PENGANTAR

Oleh : Idik Saeful Bahri

(idikms@gmail.com)

 

Napoleon Bonaparte merupakan salah seorang kaisar Perancis yang terkenal, selain juga sebagai pimpinan angkatan perang yang sanggup memenangi banyak pertempuran seperti perang melawan Austria, Prusia, dan bahkan menjadi poros yang mengimbangi kekuatan di Eropa. Ada kalimat mutiara yang pernah diucapkan sang raja, “Aku lebih takut dengan seseorang yang memegang pena (penulis) daripada prajurit yang bersenjatakan lengkap”. Begitu ia menggambarkan bagaimana berbahayanya seorang penulis memberikan doktrin-doktrin melalui karya dan tulisannya. Bahaya yang ditimbulkan ini, bisa dalam artian yang positif, bahwa perubahan dunia tidak harus dilakukan dengan pertempuran senjata yang itu justru menimbulkan kehancuran, namun bisa dengan argumentasi dan tulisan yang disebarluaskan kepada banyak orang.

Itulah pentingnya menulis. Selain sebagai bentuk pengajaran yang efektif, tulisan yang kita buat juga menjadi penanda bahwa kita pernah singgah di dunia. Kita mengenal banyak tokoh hidup di masa lalu, karena kita membaca tulisan biografinya atau dari hasil karya-karyanya. Dengan tulisanlah, kita dikenal banyak manusia di masa depan.

Napoleon, selain dikenal sebagai kaisar dan jenderal perang, namanya juga dikenal sebagai kiblat hukum sipil. Kode Napoleon atau dalam bahasa Perancis disebut dengan istilah Code Napoléon adalah suatu undang-undang sipil di Perancis yang disusun pada masa kekuasaan Napoleon Bonaparte. Yang menyusun tentu bukanlah Napoleon, tapi disusun oleh empat orang sarjanawan hukum Perancis pada era itu. Namun undang-undang yang tercipta ini menggunakan nama Napoleon karena ia memberikan restu dalam penyusunan undang-undang sipil tersebut. Kode Napoleon diberlakukan pada tanggal 21 Maret 1804.

Meskipun Kode Napoleon ini bukanlah undang-undang sipil resmi pertama yang disusun di kawasan Eropa—karena sebelumnya telah ada Codex Maximilianeus Bavaricus Civilis (Bavaria, 1756), Allgemeines Landrecht (Prussia, 1792) dan West Galician Code (Galicia, Austria, 1797)—tetapi Kode Napoleon ini dianggap sebagai undang-undang sipil pertama yang sangat mempengaruhi tradisi perundang-undangan di banyak negara, termasuk Indonesia. Negeri kita yang pernah dijajah oleh Belanda, sementara Belanda pernah dikuasai di era Napoleon, memberi gambaran bahwa hukum kita sedikit banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep yang tertanam dalam Kode Napoleon. Dari sini jugalah sebetulnya rancangan dogma yang dipahami oleh mahasiswa hukum di Indonesia terbentuk, termasuk apa yang ada dalam buku ini.

Setelah dibaca, buku yang berjudul “Hukum dan Tata Lembaga Negara Indonesia” ini tidak lain merupakan ringkasan dari materi Pengantar Ilmu Hukum (PIH) dan Pengantar Hukum Indonesia (PHI). Dua materi yang sangat penting untuk menjadi bekal bagi setiap mahasiswa hukum. Undang-undang bolehlah berubah setiap pergantian zaman, namun konsep dan kaidah hukum hampir nyaris jarang berubah, selama konsep dan kaidah hukum itu belum mendapatkan sanggahan dan koreksi dari sarjanawan hukum kontemporer. Setiap mahasiswa yang sudah menguasai PIH dan PHI, dia akan dengan mudah menganalisis setiap permasalahan hukum, apapun bentuk kasusnya.

Ada dua cakupan materi yang dituangkan dalam buku ini, yaitu bagian pertama yang membahas tentang hukum—yang bisa kita sebut sebagai materi PIH, dan bagian kedua yang membahas tentang tata lembaga negara di Indonesia—yang ini merupakan salah satu materi dari PHI.

