Mari kita gambarkan suatu pemikiran sederhana berikut.

Jika dalam sebuah negara diatur dalam tingkatan konstitusi maupun payung hukum dibawahnya, yang menyatakan bahwa pelimpahan kekuasaan secara sah hanya bisa dilakukan dengan pemilihan umum, kemudian di negara tersebut terpilih pemimpin otoriter yang selanjutnya setiap dilakukan pemilihan umum selalu memenangkan kontestasi politik, maka pertanyaannya sederhana, apakah kudeta terhadap pemimpin otoriter ini bisa dilakukan secara sah?

Jawabannya tentu saja tidak. Setiap kudeta atau perlawanan politik yang dilakukan diluar konstitusi, akan dianggap ilegal dan termasuk dalam kejahatan besar. Namun jika kondisinya seperti yang digambarkan pada cerita diatas, tidak ada lagi hal yang bisa dilakukan untuk menggulingkan kepemimpinan otoriter kecuali dengan kudeta.

Dengan jalur konstitusi jelas tidak mungkin, karena konstitusi dalam pemerintahan otoriter hanyalah mainan penguasa. Desakan untuk mengamandemen konstitusi juga bukan solusi, karena umumnya dalam pemerintahan otoriter, seluruh pilar kekuasaan (termasuk legislatif dan yudikatif) berada dalam kontrol kekuasaan yang sama. Jelas buntu bukan?

Sementara di lain pihak, rakyat sudah muak dengan kepemimpinan tersebut yang dirasa sangat feodal dan otoriter. Dilakukan Pemilu percuma, karena apapun rakyat memilih lawannya, hasilnya entah mengapa si diktator itu lagi yang menang. Atau bisa juga, dalam pemilihan umum yang dilakukan, rakyat hanya diberikan pilihan calon yang sebetulnya masih satu kubu dengan pihak otoriter.

Lantas apa jalan keluarnya?

Jelas adalah kudeta atau pengambil-alihan kekuasaan secara paksa.

Kudeta yang dilakukan ini WAJIB berhasil. Mengapa?

Kita ketahui bersama, kudeta yang gagal hanya akan menempatkan seluruh pelaku kudeta dan simpatisannya menghadapi sanksi hukum yang berat. Bisa dipenjara, bisa pula dihukum mati.

Namun jika kudeta yang dilakukan berhasil, maka kudeta tersebut telah menjadi konstitusi baru yang mengeliminasi konstitusi yang lama. Walaupun tidak ada proses seremonial terhadap pengesahan konstitusi baru tersebut, namun secara de facto, apapun langkah yang dilakukan oleh pemenang kudeta adalah hukum yang baru.

Jadi, saat kudeta dilakukan, itu merupakan pelanggaran terhadap hukum. Namun jika kudeta itu berhasil, konstitusi lama menjadi tidak berlaku dan secara otomatis kudeta yang terjadi menjadi sah secara hukum.

Namun apakah kudeta yang berhasil saja sudah cukup? Jika berbicara tentang keabsahan, jelas cukup, namun untuk melahirkan kepemimpinan yang stabil, tentu belumlah cukup. Kestabilan pasca-kudeta ini masih memerlukan hal yang paling penting, yaitu mendapatkan legitimasi dan kepercayaan publik.

Kemenangan kudeta tanpa dukungan rakyat hanya akan menjadi pemerintahan otoriter selanjutnya. Kudetanya sah, tapi akan menimbulkan kudeta yang lain dan mengakibatkan negara dalam posisi instabilitas secara terus-menerus.

Oleh karenanya, saat kudeta berhasil dilakukan, hal selanjutnya yang WAJIB dilakukan adalah menggalang dukungan rakyat. Bahkan dibanyak kasus kudeta seringkali didahului dengan amarah rakyat pada pemerintahan sebelumnya yang menjadi dorongan kemenangan kudeta. Namun kadang, kudeta itu dilakukan sepihak oleh oposisi atau militer. Jika keadaannya seperti itu, jelas, setelah kudeta berhasil, harus menggalang dukungan dari rakyat.

Dari uraian dan penggambaran sederhana ini, dapat penulis berikan suatu gagasan penting, bahwa “Kepercayaan dan Legitimasi Rakyat adalah Hukum yang Tertinggi”.

Bagi penulis, hukum yang tertinggi bukanlah konstitusi, namun kehendak rakyat. Jika rakyat berkehendak sesuatu, walaupun itu melanggar konstitusi sekalipun, maka tindakan rakyat ini akan menjadi konstitusi baru yang menghapus secara otomatis dari konstitusi yang lama.

Oleh karena itulah, suatu kepemimpinan harus dan wajib untuk mendapatkan legitimasi dan dukungan rakyat. Tanpa itu, walaupun fisiknya nyata berkuasa, namun naluri dan jiwa kepemimpinanya itu hilang. Kehendak rakyat adalah segalanya. Jika rakyat sudah berkehendak, dilawan dengan senjata apapun tak akan ada faedahnya.

 

~~~~~~~~~~

Oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

~~~~~~~~~~