TUGAS 1

Untuk tugas hukum pidana khusus, adalah mencari putusan hakim yang sudah inkracht. Dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. saudara bisa membuka portal direktori putusan Mahkamah Agung, melalui link: https://putusan3.mahkamahagung.go.id/ ;
  2. carilah 3 putusan, yaitu putusan tentang tindak pidana korupsi, putusan tentang pencucian uang, dan putusan tentang tindak pidana ekonomi (bebas, baik dari perbankan, perpajakan, persaingan usaha, dan lain-lain. Perhatikan muatan putusannya, yang ditugaskan disini adalah tentang tindak pidana);
  3. carilah putusan yang telah inkracht.

 

SOAL UTS

Isilah soal-soal UTS dibawah ini dengan mengikuti pedoman berikut:

  1. lengkapi identitas diri, mulai dari Nama, NIM, Semester, Kelas, dan Nama Mata Kuliah;
  2. jawaban diketik menggunakan jenis font Times New Roman ukuran 12;
  3. isilah jawaban dengan menggunakan logika hukum, kaidah-kaidah hukum, asas-asas hukum, teori-teori hukum (sebagaimana telah dipelajari dalam mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Hukum Indonesia), serta doktrin atau pendapat sarjanawan hukum yang relevan;
  4. dalam pengutipan pendapat sarjanawan hukum, mahasiswa bisa menggunakan skema footnote, dengan format Nama Pengarang, Tahun Terbit, Judul Buku dicetak miring, Kota Terbit, titik dua, Nama Penerbit, Halaman. Contoh footnote: (Ari Hernawan, 2019, Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial, Yogyakarta: UII Press, hlm. 14-15);
  5. hasil jawaban disimpan dalam format .pdf ;
  6. setiap UTS akan diberikan soal sebanyak 5 butir, dengan masing-masing butir memiliki bobot nilai 20;
  7. jawaban mahasiswa yang tidak menjawab substansi dan tidak memiliki bobot jawaban yang logis dan argumentatif, serta adanya indikasi pengutipan yang tidak disertai sumber rujukan, maka dosen memiliki hak untuk tidak memberikan nilai pada jawaban tersebut.

 

Isilah soal-soal berikut disertai jawaban yang selaras dengan soal, logis dan argumentatif.

  1. Pada pertengahan tahun 2018, saudara Hendry Julian Noor berhasil mempertahankan disertasinya di UGM dengan judul: “Kerugian Keuangan Negara dalam Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara Berbentuk Perseroan Terbatas, Perspektif Hukum Bisnis dan Tindak Pidana Korupsi”. Dalam disertasinya, Henry Julian Noor menjelaskan adanya suatu pertentangan konsep dan kaidah antara klaster hukum bisnis dan hukum pidana khusus—dalam hal ini adalah hukum tindak pidana korupsi, dimana kedua klaster hukum tersebut berbeda paham dalam menafsirkan konsep keuangan negara di perusahaan BUMN. Dalam praktiknya, pertentangan diantara kedua klaster hukum tersebut benar-benar terjadi. Menurut saudara, mengapa kedua klaster hukum tersebut bisa berselisih paham dalam menafsirkan keuangan negara di BUMN?
  2. Di pertemuan tentang Hukum Materiil Tindak Pidana Korupsi, kita mengenal istilah “Betrayal of Trust”. Bahwa korupsi ditarik sedemikian luas, bukan hanya menyangkut perkara-perkara bermuatan materi saja, namun juga kepercayaan. Dalam banyak proses legislasi di DPR RI, pernah terjadi beberapa kali kasus penyelundupan pasal dan/atau penghilangan pasal, sebut saja kasus penghilangan ayat tembakau di UU Kesehatan (dan mungkin kasus terbaru yang sekarang sedang diperdebatkan mengenai beberapa pasal dan ayat di UU No. 11 Tahun 2020). Bagaimana pandangan saudara mengenai proses legislasi yang—meminjam istilahnya Zainal Arifin Mochtar—menyebalkan, dilihat dari sudut pandang pendidikan anti korupsi? Bagaimana pula analisis saudara dari sudut pandang norma di UU Tipikor?
  3. Setujukah saudara dengan pembagian tugas antara POLRI-Kejaksaan dan KPK[1] dalam menangani tindak pidana korupsi di Indonesia? Apa resiko yang mungkin terjadi dengan pembagian tugas tersebut?
  4. Di internal akademisi, terdapat suatu perdebatan dalam menempatkan posisi tindak pidana korupsi, sebagian berpendapat sebagai extraordinary crime, sebagian lainnya menolak gagasan tersebut dan hanya berpandangan sebagai serious crime. Menurut saudara, apa perbedaan diantara kedua frasa yang dicetak miring tersebut? Dalam sudut pandang saudara, setujukah jika korupsi diposisikan sebagai extraordinary crime? Berikan jawaban yang logis dan argumentatif.
  5. Carilah minimal 7 peraturan perundang-undangan yang didalamnya terdapat delik pidana dan bisa dikualifikasikan sebagai tindak pidana ekonomi (kecuali UU Perbankan dan UU Darurat yang telah dijelaskan selama proses perkuliahan). Jelaskan pula setiap delik dari masing-masing undang-undang tersebut.

[1] Lihat Pasal 11 UU KPK.