Bagian pertama yang membahas tentang hukum, secara umum hampir sudah menggambarkan dan memperkenalkan istilah hukum yang ada. Memang, referensinya bisa jauh berbeda-beda. Teringat dosen saya, Dr. Ahmad Bahiej—yang sekarang menjadi Kepala Biro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri Sekretariat Jenderal Kementerian Agama Republik Indonesia—pernah menyampaikan didalam kelas, bahwa saking banyaknya paradigma dan pendapat, hampir mustahil kita membuat kesepakatan bersama tentang konsep-konsep hukum. Hal ini masuk diakal, karena hampir setiap negara memiliki corak hukumnya sendiri-sendiri. Dengan corak hukum yang berbeda, maka paradigma yang digunakan para ahli hukum di setiap negara pun pastilah berbeda. Namun terlepas dari tidak utuhnya pemahaman yang sama akan hukum, perlu diketahui bersama, bahwa dalam realitanya, setiap akademisi hukum di hampir banyak negara menyepakati beberapa aspek hukum yang kita kenal sekarang ini.

Misal saya ambil contoh tentang definisi hukum. Setiap ahli berpendapat berbeda-beda. Namun dari banyaknya pendapat, bisa ditarik suatu konklusi bahwa untuk mendefinisikan hukum memang sulit untuk mencapai titik temu, tapi untuk menentukan definisi ‘hukum positif’, hampir pasti ada benang merahnya. Semua ahli hukum sepakat bahwa hukum positif itu haruslah suatu susunan peraturan perundang-undangan yang disahkan melalui lembaga negara yang berwenang. Hampir pasti begitu. Atau saya ambil contoh yang lain tentang tujuan hukum. Jika ditanya tentang tujuan hukum, jawabannya bisa banyak sekali. Ada yang menjawab untuk ketertiban umum, untuk kesejahteraan, untuk keamanan masyarakat, dan lain-lain. Namun ada tiga tujuan hukum yang hampir pasti dibahas oleh sarjanawan hukum di banyak negara, yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

Kesamaan-kesamaan inilah yang sering saya sebut sebagai “dogma standar”, yang itu harus dipahami dan dikuasai oleh setiap akademisi dan praktisi hukum. Dan dogma standar yang saya sebut ini, sebagiannya sudah disusun dalam buku ini. Memang, ada beberapa dogma standar lain yang perlu untuk dimunculkan, misalnya tentang unsur-unsur hukum, pembagian norma, dan asas-asas hukum, namun setidaknya ada beberapa dogma standar yang sudah ditulis, dan itu diharapkan membantu membumikan sudut pandang hukum kepada masyarakat pembaca secara luas.

Kemudian ada juga bagian kedua buku ini yang membahas tentang tata lembaga negara di Indonesia. Ini juga materi yang sangat penting. Saya pribadi melihat bahwa konsep lembaga negara ini hanya benar dan hanya sepenuhnya benar jika itu disusun dan dikaji dalam sudut pandang hukum. Bahkan dalam materi yang dibuat oleh instrumen negara—misalnya dalam rekrutmen pegawai negeri—yang itu dibuat oleh beberapa lembaga sebut saja oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan oleh  beberapa kementerian, materi yang ditampilkan tentang lembaga negara ini sebagiannya masih keliru.

Misalnya, dalam materi yang dibuat oleh Kementerian Perhubungan RI dan Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI, dalam pelatihan yang berbasis massive open online course, diberikan materi berbentuk powerpoint dan modul, yang isinya menyebut bahwa DPD adalah bagian dari legislatif, dan KY tidak dimasukkan dalam lembaga tinggi negara. Jadi hanya ada 7 lembaga tinggi negara dalam modul tersebut. Itupun presiden selain dikategorikan sebagai eksekutif, juga dikategorikan sebagai legislatif. Dalam pandangan si pembuat modul, karena presiden bisa mengesahkan peraturan perundang-undangan (walau bukan UU), tetap bisa disebut sebagai legislatif.

Jika argumentasinya demikian, maka akan ada lebih banyak legislatif di negeri ini. Saya ambil contoh Mahkamah Agung (MA). Institusi ini bisa mengesahkan peraturan perundang-undangan yaitu Peraturan Mahkamah Agung (Perma). Walaupun Perma tidak masuk dalam hierarki PUU yang diatur dalam Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011, namun Perma ini masuk di Pasal 8 UU tersebut dan dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan yang mengikat warga negara, utamanya para pencari keadilan. UU ini sudah direvisi dua kali, namun Pasal 7 dan 8 tidak termasuk dalam revisi, baik melalui UU Nomor 15 Tahun 2019 maupun melalui UU 13 Tahun 2022. Itu artinya, hierarki PUU dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 ini masih berlaku. Kembali lagi, jika argumentasi Presiden disebut bagian dari legislatif hanya karena bisa mengesahkan PUU, apakah itu berarti Mahkamah Agung juga bisa disebut sebagai lembaga legislatif? Tentu saja tidak.

