesia.
  2. Penyebutan “Yang Mulia” ini sejatinya tidak memiliki konsekuensi hukum. Bagi siapapun yang tidak menghendaki menyebut hakim dengan istilah “Yang Mulia”, dia bisa menggunakan istilah lain seperti “Bapak Hakim”, “Ibu Hakim”, “Majelis Hakim”, dan lain-lain. Sehingga, penyebutan “Yang Mulia” ini tidak mengikat secara hukum dan tidak berimplikasi terhadap suatu sanksi. Hal ini tentu berbeda dengan penyebutan “Yang Mulia” di masa kerajaan dulu, dimana jika masyarakat keliru atau tidak menyebut seorang raja dengan julukan “Yang Mulia”, masyarakat tadi bisa berhadapan dengan konsekuensi hukum.

Namun begitu, julukan “Yang Mulia” ini memiliki tuntutan moral. Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial harus memiliki skema untuk mengawasi kinerja hakim, bukan hanya kinerja dalam hal administrasi perkara saja, namun juga sikap hakim dalam kehidupan sehari-hari. Kode etik profesi hakim harus betul-betul dijunjung oleh segenap hakim, agar julukan “Yang Mulia” ini memang pantas disematkan dalam setiap sidang di pengadilan.

Jika julukan “Yang Mulia” ini dalam perjalanannya justru memunculkan suatu bentuk feodalisme baru di lingkungan peradilan, maka tentu kita semua akan sepakat, istilah ini wajib untuk dimusnahkan. Namun jika istilah ini adalah bentuk motivasi bagi hakim untuk mewujudkan hukum yang berkeadilan, rasanya cukup pantas profesi ini menyandang julukan “Yang Mulia”. Selain hakim itu bisa menjadi orang yang mulia atas putusannya yang adil, hakim juga sejatinya adalah kaki tangan Tuhan di muka bumi. Sekian.

 

~~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~~

 

____________

[1] Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-5067882/ini-alasan-eks-ketua-ma-minta-setop-panggilan-yang-mulia-untuk-hakim, pada tanggal 19 Juli 2022, pukul 10:14 WITA.

[2] Ibid.

[3] Ibid.