 

SOAL UAS

Isilah soal-soal UAS dibawah ini dengan mengikuti pedoman berikut:

  1. lengkapi identitas diri, mulai dari Nama, NIM, Semester, Kelas, dan Nama Mata Kuliah;
  2. jawaban diketik menggunakan jenis font Times New Roman ukuran 12;
  3. isilah jawaban dengan menggunakan logika hukum, kaidah-kaidah hukum, asas-asas hukum, teori-teori hukum (sebagaimana telah dipelajari dalam mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Hukum Indonesia), serta doktrin atau pendapat sarjanawan hukum yang relevan;
  4. dalam pengutipan pendapat sarjanawan hukum, mahasiswa bisa menggunakan skema footnote, dengan format Nama Pengarang, Tahun Terbit, Judul Buku dicetak miring, Kota Terbit, titik dua, Nama Penerbit, Halaman. Contoh footnote: (Ari Hernawan, 2019, Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial, Yogyakarta: UII Press, hlm. 14-15);
  5. hasil jawaban disimpan dalam format .pdf ;
  6. setiap UAS akan diberikan soal sebanyak 5 butir, dengan masing-masing butir memiliki bobot nilai 20;
  7. jawaban mahasiswa yang tidak menjawab substansi dan tidak memiliki bobot jawaban yang logis dan argumentatif, serta adanya indikasi pengutipan yang tidak disertai sumber rujukan, maka dosen memiliki hak untuk tidak memberikan nilai pada jawaban tersebut;
  8. jawaban mahasiswa yang diduga berasal dari hasil perbuatan curang berupa menyontek, maka dosen berhak memberikan nilai 0 kepada mahasiswa yang menyontek maupun yang dicontek.

 

Isilah soal-soal berikut disertai jawaban yang selaras dengan soal, logis dan argumentatif.

  1. Lukman sedang mengendarai sepeda motor di jalanan Aimas. Tiba-tiba Lukman diberhentikan oleh pihak kepolisian, dan ketika tas Lukman digeledah, ternyata didalamnya terdapat 0,5 kg narkotika jenis morfin. Lukman beralasan bahwa dia bukanlah pengedar, namun hanya sebatas konsumen dan pengguna saja.

Pertanyaannya: dalam sudut pandang UU Narkotika, apakah Lukman berpeluang untuk dipidanakan? Atau justru hanya berakhir dalam rehabilitasi?

  1. Hasil autopsi dari Komnas HAM, Persatuan Dokter Forensik Indonesia, dan PP Muhammadiyah menunjukkan bahwa jenazah terduga teroris Siyono menunjukkan bahwa Siyono meninggal karena patah tulang di bagian dada yang mengarah ke jaringan jantung.[1] Isu tentang adanya penganiayaan oleh oknum aparat kepada terduga teroris dengan tanpa perlawanan kembali mencuat dengan adanya hasil autopsi ini. Bukan kali ini saja terjadi, namun beberapa kali tercatat adanya orang yang dicap “terduga” teroris mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi dari oknum aparat. Menurut pendapat saudara, apakah itu berarti UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak menjamin perlindungan HAM bagi para “terduga” teroris?
  2. Dalam kasus berita bohong Ratna Sarumpaet, tokoh-tokoh besar dari partai politik juga menyebarkan twit atau postingan tentang pemukulan terhadap aktivis Ratna Sarumpaet di Bandung, Jawa Barat, sebelum akhirnya Ratna Sarumpaet secara terbuka menyatakan bahwa dirinya berbohong. Saat diketahui bahwa Ratna Sarumpaet tidak pernah dianiaya dan justru luka lebamnya merupakan hasil operasi plastik, para tokoh partai yang sebelumnya telah menyebarkan twit atau postingan yang membuat gaduh penjuru negeri, secara serentak mereka menarik kembali twit dan postingannya dengan beralasan bahwa mereka tidak mengetahui fakta yang sesungguhnya. Menurut pandangan saudara, layakkah para tokoh partai politik tersebut dijerat menggunakan UU ITE dengan pasal menyebarkan hoax atau kabar bohong? Padahal dalam kasus-kasus lain dimana yang menyebarkan berita bohong adalah golongan masyarakat biasa, ketika sudah viral dan membuat kegaduhan, tetap bisa dijerat UU ITE walaupun orang tersebut beralasan dirinya tidak tau fakta yang sesungguhnya.
  3. Menurut saudara, apakah delik pidana dalam UU Kekarantinaan Kesehatan bisa dikategorikan sebagai tindak pidana khusus? Analisislah kasus konser dangdut ditengah pandemi yang dilakukan oleh Wakil Ketua DPRD Tegal, apakah sudah tepat dijerat dengan delik pidana yang diatur dalam UU Kekarantinaan Kesehatan?
  4. Dalam menegakkan protokol kesehatan selama masa Pandemi Covid-19 di Indonesia, terlihat sekali penegakan hukum yang dilakukan tidak merata. Sebut saja di Kota Sorong yang masuk kategori zona merah, tetap saja masyarakat bisa bepergian secara bebas tanpa melaksanakan protokol kesehatan, setidak-tidaknya menggunakan masker. Selain itu, beberapa tempat hiburan di Kota Sorong juga terlihat sudah dibuka dan sudah mulai ramai pengunjung. Namun di wilayah lain yang sama-sama zona merah, sebut saja beberapa wilayah penyangga Ibu Kota, beberapa orang mulai terjerat delik pidana karena membuka usaha yang menimbulkan kerumunan. Menurut saudara, tepatkah penggunaan delik pidana dalam UU Kekarantinaan Kesehatan dalam menegakkan hukum di masa pandemi sekarang ini? Wajarkah jika masyarakat menganggap bahwa penegakan hukum dalam UU Kekarantinaan Kesehatan itu sifatnya tebang pilih dan tidak adil?

[1] “Penyebab Kematian Terduga Teroris Siyono Terungkap”, http://bbc.com, diakses pada tanggal 4 Januari 2021, pukul 22:45 WIB.