Argumentasi lain dalam modul tersebut yang menyebut bahwa Presiden bisa dikategorikan sebagai legislatif, karena Presiden (bisa termasuk kementerian didalamnya) ikut membahas jalannya perumusan UU di parlemen. Argumentasi ini juga lemah, sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Zainal Arifin Mochtar, dalam sistem presidensial, pengesahan UU sepenuhnya berada di tangan parlemen, sementara persetujuan Presiden hanya sebagai seremonial saja. Andaikan Presiden tidak menandatangani UU yang sudah disahkan di DPR, secara otomatis UU tersebut tetap akan berlaku dan mengikat seluruh warga negara. Lagipula, dalam konsep tri-as politica, pembagian kekuasaan ini harus utuh dan tidak boleh saling tumpang tindih. Presiden memiliki mekanisme legislasi, jelas iya, tapi disebut sebagai legislatif, tentu tidak. Berbeda jika kita menyebut MPR selain sebagai konstitutif tapi juga sebagai legislatif, itu tetap benar, karena proses legislasi di DPR dan MPR sama-sama terbuka (baca: open legal policy) dan melibatkan komponen wakil rakyat. Hal-hal semacam ini hanya ada dalam kajian hukum.

Saat saya cek pembuat modul dan powerpoint tersebut, tidak ada satupun penulisnya yang berlatar belakang hukum. Hampir semuanya berlatar belakang pendidikan. Ini tentu akan menjadi tantangan mahasiswa hukum, dimana materi yang didapatkan dalam kelas, harus berbeda dengan materi lain yang didapatkan diluar kelas hukum, bahkan jika institusi negara pun yang menulisnya.

Hadirnya banyak buku-buku hukum seperti ini, jelas akan memberikan kontribusi positif terhadap upaya membumikan istilah-istilah hukum dan cara pandang hukum di tengah-tengah masyarakat. Bahkan sudah selayaknya lah, pembuat modul di BKN, di LAN RI, di kementerian, maupun modul-modul sekolah yang berisi materi hukum—biasanya dalam mata pelajaran PKn dan IPS—harus dan wajib menyertakan penulis dari kalangan hukum.

Kesalahan-kesalahan ini juga menghinggapi dunia maya. Jika pembaca mencari di mesin pencari dengan kata kunci “kekuasaan kehakiman”, maka dalam pencarian teratas akan menyebutkan bahwa pelaku kekuasaan kehakiman ada 3 lembaga, yaitu MA, MK, dan KY. Ini jelas kekeliruan yang fatal. Belum lagi jika kita cari sistem hukum yang dianut Indonesia, jawaban yang muncul dalam mesin pencari pasti civil law system.

Hal ini dalam kacamata saya hanya menunjukkan satu hal, bahwa insan akademisi hukum (termasuk mahasiswa hukum didalamnya) belum cukup memberikan kontribusi yang besar dalam membumikan konsep-konsep hukum yang selama ini dipelajari didalam kelas kepada masyarakat luas. Bingungnya masyarakat untuk membedakan apa itu “perdata” dan apa itu “pidana” pun masih menjadi PR bagi kita sebagai insan hukum, apalagi jika ditambah masyarakat tidak bisa membedakan apa itu “permohonan” dan apa itu “gugatan”. Istilah-istilah dasar ini seharusnya sudah membumi, sama seperti kita mengenal apa itu trigonometri dalam matematika, apa itu gaya gravitasi dalam fisika, apa itu gempa vulkanik dalam geologi, apa itu memori RAM dalam dunia IT, dan lain sebagainya. Ada beberapa istilah standar dalam suatu bidang ilmu yang itu harus dikenal luas dikalangan masyarakat, bahkan dikalangan masyarakat awam sekalipun.

Bahwa Indonesia menganut sistem hukum Pancasila, bahwa ada 8 pilar kekuasaan di Indonesia sekarang ini pasca amandemen UUD, bahwa kedudukan Presiden itu setingkat dengan 7 pimpinan lembaga tinggi negara yang lain, bahwa pengadilan sekarang tidak dibawah kementerian, bahwa polisi militer dan pengadilan militer walaupun sama-sama memiliki nama militer tapi berada di dua institusi yang berbeda, karena polisi militer itu dibawah TNI (TNI dibawah Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pertahanan dibawah Presiden), sementara pengadilan militer berada dibawah institusi lain yaitu Mahkamah Agung, dan lain-lain. Hal-hal dasar semacam ini sudah selayaknya membumi ditelinga masyarakat luas.

Terakhir, kita sebagai insan akademisi hukum, harus siap, harus memulai, dan ikut serta menjadi bagian dalam membumikan istilah-istilah hukum kepada masyarakat luas. Buku ini, adalah salah satu bagian yang saya maksud tersebut. Mari kita berjuang bersama.