Mahkamah Konstitusi lagi-lagi menolak permohonan judicial review terhadap aturan presidential threnshold 20% yang diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu. Permohonan ini bukanlah yang pertama dan yang kedua. Entah sudah keberapa kali aturan presidential threnshold (selanjutnya disingkat PT) dimohonkan judicial review (selanjutnya disingkat JR).

Jika saya melihat permasalahan ini secara objektif, kesalahan ini ada pada konstitusi kita yang tidak mengatur secara detail dan rinci mengenai aturan Pemilu. Selain UUD kita yang masih lemah, MK juga dalam pandangan saya memiliki beberapa kekeliruan.

Mari kita bahas dulu dari mulai konstitusi.

UUD NRI 1945 sejatinya harus menjadi parameter utama penentuan peraturan perundang-undangan (selanjutnya disingkat PUU) dibawahnya. Asas-asas umum di setiap hal harus dicantumkan dalam konstitusi, sehingga setiap UU memiliki tolak ukurnya sendiri-sendiri.

Tidak adanya aturan mengenai PT dalam UUD ini tentu menjadi persoalan yang tak akan ada ujungnya.

PT ini ditentukan oleh proses politik di DPR. PT ini juga merupakan bagian dari aturan main politik untuk memenangkan kursi kekuasaan. Tentu saja, DPR tidak akan menjadi wakil rakyat disini. DPR akan bertransformasi menjadi wakil kelompoknya sendiri.

Ketika aturan PT ini disahkan, masyarakat yang menolak tidak bisa berbuat apa-apa. UU yang disahkan dianggap berlaku bagi masyarakat, dan masyarakat dianggap mengetahui terhadap aturan yang baru saja disahkan tersebut (asas fiksi hukum).

Satu-satunya hal secara hukum yang bisa dilakukan oleh masyarakat yang kontra terhadap aturan PT 20% ini hanyalah mengajukan JR ke Mahkamah Konstitusi.

Namun ternyata harus kandas juga. Bukan sekali dua kali diajukan JR, tapi berkali-kali. Hasilnya tetap sama, selalu ditolak.

Alasan MK selalu sama. Bahwa aturan PT 20% ini tidak bertentangan dengan konstitusi, dan tetap berpendapat bahwa kewenangan menentukan PT 20% ini harus melalui proses politik yang ada ditangan DPR (open legal policy). MK tidak berwenang, begitu katanya. Selalu begitu dan selalu begitu.

Kenyataan ini membuat masyarakat bertanya-tanya, “lah ini mah lingkaran setan dong…”

 

DPR menentukan A.

Sementara masyarakat menolak A.

Kemudian masyarakat mengajukan JR ke MK.

MK menolak dengan dasar bukan kewenangannya.

Balik lagi ke DPR, DPR tetap ingin A, sementara masyarakat menolak A.

Mau sampai kapan?

 

Dari lingkaran setan diatas, ada beberapa hal yang ingin ditanyakan:

  1. DPR ini wakil rakyat atau wakil kelompok si?
  2. MK ini betul-betul pengawal konstitusi (the guardian of constitution) atau bukan si?

 

Dari dua pertanyaan diatas, ada kritik dan saran yang ingin disampaikan berikut ini:

  1. Jika DPR mengesahkan aturan A dan berkali-kali masyarakat menolak aturan A, itu berarti bahwa aturan A itu tidak mencerminkan kehendak rakyat.
  2. MK jika betul-betul merupakan pengawal konstitusi, harus memegang kekuasaan didasarkan pada demokrasi yang itu puncaknya adalah kehendak rakyat, bukan hanya patokannya pada konstitusi tertulis. Kita ketahui bersama, bahwa konstitusi itu bisa berbentuk tertulis maupun tidak tertulis. Jangan hanya berpatokan pada hal-hal yang tertulis saja, namun coba ciptakan yurisprudensi yang didasarkan pada konstitusi tidak tertulis.
  3. Jikapun aturan itu tidak ada dalam UUD, MK bisa menjadikan konsep demokrasi sebagai parameter dalam perkara permohonan JR.
  4. MK bisa melakukan terobosan atas putusannya, misalnya dengan memerintahkan suatu lembaga menggelar pemungutan suara kepada rakyat atas kehendaknya sendiri. Apakah rakyat lebih menghendaki PT 20% atau tidak.
  5. Harus dipikirkan suatu skema pertanggungjawaban parlemen jika mereka membuat suatu produk hukum atau UU yang tidak mencerminkan kehendak rakyat.

 

~~~~~~~~~~~~~~~

Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~~~~~~