Cita-cita menjadi dosen adalah cita-cita saat kuliah. Dulu sebelum zaman kuliah, cita-cita gw ya ingin jadi dokter.
Bahkan gw pernah bilang ke bapak, “pak, pengen kuliah di kedokteran…”
Dengan entengnya bapak jawab, “mau jual sawah yang mana, dik?”
Awalnya gw bingung. Tapi lama-lama paham juga. Ternyata biaya kuliah di Fakultas Kedokteran itu nggak main-main. Mengratus-ratus jeti.
Karena cita-cita menjadi dokter ini sulit diwujudkan, ya akhirnya banting setir.
Saat keterima di program studi Ilmu Hukum, cita-cita gw awalnya ngambang. Nggak tau mau jadi apa.
Tapi lama kelamaan, gw liat tingkah laku dosen-dosen gw, jadi kepikiran juga, “kayaknya enak ya kalo jadi dosen. Ngajar gitu aja, dituruti mahasiswa, dan bisa memberikan doktrin yang akan dikutip bertahun-tahun…”
Cita-cita ini masih setengah bulat. Baru mulai mantap saat duduk sebagai mahasiswa pascasarjana. Dimana gw melihat langsung gimana fakultas dan universitas menghormati dosen, utamanya para guru besar. Terlihat betapa kampus menghormati orang yang berilmu.
Akhirnya cita-cita yang dulu belum menggumpal, terasa semakin kuat.
“Gw pengen jadi dosen”. Begitu gw bilang dalam hati gw.
Beberapa kali ada seleksi pegawai negeri, gw selalu skip. Kenapa? Ya karena gw pengen jadi dosen. Untuk jadi dosen, nggak bisa lah pake ijazah S1, harus pake ijazah S2. Jadi ya gw harus nunggu lulus dulu baru daftar sana sini.
Dan ketika gw lulus, akhirnya gw nyoba ngelamar sana sini. Gw kirim berkas-berkas ke lebih dari 10 universitas. Ada beberapa yang menjawab, dan sisanya tidak ada kabar lagi. Yang menjawab pun hanya bilang, “kami belum membutuhkan tenaga dosen, mas…”
Hampir 2 atau 3 bulan gw hunting lowongan kerja dosen. Beberapa kali ikut tes seleksi, tapi hasilnya nihil. Bukan karena nggak mampu, tapi terlihat seleksinya tidak fair. Banyak ordal ternyata. Sialan, gini amat ya dunia pendidikan di Indonesia.
Sampe akhirnya dapat juga gw. Jadi dosen di universitas swasta, dan ya tentu saja, bukan di kampus besar dan bergengsi.
Awalnya gw nikmatin, hingga setahun kemudian, ada panggilan mengajar dari 2 kampus yang relatif cukup besar. Yang satu dari kota Bandung, satunya lagi dari kota Surakarta. Damn.
Gw udah terlanjur jadi dosen tetap dengan homebase NIDN atas nama kampus gw yang kecil itu. Sialan. Masukin lamaran udah lama, baru dipanggil setahun kemudian, dengan alasan pergantian pimpinan.
Lika-liku gw sebagai dosen tidak sepenuhnya mulus. Tempat gw bekerja penuh dengan intrik. Promosi jabatan sangat tidak transparan. Hanya orang-orang yang dekat dengan pemilik yayasan lah yang akan menjadi Kaprodi, Dekan, Wakil Rektor, hingga Rektor.
Jelas ini bukan tempat kerja yang gw idam-idamkan. Gw bukan tipe orang yang mau nurut sama orang ndablek. Gw nggak mau jadi bemper pemimpin tengil.
Keluarlah gw jadi dosen tetap dan hidup sebagai dosen LB yang menjajaki dari satu kampus ke kampus yang lain, utamanya yang mengutamakan pembelajaran jarak jauh. Contoh ya kampus tertutup itu. Ya tertutup. You know lah.
Pada akhirnya, gw memang pernah dan masih menjadi dosen. Tapi rasa-rasanya, gw merasa gagal menjadi dosen.
Gw menganggap seharusnya gw bisa lebih jauh dalam melangkah.
Apakah itu berarti cita-cita gw jadi dosen jadi luntur begitu saja?
Tentu tidak.
Menjadi dosen tetap menjadi prioritas hidup gw.
Tapi bukan hanya sekedar menjadi dosen.
Setelah dipikir-pikir, cita-cita menjadi dosen itu harus fix seluruhnya.
Tidak asal menjadi dosen, tapi harus dilihat dimana kita menjadi dosen.
Dan cita-cita gw dulu ternyata kalimatnya belum rampung, “Gw pengen jadi dosen di kampus terbaik”, begitu seharusnya.
Mengapa gw ngebet banget menjadi dosen?
Ada banyak alasan. Tapi gw hanya mau ngasih tau satu sudut pandang teori.
Banyak ahli hukum berpendapat bahwa sumber hukum itu ada 5, dan yang biasa ditempatkan sebagai posisi terakhir adalah doktrin.
Tapi bagi gw sebagai sarjanawan hukum, doktrin itu justru adalah sumber hukum yang lebih hebat dan kuat ketimbang sumber hukum yang lain. Dia lebih abadi dan memiliki standar keilmuan yang lebih tinggi.
Empat sumber hukum lainnya yaitu hukum tertulis, hukum tidak tertulis, traktat, dan yurisprudensi, hampir mustahil ada tanpa suatu doktrin.
Nah doktrin ini, mau tidak mau dapat diwujudkan dengan syarat menjadi seorang sarjanawan hukum yang sudah bereputasi, sehingga gagasan-gagasan kita, pendapat-pendapat kita, tulisan-tulisan kita dikutip oleh banyak orang.
Untuk mewujudkan itu, salah satu jalannya adalah menjadi dosen dan guru besar.
Selain karena alasan teoretis tersebut, menjadi dosen adalah profesi paling aman jika dibandingkan dengan rentetan jenis profesi hukum lainnya. Selain lebih aman, juga lebih halal. Ini alasan gw kenapa gw pengen jadi dosen. Gw bukan tipe orang yang sok-sok-an ingin menantang maut. Nggak. Gw adalah tipe orang yang ingin hidup damai, dan dosen adalah salah satu profesi yang masuk kategori yang gw maksud ini.
Tentu saja ada banyak alasan-alasan pribadi lain yang gw punya, mengapa gw sangat tergila-gila ingin menjadi dosen. Tapi tentu tidak semuanya gw umbar.
Yang jelas, menjadi dosen saja ternyata tidak cukup. Belum menjawab cita-cita gw dulu saat zaman kuliah. Harus ada kejelasan dimana kita menjadi dosen dan pengajar. Tentunya sekarang, gw menargetkan ingin menjadi dosen di kampus-kampus terbaik di Indonesia. Semoga ada jalan dan semoga dimudahkan. Amin.
~~~~~~~~~~~~~~~
Ditulis oleh : Idik Saeful Bahri
(idikms@gmail.com)
~~~~~~~~~~~~~~~